Langsung ke konten utama

Bandung Persinggahan Kaum Pejuang

Oleh HARYOTO KUNTO

Kota adalah seorang ibu, dari rahim siapa
lahir dirimu yang kedua
Sekali kau pernah mengembara di sana, 
bagai urat di tapak-tangan
kau hafal silangan segala gangnya
Sekali kau bersatu dengan suka-dukanya, dan dia
selamanya akan hidup di darahmu.

Saini KM
"Kota Suci" 1968.

DARI beberapa hasil survai dan penelitian kependudukan di Kotamadya Bandung, sejak tahun 1971 sampai tahun 1990, ternyata jumlah penduduk asli Kota Bandung (Sunda: "pituin urang Bandung asli"), makin menyusut dari 22% turun hingga 17% dari seluruh warga kota yang sekitar dua juta jiwa ini.

Adapun yang dimaksud dengan pituin urang Bandung asli adalah, warga kota yang turun temurun dari generasi ke generasi--lahir, tinggal dan dibesarkan di Kota Bandung. Sedangkan warga kota selebihnya, umumnya tergolong kaum pendatang dari luar kota maupun luar daerah Jawa Barat, dari seluruh pelosok tanah air.

Berbicara tentang asal muasal warga kota yang "asli" dan "tidak asli", hal itu erat sekali hubungannya dengan masalah keterpautan manusia dengan tanah kelahirannya. Yang pada gilirannya, akan sangat berpengaruh kepada dedikasi dan sumbang karya bagi kota kelahirannya.

Kita tidak bisa menyangkal, bahwa keberhasilan pembangunan Kota Jakarta Raya di tahun 1970-an, erat sekali dengan suksesnya pengelola kota kala itu, yakni Gubernur Ali Sadikin, menanamkan rasa sense of belonging (rasa memiliki) di kalangan warga kota yang berasal dari berbagai daerah, untuk mencintai dan ikut berpartisipasi membangun Ibukota Negara.

Sebaliknya, sementara ini, sense of belonging warga masyarakat Bandung terhadap kota kediamannya terasa masih kurang memadai. Maklumlah, sebagian besar warga kota yang kaum pendatang itu, hampir tidak memiliki pautan historis emosional dengan Kota Bandung. Adapun yang dimiliki cuma sekadar rasa nostalgia belaka. Seperti kawan-kawan kuliah penulis dulu di ITB, yang mencintai Kota Bandung, karena kebetulan mengawani anak kost-baas (induk semang) yang mojang Priangan.

Tipisnya pautan historis emosional terhadap Kota Bandung dari mereka yang sekali tempo pernah sekolah, berjuang atau bekerja di kota ini, terungkap dari kasus berikut ini.

Sebagai wadah dari anggota mantan Batalyon II Resimen 8 Divisi III Siliwangi, yang aktif bertempur di Palagan Bandung Raya tahun 1945 dulu, ternyata upaya "Yayasan Prakarsa Taruna" untuk mengumpulkan kisah perjuangan pribadi para anggotanya selama peristiwa "Bandung Lautan Api" berlangsung (24 Maret 1946), ternyata banyak mengalami kendala. Malah boleh dikata menghadapi kegagalan.

Hal itu terjadi karena beberapa hal. Antara lain masalah kesulitan komunikasi dengan para pelaku "Bandung Lautan Api" yang tersebar di seluruh tanah air. Kemudian juga, kegemaran tulis menulis dan catat mencatat belumlah membudaya di kalangan bangsa Indonesia. Dan yang paling repot lagi adalah, bahwa momen kejadian "Bandung Lautan Api" telah jauh dipisahkan waktu. Sehingga susah untuk mengingat-ingat peristiwanya.

Peristiwa serupa terjadi pula tatkala tercetus ide untuk mengumpulkan "Kisah Perjuangan Keluarga Ganeca 10 Bandung Tahun 1940-1950". Ternyata, para alumni Ganeca 10 yang umumnya sukses menjadi pemimpin pada lembaga pemerintahan, perusahaan swasta atau mejadi tokoh masyarakat itu, lebih sulit lagi digerakkan untuk menulis. Kendalanya yaitu tadi, sebagai Boss, beliau-beliau itu tidak biasa menulis laporan. Mungkin kisah perjuangan beliau itu harus disusun oleh bawahannya.

Kegagalan menyusun buku sejarah lainnya, menimpa pula kisah perjuangan Angkatan 66 di Kota Bandung. Menurut penuturan AS, wartawan senior Bandung yang kini ngungsi ke Jakarta, pada awal tahun 1980-an yang lalu pernah diadakan pertemuan di rumah seorang tokoh Angkatan 66 Bandung, yang kini telah menjadi konglomerat di Jakarta. Dalam pertemuan yang tanpa hidangan teh pahit sekalipun itu, niat untuk menyusun Buku Kenangan Perjuangan Angkatan 66 di Kota Bandung, kluron tak jadi dilaksanakan. Cuma gara-gara beberapa orang "musuh" di Bandung pada tahun 1966 yang lalu itu, kini ada yang duduk pada posisi strategis di pemerintahan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, menurut penuturan AS, ternyata tokoh perjuangan Angkatan 66 di Bandung yang kini telah kaya itu, emoh keluar dana untuk ikut membiayai proyek penulisan sejarah perlawanan anak muda Bandung menumbangkan rezim Orde Lama.

Sejarah sementara ini telah membuktikan, bahwa ide-ide besar banyak lahir di Kota Bandung, namun kemudian tak ada secuir arsip yang merekam peristiwa itu. Sehingga kelak dapat dibayangkan, bahwa generasi penerus akan kehilangan semangat, kesinambungan sejarah perjuangan dengan generasi pendahulunya. Atau dalam bahasa Sunda, generasi penerus itu bakal--pareumeun obor! Sehingga menurut sejarawan Alan Earl (1971), kisah nyata sejarah kemudian bisa berubah menjadi dongeng--Far far away, long long ago. Alias remang-remang tidak jelas alang ujurnya (Haryoto Kunto,"Lestarikan Semangat Bandung Lautan Api", PR 22/III/1989).

Pewarisan semangat perjuangan bangsa semakin sulit dilakukan, karena di Bandung ini langka dijumpai momen-momen perjuangan yang dapat memberikan petunjuk atau informasi tentang peristiwa pertempuran yang terjadi di setiap bagian Kota Bandung. Beberapa monumen yang kita jumpai di Bandung sekarang ini, sering kali terlepas, tidak ada kaitannya dengan momen peristiwa penting dalam skala nasional maupun internasional.

Monumen "main bola", patung ikan, atau "monumen berhiber" misalnya, semua itu tergolong skala lokal, kurang luas memberi inspirasi. Sekadar monumen sukses pribadi, yang tidak jauh berbeda dengan dongeng yang digunjingkan warga kota yang menyatakan--Ganti walikota, ganti wajah alun-alun!

Bandung tungku peleburan nasionalisme

Dr. Van Leeuwen, seorang paranormal yang menjadi Ketua Perkumpulan Theosofi di Hindia Belanda, sempat meramal di tahun 1917, bahwa Kota Bandung kelak bakal menjadi "tungku peleburan rasa kebangsaan" dan "ajang perjuangan kemerdekaan" rakyat Indonesia.

Peleburan rasa kebangsaan, sebenarnya telah tumbuh sejak tahun 1866, tatkala Kweekschool (Sekolah Guru) didirikan di Kota Bandung. Sekolah guru ini yang menampung anak-anak raja, kepala suku, bangsawan dari daerah kepulauan luar Jawa, yang kemudian dikenal oleh penduduk sebagai "Sakola Raja" itu, memang kemudian menjadi tungku peleburan rasa persatuan dan kebangsaan dari seluruh pemuda Indonesia. Lulusan Kweekschool ini, antara lain tercatat, Sanusi Pane dan Jenderal A. H. Nasution.

Agaknya Kota Bandung sejak pertengahan Abad 19 yang lalu, telah didambakan oleh para orang tua, untuk menjadi ajang pendidikan putra putrinya, seperti gumam lagu Sunda:

Neleng neng kung
Neleng neleng neng kung
Geura gede geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Dst, dst.

Tahun 1890, dua orang remaja, Bunyamin (14 tahun) dan adiknya Yusuf (13 tahun) pergi diantar orang tuanya yang pegawai Pamongpraja di Banyumas, guna melanjutkan pendidikannya di Kweekschool Bandung. Jarak Banyumas - Bandung, ditempuh selang seling dengan menaiki gerobak kuda, perahu, dan terkadang harus jalan kaki, mendaki gunung dan menempuh rimba. Cuma pada penghujung perjalanan, kedua anak, ayah dan pengiringnya, menuju Bandung dengan menaiki kereta api, yang kala itu jalur relnya baru sampai Cibatu (Kabupaten Garut).

Di Bandung, Bunyamin dan Yusuf indekost pada Mohammad Daud, seorang Guru Sekolah asal Sumatera, yang memperlakukan kedua kakak-beradik itu sebagai anak sendiri. Yusuf menuntut pelajaran di Kweekschool selama empat tahun dan mendapat diploma sebagai Kandidat Guru. Sedangkan Bunyamin yang putus sekolah dari Kweekschool, kemudian meneruskan pendidikannya ke sekolah "Dokter Jawa" (STOVIA) di Batavia.

Tamat dari pendidikannya di Batavia itu, Bunyamin sebagai Dokter Jawa (Indische Arts) kemudian bertugas di Deli. Dan setelah berdinas beberapa tahun di Sumatera Timur itu, Bunyamin berhenti dari tempat kerjanya, guna memperdalam ilmu kedokteran di Amsterdam. Tahun 1908 ia kembali ke Indonesia sebagai Dokter Umum ("Arts") dan diangkat sebagai penjabat tinggi pada Dinas Kesehatan di Batavia.

Pada dasawarsa pertama Abad 20 ini, di kepulauan nusantara, terutama di Jawa, sering terjadi wabah pes, kolera, dan influenza. Tatkala wabah pes menyerang Jawa Timur, Dr. Bunyamin ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk membasminya. Selama Dr. Bunyamin melaksanakan tugas kemanusiaannya di Jawa Timur itu, sang dokter baru menyadari, betapa kurangnya peralatan, obat-obatan dan tenaga medis tak mencukupi. Juga ilmu pengetahuan kedokteran yang ia kuasai, masih belum cukup untuk menolong dan menyelamatkan rakyat Indonesia. Sehingga pada tahun 1921, Dr. Bunyamin sekali lagi pergi ke Nederland guna menambah dan memperdalam ilmu pengetahuan kedokterannya.

Namun sayang, beberapa waktu kemudian beliau meninggal dunia di Negeri Belanda. Dan pada upacara pemakamannya, Dr. Sutomo sahabat karib Bunyamin yang kemudian menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, mengucapkan pidato yang mengharukan, dan berjanji akan meneruskan perjuangan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia.

Kisah dua bersaudara Bunyamin dan Yusuf, asal Banyumas tadi, dapat menjadi ilustrasi, betapa pada akhir Abad 19 yang lalu, orang telah berduyun-duyun dari tempat jauh, guna mencari ilmu pengetahuan, bersekolah ke Kota Bandung, sebagaimana lirik lagu--Neleng neng kung, neleng neng kut. Segera dewasa, segera pergi ke Bandung!

Kota ini kemudian semakin ramai menjadi pusat pendidikan, setelah sekolah OSVIA atau "Sakola Menak" dibuka pada tahun 1879. Pendidikan ini yang nyaris seperti APDN sekarang, lulusannya ada yang menjadi mantri polisi, camat, wedana, patih, bahkan juga bisa jadi "dalem" alias bupati.

Usul H. F. Tillema, seorang ahli kesehatan dari Semarang, agar ibukota nusantara dipindahkan dari Batavia nan pengap dan panas, ke Kota Bandung di pegunungan Priangan, pada tahun 1918 mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal J. P. Graaf Van Limburg Stirum. Maka sebagai langkah awal, 13 jawatan/instansi pemerintah pusat (Gouvernement Bedrijven) antara lain Jawatan Kereta Api ("SS"), PTT, Jawatan Geologi, Jawatan Metrologi, Institut Pasteur, Kantor Kas Negara, Dana Pensiun, dan lain-lainnya, dipindahkan dari Batavia ke Bandung.

Selain sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, Bandung sejak tahun 1830 telah menjadi kota pusat perkebungan (onderneming), yang disusul pula menjadi pusat komando militer, sesaat setelah Departemen Van Oorlog ("DVO") atau Departemen Peperangan pindah dari Gambir ke Bandung.

Bandung sempat juga disebut sebagai "Het Intellectueele Centrum van Nederlandsch Indie" (Pusat Kaum Intelektual di Nusantara) semenjak diresmikannya Technische Hoogeschool ("TH"), perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia, pada tanggal 3 Juli 1920.

Seperti kita ketahui lewat "TH" itu pula, kaum pejuang intelektual kita, seperti Soekarno, Rosseno, Anwari, Djuanda, dan lain-lainnya, mulai mereka-reka kemerdekaan bangsanya.

Bandung milik siapa?

Sejak zaman dulu, penduduk Kota Bandung terdiri dari multi rasial dan multi etnis. Segala bangsa, suku bangsa pribumi, dan sub-etnis Sunda, terdapat di kota ini. Hal itu terlukiskan dalam sepucuk surat Raden H. Muhamad Sueb (Kalipah Apo) yang ditujukan kepada Hoofd Penghulu Haji Mustapa di Kotaraja Aceh, tanggal 8 Oktober 1907, antara lain dikisahkan:

Dayeuh Bandung rame-rame teuing
Koja Keling Palembang nambahan
beuki loba bangsa bae
Arab Jawa Melayu
sumawonten Cina mah leuwih
Makao sareng Kelang
Hokian mah puguh 
Asia bangsa Eropa
raos putra sapuluh tikel bihari 
sagala jenis aya.

Kalau kita periksa Peta Kota Bandung tahun 1880, maka khas kita dapati kampung atau hunian yang menunjukkan daerah asal penduduknya, seperti: Babakan Ciamis, Babakan Bogor (Kebonkawung sekarang), Babakan Sumedang, Babakan Tarogong, Babakan Garut, Babakan Priangan, Babakan Ciparay, Babakan Surabaya, dan lain-lainnya.

Malahan pada lembar peta itu pula, kita jumpai Kampung Jawa yang terletak di sekitar Jl. Jakarta sekarang. Semua itu menunjukkan, bahwa penduduk Kota Bandung di masa lalu, terdiri dari aneka bangsa dan suku dari segenap pelosok tanah air. Itu pula sebabnya, banyak kaum pejuang yang singgah di kota ini, untuk saling berjumpa, mengasah otak dan membangun semangat, guna membebaskan bangsanya dari belenggu penindasan kolonial.

Sebagaimana diketahui, tahun 1912, tiga orang "manusia bengal" (istilah pemerintah kolonial) yakni--Dr. Cipto Mangunkusumo, R. M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan E. F. E. Douwes Dekker, telah mendirikan Indische Partij. Dengan juru bicaranya: Abdul Muis dan Wignyodisastro, mereka berdua menulis dalam organ partai "De Express" artikel-artikel yang membangkitkan rasa cinta tanah air Indonesia. 

Kemudian sebuah catatan mengungkapkan, bahwa di Dewan Kota Gemeente Bandung, pada tahun 1918 tiga orang anggota dewan yang mewakili masyarakat pribumi, yakni: Dr. Sam Ratu Langi, R. Soeria Amidjaja, dan Mas Darnakusuma, berjuang mati-matian, mengkritik habis rencana Gemeente yang banyak menggunakan dana, cuma untuk membangun kawasan bangsa Eropa (Europeesche wijk) melulu. Dan melupakan fasilitas kota, yang menjadi keperluan penduduk pribumi.

Dalam keadaan kepepet, untuk mematahkan argumentasi Dr. Sam Ratu Langi yang berapi-api, seorang anggota Dewan bangsa Belanda sempat berujar: "Dr. Ratu Langie is geen Sundanees." (Dr. Ratu Langi bukan Suku Sunda.") Jadi menurut si Belanda, beliau tak pantas mewakili etnis Sunda yang menjadi penduduk Kota Bandung (Baca: Dr. J. M. Otto, "Een Minahasser in Bandoeng", 1991).

Menurut Prof. Ir. Waworuntu, mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi di Manado, pada tahun 1921 Dr. Sam Ratu Langi menjadi orang pertama yang menggunakan nama "Indonesia" pada perusahaan asuransinya di Jl. Braga--"Assurantie Maatschappij Indonesia". Hal itu sempat membuat terperangah Sukarno, sang mahasiswa TH, sehingga ia memberanikan diri menemui Dr. Sam Ratu Langi di kantornya. Sejak itu, Sukarno rajin bertemu dengan "Sang Guru"--Dr. Sam Ratu Langi.

Sayang sekali, penggal kisah kehadiran pahlawan nasional Dr. Sam Ratu Langi ini di Kota Bandung, jarang sekali diketahui oleh warga kota. Bahkan rumah tinggalnya di Jl. Malabar, juga tak dikenali lagi oleh masyarakat sekelilingnya.

Masih banyak lagi organisasi atau perkumpulan politik yang lahir di Kota Bandung, di antaranya: Cabang dari Paguyuban Pasundan yang didirikan pada tanggal 22 September 1914 di Batavia, kemudian Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan pada tanggal 4 Juli 1927 dan beberapa organisasi pergerakan lainnya.

Yang jelas, tradisi perjuangan di Kota Bandung ini, baik itu di bidang politik maupun militer, seperti pertempuran "Bandung Lautan Api" misalnya, semua berlandaskan kepentingan nasional, nusa dan bangsa. Selanjutnya pada waktu Konferensi Asia Afrika berlangsung di tahun 1955 yang lalu, maka dimensi perjuangan lebih meningkat lagi, dari level nasional menginjak tingkat internasional.

Maka dalam kaitan itulah, pembangunan dan penataan Kota Bandung dewasa ini harus lebih holistik, luas dan terpadu. Dan sejauh mungkin meninggalkan rambu-rambu pemikiran lokal yang kelewat sempit. Mengingat Kota Bandung kini juga memiliki dimensi internasional yang luas.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 25 Maret 1994



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan