Oleh M Sudaryanto SH
Kepahlawanan para pejuang kemerdekaan Indonesia yang kita kenal dengan sebutan Angkatan 45 telah banyak dituangkan dalam buku, naskah sandiwara, artikel di media cetak, direkam dalam pita film atau dalam rekaman suara untuk kemudian ditayangkan melalui media elektronika (radio, televisi, dan film). Bahkan perjuangan para pahlawan kemerdekaan tsb dapat pula kita kenang melalui diorama, patung atau monumen lainnya. Beberapa di antara pejuang kemerdekaan tsb juga telah menulis (auto) biografi yang antara lain memuat pengalaman mereka dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun bahan-bahan tsb di atas, yang dapat menjadi bukti sejarah, masih perlu dilengkapi dengan kesaksian dari pihak ketiga, yang meskipun tidak ikut berjuang, tetapi menjadi saksi hidup dari perjuangan angkatan 45. Adanya saksi hidup dari pihak ketiga ini akan lebih menjamin obyektivitas sejarah perjuangan Angkatan 45.
Nah, saya yang lahir tahun 1941, dan dengan demikian pada zaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan antara tahun 1945 sampai tahun 1950 baru berumur 4-9 tahun, bersama ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan warga negara Indonesia lainnya yang lebih kurang sebaya, adalah saksi hidup dari kepahlawanan Angkatan 45 dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam umur 4-9 tahun saya memang belum bisa ikut berjuang. Bahkan menjadi "tobang" sekalipun saya masih belum bisa. Perlu diketahui bahwa "tobang" adalah istilah yang pada waktu itu dipakai untuk pesuruh pasukan. Namun bagaimanapun, gejolak perjuangan yang terjadi serta semangat perjuangan yang dikobarkan oleh angkatan 45, bahkan semangat Asia Timur Raya yang sebelumnya dikobarkan oleh bagian propaganda bala tentara Jepang, telah ikut membakar semangat kemerdekaan pada diri saya (dan pasti juga banyak di antara teman-teman sebaya saya). Semua itu tertanam di lubuk hati lewat lagu atau slogan yang tiap hari saya dengar dan karena itu ikut saya nyanyikan dan ucapkan juga. Tetapi semua itu sebatas daya tangkap anak berumur 4-9 tahun. Dengan demikian lagu yang dapat terekam dalam ingatan hanya sepenggal-sepenggal saja, itu pun besar kemugkinan lafalnya salah. Mau bukti? "Jepang Indonesia sama-sama." Itu adalah slogan yang tiap hari didengung-dengungkan oleh bala tentara Jepang. Beberapa istilah dalam bahasa Jepang yang dulu sering saya ucapkan antara lain: "Dai Nippon Banzai", "bakero", dan "amaterasu". Tetapi jangan ditanyakan apa artinya. Saya tidak tahu.
Meskipun hanya sepenggal-sepenggal dan kemungkinan besar lafalnya salah, saya juga mengenal lagu-lagu Jepang, lengkap dengan pelesetannya dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Beberapa di antaranya liriknya berbunyi sbb: "Bandano sakura kae ina iro ...", dan pelesetannya dalam bahasa Jawa sbb: "dandan awan-awan pupuranne mera-mero, mi re mi re jangan pare enak dhewe". Lagu Jepang lain yang dulu sering saya nyanyikan tercampur dengan pelesetannya dalam bahasa Jawa berbunyi demikian: "siraho siraho krowak, semangat banteng, srutu momotaro, Gurka Nika dipentheng, Londo krocok bendo".
Ada lagi satu lagu yang saya tidak tahu persis apakah peninggalan penjajahan Jepang atau lahir dalam masa perjuangan kemerdekaan. Soalnya saya hanya hafal liriknya dalam bahasa Indonesia saja. Demikian bunyinya: "Inggris kita linggis, Amerika kita seterika, Belanda juga."
Mungkin sampai tahun 1947-an lagu-lagu tsb masih sering saya nyanyikan, namun sedikit demi sedikit lagu-lagu Jepang tsb tergeser oleh lagu-lagu perjuangan yang kemudian muncul. Dimulai dengan Indonesia Raya, yang disusul dengan Sepasang Mata Bola, Bandung Selatan di Waktu Malam, Jembatan Merah, Hallo-Hallo Bandung dll.
Sebuah lagu dalam bahasa Jawa mengenai perjuangan Tentara Pelajar yang saya ingat liriknya berbunyi demikian: "Kue sempe saksen loro nganggo lotre, bocah cilik podho ngetutake, awit mas TP sing nggantheng dhewe. Ala kue sempe saksen nganggo lotre, ala mas TP, mas TP sing gagah dhewe" (Kue sempe satu sen dapat dua ditambah lotre, anak-anak kecil mengikuti, karena mas TP yang paling gagah).
Slogan-slogan perjuangan yang diciptakan oleh Angkatan 45 lebih-lebih lagi membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan saya. "Merdeka atau mati", "Go to hell with Nica", "Mati satu tumbuh seribu", dll, adalah slogan yang dapat dijumpai di mana-mana. Di jalan-jalan, dinding-dinding gedung, jembatan atau di pohon-pohon besar, coretan dari slogan-slogan tsb dapat dijumpai. Hal itu ditambah lagi dengan politik bumi hangus yang dilakukan oleh para pejuang dengan cara membakar gedung-gedung dengan maksud agar tidak bisa dipakai oleh pasukan Belanda.
Meskipun saya tidak ikut berjuang, tetapi suara letusan senjata sudah merupakan menu sehari-hari, baik senjata api ringan maupun berat. Tidak berlebih-lebihan kalau saya katakan bahwa tiada hari tanpa letusan senjata. Oleh karena itu saya mengenal beberapa nama senjata, antara lain pistol, bedil, bren, tekidanto, dua belas koma tujuh, mortir, kanon, meriam, men dll. Bedil yang dimiliki oleh para pejuang waktu itu belum merupakan senapan otomatis seperti AK 47 atau M 16 yang ada sekarang, yang dapat memuntahkan ratusan peluru tiap menit. Pada waktu itu setelah sekali ditembakkan, senapan harus dikokang dan dimasukkan peluru baru untuk penembakan berikutnya. Seperti senapan angin anak-anak sekarang lah.
Tekidanto adalah senjata yang kalau ditembakkan akan didahului dengan suara "tek" dan beberapa saat kemudian diikuti dengan suara "dung". Oleh karena itu senjata ini dikenal juga dengan nama senjata "tekdung".
Ada lagi senjata berat yang kalau ditembakkan akan didahului bunyi "Ziiing" yang panjang, yang disusul dengan bunyi menggelegar yang dahsyat. Tetapi terus terang saya tidak tahu apakah itu suara mortir, kanon, atau meriam.
Men adalah istilah yang diambil dari bahasa Belanda "mijn", yang sebetulnya adalah dinamit yang dipakai oleh para pejuang untuk meledakkan jembatan-jembatan dalam upaya untuk menghambat gerak maju pasukan Belanda.
Meskipun dalam suasana perang, tetapi mekanisme pemerintahan Republik Indonesia berjalan dengan baik. Pamong praja melaksanakan tugasnya dengan baik. Tingkatan kekuasaan kepamongprajaan pada waktu itu sendiri dari Kelurahan, Kecamatan, Kawedanan, Kabupaten, Karesidenan, Provinsi, dan Pusat.
Dunia pendidikan berjalan juga, meskipun dengan tingkat dan jumlah yang terbatas. Di ibukota Kabupaten Boyolali tempat saya tinggal dan dibesarkan, pada waktu itu baru ada dua buah Sekolah Rakyat (sekarang SD) dan sebuah SMP. SMA belum ada. Pada tahun 1946, dalam umur 5 tahun, saya mulai sekolah kelas satu di SR II Kota Boyolali.
Tahun 1948, pada waktu penjajah Belanda melakukan agresinya yang kedua ke wilayah Republik Indonesia, Kota Boyolali diduduki oleh tentara Belanda. Oleh karena itu saya terpaksa mengikuti orang tua yang mengungsi ke sebuah desa kecil yang bernama "Garat". Di tempat pengungsian di Desa Garat ini saya masih bisa melanjutkan sekolah, meskipun tiap hari harus berjalan kaki lebih kurang 3-4 km, karena sekolahnya terletak di desa lain. Di Desa Garat ini saya juga menyaksikan dilangsungkannya sidang pengadilan kilat yang diadakan di pedopo kelurahan, yang mengadili kasus penganiayaan ringan yang terjadi karena berebut air sawah. Uang yang beredar waktu itu adalah Oeang Repoeblik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatannya uang ORI. Uang tsb dicetak secara kasar di atas kertas payung atau kertas warna cokelat yang sekarang masih banyak dipakai untuk sampul atau pembungkus kado dll. Bagaimanapun rakyat menerimanya sebagai alat pembayaran yang sah.
Itu semua menunjukkan bahwa dalam agresinya yang kedua tsb Belanda hanya bisa menguasai wilayah RI yang sempit saja, yaitu wilayah perkotaan, sedangkan wilayah lain yang lebih luas, yaitu wilayah di luar kota masih tetap dikuasai dan dalam kontrol sepenuhnya dari pemerintah RI yang mekanismenya masih berjalan dengan baik.
Di pinggir Desa Garat juga pernah terjadi pertempuran antara para pejuang dengan tentara Belanda. Agaknya pasukan pejuang harus mengakui keunggulan tentara Belanda waktu itu. Setelah pertempuran berhenti, penduduk menemukan 8 mayat pejuang yang gugur dalam pertempuran tsb dan tidak sempat dibawa mundur oleh kawan-kawannya. Penduduk memakamkan jenazah para pahlawan tsb di pemakaman Desa Garat. Saya dengar jenazah kedelapan pahlawan yang gugur dalam pertempuran di tepi Desa Garat tsb sekarang sudah dipindahkan ke makam pahlawan. Dari kondisi mayat-mayat tsb terlihat bagaimana kejamnya tentara Belanda. Ada mayat yang dibenamkan dalam lumpur sawah, dan beberapa mayat lain dalam keadaan rusak bekas pukulan popor bedil atau tusukan sangkur.
Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949 yang disusul dengan dibentuknya negara Republik Indonesia Serikat, maka saya mengikuti orang tua kembali ke Kota Boyolali, dan saya meneruskan sekolah. Pada waktu itu ada dua macam sekolah, yaitu Sekolah Republik dan Sekolah Federal. Mengingat terbatasnya gedung sekolah, maka kedua sekolah tsb diselenggarakan di gedung yang sama. Sekolah federal diselenggarakan pagi hari dan sekolah republik siang hari.
Harus diakui bahwa perlengkapan sekolah federal lebih baik dari sekolah republik. Namun ternyata, semangat kemerdekaan yang sudah tertanam di hati anak-anak pada waktu itu membawa dampak di mana anak-anak lebih memilih sekolah republik dibanding sekolah federal. Menurut pendapat saya, dan juga kebanyakan anak-anak lain, sekolah federal masih ada sangkut pautnya dengan penjajah Belanda. Akibatnya sekolah-sekolah federal waktu itu jauh lebih sedikit muridnya dibanding sekolah-sekolah republik.
Demikianlah sekelumit kesaksian saya terhadap kepahlawanan perjuangan Angkatan 45. Kesaksian serupa dengan ilustrasi yang lain dapat juga diberikan oleh rekan-rekan sebangsa yang umurnya sebaya atau hampir sebaya dengan umur saya. Kita tunggu saja. ***
Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar