Langsung ke konten utama

Arsitektur Mesjid Indonesia, Sejarahnya Panjang


Menurut catatan sejarah, mesjid yang pertama kali didirikan di dunia adalah mesjid Quba di tanah Arab. Didirikan pada tahun 622 M. Sebelum mendapat banyak perubahan dan perbaikan pada tahun-tahun berikutnya, bentuk awalnya masih sangat sederhana, cukup sekedar untuk bersujud dan terlindung dari teriknya matahari. Di sekelilingnya didirikan pagar tembok dari bata yang diplester dengan tanah liat. Denahnya persegi empat di mana pada bagian utara terdapat mihrab yang diberi atap dari pelepah korma.

Uniknya, saat itu mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) diarahkan ke sebelah utara di mana kota Yerusalem (kota suci) terletak. Baru setelah Masjidil Haram di Mekkah didirikan, arah mihrab tersebut diubah menjadi ke sebelah selatan di mana Ka'bah terletak (kini, semua mesjid yang ada di dunia diorientasikan ke arah Ka'bah/Kiblat). Ruangan tengahnya beratapkan pelepah korma, ada ruangan terbuka yang disebut sahn dan sumur tempat mengambil air wudhlu. Mesjid Quba--yang kemudian terkenal dengan nama mesjid Medinah--didirikan pada saat Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, akibat dikejar-kejar oleh suku Quraisy yang masih menyembah berhala.

Sang waktu pun terus bergulir. Kini, entah sudah berapa jumlah mesjid yang ada di dunia ini. Mesjid merupakan bangunan yang mutlak didirikan di mana pun masyarakat muslim berada. Demikian pula halnya dengan di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Lantas pertanyaannya kini, bagaimanakah sejarah arsitektur bangunan mesjid di Indonesia? Dan berasal dari mana? Ada yang mengatakan bahwa bangunan mesjid di Indonesia berasal dari bangunan gelanggang untuk menyabung ayam. Benarkah? Cukup menarik untuk kita singkap.

Gelanggang

Adalah DR WF Stutterheim (seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda) yang melontarkan pendapat bahwa bentuk bangunan mesjid di Indonesia diambil dasarnya dari bentuk bangunan gelanggang untuk menyabung ayam yang di Bali dikenal dengan sebutan wantilan. Pada dasarnya, bangunan ini merupakan suatu bangunan yang mempunyai denah persegi empat dan beratap, namun tanpa dinding di sisi-sisinya.

Sebagai ahli purbakala yang juga dikenal sebagai peneliti candi di Indonesia, Stutterheim berusaha mencari dan membuktikan bahwa bentuk bangunan mesjid di Indonesia merupakan arsitektur asli Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul De Islam en Zijn Komst in den Archipel yang terbit tahun 1935, ia mengatakan bahwa arsitektur pra-Islam berpengaruh besar terhadap bentuk bangunan mesjid di Indonesia. Sebagai salah satu contohnya, ia kemudian menunjuk menara mesjid Kudus (1685 M) di Jawa Tengah yang jelas memperlihatkan bentuk arsitektur Indonesia sebelum Islam.

Dalam bukunya itu, Stutterheim selanjutnya mengemukakan alasan mengapa bangunan candi--yang juga berdenah persegi empat--tidak dijadikan dasar bentuk mesjid kuno di Indonesia. Menurutnya bahwa meskipun sama-sama berdenah persegi empat, namun candi hanya memiliki ruangan yang berukuran kecil. Hal ini tidak sesuai dengan bangunan mesjid yang membutuhkan ruangan besar untuk melakukan shalat bersama.

Rupanya, kebutuhan akan bentuk bangunan demikian (berukuran besar) dipenuhi bentuk dasarnya pada bangunan gelanggang menyabung ayam. Lebih jauh Stutterheim mengatakan bahwa apabila setiap sisi bangunan gelanggang menyabung ayam ini ditutup dengan dinding, maka akan tampak bangunan mesjid dalam bentuk yang sederhana setelah di sisi barat ditambah dengan bagian mihrab.

Pendapat bahwa asal-usul bangunan mesjid di Indonesia berasal dari bangunan gelanggang untuk menyabung ayam seperti dikemukakan di atas, disanggah oleh seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda lainnya, DR HJ de Graaf. Dalam artikelnya yang berjudul "De Oorsprong der Javanese Moskee" dan dimuat dalam Indonesie I (1947-1948), Graaf menyatakan tiga keberatan atas teorinya DR WF Stutterheim.

Pertama, bahwa bangunan gelanggang untuk menyabung ayam adalah tempat berjudi. Karenanya, tidak mungkin apabila kemudian orang-orang Islam di Indonesia memilih bangunan yang bersifat keji ini menjadi sebuah mesjid. Kedua, bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam (yang banyak ditemukan di Bali dan yang dijadikan acuan oleh Stutterheim), tidak memiliki atap yang bertingkat, tidak seperti halnya bangunan mesjid kuno di Indonesia yang memiliki atap bertingkat. Ketiga, bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam ini hanya terdapat di Bali dan Jawa saja. Bagaimana mungkin bila kenyataan ini dapat mempengaruhi bentuk seluruh mesjid yang tersebar di Indonesia.

Sementara itu, DR HJ de Graaf sendiri mengemukakan pendapat bahwa arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari India (Gujarat, Malabar, dan Kashmir). Mesjid-mesjid di India--khususnya mesjid-mesjid kuno di Malabar--memiliki bentuk atap yang bertingkat di mana salah satu tingkatannya dipergunakan untuk pendalaman pengetahuan agama Islam bagi anak-anak. Hal ini serupa benar dengan sebuah mesjid kuno yang terdapat di Taluk, Sumatra Barat yang juga memiliki atap bertingkat dan salah satu tingkatannya dipergunakan untuk pengajaran agama Islam. 

Selain atap bertingkat, mesjid kuno di Taluk, Sumatra Barat, yang didirikan sekitar abad 17 M ini, juga dikelilingi oleh parit yang berisi air untuk berwudhlu. Mesjid dengan atap bertingkat dan dikelilingi oleh parit ini, selain di Sumatra, ditemukan pula hampir di seluruh Indonesia.

Pandapa

Sanggah menyanggah antar para ahli tentang teori asal usul mesjid di Indonesia--dengan sejumlah buku yang disodorkannya--makin seru, manakala pada tahun 1966 muncul sebuah tulisan buah karya sarjana berkebangsaan Indonesia, Dr Sutjipto Wirjosaputro. Dalam tulisannya yang berjudul "Sejarah Pertumbuhan Bangunan Mesjid Indonesia" dan dimuat dalam majalah Fajar No 21 Tahun III 1966, ia mengatakan bahwa bentuk dasar dari bangunan mesjid di Indonesia, tidak usah dicari di luar Indonesia, tetapi dapat dilihat pada relief-relief yang terpahat pada candi-candi di Indonesia.

Dalam tulisannya ini pula, ia menyatakan keberatan atas teorinya HJ de Graaf yang memperbandingkan antara mesjid di Indonesia dengan mesjid di Malabar. Menurutnya, meski sama-sama memiliki atap yang bertingkat, namun terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara bangunan mesjid di dua tempat itu. Untuk itu, Soetjipto mengajukan dua keberatan atas teorinya de Graaf. Pertama, apabila bangunan mesjid-mesjid di Indonesia memiliki denah yang persegi, maka denah bangunan mesjid-mesjid di Malabar memiliki bentuk yang persegi panjang. Kedua, apabila mesjid di Taluk Sumatra Barat memiliki parit yang berisi air untuk berwudhlu, maka mesjid di Malabar tidak memilikinya. Dalam mencari bukti untuk memperkuat teorinya, tampaknya Dr HJ de Graaf sendiri tidak menyaksikannya langsung ke Malabar. Ia hanya membaca laporan seorang Belanda yang mengunjungi India pada abad ke-16 M, Jan Huygens van Linschoten.

Sebetulnya, Sutjipto sendiri lebih cenderung untuk sependapat dengan Dr. WF Stutterheim yang menyatakan bahwa bentuk dasar arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari Indonesia asli. Namun, bila Stutterheim berpendapat bahwa bentuk dasar arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari bangunan gelanggang untuk menyabung ayam yang banyak ditemukan di Bali, maka Sutjipto Wirjosaputro berpendapat bahwa bentuk dasar arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari bentuk rumah Jawa yang disebut pandapa, yaitu suatu bangunan yang berdenah persegi empat dan tak berdinding/suatu ruangan terbuka untuk menerima tamu. Menurutnya, apabila bangunan pendapa ini diberi tembok atau dinding, diarahkan ke Kiblat dan diberi Mihrab, maka akan terbentuk suatu bangunan mesjid.

Mengenai atap yang bertingkat, Sutjipto kemudian menunjuk rumah Jawa yang disebut joglo. Bentuk atap rumah joglo ini lah yang merupakan cikal bakal atap bertingkat (atap tumpang) dari bangunan mesjid. Selanjutnya, Sutjipto mengatakan bahwa alasan dibuatnya atap bertingkat pada bangunan mesjid, lebih bersifat teknis arsitektural. Yaitu untuk mengimbangi ukuran yang serba besar, seperti diperlihatkan oleh Mesjid Agung Banten, Mesjid Agung Yogyakarta, Mesjid Agung Surakarta, dan sebagainya.

Selain itu, bangunan yang memiliki atap bertingkat ini banyak dijumpai pada relief-relief candi di Jawa. Sebagai bukti, ia kemudian menyodorkan relief-relief bangunan bertingkat yang dipahatkan di candi Jawi, Jawa Timur. Begitu pula dengan bangunan-bangunan suci di Bali yang juga memiliki atap bertingkat. Dengan demikian, lanjut Sutjipto, atap mesjid yang bertingkat itu tumbuh berdasarkan atas prototipe atap bangunan Indonesia dan tidak ditiru dari India seperti yang dikemukakan oleh Dr HJ dr Graaf.

Sutjipto sendiri mengakui bahwa istilah pendapa berasal dari bahasa Sansekerta "mandapa" yaitu suatu bagian dari bangunan suci di India. Meskipun bangunan mandapa ini ditiru oleh orang-orang Indonesia sebelum agama Islam meruyak di negeri ini, namun bentuknya telah diadaptasikan sesuai dengan kebutuhan perumahan di Indonesia, khususnya Jawa (didirikan langsung di atas tanah. Dengan demikian bentuk bangunan ini telah mengganti bangunan asli Indonesia yang didirikan di atas tiang/panggung, penulis). Di akhir tulisannya, Sutjipto Wirjosaputro mengatakan bahwa apabila terdapat persamaan antara bentuk mesjid di Indonesia (Gujarat, Malabar, dan Kashmir), itu lebih disebabkan adanya pertumbuhan yang sejajar dan persamaan ini berdasarkan atas akar yang sama yaitu bentuk bangunan mandapa dari kesenian Hindu di India.

Seorang sarjana Indonesia lainnya yang tidak sependapat dengan teorinya Dr HJ de Graaf adalah Irmawati M Johan. Dalam artikelnya yang berjudul "Mengapa Bentuk Mesjid Kuno di Indonesia Tidak Sama dengan Bentuk Mesjid Kuno di India?" dan dimuat dalam Monumen (1990), ia mengatakan bahwa terdapat perbedaan dalam hal bahan yang dipergunakan untuk mendirikan bangunan mesjid-mesjid kuno di Indonesia dengan mesjid-mesjid kuno di India. Pada masa yang sama (abad 16 M), bila bangunan mesjid-mesjid di Indonesia masih mempergunakan kayu sebagai bahan dasarnya dan memiliki arsitektur yang sangat sederhana, maka bangunan mesjid di India telah mencapai puncak keemasannya, yaitu terbuat dari batu dan arsitekturnya sangat indah.

Arsitektur mesjid di India (yang mulai dikenal pada abad 12 M dan berkembang pesat pada abad 13 M) banyak mendapat pengaruh dari Baghdad, Afghanistan, Turki, dan Persia. Atap mesjid ditutup dengan kubah dan bangunannya memiliki banyak pilar dan lengkungan, sehingga dapat tercipta ruang yang besar. Pada bagian penutup dari tulisannya, Irmawati mengatakan bahwa meskipun agama Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (mengenai hal ini pernah penulis kemukakan di harian ini dengan judul "Sejarah Islamisasi di Indonesia", Suara Karya edisi 9-12 Maret 1993), namun tidak ada bangunan mesjid kuno di Indonesia yang mengikuti gaya mesjid-mesjid di Gujarat.

Mesjid Jami'

Sebenarnya, keberatan/sanggahan atas teorinya HJ de Graaf telah dikemukakan oleh GF Pijper pada tahun 1947. Dalam artikelnya yang berjudul "The Minaret in Java" dan dimuat dalam India Antiqua, Pijper mengatakan bahwa bentuk mesjid-mesjid kuno di Indonesia tidak memperlihatkan bentuk arsitektural asing tetapi merupakan tradisi asli Indonesia. Sedangkan tanggapannya mengenai bentuk atap yang bertingkat, Pijper berpendapat bahwa hal ini mungkin bisa dihubungkan dengan konsep gunung Meru, yaitu suatu pandangan kosmis yang telah dikenal oleh orang-orang Indonesia pra-Islam.

Seperti halnya Dr WF Stutterheim yang menelusuri ornamen-ornamen bangunan mesjid kuno di Indonesia dari arsitektur candi (pra-Islam) di Indonesia, GF Pijper pun melakukan hal yang serupa. Masih dalam tulisannya yang sama, selain atap bertingkat yang telah dikemukakan di atas. Pijper kemudian melihat bentuk fondasi yang masif serta tinggi pada bangunan mesjid kuno di Indonesia. Menurutnya, fondasi yang demikian, merupakan bentuk yang tetap dipertahankan dari kaki candi yang juga masid dan tinggi. Selanjutnya, Pijper menguraikan ciri-ciri mesjid kuno di Indonesia, antara lain; denahnya berbentuk persegi empat (seperti denah candi), fondasinya masif, atapnya berbentuk atap tumpang seperti meru, dan seterusnya.

Dalam tulisannya yang lain, G. F. Pijper (Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950/terjemahan, 1984) dan C. Snouck Hurgronje (Islamisasi di Hindia Belanda/terjemahan, 1973) memberikan gambaran bahwa mesjid kuno di Indonesia terdiri dari sebuah bangunan induk dengan sebuah serambi. Pada dinding sebelah barat terdapat sebuah mihrab yang letaknya berhadapan dengan pintu masuk. Di samping mihrab, biasanya terdapat sebuah mimbar, yaitu tempat khatib menyampaikan khotbah pada setiap hari Jumat. Atap mesjid bertingkat yang terdiri dari 2 sampai 5 tingkat dan ujung atap berbentuk runcing. Pada beberapa mesjid yang besar terdapat menara. Di halaman mesjid terdapat emperan untuk menempatkan bedug dan kolam.

Sementara itu, JH Kramers dalam tulisannya yang berjudul Over de Kunst van de Islam mengatakan bahwa banyak mesjid di Jawa yang terbuat dari sebuah perumahan kayu dengan serambi di bagian depannya, tidak memiliki lapangan dan sebagai corak tertentu memiliki atap yang bertingkat. Selain itu, jarang dijumpai adanya menara dan hal yang cukup menarik adalah bahwa mesjid-mesjid Jami' (agung) umumnya terletak di sebelah barat alun-alun.

Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, mesjid Jami' (agung) merupakan unsur yang mutlak ada di suatu kota. Ia merupakan salah satu bagian terpenting dari suatu tata kota. Komponen-komponen kota terpola menjadi keraton, mesjid, pasar, dan alun-alun. Umumnya, mesjid Jami' terletak di sebelah barat, keraton di sebelah timur, alun-alun di tengah, sedangkan di arah utara dan selatan terdapat pasar. Ini merupakan pola tata kota umum yang hampir dijumpai di seluruh kota di Indonesia pada masa lalu dan bahkan di banyak tempat, pola tata kota serupa ini masih bertahan hingga sekarang.

Terlepas dari perdebatan para ahli tentang asal-usul arsitektur mesjid di Indonesia, yang terang bahwa mesjid--yang kini banyak terdapat di sekitar kita--telah hadir sebagai karya arsitektur yang melengkapi khasanah budaya bangsa kita. Namun permasalahannya kini, mengapa para pendahulu kita tidak mempergunakan batu sebagai bahan untuk mendirikan bangunan mesjid? Padahal, teknologi mendirikan bangunan (keagamaan) dengan mempergunakan bahan batu telah dikenal pada masa sebelumnya (candi).

Apakah perbedaan bahan ini disebabkan adanya perbedaan agama (Hindu-Buddha dan Islam). Dengan kata lain, permasalahan terakhir ini menjurus ke pertanyaan: Bagaimanakah konsep pemahaman masyarakat muslim di Indonesia (terutama pada masa lalu) dalam memandang bangunan suci keagamaan yang terbuat dari batu? Kita tunggu penelitian dari para ahli. (Hasanuddin).

 

Sumber: Suara Karya, 9 Maret 1994 

 

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan