Langsung ke konten utama

Arsitektur Mesjid Indonesia, Sejarahnya Panjang


Menurut catatan sejarah, mesjid yang pertama kali didirikan di dunia adalah mesjid Quba di tanah Arab. Didirikan pada tahun 622 M. Sebelum mendapat banyak perubahan dan perbaikan pada tahun-tahun berikutnya, bentuk awalnya masih sangat sederhana, cukup sekedar untuk bersujud dan terlindung dari teriknya matahari. Di sekelilingnya didirikan pagar tembok dari bata yang diplester dengan tanah liat. Denahnya persegi empat di mana pada bagian utara terdapat mihrab yang diberi atap dari pelepah korma.

Uniknya, saat itu mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) diarahkan ke sebelah utara di mana kota Yerusalem (kota suci) terletak. Baru setelah Masjidil Haram di Mekkah didirikan, arah mihrab tersebut diubah menjadi ke sebelah selatan di mana Ka'bah terletak (kini, semua mesjid yang ada di dunia diorientasikan ke arah Ka'bah/Kiblat). Ruangan tengahnya beratapkan pelepah korma, ada ruangan terbuka yang disebut sahn dan sumur tempat mengambil air wudhlu. Mesjid Quba--yang kemudian terkenal dengan nama mesjid Medinah--didirikan pada saat Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, akibat dikejar-kejar oleh suku Quraisy yang masih menyembah berhala.

Sang waktu pun terus bergulir. Kini, entah sudah berapa jumlah mesjid yang ada di dunia ini. Mesjid merupakan bangunan yang mutlak didirikan di mana pun masyarakat muslim berada. Demikian pula halnya dengan di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Lantas pertanyaannya kini, bagaimanakah sejarah arsitektur bangunan mesjid di Indonesia? Dan berasal dari mana? Ada yang mengatakan bahwa bangunan mesjid di Indonesia berasal dari bangunan gelanggang untuk menyabung ayam. Benarkah? Cukup menarik untuk kita singkap.

Gelanggang

Adalah DR WF Stutterheim (seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda) yang melontarkan pendapat bahwa bentuk bangunan mesjid di Indonesia diambil dasarnya dari bentuk bangunan gelanggang untuk menyabung ayam yang di Bali dikenal dengan sebutan wantilan. Pada dasarnya, bangunan ini merupakan suatu bangunan yang mempunyai denah persegi empat dan beratap, namun tanpa dinding di sisi-sisinya.

Sebagai ahli purbakala yang juga dikenal sebagai peneliti candi di Indonesia, Stutterheim berusaha mencari dan membuktikan bahwa bentuk bangunan mesjid di Indonesia merupakan arsitektur asli Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul De Islam en Zijn Komst in den Archipel yang terbit tahun 1935, ia mengatakan bahwa arsitektur pra-Islam berpengaruh besar terhadap bentuk bangunan mesjid di Indonesia. Sebagai salah satu contohnya, ia kemudian menunjuk menara mesjid Kudus (1685 M) di Jawa Tengah yang jelas memperlihatkan bentuk arsitektur Indonesia sebelum Islam.

Dalam bukunya itu, Stutterheim selanjutnya mengemukakan alasan mengapa bangunan candi--yang juga berdenah persegi empat--tidak dijadikan dasar bentuk mesjid kuno di Indonesia. Menurutnya bahwa meskipun sama-sama berdenah persegi empat, namun candi hanya memiliki ruangan yang berukuran kecil. Hal ini tidak sesuai dengan bangunan mesjid yang membutuhkan ruangan besar untuk melakukan shalat bersama.

Rupanya, kebutuhan akan bentuk bangunan demikian (berukuran besar) dipenuhi bentuk dasarnya pada bangunan gelanggang menyabung ayam. Lebih jauh Stutterheim mengatakan bahwa apabila setiap sisi bangunan gelanggang menyabung ayam ini ditutup dengan dinding, maka akan tampak bangunan mesjid dalam bentuk yang sederhana setelah di sisi barat ditambah dengan bagian mihrab.

Pendapat bahwa asal-usul bangunan mesjid di Indonesia berasal dari bangunan gelanggang untuk menyabung ayam seperti dikemukakan di atas, disanggah oleh seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda lainnya, DR HJ de Graaf. Dalam artikelnya yang berjudul "De Oorsprong der Javanese Moskee" dan dimuat dalam Indonesie I (1947-1948), Graaf menyatakan tiga keberatan atas teorinya DR WF Stutterheim.

Pertama, bahwa bangunan gelanggang untuk menyabung ayam adalah tempat berjudi. Karenanya, tidak mungkin apabila kemudian orang-orang Islam di Indonesia memilih bangunan yang bersifat keji ini menjadi sebuah mesjid. Kedua, bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam (yang banyak ditemukan di Bali dan yang dijadikan acuan oleh Stutterheim), tidak memiliki atap yang bertingkat, tidak seperti halnya bangunan mesjid kuno di Indonesia yang memiliki atap bertingkat. Ketiga, bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam ini hanya terdapat di Bali dan Jawa saja. Bagaimana mungkin bila kenyataan ini dapat mempengaruhi bentuk seluruh mesjid yang tersebar di Indonesia.

Sementara itu, DR HJ de Graaf sendiri mengemukakan pendapat bahwa arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari India (Gujarat, Malabar, dan Kashmir). Mesjid-mesjid di India--khususnya mesjid-mesjid kuno di Malabar--memiliki bentuk atap yang bertingkat di mana salah satu tingkatannya dipergunakan untuk pendalaman pengetahuan agama Islam bagi anak-anak. Hal ini serupa benar dengan sebuah mesjid kuno yang terdapat di Taluk, Sumatra Barat yang juga memiliki atap bertingkat dan salah satu tingkatannya dipergunakan untuk pengajaran agama Islam. 

Selain atap bertingkat, mesjid kuno di Taluk, Sumatra Barat, yang didirikan sekitar abad 17 M ini, juga dikelilingi oleh parit yang berisi air untuk berwudhlu. Mesjid dengan atap bertingkat dan dikelilingi oleh parit ini, selain di Sumatra, ditemukan pula hampir di seluruh Indonesia.

Pandapa

Sanggah menyanggah antar para ahli tentang teori asal usul mesjid di Indonesia--dengan sejumlah buku yang disodorkannya--makin seru, manakala pada tahun 1966 muncul sebuah tulisan buah karya sarjana berkebangsaan Indonesia, Dr Sutjipto Wirjosaputro. Dalam tulisannya yang berjudul "Sejarah Pertumbuhan Bangunan Mesjid Indonesia" dan dimuat dalam majalah Fajar No 21 Tahun III 1966, ia mengatakan bahwa bentuk dasar dari bangunan mesjid di Indonesia, tidak usah dicari di luar Indonesia, tetapi dapat dilihat pada relief-relief yang terpahat pada candi-candi di Indonesia.

Dalam tulisannya ini pula, ia menyatakan keberatan atas teorinya HJ de Graaf yang memperbandingkan antara mesjid di Indonesia dengan mesjid di Malabar. Menurutnya, meski sama-sama memiliki atap yang bertingkat, namun terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara bangunan mesjid di dua tempat itu. Untuk itu, Soetjipto mengajukan dua keberatan atas teorinya de Graaf. Pertama, apabila bangunan mesjid-mesjid di Indonesia memiliki denah yang persegi, maka denah bangunan mesjid-mesjid di Malabar memiliki bentuk yang persegi panjang. Kedua, apabila mesjid di Taluk Sumatra Barat memiliki parit yang berisi air untuk berwudhlu, maka mesjid di Malabar tidak memilikinya. Dalam mencari bukti untuk memperkuat teorinya, tampaknya Dr HJ de Graaf sendiri tidak menyaksikannya langsung ke Malabar. Ia hanya membaca laporan seorang Belanda yang mengunjungi India pada abad ke-16 M, Jan Huygens van Linschoten.

Sebetulnya, Sutjipto sendiri lebih cenderung untuk sependapat dengan Dr. WF Stutterheim yang menyatakan bahwa bentuk dasar arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari Indonesia asli. Namun, bila Stutterheim berpendapat bahwa bentuk dasar arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari bangunan gelanggang untuk menyabung ayam yang banyak ditemukan di Bali, maka Sutjipto Wirjosaputro berpendapat bahwa bentuk dasar arsitektur mesjid di Indonesia berasal dari bentuk rumah Jawa yang disebut pandapa, yaitu suatu bangunan yang berdenah persegi empat dan tak berdinding/suatu ruangan terbuka untuk menerima tamu. Menurutnya, apabila bangunan pendapa ini diberi tembok atau dinding, diarahkan ke Kiblat dan diberi Mihrab, maka akan terbentuk suatu bangunan mesjid.

Mengenai atap yang bertingkat, Sutjipto kemudian menunjuk rumah Jawa yang disebut joglo. Bentuk atap rumah joglo ini lah yang merupakan cikal bakal atap bertingkat (atap tumpang) dari bangunan mesjid. Selanjutnya, Sutjipto mengatakan bahwa alasan dibuatnya atap bertingkat pada bangunan mesjid, lebih bersifat teknis arsitektural. Yaitu untuk mengimbangi ukuran yang serba besar, seperti diperlihatkan oleh Mesjid Agung Banten, Mesjid Agung Yogyakarta, Mesjid Agung Surakarta, dan sebagainya.

Selain itu, bangunan yang memiliki atap bertingkat ini banyak dijumpai pada relief-relief candi di Jawa. Sebagai bukti, ia kemudian menyodorkan relief-relief bangunan bertingkat yang dipahatkan di candi Jawi, Jawa Timur. Begitu pula dengan bangunan-bangunan suci di Bali yang juga memiliki atap bertingkat. Dengan demikian, lanjut Sutjipto, atap mesjid yang bertingkat itu tumbuh berdasarkan atas prototipe atap bangunan Indonesia dan tidak ditiru dari India seperti yang dikemukakan oleh Dr HJ dr Graaf.

Sutjipto sendiri mengakui bahwa istilah pendapa berasal dari bahasa Sansekerta "mandapa" yaitu suatu bagian dari bangunan suci di India. Meskipun bangunan mandapa ini ditiru oleh orang-orang Indonesia sebelum agama Islam meruyak di negeri ini, namun bentuknya telah diadaptasikan sesuai dengan kebutuhan perumahan di Indonesia, khususnya Jawa (didirikan langsung di atas tanah. Dengan demikian bentuk bangunan ini telah mengganti bangunan asli Indonesia yang didirikan di atas tiang/panggung, penulis). Di akhir tulisannya, Sutjipto Wirjosaputro mengatakan bahwa apabila terdapat persamaan antara bentuk mesjid di Indonesia (Gujarat, Malabar, dan Kashmir), itu lebih disebabkan adanya pertumbuhan yang sejajar dan persamaan ini berdasarkan atas akar yang sama yaitu bentuk bangunan mandapa dari kesenian Hindu di India.

Seorang sarjana Indonesia lainnya yang tidak sependapat dengan teorinya Dr HJ de Graaf adalah Irmawati M Johan. Dalam artikelnya yang berjudul "Mengapa Bentuk Mesjid Kuno di Indonesia Tidak Sama dengan Bentuk Mesjid Kuno di India?" dan dimuat dalam Monumen (1990), ia mengatakan bahwa terdapat perbedaan dalam hal bahan yang dipergunakan untuk mendirikan bangunan mesjid-mesjid kuno di Indonesia dengan mesjid-mesjid kuno di India. Pada masa yang sama (abad 16 M), bila bangunan mesjid-mesjid di Indonesia masih mempergunakan kayu sebagai bahan dasarnya dan memiliki arsitektur yang sangat sederhana, maka bangunan mesjid di India telah mencapai puncak keemasannya, yaitu terbuat dari batu dan arsitekturnya sangat indah.

Arsitektur mesjid di India (yang mulai dikenal pada abad 12 M dan berkembang pesat pada abad 13 M) banyak mendapat pengaruh dari Baghdad, Afghanistan, Turki, dan Persia. Atap mesjid ditutup dengan kubah dan bangunannya memiliki banyak pilar dan lengkungan, sehingga dapat tercipta ruang yang besar. Pada bagian penutup dari tulisannya, Irmawati mengatakan bahwa meskipun agama Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (mengenai hal ini pernah penulis kemukakan di harian ini dengan judul "Sejarah Islamisasi di Indonesia", Suara Karya edisi 9-12 Maret 1993), namun tidak ada bangunan mesjid kuno di Indonesia yang mengikuti gaya mesjid-mesjid di Gujarat.

Mesjid Jami'

Sebenarnya, keberatan/sanggahan atas teorinya HJ de Graaf telah dikemukakan oleh GF Pijper pada tahun 1947. Dalam artikelnya yang berjudul "The Minaret in Java" dan dimuat dalam India Antiqua, Pijper mengatakan bahwa bentuk mesjid-mesjid kuno di Indonesia tidak memperlihatkan bentuk arsitektural asing tetapi merupakan tradisi asli Indonesia. Sedangkan tanggapannya mengenai bentuk atap yang bertingkat, Pijper berpendapat bahwa hal ini mungkin bisa dihubungkan dengan konsep gunung Meru, yaitu suatu pandangan kosmis yang telah dikenal oleh orang-orang Indonesia pra-Islam.

Seperti halnya Dr WF Stutterheim yang menelusuri ornamen-ornamen bangunan mesjid kuno di Indonesia dari arsitektur candi (pra-Islam) di Indonesia, GF Pijper pun melakukan hal yang serupa. Masih dalam tulisannya yang sama, selain atap bertingkat yang telah dikemukakan di atas. Pijper kemudian melihat bentuk fondasi yang masif serta tinggi pada bangunan mesjid kuno di Indonesia. Menurutnya, fondasi yang demikian, merupakan bentuk yang tetap dipertahankan dari kaki candi yang juga masid dan tinggi. Selanjutnya, Pijper menguraikan ciri-ciri mesjid kuno di Indonesia, antara lain; denahnya berbentuk persegi empat (seperti denah candi), fondasinya masif, atapnya berbentuk atap tumpang seperti meru, dan seterusnya.

Dalam tulisannya yang lain, G. F. Pijper (Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950/terjemahan, 1984) dan C. Snouck Hurgronje (Islamisasi di Hindia Belanda/terjemahan, 1973) memberikan gambaran bahwa mesjid kuno di Indonesia terdiri dari sebuah bangunan induk dengan sebuah serambi. Pada dinding sebelah barat terdapat sebuah mihrab yang letaknya berhadapan dengan pintu masuk. Di samping mihrab, biasanya terdapat sebuah mimbar, yaitu tempat khatib menyampaikan khotbah pada setiap hari Jumat. Atap mesjid bertingkat yang terdiri dari 2 sampai 5 tingkat dan ujung atap berbentuk runcing. Pada beberapa mesjid yang besar terdapat menara. Di halaman mesjid terdapat emperan untuk menempatkan bedug dan kolam.

Sementara itu, JH Kramers dalam tulisannya yang berjudul Over de Kunst van de Islam mengatakan bahwa banyak mesjid di Jawa yang terbuat dari sebuah perumahan kayu dengan serambi di bagian depannya, tidak memiliki lapangan dan sebagai corak tertentu memiliki atap yang bertingkat. Selain itu, jarang dijumpai adanya menara dan hal yang cukup menarik adalah bahwa mesjid-mesjid Jami' (agung) umumnya terletak di sebelah barat alun-alun.

Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, mesjid Jami' (agung) merupakan unsur yang mutlak ada di suatu kota. Ia merupakan salah satu bagian terpenting dari suatu tata kota. Komponen-komponen kota terpola menjadi keraton, mesjid, pasar, dan alun-alun. Umumnya, mesjid Jami' terletak di sebelah barat, keraton di sebelah timur, alun-alun di tengah, sedangkan di arah utara dan selatan terdapat pasar. Ini merupakan pola tata kota umum yang hampir dijumpai di seluruh kota di Indonesia pada masa lalu dan bahkan di banyak tempat, pola tata kota serupa ini masih bertahan hingga sekarang.

Terlepas dari perdebatan para ahli tentang asal-usul arsitektur mesjid di Indonesia, yang terang bahwa mesjid--yang kini banyak terdapat di sekitar kita--telah hadir sebagai karya arsitektur yang melengkapi khasanah budaya bangsa kita. Namun permasalahannya kini, mengapa para pendahulu kita tidak mempergunakan batu sebagai bahan untuk mendirikan bangunan mesjid? Padahal, teknologi mendirikan bangunan (keagamaan) dengan mempergunakan bahan batu telah dikenal pada masa sebelumnya (candi).

Apakah perbedaan bahan ini disebabkan adanya perbedaan agama (Hindu-Buddha dan Islam). Dengan kata lain, permasalahan terakhir ini menjurus ke pertanyaan: Bagaimanakah konsep pemahaman masyarakat muslim di Indonesia (terutama pada masa lalu) dalam memandang bangunan suci keagamaan yang terbuat dari batu? Kita tunggu penelitian dari para ahli. (Hasanuddin).

 

Sumber: Suara Karya, 9 Maret 1994 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Kebangkitan Nasional Lebih Dikenal Kalangan Pelajar

Ruang "Anatomi" hanyalah sebuah ruangan kecil yang terletak di salah satu sudut gedung. Tapi dibanding dengan ruangan lain yang ada di komplek Gedung Kebangkitan Nasional, ruang "Anatomi" merupakan ruang yang paling bersejarah. Di ruang berukuran 16,7 x 7,8 meter itulah lahir perkumpulan Budi Oetomo. Budi Oetomo yang dilahirkan 20 Mei 1908 oleh para pelajar sekolah kedokteran Stovia adalah organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia yang merintis jalan ke arah pergerakan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Jadi tepat sekali kalau gedung eks-Stovia itu dinamakan Gedung Kebangkitan Nasional (GKN). Di dalam gedung tersebut terdapat Museum Kebangkitan Nasional yang bertugas menyelenggarakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penerbitan, pemberian bimbingan edukatif kultural, perpustakaan, dokumentasi, dan penyajian benda-benda bernilai budaya dan ilmiah yang berhubungan dengan sejarah kebangkitan nasional. Peranan Museum Kebangkitan Nasiona...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Indonesia Menjelang Perang Pasifik (2) Spionase Jepang di Hindia Belanda Lebih Hebat Sejak Pertengahan Th 30-an

Oleh: H ROSIHAN ANWAR SPIONASE  aktif pihak Jepang di Hindia Belanda dilaksanakan lebih hebat sejak pertengahan tahun 1930-an. Salah satu perkakas spionase paling aktif ialah Nanyo Warehousing Company. Seorang karyawannya di Betawi adalah Naoju Aratame, perwira marine yang khusus ditugaskan dengan pekerjaan spionase. Kemudian dia ditempatkan sebagai pegawai konsulat-jenderal Jepang di Betawi. Sesudah tahun 1939 hampir semua karyawan perusahaan-perusahaan Jepang di Hindia Belanda dilibatkan dalam pekerjaan spionase. Kujiro Hayashi menjabat sebagai Direktur utama perusahaan Nanyo Kyokai yang terkenal karena menspesialisasikan diri dalam pembiayaan perdagangan kecil dan pengiriman para karyawan. Bulan Mei 1940 dia mengunjungi Hindia Belanda. Tujuan resmi perjalanannya ialah melaksanakan missi muhibah kepada pemerintah Hindia Belanda. Dari sepucuk surat yang dicegat setelah keberangkatannya ternyata apa tujuan sebenarnya perjalanannya yakni koordinasi kegiatan-kegiatan spionas...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....