Langsung ke konten utama

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar

Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal (massacre) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya Muhamad Ridwan mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti.

Tegaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan.

Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel personil Nederlands Indische Civil Administration (NICA), yang hendak menancapkan kembali kukunya di bumi Indonesia.

Pemimpin dan seluruh rakyat Indonesia jelas menolak. Ini kesewenangan! Rakyat Indonesia di Sulawesi Selatan, seperti halnya di bagian mana pun wilayah Tanah Air siap mempertahankan kemerdekaan.

Kedatangan NICA dan Panglima Tentara Australia, Jend Blamey, dibacakan Brigjen Daugherty dalam rapat umum di Makassar pada 23 September 1945. Diumumkan pula bahwa Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Mayor Wegner, Komandan NICA, sebagai wakilnya di daerah itu. Pemuda yang didukung masyarakat menentang keras pihak tersebut, tanpa kompromi.

Reaksi spontan masyarakat Sulsel menolak kehadiran NICA ditandai perlawanan sengit raja-raja, pemuda, dan penduduk umum yang terorganisir dalam kelompok kelaskaran.

Pembunuhan massal mulai sewaktu tentara kolonial melakukan penembakan membabi-buta pada 2 Oktober 1945. Massa rakyat yang memenuhi jalanan di Makassar diberondong peluru agar menghentikan pengelu-eluan Sang Merah Putih dan pekik "Merdeka".

Teror dibalas dengan "teror". Malam keesokan harinya, amarah rakyat meledak. Selama tiga hari berturut-turut terjadi pembunuhan atas "saudara" sendiri yang memihak kaum kolonial, anggota KNIL. Peristiwa ini dikenal sebagai hari-hari hitam yang berdarah.

Untuk meredakan situasi yang memanas, tokoh masing-masing pihak turun tangan. Pertemuan Dougherty dengan Dr Ratulangie melahirkan gentlemen-agreement, yang pula merupakan suatu pengakuan autoritas Republik di Sulawesi. Pihak Sekutu tidak boleh mencampuri soal politik di wilayah tersebut, selain hal keamanan.

Tetapi dasar telur busuk, teror ditebarkannya kembali 13 hari setelah aksi pertamanya. Pembantaian kedua bertepatan dengan berkumpulnya sejumlah raja dan karaeng di Jongaya. Pertemuan pemimpin masyarakat se-Sulsel itu menghasilkan Deklarasi Jongaya yang berisi: pengakuan kedaulatan RI, mendukung Gubernur Ratulangie, dan menolak NICA serta bersedia bekerja sama dengan tentara Australia dalam pemulihan keamanan.

Sejak itu ratusan jiwa melayang di kedua pihak. Saling balas. Besarnya pengobanan jiwa-raga maupun harta benda rakyat tak menyurutkan semangat. Malah serangan dan perlawanan para pejuang kian gigih. Pemimpin Belanda menjadi gelisah karena goyahnya Algemene Regerings Comisaris yang dibentuk Van Mook sebagai pemerintahan sipil yang menggantikan chief officers dan staf officers NICA.

Tanggal 28 Oktober 1945 tengah malam, barisan rakyat yang dipimpin pemuda pejuang menggoncang Kota Makassar. Tangsi-tangsi polisi, stasion-stasion radio, dan markas NICA yang kini menjadi Kantor Gubernur Sulsel diserbu. Pertempuran berlangsung sampai dini hari. Serangan mendadak dan frontal itu mengagetkan dan mengacaukan pihak NICA, walau keesokan paginya banyak pemimpin pemuda yang tertawan.

Gelombang gejolak terus membara dan meluas hingga ke daerah. Tercatat perlawanan di daerah yang cukup hebat berlangsung di Luwu. Juga dipelopori kalangan pelajar, pejuang muda. Boleh dikata, inilah perlawanan yang benar-benar melibatkan semua lapisan masyarakat. Suatu perlawanan rakyat semesta. Resang Daeng Palewang, sosok tokoh masyarakat yang terbuka menyatakan dirinya republiken ditembak mati saat menuruni tangga rumahnya di Sidenreng Rappang.

Frustrasi

Tekad tak ingin diperintah penjajah membuat Belanda frustrasi. Kelebihan persenjataan sama sekali tidak menciutkan nyali lawannya. Pendatang haram sungguh kewalahan. Dan guna membendung kemajuan perlawanan pemuda Sulsel, maka 11 Desember 1946 dikeluarkan Undang-Undang Keadaan Berbahaya atau SOB.

Sementara itu, pasukan khusus dari Jakarta didrop. Pasukan berpredikat Corps Speciale Troopan yang dipimpin Kapten Raymond Paul Piere Westerling mendarat di Makassar pada 5 Desember 1946. Pengiriman pasukan terbaik itu merupakan salah satu jawaban kefrustrasiannya.

Apa pemikiran Westerling? Komandan itu benar, bahwa kekuatan gerilya pejuang terletak pada dukungan total rakyat. Bukan hanya pasokan logistik, namun dukungan moril lah yang paling menentukan. Karenanya, untuk mematahkan perlawanan dan perjuangan pemuda, maka hubungan antara gerilya pejuang dengan rakyat mesti diputuskan.

Cara yang dijalankannya ialah memblokade ekonomi rakyat, membuat tindakan provokatif, dan menciptakan situasi panik serta ketakutan massal. Rakyat di pelosok desa digiring paksa mendekati pos-pos NICA. Kalau ada yang membangkang, maka kepala kampungnya dibunuh di depan pengikutnya. Pembakaran rumah terjadi di mana-mana yang disertai penganiayaan.

Jika Westerling mengetahui tempat persembunyian pemimpin gerilya, maka operasi pagar betis pun ditebar. Umumnya pada malam hari supaya keamanan pasukannya terjaga dari sergapan pasukan Merah Putih. Meski lebih sering jebakannya tidak berbuah.

Sial, kegagalan operasi adalah bencana bagi rakyat. Penduduk setempat ditanyai satu per satu setelah digiring ke lapangan terbuka. Tetapi rupanya todongan bayonet tak sanggup membuka mulut rakyat. Ketegaran sikap perjuangan mereka tidak luluh sedikit pun, walau penyiksaan sulit diungkapkan lagi sakitnya dengan kata-kata.

Pasukan Baret Merah lalu bersikap tidak ingin bertele-tele. Semua dinyatakan bersalah, dan tembak mati hukumannya. Pembunuhan massal (massacre) kian menjadi-jadi sebab operasi-operasinya menjumpai kesulitan besar. Tanpa membuka mata, sonder pertanyaan dan pemeriksaan, lelaki atau perempuan, tua-muda, anak-anak atau orang tua dibabat setelah menyaksikan kejadian yang sama.

Sehari sebelum UUKB berlaku, pasukan merah Westerling dengan doden mars (langkah tegap) beraksi di desa Lariang Bangi timur, Bara-Baraya, Macini Parang, dan beberapa tempat lain. Penduduk digiring menuju desa Batua. Untuk apa, sesungguhnya mereka sudah tahu. Mereka sedang berangkat ke kuburan massal. Rentetan senapan mesin mengakhiri semuanya.

Pada 11 Desember 1946 aksi berdarah dilanjutkan di desa Kalukuang. Sepak terjang tak pandang bulu. Tanggal 20 Desember 1946 bertepatan Jumat, kaum Muslimin yang sedang shalat di masjid Daya diseruduk peluru tanpa aba-aba. Kejadian serupa berulang di kampung Galung-galung pada 1 Februari 1947.

"Kebiadaban NICA waktu itu memang sulit digambarkan lagi. Bayangkan, meskipun orang yang sedang melaksanakan shalat, senapannya dengan mudah diarahkan. Itu terjadi pada salah satu masjid di Daya," kenang Letda Andi Baso Rachim (70), wakil ketua Legiun Veteran Sulsel, kepada Suara Karya.

Aksi Pembersihan

Kolonel de Vries, komandan seluruh tentara KNIL di Indonesia bagian timur dan Kalimantan, pada 11 Desember 1946 sesuai perintah Panglima Perang Hindia Belanda di Indonesia, Letjen Spor, mengeluarkan dag order (perintah harian) pasifikasi. Jajarannya diperintahkan serentak menjalankan pengamanan berdasarkan SOB. Namun pembantaian tak terbatas dalam wilayah darurat perang.

Berdasarkan dokumen Komando Gr Oost Borneo diketahui sebagian besar operasi hitam dipimpin Westerling. Operasinya besar di Polongbangkeng, Gowa, sudah dipastikan dikomandoinya. Ini diketahui dari koleksi dokumen Kolonel de Vries.

Tindakan pembersihan tidak selalu dilakukan oleh sepasukan. Kaki tangannya kadang disebar satu-dua orang saja. Jika dalam operasinya mendapat perlawanan, terlebih bila terjadi korban di pihaknya, maka seluruh penghuni kampung tanpa kecuali menjadi sasaran empuk. Seolah satu jiwa tentara berkulit putih mesti dibayar dengan seribu nyawa orang Indonesia. Seperti peristiwa penghadangan di Jeneponto, Desember 1946, yang mengakibatkan dua tentara Belanda tewas. Maka, hampir seluruh penduduk yang ada di kampung itu terbabat habis.

Terukir pahit juga kejadian di Polongbangkeng. Para pejuang beserta rakyat yang tertawan mengakhiri perjuangannya. Pada pertempuran yang termasuk terhebat di Sulsel, pejuang besar Ranggong Daeng Romo gugur setelah mengadakan perlawanan hingga tetes darah terakhir.

Dalam tempo dua bulan lebih praktis seluruh Sulselra dibasahi darah pejuang. Tetapi, perjuangan tidak berhenti sampai di situ. Kepala tentara merah diganti oleh Kapten Reyborz. Giliran Pasukan Tombak yang berperan, hasil kerja sama tentara kolonial dengan bangsawan yang terbuai. Reyborz memperluas medan pertempuran hingga mencapai pantai dan gunung, dan pemuda pejuang berhadapan dengan "orang Indonesia" dalam pasukan tombak.

Sementara itu, Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) yang dikirim sejak Juli 1946 tiba. "Tentara Soekarno"--begitu nama yang diberikan si penjagal Westerling--memberi sedikit bantuan. Diakui bahwa siasat antigerilya yakni teror, intimidasi, isolasi, dan bujuk rayu ada hasilnya. Sehingga air tempat "ikan-ikan" (pemuda pejuang) berenang kering. Syukur tentunya, Tuhan menghendaki lain. Air tak kering betul, dan perjuangan merebut panji hak asasi yang terkoyak dapat berjalan terus.

Genderang tuntutan pembebasan di Asia dan Afrika telah ditabuh, yang tak seorang pun yang akan mampu menggilas nasionalisme. Termasuk senjata kaum kolonial yang serba modern.

Moh Saleh La Hade, salah seorang pemimpin TRIPS, dalam catatannya menyimpulkan: pembantaian penduduk sipil merupakan bagian efek perang yang tak dapat dielakkan. Selain itu, legitimasi pembunuhan tanpa proses 

Lihat halaman XI kol. 7



Sumber: Suara Karya, 11 Desember 1990



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Westerling Setelah Tiada (2) Sang Kapten Setelah Carte Blanche

Bila rakyat Indonesia, khususnya warga Sulawesi Selatan, masih mengenang kekejaman Westerling itu bisa dimaklumi. Sebab, berdasarkan catatan yang berhasil dikumpulkan Manai Sophiaan, bekas pimpinan redaksi harian "Pewarta Celebes" yang terbit di Makassar (sekarang Ujungpandang), peristiwa 11 Desember 1946 itu memang keji dan mengerikan. Kapten Raymond Westerling yang merupakan promotor pembantaian tesebut bukan hanya kejam, tetapi bahkan juga maniak (senang bila menyaksikan orang lain kesakitan karenanya). Selain sebagai wartawan dan pimpinan redaksi sebuah harian terbitan Makassar, Manai Sophiaan, ayah kandung sutradara Sophan Sophiaan (Jawa Pos, 4 Desember 1987), adalah putra daerah Takalar, Sulsel. Di daerah itu Westerling juga menghabisi puluhan orang tak berdosa. Jauh sebelum Westerling mendarat di Makassar, kota tersebut sebenarnya sudah menjadi ajang pertempuran antara rakyat setempat dengan pasukan Belanda. Kian lama, kegigihan rakyat Sulsel dalam memerangi Belanda ki...

Reinterpretasi Kebangkitan Nasional

Arif B Sholihah Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII T ulisan ini bukanlah sebuah pernyataan politik, atau bahkan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Tulisan ini hanya bermaksud melihat kembali sesuatu dengan sudut pandangnya sendiri. Tulisan ini justru diilhami oleh sebuah peristiwa 'kimiawi' biasa, yakni jatuh cintanya seorang perempuan muda, Jawa, pada seorang pria muda, seorang insinyur pula. Ia, teman saya ini, kemudian berkeputusan untuk menyatakan cintanya pada pria pujaannya itu, dua hari yang lalu--saat purnama. Tentu saja tulisan ini tidak akan bercerita tentang 'prosesi' pengungkapan cinta tersebut, akan tetapi justru alasan kenapa kemudian si perempuan itu berkeputusan untuk mengekspresikan perasaannya itu menjadi menarik. Apalagi jika kita hubungkan dengan akhir bulan Mei, ketika semua orang memperingati apa yang dikenal luas sebagai Hari Kebangkitan Nasional--setiap 20 Mei. Tanpa bermaksud merendahkan Budi Oetomo yang pada saat itu menj...

Partai-partai Politik Masa Pergerakan (1) Dari 'Dunia Tunggal' ke Neologisme

Oleh Agus Sopian SEBENTAR lagi kita memperingati HUT ke-51 Hari Kemerdekaan Indonesia. Mungkin, ada baiknya kali ini kita menelusuri koridor sejarah yang terdekat dengan masa kemerdekaan itu: (yakni) masa pergerakan, suatu masa yang penuh dengan pergolakan politik, suatu masa yang memperkenalkan bangsa ini kepada medium perjuangan, kepada partai-partai politik. Berbekal sumber utama, Sejarah Nasional Indonesia terbitan Depdikbud (1975) dan sejumlah referensi lain, Agus Sopian, wartawan Bandung Pos yang sehari-harinya banyak meliput masalah politik dan keamanan, mengajak Anda, pembaca, untuk bersama-sama menyimak kiprah partai-partai politik saat itu--terutama sekali Indische Partij, Indische Sociaal-Democratische Partij, dan Partai Nasional Indonesia--yang (kebetulan) acap menimbulkan kontroversi historis hingga hari ini. Redaksi Van Dedem, seorang anggota parlemen, berpidato pada 1891. Dia menganjurkan Hindia Belanda agar segera direhabilitasi dari pelbagai macam kebangkrutan akibat p...

PARA SAKSI MATA

PADA 50 tahun silam, tepatnya 7 Desember 1941, Jepang secara sepihak telah menggempur pangkalan AS di Pearl Harbor. Sejumlah pelaku peristiwa tersebut masih hidup sampai sekarang baik yang terlibat secara langsung maupun sebagai pengambil kebijakan. Inilah kata mereka tentang peristiwa yang tragis tersebut: Phil Rasmussen  adalah pilot pemburu dari Angkatan Udara AS yang bermarkas di Wheeler Field, utara Pearl Harbor. Pada Minggu 7 Desember 1941 ia bangun lebih pagi dari biasanya. Ia membuka jendela dan melihat sebuah pesawat menjatuhkan sesuatu ke hanggar. Tentunya itu bom. Sekarang usianya 73 tahun. Ia pemegang Bintang Silver Star dan Distinguished Flying Cross. Ia berdiam di Ft. Myers, Florida. Saya berlari ke hanggar ketika Jepang mulai menyerang. Saya bawa pistol kaliber 45 dalam piyama tidur saya. Sungguh mengerikan. Amunisi diledakkan Jepang di hanggar, dan beberapa pesawat mulai terbakar. Salah satu pesawat yang tidak terkena api adalah Curtiss P-36s. Saya meloncat...

Westerling Setelah Tiada (1) Mereka Mengatakan Biarlah Westerling Mati

Westerling memang telah meninggal dunia pekan lalu. Namun, kekejamannya tetap membekas di dada orang Indonesia, khususnya warga Sulawesi Selatan dan Bandung. Karena itu, setiap 11 Desember (seperti yang akan dilakukan minggu depan), warga Sulsel di Jakarta selalu memperingatinya sebagai hari duka. Bahkan, mereka sebenarnya sudah lama mengusulkan agar 11 Desember dijadikan sebagai Hari Duka Nasional, suatu usul yang sampai sekarang belum dikabulkan oleh pemerintah. Salah satu warga Sulsel yang tetap mengingat kekejian kapten Belanda adalah Manai Sophiaan, mantan pimpinan redaksi harian "Pewarta Celebes", terbitan Makassar (sekarang Ujungpandang), Sulsel, pada 1942-1945. Manai, yang tak lain adalah ayah kandung sutradara Sophan Sophiaan itu, sendiri memang belum pernah bertemu muka langsung dengan Westerling. Tetapi, dia cukup banyak menulis kekejaman kapten Belanda itu semasa berada di Makassar. Bagi Manai, bercerita tentang Westerling yang dianggap sebagai pembunuh 40 ribu ra...

Kepiawaiannya Membuat Sunan Kudus Jadi Idola Kaum Muda

S elain dikenal sebagai tokoh penyebar Islam di daerah pesisir utara Jawa, Sunan Kudus juga merupakan pujangga besar. Kepiawaiannya mengarang cerita-cerita yang sarat filsafat dan jiwa keagamaan, praktis membuat dia menjadi idola kaum muda kala itu. Gending maskumambang  dan mijil  merupakan dua buah ciptaannya yang melegenda hingga kini. Khusus dalam ilmu agama, Sunan Kudus yang bernama asli Ja'far Shodiq ini merupakan sosok paripurna. Dia sangat menguasai ilmu tauhid, ushul fiqh, hadist, tafsir, juga mantiq. Karena itu, di antara sembilan wali, Sunan Kudus dikenal sebagai waliyul ilmi. Sebagai ahli ilmu agama, Sunan Kudus memiliki begitu banyak murid dan kader yang terserak di berbagai pelosok daerah. Karena itu, hampir di setiap kampung di seputar Kudus kini terdapat makam murid Sunan Kudus yang turut berjasa dalam syiar Islam di Jawa pada tahap awal ini. Dalam melakukan syiar Islam, cara yang ditempuh Sunan Kudus sebenarnya tak banyak berbeda dengan wali-wali lain: m...

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api: Heroisme antara Tegallega dan Rel KA

TULANG  jemari terbungkus kulit keriput itu mencengkeram erat besi pegangan gerobak sampah. Bahunya yang tipis tampak melengkung, tertarik kuat tali pengikat gerobak. Langkah dan nafasnya terasa berat, menapaki Jl. Mohammad Toha, Tegallega, yang Sabtu sore kemarin (23/3), basah diguyur hujan. Beban sampah yang dibawanya, seakan tak sepadan dengan sosok tua yang kurus kering. Elan (60), sosok tua itu, sejenak memalingkan pandangannya pada sederet kata-kata dalam spanduk yang terpancang depan Markas Hubdam III/Siliwangi, "Markas Batalyon II Resimen 8 Divisi III Siliwangi Tahun 1946 - Panitia BLA 1996", demikian bunyi tulisan itu. Kawasan Tegallega jika dibalik ke masa 1946, adalah sejarah heroik ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama ratusan ribu warga Bandung, mempertahankan kemerdekaan. Pada 21 Maret 1946, kawasan itu sempat dibombarder tentara Sekutu. Akan tetapi secara kebetulan, kedudukan Batalyon II TRI (Sumarsono) di sana, tengah memperkuat posisi perte...