Peristiwa itu berlingkup nasional. Pemuda patriotik dan rakyat yang berjuang untuk mempertahankan Proklamasi kemerdekaan. Dan Sulawesi Selatan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dipertahankan. Mereka pun menghadang neokolonialisme Belanda dengan perisai nasionalisme.
Menghadapi Pasukan Merah Westerling dan KNIL yang bersenjata lengkap dan otomatis, tak berarti tekad mesti diulur. Orang tuanya mengajarkan harga diri (siri) merupakan milik manusia yang paling bernilai. Bencana besar lah bila harta itu diinjak-injak orang lain, apalagi oleh kaum penjajah. Chabot berpendapat, masyarakat Bugis-Makassar adalah kelompok prestise yang mendorong anggotanya hidup dalam persaingan mempertahankan gengsi.
Kapten Westerling dan Kapten Reyborz disambut dengan seuntai penghargaan sepulangnya "berjuang". Mereka disambut hangat dan dielu-elukan sebagai pahlawan oleh Pemerintah Kolonial di Batavia. Dunia menyaksikan itu.
Bagaimana dengan puluhan ribu pemuda pejuang yang disiksa di kamp-kamp militer? Ditahan sekian lama, yang kemudian diseret pada tengah malam buta tanpa meninggalkan jejak lagi. Bagaimana dengan orang tua, ibu-ibu, dan anak-anak yang diperlakukan bak cacing sebab tak membuka mulut?
Itulah sebagian titik tolak yang diajukan Moh Saleh La Hade, seorang pelaku sejarah yang memimpin pendaratan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Seperti yang dipaparkannya pada Seminar Sejarah Perjuangan Rakyat Sulsel di Ujungpandang beberapa tahun lalu.
Ia berpendapat, cukup wajar jika masyarakat Sulsel menuntut agar momen sejarah 11 Desember 1946 diakui dan ditetapkan sebagai Hari Berkabung Nasional. Penilaian yang sejajar dengan hari nasional yang ada.
Perjuangan mengusir NICA yang menelan puluhan ribu jiwa di Sulsel merupakan peristiwa nasional. Kanibalisme kaum kolonial itu melukai harga diri bangsa Indonesia. Suatu rentetan sejarah yang menyentuh perasaan nasional.
Ketua Jurusan Sejarah dan Arkeologi pada Fak Sastra Unhas, Drs Daud Limbugau SU, menjelaskan kepada Suara Karya, bukan hanya latar belakang motivasi perjuangan pemuda dan masyarakatnya yang membedakan dengan perjuangan di daerah lain Indonesia. Perjuangan keras menolak pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) justru yang lebih utama digarisbawahi. "Apa akibat bagi perjuangan nasional bila kesatuan bangsa kita goyah, tidaklah sulit ditebak," katanya.
40.000 Jiwa
Angka itu sebenarnya mulai dimunculkan pihak Belanda sendiri, atas desakan perkumpulan ibu di Sulsel dan keberatan konsul-konsul asing. Dalam suatu konferensi di Bali, berdasarkan penelitian tim penyidik yang dibentuknya sendiri, dikemukakan bahwa hanya sekitar 40.000 orang yang hiilang. Terdiri atas perampok, bandit, pemerkosa, dan ekstrimis. Jumlah tersebut terhitung sejak 18-24 Desember 1946.
Hasil perhitungan biro PPRI yang bekerja sama dengan Panitia Peringatan Korban 40.000 Jiwa dari Jogya yang diketuai Drs M Said (1950), jumlah person yang tewas lebih 80.000. Jauh lebih besar dari perhitungan sebelumnya.
Diperoleh fakta-sejarah lain. Dalam sejarah perlawanan para Daeng dari Kerajaan Gowa menentang kehadiran pihak asing Belanda yang mau menguras kekayaan buminya, kawanan pendatang itu pun melakukan tindakan massacre (pembunuhan massal). Kemungkinan besar mereka frustrasi dan kehabisan akal menghadapi semangat gigih patriot Gowa yang berprinsip tokdok puli.
Daud Limbugau berpendapat, peristiwa yang bermakna dalam bagi masyarakat Sulsel itu jangan dipandang dari sisi kuantitasnya. Angka 40.000 lebih bermakna simbolis. Kalau dirunut dari segi isi perjuangan, maka akan diperoleh gambaran suasana heroik. Gelora pemburuan kebebasan.
Hasil sementara penelitian yang pernah dilakukannya bekerja sama dengan ABRI menunjukkan jumlah yang ribuan saja. Tidak mencapai puluhan ribu. Angka tersebut diperoleh setelah korban diinventarisir sesuai catatan Legiun Veteran yang terdapat di setiap kabupaten dan keterangan saksi mata atau pelaku sejarah yang masih hidup. "Tapi saya tidak berani mengatakan jumlah sebenarnya di bawah atau di atas angka 40 ribu," ujarnya, cepat.
Setelah bercerita menggebu-gebu, tiba-tiba Wakil Ketua Legiun Veteran Sulsel, Letda Andi Baso Rachim termenung sejenak. "Pendapat Puang tentang angka 40 ribu yang sering dianggap dibuat-buat?" tanya Suara Karya. Pemimpin pasukan perlawanan terhadap antek neokolonialisme Belanda di Wajo itu tak langsung menjawab.
"Itulah, Dik. Kami tidak tahu mengapa itu terjadi. Barangkali pemikir atau sarjana sekarang hanya mengandalkan otak, mendengar dari orang-orang yang mendengar juga. Mereka tentu tidak akan mengetahui apalagi merasakan apa yang saya dan teman-teman alami.
"Memang tak sedikit orang yang sepertinya hendak mengingkari sejarah perjuangan itu," tutur pejuang itu, penuh emosi dengan mata yang basah.
Seperti ada gap. Pihak sejarawan berpedoman pada metode ilmiah. Pengungkapan fakta dilakukan dengan perhitungan-perhitungan dan teori-teori. Ketua jurusan Sejarah dan Arkeologi pada Fak Sastra Unhas itu mengatakan, pengkajian sejarah mesti dijalankan ekstra hati-hati. Sumber data perlu diperiksa validitasnya. Tindakan ahli sejarah tersebut bermaksud untuk menghindari pembohongan sejarah. Juga guna menjaga semboyan bahwa sejarah adalah guru yang baik.
Untuk menengahi "pertentangan", sebaiknya kesadaran bahwa keduanya mempunyai maksud yang sama baiknya dipegang. Jika berpadu kemudian, maka lukisan yang tercipta sangat indah.
Lanjutnya, penamaan peristiwa yang sarat nilai kepahlawanan tersebut bisa jadi berawal dari suara spontan. Dalam suatu pertemuan di Jogya, seorang tokoh asal Sulsel secara spontan menyebut angka 40 ribu untuk penamaan.
Kurang Tepat
Pelaku sejarah umumnya menanti Pemerintah pusat mengakui dan menetapkan tonggak perlawanan pemuda dan masyarakat Sulsel menjaga kehormatan Proklamasi Kemerdekaan RI, sebagai hari yang diperingati secara nasional. Tgl 11 Desember sebagai Hari Berkabung Nasional.
Seperti halnya Andi Baso, orangnya Laskar Harimau Indonesia yakni Abdullah Hadade (65), juga merindukan pengakuan dan penetapan itu. Dijumpai di kediamannya, kawan dekat Pahlawan Nasional Wolter Monginsidi itu mengatakan, rekan seperjuangannya pasti amat mengharapkan seperti pengharapan dirinya. Yang masih hidup maupun yang telah meninggal, termasuk yang gugur dalam perjuangan sucinya. Namun, keinginan mereka bukan sebagai wujud penghargaan. Kepatriotan tidak membutuhkan penghargaan yang berlebihan. Sejarah bukan untuk ini dan masa lalu, melainkan generasi kini dan masa mendatang.
Pemda setempat sudah menetapkannya. Setiap 11 Desember dilakukan upacara peringatan di monumen yang dibangun di Ujungpandang dan Kodya Pare-Pare serta beberapa kabupaten. Kerukunan keluarga masyarakat Sulsel yang tersebar di seluruh Indonesia juga mengadakan kegiatan khusus. Hari itu Sang Merah Putih berkibar setengah tiang di persada Sulsel.
Ketua Komisi Kesra pada DPRD Sulsel, HMS Kasim DM menyatakan, dewan rakyat menyadari sepenuhnya aspirasi para pejuang dan masyarakatnya. Bersama dengan Legiun Veteran akan terus berusaha meyakinkan Pemerintah agar keinginan yang beralasan dan berdasar tersebut terwujud. "DPRD Tingkat I masih akan terus berusaha supaya usul kita disetujui," ujar Kasim, yang juga termasuk tokoh penggerak laskar Harimau Indonesia di Makassar.
Ia berulang-ulang mengatakan, momentum perjuangan yang mengharukan harus dikenal dan dimengerti generasi muda kini. Alamat bencana bagi bangsa bila para tunas penerus pelaksana pembangunan buta terhadap sejarah bangsanya. Utamanya, pengorbanan mengusir kaum penindas.
Di lain sisi, Prof Dr Zainal Abidin Farid SH menilai, upaya orang Sulsel dalam mengangkat sejarah dan kebudayaannya ke tingkat nasional amat lemah. Malah tercermin sikap kurang peduli. Suatu yang memiriskan hati bagi seseorang yang mengerti kedalaman nilai sejarah dan budaya masyarakat daerah itu. "Entah apa penyebabnya, justru dalam beberapa kasus orang lain lah yang memperjuangkannya dan mengambil peduli," ketus Zainal yang guru besar Fak Hukum Unhas.
Atas pertanyaan Suara Karya, ia menambahkan, ada beberapa pemakaian istilah atau penamaan yang sedikit keliru. Kesalahan kecil yang malah dapat mengebiri nilai sejarah. Dan karenanya, kemungkinan seseorang atau sekelompok orang menjadi cenderung memandang sebelah mata sejarah yang diagungkan itu.
Kata "korban" pada "Peristiwa Korban 40.000 Jiwa" bukan selintas lagi berkesan kurang etis. Korban umumnya bermakna sesuatu yang terkena kesialan dan sia-sia. Korban tabrak lari, misalnya. Apakah jiwa yang melayang dalam perjuangan tersebut konyol semata, nioloi tedong? Sungguh nista jika jawabannya "ya". Keinginan memberi kesan betapa hebat perlawanan waktu itu, menjadi bumerang.
Demikian pula istilah "Hari Berkabung Nasional". Ada penonjolan jumlah. Kalau begitu pasti masyarakat daerah lain akan menuntut hal yang sama. Banyak pembela bangsa di Aceh, Balikpapan, hingga Merauke yang gugur mempertahankan kehormatan diri dan bangsa. Sesedikit apa pun.
Mana yang terbaik? Ini menjadi tugas bersama, demi menjaga dan membina kepribadian bangsa di dada insan Indonesia Istimewa buat generasi pembangunan. Selamat "berkorban". (Em Ridwan). **
Sumber: Suara Karya, 12 Desember 1990


Komentar
Posting Komentar