Langsung ke konten utama

Hari Ini 44 Tahun Lalu (2) Wajar Tuntutan 11 Desember sebagai Hari Berkabung Nasional

Peristiwa itu berlingkup nasional. Pemuda patriotik dan rakyat yang berjuang untuk mempertahankan Proklamasi kemerdekaan. Dan Sulawesi Selatan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dipertahankan. Mereka pun menghadang neokolonialisme Belanda dengan perisai nasionalisme.

Menghadapi Pasukan Merah Westerling dan KNIL yang bersenjata lengkap dan otomatis, tak berarti tekad mesti diulur. Orang tuanya mengajarkan harga diri (siri) merupakan milik manusia yang paling bernilai. Bencana besar lah bila harta itu diinjak-injak orang lain, apalagi oleh kaum penjajah. Chabot berpendapat, masyarakat Bugis-Makassar adalah kelompok prestise yang mendorong anggotanya hidup dalam persaingan mempertahankan gengsi.

Kapten Westerling dan Kapten Reyborz disambut dengan seuntai penghargaan sepulangnya "berjuang". Mereka disambut hangat dan dielu-elukan sebagai pahlawan oleh Pemerintah Kolonial di Batavia. Dunia menyaksikan itu.

Bagaimana dengan puluhan ribu pemuda pejuang yang disiksa di kamp-kamp militer? Ditahan sekian lama, yang kemudian diseret pada tengah malam buta tanpa meninggalkan jejak lagi. Bagaimana dengan orang tua, ibu-ibu, dan anak-anak yang diperlakukan bak cacing sebab tak membuka mulut?

Itulah sebagian titik tolak yang diajukan Moh Saleh La Hade, seorang pelaku sejarah yang memimpin pendaratan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Seperti yang dipaparkannya pada Seminar Sejarah Perjuangan Rakyat Sulsel di Ujungpandang beberapa tahun lalu.

Ia berpendapat, cukup wajar jika masyarakat Sulsel menuntut agar momen sejarah 11 Desember 1946 diakui dan ditetapkan sebagai Hari Berkabung Nasional. Penilaian yang sejajar dengan hari nasional yang ada. 

Perjuangan mengusir NICA yang menelan puluhan ribu jiwa di Sulsel merupakan peristiwa nasional. Kanibalisme kaum kolonial itu melukai harga diri bangsa Indonesia. Suatu rentetan sejarah yang menyentuh perasaan nasional. 

Ketua Jurusan Sejarah dan Arkeologi pada Fak Sastra Unhas, Drs Daud Limbugau SU, menjelaskan kepada Suara Karya, bukan hanya latar belakang motivasi perjuangan pemuda dan masyarakatnya yang membedakan dengan perjuangan di daerah lain Indonesia. Perjuangan keras menolak pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) justru yang lebih utama digarisbawahi. "Apa akibat bagi perjuangan nasional bila kesatuan bangsa kita goyah, tidaklah sulit ditebak," katanya.

40.000 Jiwa

Angka itu sebenarnya mulai dimunculkan pihak Belanda sendiri, atas desakan perkumpulan ibu di Sulsel dan keberatan konsul-konsul asing. Dalam suatu konferensi di Bali, berdasarkan penelitian tim penyidik yang dibentuknya sendiri, dikemukakan bahwa hanya sekitar 40.000 orang yang hiilang. Terdiri atas perampok, bandit, pemerkosa, dan ekstrimis. Jumlah tersebut terhitung sejak 18-24 Desember 1946.

Hasil perhitungan biro PPRI yang bekerja sama dengan Panitia Peringatan Korban 40.000 Jiwa dari Jogya yang diketuai Drs M Said (1950), jumlah person yang tewas lebih 80.000. Jauh lebih besar dari perhitungan sebelumnya.

Diperoleh fakta-sejarah lain. Dalam sejarah perlawanan para Daeng dari Kerajaan Gowa menentang kehadiran pihak asing Belanda yang mau menguras kekayaan buminya, kawanan pendatang itu pun melakukan tindakan massacre (pembunuhan massal). Kemungkinan besar mereka frustrasi dan kehabisan akal menghadapi semangat gigih patriot Gowa yang berprinsip tokdok puli.

Daud Limbugau berpendapat, peristiwa yang bermakna dalam bagi masyarakat Sulsel itu jangan dipandang dari sisi kuantitasnya. Angka 40.000 lebih bermakna simbolis. Kalau dirunut dari segi isi perjuangan, maka akan diperoleh gambaran suasana heroik. Gelora pemburuan kebebasan.

Hasil sementara penelitian yang pernah dilakukannya bekerja sama dengan ABRI menunjukkan jumlah yang ribuan saja. Tidak mencapai puluhan ribu. Angka tersebut diperoleh setelah korban diinventarisir sesuai catatan Legiun Veteran yang terdapat di setiap kabupaten dan keterangan saksi mata atau pelaku sejarah yang masih hidup. "Tapi saya tidak berani mengatakan jumlah sebenarnya di bawah atau di atas angka 40 ribu," ujarnya, cepat.

Setelah bercerita menggebu-gebu, tiba-tiba Wakil Ketua Legiun Veteran Sulsel, Letda Andi Baso Rachim termenung sejenak. "Pendapat Puang tentang angka 40 ribu yang sering dianggap dibuat-buat?" tanya Suara Karya. Pemimpin pasukan perlawanan terhadap antek neokolonialisme Belanda di Wajo itu tak langsung menjawab.

"Itulah, Dik. Kami tidak tahu mengapa itu terjadi. Barangkali pemikir atau sarjana sekarang hanya mengandalkan otak, mendengar dari orang-orang yang mendengar juga. Mereka tentu tidak akan mengetahui apalagi merasakan apa yang saya dan teman-teman alami.

"Memang tak sedikit orang yang sepertinya hendak mengingkari sejarah perjuangan itu," tutur pejuang itu, penuh emosi dengan mata yang basah.

Seperti ada gap. Pihak sejarawan berpedoman pada metode ilmiah. Pengungkapan fakta dilakukan dengan perhitungan-perhitungan dan teori-teori. Ketua jurusan Sejarah dan Arkeologi pada Fak Sastra Unhas itu mengatakan, pengkajian sejarah mesti dijalankan ekstra hati-hati. Sumber data perlu diperiksa validitasnya. Tindakan ahli sejarah tersebut bermaksud untuk menghindari pembohongan sejarah. Juga guna menjaga semboyan bahwa sejarah adalah guru yang baik.

Untuk menengahi "pertentangan", sebaiknya kesadaran bahwa keduanya mempunyai maksud yang sama baiknya dipegang. Jika berpadu kemudian, maka lukisan yang tercipta sangat indah.

Lanjutnya, penamaan peristiwa yang sarat nilai kepahlawanan tersebut bisa jadi berawal dari suara spontan. Dalam suatu pertemuan di Jogya, seorang tokoh asal Sulsel secara spontan menyebut angka 40 ribu untuk penamaan.

Kurang Tepat

Pelaku sejarah umumnya menanti Pemerintah pusat mengakui dan menetapkan tonggak perlawanan pemuda dan masyarakat Sulsel menjaga kehormatan Proklamasi Kemerdekaan RI, sebagai hari yang diperingati secara nasional. Tgl 11 Desember sebagai Hari Berkabung Nasional.

Seperti halnya Andi Baso, orangnya Laskar Harimau Indonesia yakni Abdullah Hadade (65), juga merindukan pengakuan dan penetapan itu. Dijumpai di kediamannya, kawan dekat Pahlawan Nasional Wolter Monginsidi itu mengatakan, rekan seperjuangannya pasti amat mengharapkan seperti pengharapan dirinya. Yang masih hidup maupun yang telah meninggal, termasuk yang gugur dalam perjuangan sucinya. Namun, keinginan mereka bukan sebagai wujud penghargaan. Kepatriotan tidak membutuhkan penghargaan yang berlebihan. Sejarah bukan untuk ini dan masa lalu, melainkan generasi kini dan masa mendatang.

Pemda setempat sudah menetapkannya. Setiap 11 Desember dilakukan upacara peringatan di monumen yang dibangun di Ujungpandang dan Kodya Pare-Pare serta beberapa kabupaten. Kerukunan keluarga masyarakat Sulsel yang tersebar di seluruh Indonesia juga mengadakan kegiatan khusus. Hari itu Sang Merah Putih berkibar setengah tiang di persada Sulsel.

Ketua Komisi Kesra pada DPRD Sulsel, HMS Kasim DM menyatakan, dewan rakyat menyadari sepenuhnya aspirasi para pejuang dan masyarakatnya. Bersama dengan Legiun Veteran akan terus berusaha meyakinkan Pemerintah agar keinginan yang beralasan dan berdasar tersebut terwujud. "DPRD Tingkat I masih akan terus berusaha supaya usul kita disetujui," ujar Kasim, yang juga termasuk tokoh penggerak laskar Harimau Indonesia di Makassar. 

Ia berulang-ulang mengatakan, momentum perjuangan yang mengharukan harus dikenal dan dimengerti generasi muda kini. Alamat bencana bagi bangsa bila para tunas penerus pelaksana pembangunan buta terhadap sejarah bangsanya. Utamanya, pengorbanan mengusir kaum penindas.

Di lain sisi, Prof Dr Zainal Abidin Farid SH menilai, upaya orang Sulsel dalam mengangkat sejarah dan kebudayaannya ke tingkat nasional amat lemah. Malah tercermin sikap kurang peduli. Suatu yang memiriskan hati bagi seseorang yang mengerti kedalaman nilai sejarah dan budaya masyarakat daerah itu. "Entah apa penyebabnya, justru dalam beberapa kasus orang lain lah yang memperjuangkannya dan mengambil peduli," ketus Zainal yang guru besar Fak Hukum Unhas.

Atas pertanyaan Suara Karya, ia menambahkan, ada beberapa pemakaian istilah atau penamaan yang sedikit keliru. Kesalahan kecil yang malah dapat mengebiri nilai sejarah. Dan karenanya, kemungkinan seseorang atau sekelompok orang menjadi cenderung memandang sebelah mata sejarah yang diagungkan itu.

Kata "korban" pada "Peristiwa Korban 40.000 Jiwa" bukan selintas lagi berkesan kurang etis. Korban umumnya bermakna sesuatu yang terkena kesialan dan sia-sia. Korban tabrak lari, misalnya. Apakah jiwa yang melayang dalam perjuangan tersebut konyol semata, nioloi tedong? Sungguh nista jika jawabannya "ya". Keinginan memberi kesan betapa hebat perlawanan waktu itu, menjadi bumerang.

Demikian pula istilah "Hari Berkabung Nasional". Ada penonjolan jumlah. Kalau begitu pasti masyarakat daerah lain akan menuntut hal yang sama. Banyak pembela bangsa di Aceh, Balikpapan, hingga Merauke yang gugur mempertahankan kehormatan diri dan bangsa. Sesedikit apa pun.

Mana yang terbaik? Ini menjadi tugas bersama, demi menjaga dan membina kepribadian bangsa di dada insan Indonesia Istimewa buat generasi pembangunan. Selamat "berkorban". (Em Ridwan). **


Sumber: Suara Karya, 12 Desember 1990


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

Kubah Mesjid, Bukan Asli Arsitektur Islam

K ubah sebagai bagian dari arsitektur bangunan, bukan merupakan nama yang asing lagi kedengarannya. Ia merupakan bagian yang sukar dipisahkan dari bangunan mesjid. Kubah memang seakan sudah menjadi trademark- nya arsitektur mesjid di dunia. Hampir dapat dipastikan bahwa semua mesjid yang ada di muka bumi ini menyertakan kubah sebagai bagian dari bangunan mesjidnya. Tak heran pula, bila kemudian ada yang mengatakan bahwa kubah merupakan ciri khas dari arsitektur mesjid. Bahkan kubah telah menjadi simbol dari bangunan mesjid. Lapangan Terbuka Pada awalnya, mesjid bukanlah merupakan suatu bangunan yang megah perkasa seperti mesjid-mesjid yang tampil di masa kejayaannya yang penuh keindahan dengan ciri-ciri keagungan arsitektural pada penampilan mesjidnya. Mesjid Quba di Madinah sebagai mesjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. di sekitar tahun 622 M misalnya, memiliki bentuk yang sangat sederhana dan merupakan karya spontan masyarakat muslim di Medinah saat itu. Denahnya seg...

Bagaimana Westerling Bisa Lolos dari Indonesia (2) Menyamar sebagai "Sersan Ruitenbeek" dengan Paspor Palsu Mendarat di Singapura

Oleh: H ROSIHAN ANWAR Malam tanggal 9 Februari 1950 Komisaris Tinggi Belanda, Dr. Hirschfeld mengadakan jamuan menghormati Staatssecretaris van Oorlog dari Belanda yang dihadiri oleh PM RIS Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono. Kedua orang ini pada suatu kesempatan terpisah berbicara dengan Dr. Hirschfeld dan mengatakan jikalau Westerling jatuh ke tangan Belanda, mereka akan menuntut penyerahannya agar diajukan ke mahkamah pengadilan karena percobaannya melakukan kudeta di Bandung tanggal 23 Januari 1950. Adapun ucapan Presiden Sukarno yang berasal dari sebelum tanggal 23 Januari tidak lagi berlaku. Penegasan pendirian Indonesia ini berarti suatu perubahan dari reaksi-reaksi pribadi mereka yang pertama. Maka Komisaris Tinggi Belanda lalu mengambil jarak dari rencana pelolosan Westerling. Karena RIS menuntut agar Westerling diserahkan apabila dia jatuh ke tangan Belanda, maka ditekankan oleh Komisaris Tinggi bahwa anggota-anggota angkatan bersenjata Belanda dalam...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Jumat Berdarah Itu Merenggut 40.000 Rakyat Sulsel

D ini hari, 11 Desember 1946, Pasukan Para Khusus Baret Hijau pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling memulai gerakannya di Sulawesi Selatan. Sasaran pertama di wilayah timur Makassar. Di daerah ini, dua pimpinan gerakan perjuangan diduga bersembunyi, tepatnya di Kampung Batua. Kedua pimpinan pejuang itu adalah Robert Wolter Monginsidi dan Ali Malakka. Penduduk kampung dikumpulkan. Jumlahnya sekitar 3.000 orang, penduduk Batua dan sekitarnya. Laki-laki dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Westerling kemudian tampil ke depan, membacakan 74 nama yang dicari. Nama-nama itu disebutnya "pemimpin gerakan perlawanan, pembunuh, dan perampok". Letnan Satu Westerling bersama Pasukan Para Khusus Baret Hijau-nya mendarat di Makassar, awal Desember 1946. Di daerah itu pangkat pria keturunan Belanda (ayah) dan ibu bangsawan Turki ini dinaikkan setingkat lebih tinggi, menjadi Kapten oleh Kolonel De Vries, Komandan Territorial Borneo dan Timur Besar. De Vries memuji cara kerja Westerling...

Kepiawaiannya Membuat Sunan Kudus Jadi Idola Kaum Muda

S elain dikenal sebagai tokoh penyebar Islam di daerah pesisir utara Jawa, Sunan Kudus juga merupakan pujangga besar. Kepiawaiannya mengarang cerita-cerita yang sarat filsafat dan jiwa keagamaan, praktis membuat dia menjadi idola kaum muda kala itu. Gending maskumambang  dan mijil  merupakan dua buah ciptaannya yang melegenda hingga kini. Khusus dalam ilmu agama, Sunan Kudus yang bernama asli Ja'far Shodiq ini merupakan sosok paripurna. Dia sangat menguasai ilmu tauhid, ushul fiqh, hadist, tafsir, juga mantiq. Karena itu, di antara sembilan wali, Sunan Kudus dikenal sebagai waliyul ilmi. Sebagai ahli ilmu agama, Sunan Kudus memiliki begitu banyak murid dan kader yang terserak di berbagai pelosok daerah. Karena itu, hampir di setiap kampung di seputar Kudus kini terdapat makam murid Sunan Kudus yang turut berjasa dalam syiar Islam di Jawa pada tahap awal ini. Dalam melakukan syiar Islam, cara yang ditempuh Sunan Kudus sebenarnya tak banyak berbeda dengan wali-wali lain: m...

Sang Cipta Rasa, Mesjid dengan Sejarah yang Panjang

* Tempat Syekh Siti Jenar Dihukum Mati Jika kita mendengar kata Cirebon, mungkin ingatan kita tertuju kepada kota udang, sebagaimana julukan kota ini. Namun dalam kenyataannya lebih dari itu. Cirebon tidak hanya terkenal sebagai kota penghasil lauk dari udang, tetapi juga terkenal sebagai kota yang memiliki berbagai peninggalan purbakala seperti mesjid, kraton, dan kompleks makam. Sebagai bekas kerajaan yang bercorak Islam, peranan Cirebon dalam sejarah kuno Indonesia, khususnya sejarah Jawa Barat, tidak dapat dikatakan kecil. Hal ini antara lain ditandai dengan sejumlah bangunan purbakala seperti di atas dan hasil-hasil kesusastraan kuno. Jaman keemasan dan kemakmuran Cirebon, rupanya dialami pada masa pemerintahan Syarif Hidayatillah (Sunan Gunung Jati) pada tahun 1479-1568. Pada masa ini Syarif Hidayatillah menjabat sebagai susuhunan agama dan kepala negara. Salah satu bangunan purbakala yang berasal dari masanya adalah Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Mesjid Agung: Menurut Sejarah dan...