Langsung ke konten utama

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942.

Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini:

Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan.

Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan tetapi hal itu bagi kami kurang jelas juga.

Lalu kami bersama-sama dengan Kolonel Nakayama secepat-cepatnya menuju ke Markas Tentara Jepang yang ada di Manggarai. Tampak di situ Panglima Tertinggi Jepang, Letnan Jenderal Immamura beserta Komandan Generale Staf dan banyak pula Pemimpin-pemimpin Pasukan Tentara telah bersama-sama menunggu keberangkatannya dengan segala persiapan.

Oleh Wakil Komandan Generale Staf kami diperintahkan supaya mengikuti Panglima Tertinggi Tentara Jepang untuk menjadi juru bahasa (dalam bahasa Jepang "tsukayu"). Kemudian kami diperkenalkan dengan Panglima Tertinggi beserta anggota Stafnya.

Jika ingatan kami tidak salah lebih kurang jam: 08.30 kami meninggalkan Markas Besar dengan kurang lebih dua puluh mobil yang dikawal oleh pasukan-pasukan pengawal ....

Oleh karena jalan yang melalui Krawang yang paling dekat tidak dapat dilalui, karena banyak jembatan yang dirusak oleh pasukan-pasukan Hindia Belanda, maka kami menuju Cibinong yang menuju Krawang. Hal ini terpaksa kami lakukan dengan mengambil jalan memutar itu.

Di sepanjang jalan menuju Bogor penuh dengan pasukan-pasukan Tentara Jepang yang baru tiba di Jakarta, hingga panjangnya berkilo meter, karena mereka belum dapat melanjutkan serangan. Di sepanjang jalan itu kami melihat banyak sekali mobil dan meriam bekas milik pasukan Hindia Belanda yang ditinggalkan oleh mereka.

Setelah melalui jalan yang sangat sukar dilalui, karena banyaknya rintangan-rintangan di sepanjang jalan, barulah pada jam 01.00 lewat kami sampai di desa Kedung Gede, sebelum kami menyeberang Kali Citarum. Tampak pada kami bahwa jembatan Kali Citarum telah dirusak oleh Tentara Hindia Belanda tepat di tengah-tengah jembatan itu. Jangankan mobil manusia pun tidak dapat menyeberangi sungai itu, demikianlah pikir saya.

Kami melihat pasukan-pasukan tehnik (Bag. Zeni) sibuk memasang jembatan perahu (ponton) dengan mengumpulkan perahu-perahu yang ada di sekitarnya. Akan tetapi pekerjaan itu tidak mudah dilakukan karena maklumlah lebarnya sungai itu lebih dari seratus meter, sedangkan bahan-bahannya berupa kayu (balok) dan papan sangat sukar didapat dalam waktu yang singkat. Kami terpaksa makan siang di kota kecil ini. Mulai dari Panglima Tertinggi sampai Prajurit duduk dalam kedai milik seorang Cina sambil menunggu selesainya pembuatan jembatan yang memakan waktu 3 jam.

Sementara itu datanglah pesawat terbang dari pangkalan udara Kalijati yang memberikan berita, dan mengadakan hubungan serta memberikan keterangan-keterangan lain yang sangat penting.

Kurang lebih pada jam. 14.00 barulah jembatan ponton itu dapat diselesaikan, tapi walaupun demikian kami dengan susah payah menyeberangi jembatan itu. Tetapi mobil-mobil tidak dapat diseberangkan. Akhirnya harus mendatangkan mobil dari Kalijati, untuk menjemput rombongan kami yang harus dengan segera menuju ke Kalijati. Menjelang masuk ke kota Purwakarta, yaitu di persimpangan jalan, di dalam hutan karet yang penuh dengan tanaman kayu jati, beratus-ratus drum berisi bensin sedang terbakar dengan hebatnya yang dilakukan oleh musuh pada waktu mereka hendak melarikan diri.

Sudah selayaknya pada waktu itu sekitar daerah Kalijati masih hangat sekali bekas pertempuran yang hebat, baik pertempuran udara, maupun pertempuran di darat, yang menimbulkan suasana sedih dan mengharukan.

Tank-tank serta meriam, kereta pos, kereta dapur, mobil sedan, senapan mesin, senapan-senapan biasa, masker-masker, dan peluru-peluru baik yang sudah rusak maupun yang belum rusak tercecer di sepanjang jalan yang kami lalui. Di sepanjang jalan itu, banyak lubang-lubang bekas terkena bom-bom yang dijatuhkan dari udara, demikian pula banyak mayat-mayat tentara Belanda bergelimpangan di kanan kiri jalan, hingga baunya menusuk hidung.

Tetapi yang mengherankan hampir tak terdapat rumah penduduk yang rusak di sekitar daerah itu. Penduduknya belum ada yang pulang dari tempat pengungsian. Hampir tidak kelihatan manusia di daerah itu, selain satu dua orang laki-laki.

Kurang lebih pada jam 16.00 tibalah kami dengan selamat di lapangan terbang Kalijati, kemudian pada jam 17.30 ... tibalah Gubernur Jenderal Starkenborgh ... dan Panglima balatentara Belanda, Letnan Jenderal Ter Poorten ... Komandan Generale Staf Jenderal Mayor Bakker ... Panglima Pertahanan Daerah Bandung Jenderal Pasman ... Sekretaris Pemerintah Hindia Belanda Kiveron ... dan Idenburgh beserta anggota Staf lainnya dengan mobil yang memakai "BENDERA PUTIH".

Sementara itu yang ditetapkan sebagai tempat pertemuan adalah kamar makan dari sebuah rumah Komandan Pangkalan Lapangan Terbang Belanda di Kalijati.

SUNGGUHPUN KEADAAN CUACA BAIK, TETAPI SESUAI DENGAN KEADAAN DAN SUASANA DI MEDAN PERANG, YANG LANGITNYA BERWARNA ABU-ABU DAN BAU MAYAT SAMPAI MASUK KE TENGAH-TENGAH RUANGAN PERTEMUAN, SEHINGGA SUASANA SEDIH DAN PILU MEMENUHI KAMAR PERTEMUAN ITU.

Yang membuat kami tercengang adalah daftar anggota yang hadir dari fihak Belanda telah menaikkan pangkatnya masing-masing, misalnya Letnan Jenderal menjadi Jenderal dan sebagainya. Sebetulnya menjalankan penggelapan pangkat-pangkat secara politik ini tidak pada tempatnya lagi pada waktu itu. Inilah yang disebut "Kruideniers" politik pihak Belanda itu. Di depan gedung yang dipergunakan untuk pertemuan itu Sendenhan (Bag. Propaganda), wakil-wakil pers, dan surat-surat kabar, bagian film, wartawan foto telah siap untuk mengabadikan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia selama 350 tahun. Tetapi sangat disayangkan .... Bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang mengakhiri sejarahnya ini menolak semua pembuatan foto dan film, sehingga peristiwa yang merupakan kenangan berharga itu tidak dapat diabadikan.

Pada jam 18.00 Panglima Tertinggi Tentara Jepang memasuki ruangan pertemuan dengan mengambil tempat di ruangan belakang.

Bersama-sama dengan Komandan Pasukan Udara, Anggauta Generale Staf Tertinggi dan lain-lain duduk di depan meja makan, menghadapi pihak Belanda. Di tengah-tengah pihak Belanda tampak Gubernur Jenderal dan Panglima Tentara Belanda, di sebelah kiri kanannya Bakker dan Pesman.

Pada saat inilah Panglima Tertinggi dan Komandan Generale Staf dan para Perwira Tinggi dari kedua belah pihak baru pertama kali berhadap-hadapan dengan cara terbuka dan berbicara secara terus terang.

Maka segeralah dimulai suatu perundingan yang menunjukkan suatu penutup sejarah Belanda di Indonesia .... Para anggota Staf yang terdiri dari para Perwira Tinggi semuanya berdiri di sekitarnya.

Sebelum perundingan dimulai, lebih dahulu telah ditetapkan masing-masing fihak (Belanda dan Jepang) akan memakai juru bahasanya sendiri-sendiri.

Kata-kata pertama yang diucapkan oleh Panglima Tertinggi Jepang setelah duduk di kursi ialah:

Apakah tuan datang kemari sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, serta mewakili seluruh tentara dan pemerintah beserta rakyat?

Pertanyaan Panglima Tertinggi Jepang itu diucapkan dengan nada yang keras dan tegas.

Gubernur Hindia Belanda Tjarda hanya menjawab singkat Ya!

Panglima Tertinggi Jepang bertanya lagi:

Jika benar demikian apakah tuan sanggup membicarakan di sini tentang penyerahan kekuasaan atau meneruskan peperangan!

Seketika itu fihak Belanda mukanya berganti warna, mungkin dalam keadaan bingung. Mata seluruh para hadirin ditujukan kepada Gubernur Jenderal Tjarda. Kedua orang yang menjadi juru bahasa Belanda menjadi bingung pula, karena ada kemungkinan kurang paham terhadap bahasa yang diucapkan oleh pihak Jepang. Karena itu mereka menerangkan kepada pihak Jepang, bahwa diri mereka tidak sanggup untuk jadi juru bahasa lagi.

Tugas kewajiban sebagai tsuyaku diserahkan kepada tuan Miyosi, karena juru bahasa pihak Belanda mengundurkan diri. Menurut keterangan, kedua juru bahasa dari pihak Belanda itu dahulunya adalah ahli bahasa Jepang yang bekerja pada Oost Aziatische Zaken di Jakarta.

Kembali pada pertanyaan Panglima Tertinggi Jepang kepada Gubernur Jenderal Belanda Tjarda, selanjutnya Tjarda hanya menjawab: Itu tidak bisa! Yang disambut oleh pihak Jepang dengan pertanyaan:

Apa sebabnya?

Bahwa kami sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda sampai pada saat ini mempunyai hak memimpin balatentara, tetapi baru-baru ini hak tertinggi ini dicabut kembali dari Ratu Wilhelmina.

Pertanyaan demikian itu juga diajukan kepada Panglima Tertinggi Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten.

Jawaban Ter Poorten:

Saya pun tidak mempunyai sedemikian.

Letnan Jenderal Immamura:

Jika demikian sebagai Panglima Tertinggi apakah pertanggungan jawab tuan?

Ter Poorten memimpin balatentara sanggup.

Letnan Jenderal Immamura jika benar demikian, tuan-tuan datang kemari untuk apa?

Ter Poorten: Kami datang bukan atas kemauan sendiri, tetapi diundang oleh pihak Jepang.

Letnan Jenderal Immamura: Jika demikian apa sebabnya tuan mengajukan penghentian perang pada tanggal 7 kemarin, melalui utusan militer?

Gubernur Jenderal Tjarda menjawab: Kami mengajukan penghentian perang karena kami tak sampai hati karena kota Bandung akan mengalami bencana yang lebih hebat, dan hendak membuka pintu Bandung untuk pasukan-pasukan Jepang.

Letnan Jenderal Immamura: Kalau begitu, seluruh balatentara tuan menyerah saja.

Tjarda menyingkiri jawaban pertanyaan itu dengan mengatakan: Saya tidak berhak.

Pertanyaan pihak Jepang: Jika demikian tuan dapat berperang, tetapi apakah tidak dapat menyerah?

Jawaban Tjarda: Hanya Ratu Wilhelmina yang mempunyai kuasa, dan untuk mengadakan hubungan dengan Ratu Wilhelmina tidak mungkin.

Beberapa pertanyaan lagi diajukan pihak Jepang, tetapi selalu mendapat jawaban yang kurang memuaskan, hingga soalnya jadi berputar-putar tanpa ujung pangkalnya.

Pertanyaan Letnan Jenderal Immamura: Sebagai Gubernur Jenderal yang tidak mempunyai sesuatu hak, mengapa pada hari ini datang kemari?

Jawaban Tjarda: Sebagaimana tadi telah kami terangkan, kami tidak berdaya lagi tentang segala sesuatu yang mengenai soal kemiliteran. Tetapi kami masih berkuasa dalam lapangan lain dengan seluas-luasnya, sungguhpun hampir seluruh daerah Hindia Belanda telah diduduki oleh Tentara Jepang. Tentang daerah itu, banyak sekali soal-soal yang penting, baik dari sudut pemerintahan maupun yang mengenai perekonomian. Dan soal-soal ini memang penting bagi penduduk, maka kami hendak bermusyawarah tentang soal-soal ini dengan tuan.

Jawaban Letnan Jenderal Immamura: Sekarang kita bersama-sama di dalam medan persidangan ini, dan tempat ini bukan untuk bermusyawarah dan berbicara secara diplomatik. Maksud kami hanyalah untuk membicarakan ... menyerah atau meneruskan peperangan! .... Oleh karena itu, kami tidak dapat melayani permintaan tuan.

Suasana pembicaraan semakin panas.

Jenderal Immamura berkata lebih lanjut: Lebih baik tuan-tuan ... pulang saja! .... Janganlah tuan-tuan khawatir, karena kami hendak mengantar tuan-tuan dengan pasukan pengawal hingga garis pertama dari medan pertempuran. Akan tetapi apabila tuan-tuan sampai di Bandung, bahkan pada saat tuan-tuan melintasi garis perang, kami akan mulai mengadakan serangan yang paling hebat. Pulanglah dengan mengingat pada apa yang telah kami katakan dengan sebenarnya.

Demikianlah keputusan yang telah diucapkan oleh Letnan Jenderal Immamura dengan nada marah.

Jawaban Ter Poorten: Bukankah Panglima Tertinggi Balatentara Jepang tadi telah mengatakan akan menerima baik penyerahan Bandung? Sekarang tuan hendak menyerang .... Bagaimana arti dari kata-kata tuan itu? Kata-kata Ter Poorten ini merupakan tangkisan dari kata-kata Immamura.

Itu memang kami katakan, tetapi peperangan tidak akan berakhir dengan diserahkannya kota Bandung saja. Maksud Angkatan Perang Jepang hendak memusnahkan Angkatan Perang Hindia Belanda dengan secepat-cepatnya. Maka sudah selayaknya jika Panglima Tertinggi Perang Hindia Belanda ..., ... berjanji ... akan menyerah seluruhnya, tentu kami akan menerima penyerahan Bandung itu.

Akan tetapi jika tuan hanya menyerahkan Bandung saja, dan melakukan peperangan/pertempuran di lain daerah yang mungkin tuan kehendaki, maka kami tidak akan menerima penyerahan Bandung itu .... Angkatan Perang Jepang hendak merebut kota Bandung itu dengan kekuatan sendiri.

Pada waktu itu Gubernur Jenderal Tjarda masih tetap duduk di tempatnya, menyaksikan perdebatan antara Ter Poorten dengan Immamura, selanjutnya Tjarda berkata: Apakah saya diizinkan pulang?

Immamura menjawab: Jika tuan ingin pulang, terserah kepada tuan. Kemudian Tjarda mengajukan permintaan supaya ia diberi pasukan pengawal.

Fihak Jepang menjawab: Permintaan itu tak dapat diterima, jika tuan hendak pulang bersama-sama dengan yang lain, tentu dapat menyediakan pasukan pengawal, sebaliknya kami tidak dapat menyediakan pasukan pengawal hanya bagi seseorang yang hendak berbuat sekehendaknya sendiri. Dengan demikian permintaan Tjarda ditolak.

Setelah pihak Belanda mendengarkan apa yang telah diuraikan oleh pihak Jepang tadi, selanjutnya pihak Belanda bertanya: Besok pada jam berapa kami harus datang kemari?

Pihak Jepang menjawab: Besok pada jam 10.00 harus datang kembali, dengan alasan mengingat sulitnya lalu lintas antara Kalijati--Bandung, karena banyak jembatan yang telah dihancurkan. Demikian pula banyak jalan-jalan yang rusak akibat adanya pertempuran-pertempuran pada hari-hari yang telah lampau. Selanjutnya pihak Belanda menerangkan, bahwa perjalanan antara Bandung dan Kalijati dengan mempergunakan mobil bisa memakan waktu kurang lebih 4 jam. Walaupun pada saat ini kami pulang, mungkin nanti pada tengah malam baru sampai di kota Bandung. Setelah sampai di Bandung, kami segera menyiapkan suatu jembatan dan beberapa keterangan yang telah diminta oleh pihak Jepang. Hal ini sungguh merupakan suatu pekerjaan yang sangat berat bagi pihak kami. Maka mengingat adanya hal itu, tidak mungkin bagi kami untuk datang kembali sebelum tengah hari. Oleh karena itu izinkanlah kami datang pada sore hari.

Sehubungan dengan adanya alasan-alasan dari pihak Belanda, maka akhirnya pihak Jepang telah memenuhi permintaan pihak Belanda, dengan ketentuan supaya datang pada jam 15.30 tanggal 9 Maret 1942.

Perundingan yang berlangsung pada tanggal 9 Maret 1942 sebetulnya telah ditetapkan pada jam 15.30. Sungguhpun demikian Panglima Tertinggi tentara Belanda beserta pengikutnya telah tiba di Pangkalan Udara Kalijati pada jam 14.30 yaitu satu jam lebih dahulu dari rencana yang telah ditetapkan. Karena itu perundingan diajukan pula waktunya, yaitu dimulai pada jam 14.00 di tempat yang sama. Dalam pertemuan dan perundingan ini, tidak tampak golongan sipil, mulai dari Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh sampai pada bawahannya. Kali ini yang datang hanya Pimpinan Tentara yang pada tanggal 8 Maret ikut serta menghadiri pertemuan pertama.

Dari pihak Jepang yang hadir dalam pertemuan ini ada pula seorang Komandan Militer yang pada pertemuan tanggal 8 Maret tidak ikut serta hadir. Setelah kedua belah pihak menduduki kursinya masing-masing yang telah ditentukan, barulah Panglima Tertinggi Angkatan Perang Jepang Letnan Jenderal Immamura memasuki ruangan perundingan.

Bertanyalah Immamura kepada Ter Poorten: Apakah sudah dilaksanakan penyiaran melalui radio itu? Dan bagaimana isi jawaban yang tuan bawa?

Terhadap pertanyaan ini Ter Poorten tidak banyak berbicara, hanya mengatakan:

PENYERAHAN YANG TIDAK MEMAKAI SUATU SYARAT APA PUN UNTUK SELURUH PASUKAN YANG ADA DI HINDIA BELANDA. SAAT YANG BERSEJARAH INI BERLANGSUNG PADA JAM 14.50 TGL. 9 MARET 1942.

Setelah menandatangani penyerahan, Ter Poorten berbicara sebagai berikut: TADI PAGI KAMI TELAH MENYIARKAN DENGAN PERANTARAAN RADIO BAHWA KAMI SEBAGAI PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG HINDIA BELANDA TELAH MENYERAH KEPADA PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG JEPANG, AKAN TETAPI BAGI KAMI KURANG JELAS APAKAH SIARAN KAMI BISA DITERIMA OLEH TENTARA HINDIA BELANDA SELURUHNYA ATAU TIDAK.

Immamura: Cukup kiranya jika tuan telah berjanji dan menyerah sebagai Panglima Tertinggi Hindia Belanda. Untuk itu kami telah mengetahui adanya penderitaan dan kesengsaraan yang tuan alami. Kami sangat iba, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Jepang.

******



Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal




Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan