Langsung ke konten utama

Mengenang Pahlawan Moh Ramdhan: Surat Terakhir Buat Ibu Ditulis dengan Tetesan Darah

UNTUK mengenang jasa serta pengorbanannya. Pemda Kodya Bandung telah mematrikan nama Pahlawan Moh. Ramdhan akan nama sebuah jalan yang menghubungkan Karapitan - Tegallega Bandung. Seperti halnya Pahlawan Bandung Selatan Moh. Toha, Moh. Ramdhan pun sampai saat ini belum diangkat sebagai Pahlawan Nasional, meski jasa serta pengorbanan Pahlawan yang dua itu sudah selayaknya menyandang predikat tersebut. Walau demikian, Pemda Prop. Jabar masih berusaha untuk menjalin suatu ikatan batin akan keluarga Moh. Toha dan keluarga Moh. Ramdan, terutama menjelang peringatan hari-hari bersejarah, seperti halnya Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember ini. Dalam kesempatan itu, biasanya, para keluarga pahlawan akan mendapatkan sejumlah uang atau bingkisan lainnya. Hadiah yang bersifat untuk menjalin kekeluargaan itu juga akan disampaikan Pak Gubernur kepada keluarga Pak Otto Iskandardinata Si Jalak Harupat serta kepada keluarga Pak Abdul Muis.

Mohammad Ramdhan, anak desa dari Ciparay Kab. Bandung itu termasuk anak pemberani. Sebelum aktif memanggul bedil dan berjuang mengusir penjajah Belanda, ia dijuluki teman-temannya sebagai anak nekad. Bagaikan tidak takut mati, Ramdhan yang sejak kecil senang berolah raga terutama cabang sepak bola itu, akan selalu membuat kedua orang tua dan kakak perempuannya dicekam ketakutan. Semua meringis, semua memejamkan mata, lalu akan memuji kebolehan Ramdhan yang melintasi sebuah jembatan dalam posisi menggelantung, tak ubahnya seperti kalong. Di atas air sungai yang deras, Ramdhan hanya berpegangan tangan akan besi-besi jembatan. Pekerjaan yang mengundang bahaya itu akan Ramdhan lakukan hampir setiap hari.

Barisan Banteng

Di zaman revolusi, Moh Ramdhan yang berusia 19 tahun itu tergabung dalam Barisan Banteng bersama beberapa orang rekan sekampungnya, antara lain: Suntana, Mu'in, Emen, dan lain-lainnya. Setelah ia mengetahui akan rencana Moh. Toha, Ramdhan sempat menemui kedua orang tuanya di kampung. "Ibu masih ingat betul, saat itu hari Kamis sore," tutur Ny. Rukiah, kakak kandung Moh. Ramdhan yang kini masih hidup. Dikisahkan, kedatangan adiknya saat itu hanya untuk mengambil sepasang sepatu dari Pak Haji. Kesempatan itu pun Ramdhan manfaatkan untuk memohon diri kepada kedua orang tuanya sehubungan dengan rencananya untuk menghancurkan kekuatan musuh yang berlokasi di Dayeuhkolot.

Kepada kakak kandungnya, Ramdhan minta digorengkan ikan basah kesenangannya. Setelah makan nanti, Ramdhan akan segera kembali ke front. Namun Moh. Ramdhan tidak sabar menanti ikan yang masih digoreng. Ia pun mengambilnya seekor kemudian ia makan dengan lahapnya sambil duduk di atas sebuah "jojodog" (tempat duduk khas orang kampung yang terbuat dari kayu) sambil menghadap tungku api. Cepat sekali Ramdhan makan saat itu, membuat kakaknya keheranan.

"Mak, aku tidak akan makan di sini lagi," begitu kata Ramdhan seusai makan. Ia pun berkemas. Gagah sekali kelihatannya sore hari itu. Mengenakan pakaian seragam warna cokelat, peci hitam dengan lambang merah putih kecil, di dadanya melingkar untaian peluru.

Dari Ciparay, Moh. Ramdhan naik sebuah kendaraan tua menuju Dayeuhkolot. Namun dalam perjalanan, ia dicegat patroli Belanda tidak jauh dari Sungai Sapan dan terjadilah peperangan sengit. Dua orang rekannya gugur, sementara Ramdhan dan seorang rekannya luka-luka berat. Komandan Regunya menyarankan agar Ramdhan kembali ke kampung, mengingat keadaannya yang mengkhawatirkan. Namun Ramdhan menolaknya. Ia tidak akan kembali sebelum bertemu dengan Moh. Toha yang telah menunggunya di seberang Sungai Citarum.

Sebelum melanjutkan tekadnya, Ramdhan yang dalam keadaan luka parah, malah sempat menukarkan senjata kepada seorang rekannya. Sebab senjata laras panjang pegangannya sering macet-macet. Ia pun bergerak dengan menyeberangi Sungai Sapan, kemudian mempergunakan perahu menyeberangi Sungai Citarum, bersama beberapa orang rekan seperjuangannya.

Siang harinya, Jumat tanggal 11 Juli 1946, Ramdhan mendapat serangan Belanda. Ia jatuh terkapar di pinggir jalan raya, persis di depan kantor pos Dayeuhkolot sekarang. Dadanya robek, sementara darahnya terus mengalir membasahi bumi tercinta. Walau demikian, ia masih tampak bersemangat. Ia tidak mau menyerah kepada keadaan. Bahkan dalam kesempatan itu Ramdhan sempat menulis surat untuk orang tuanya. Surat yang ia tulis dengan tetesan darahnya itu diantarkan seorang rekannya.

"Ibu sudah lupa, siapa pejuang yang dulu mengantarkan surat itu kemari, kata kakaknya. "Mak, doakan saya yang akan terus berjuang," begitu kira-kira isi surat yang ditulis Moh. Ramdhan sebagaimana dikisahkan kakak kandungnya.

Beberapa jam setelah surat berharga yang sayang kini tidak sampai disimpan di museum itu diterima orang tuanya, terdengarlah suara ledakan dahsyat yang menggelegar mengguncang bumi.

Ternyata gudang mesiu Belanda di Dayeuhkolot telah dihancurkan Moh. Toha. Tidak kurang dari 18.200 ton mesiu berbagai kaliber telah meledak yang bekasnya masih ada sampai sekarang berbentuk kolam persis di depan asrama Zeni Siliwangi.

Kini, Mohammad Ramdhan telah tiada. Potretnya juga tidak ada begitu pula sejarah lengkapnya. Namun namanya akan tetap dikenang sepanjang masa. (Adang S.).---



Sumber: Tidak diketahui, 10 November 1984



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...