Langsung ke konten utama

Integrasi Nasional Indonesia: Beberapa Catatan

Oleh: Prof Dr Harsja W. Bachtiar

Dua Pandangan yang Berbeda:

Ada paling sedikit 2 pandangan yang berbeda tentang integrasi bangsa Indonesia sekarang ini dan tentu saja masing-masing pandangan ini mengakibatkan juga kebijaksanaan yang berbeda berkenaan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan integrasi bangsa.

Pandangan pertama didasarkan atas anggapan bahwa bangsa Indonesia telah ada sejak amat lama, mungkin sudah sejak jaman prasejarah. Dalam masa tertentu terutama dalam masa kerajaan agung Sriwijaya dan Majapahit, kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampak jelas terwujud sebagai satu kesatuan politik yang besar. Akan tetapi kemudian dengan menggunakan cara memecah belah persatuan besar ini (devide et empera) para penjajah asing berhasil menguasai bangsa Indonesia dan memanfaatkan kepulauan yang menjadi tanah jajahannya dengan penduduk taklukannya untuk meningkatkan kemakmuran di tanah asal mereka di Eropa. Sekarang bangsa Indonesia telah berhasil dibebaskan dari kekuasaan penjajah dan dijadikan negara merdeka kembali, Republik Indonesia. Meskipun negara Republik Indonesia tumbuh berkembang menjadi negara yang cukup terkemuka, cukup terhormat di dunia kita ini, penjajahan asing di masa lampau dan berbagai perbedaan politik, dan sebagian disebabkan oleh pengaruh kekuatan-kekuatan asing, mengakibatkan masih adanya berbagai perpecahan politik, pertentangan politik, yang harus dihentikan agar kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia dapat dipulihkan kembali.

Pandangan kedua, yang dianut oleh pemrakarsa didasarkan atas anggapan bahwa sebelum permulaan abad XX ini, tidak pernah ada penduduk di kepulauan ini yang dapat dinamakan bangsa Indonesia. Malah nama "Indonesia" adalah ciptaan seorang ahli antropologi Inggris bernama J. R. Logan, yang memerlukan suatu nama untuk kepulauan yang terbentang antara benua Asia dan Australia serta penduduknya yang pada waktu ia menulis karya ilmiah yang menggambarkan penduduk di kepulauan ini tahun 1850, tidak mempunyai nama sendiri. Pada permulaan abad ke-XX ini nama Indonesia belum dikenal oleh penduduk kepulauan kita sendiri. Pada waktu itu hanyalah ada bangsa Jawa, bangsa Aceh, bangsa Melayu, bangsa Sunda, bangsa Bali, bangsa Bugis dan demikian seterusnya. Gerakan kebangsaan Indonesia mempersatukan bangsa-bangsa di kepulauan kita menjadi satu nation yang besar, satu nation yang agung, bangsa Indonesia. Proses mempersatukan satuan-satuan penduduk yang sebelum ini terpisah-pisah masih berlangsung, sehingga proses inilah yang dimaksud bilamana "integrasi nasional dibicarakan". Pertumbuhan nation Indonesia menjadi nation yang besar, agung dan jaya, adalah suatu keberhasilan yang bisa dibanggakan. Akan tetapi masih banyak orang yang menurut hukum berkewarganegaraan Indonesia, seperti suku-suku bangsa yang masih terasing di pedalaman Irian Barat, dalam kenyataan belum sungguh-sungguh merupakan bagian dari nation Indonesia. Lagi pula hubungan antar golongan yang masih baru masih harus diperkuat agar supaya tidak mudah retak, ataupun malah putus. Pertentangan politik belum tentu mengakibatkan nation Indonesia menjadi lemah. Pertentangan politik bisa mengakibatkan persatuan nation Indonesia menjadi kuat bilamana pertentangan politik yang bersangkutan mempersatukan orang-orang dari berbagai golongan yang jelas berbeda, seperti orang-orang yang berbeda ras, suku bangsa dan agama, dalam menghadapi pihak lain yang juga mempersatukan orang-orang dari golongan-golongan yang berbeda ini.

Kita menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada dengan penggunaan kerangka pemikiran tertentu; orang-orang yang bekerja dalam bidang ilmu-ilmu sosial tentu cenderung menggunakan suatu sistem teori tertentu yang terdiri dari asumsi-asumsi, konsesi-konsesi, serta proposisi-proposisi tertentu yang semestinya berhubungan satu dengan yang lain menurut cara berpikir yang teratur maupun yang merujuk pada kenyataan empirik--kenyataan yang dapat diamati dan digambarkan.

Masalah yang sekarang kita hadapi, masalah integrasi nasional, diwujudkan oleh seperangkat gejala sosial tertentu dalam dunia nyata yang bisa ditanggapi, digambarkan, dan dianalisa dengan penggunaan suatu kerangka pemikiran tertentu, suatu sistem teori tertentu.

Konsep dasar dalam menghadapi masalah integrasi bangsa Indonesia adalah konsep "bangsa" atau "nation", dua konsep yang tidak sepenuhnya merujuk pada gejala yang sama. Konsep "bangsa" menurut hemat pemrakarsa, didasarkan atas anggapan bahwa orang-orang yang merupakan kolektiva sosial yang bersangkutan sudah turun temurun merupakan satu kolektiva sosial, bahkan mungkin sekali semua mempunyai nenek moyang yang sama, suatu ide yang biasanya diperkuat oleh suatu mitos yang menjelaskan asal mula bangsa yang bersangkutan, biasanya dengan menampilkan seseorang atau sepasang manusia istimewa sebagai asal mula bangsa. Pengertian demikian, yang cenderung menyamakan "bangsa" dengan semacam ras, mempersulit penerimaan orang yang tidak mempunyai nenek moyang yang sama sebagai anggota penuh bangsa yang bersangkutan, terlebih lagi bilamana jelas-jelas nenek moyang mereka adalah bagian dari bangsa lain.

Konsep "nation", sebagaimana dijelaskan oleh Ernest Renan dalam kuliah umumnya di Universitas Sorbonne, Paris, tahun 1882, tidak mengandung kesulitan yang terdapat pada konsep "bangsa", karena nation biasanya malah terjadi dari percampuran, pemersatuan dari berbagai penduduk. Suatu nation tidak didasarkan atas ras tertentu, bahasa tertentu, agama tertentu, kesamaan kepentingan, ataupun batas-batas alamiah yang dapat dilihat pada peta. "Suatu nation ialah suatu solidaritas yang besar," kata Renan, "tercipta oleh perasaan-perasaan yang disebabkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat dan yang cenderung akan dibuat lagi di masa depan. Suatu nation mempunyai masa lampau akan tetapi meneruskan dirinya dalam masa kini dengan suatu fakta yang tegas: kesepakatan, kehendak yang dinyatakan dengan jelas untuk meneruskan hidup bersama." Kehendak untuk hidup bersama dapat dilakukan dengan siapa saja, termasuk orang-orang yang rasnya berbeda, suku bangsanya berbeda, ataupun agamanya berbeda.

Konsep "nation", oleh sebab itu, mungkin merupakan konsep yang lebih tepat merujuk pada bagian-bagian penduduk di kepulauan Indonesia yang dimaksud bilamana kita berbicara tentang "integrasi" nasional daripada konsep "bangsa".

Beberapa Fakta Sejarah:

A. Pada permulaan abad XX mulai terbentuk pengelompokan-pengelompokan seosial, ekonomi, dan politik baru di masyarakat jajahan Hindia Belanda: kolektiva-kolektiva sosial baru yang tidak lagi didasarkan atas hubungan kekerabatan atau kebudayaan tradisional (adat). 

1. Pembentukan kolektiva-kolektiva sosial dalam bidang pendidikan modern: berbagai jenis sekolah dasar dan kemudian menengah; sejak 1920 juga beberapa perguruan tinggi. Sistem pendidikan tidak satu: pribumi (agama; umum), Belanda, Cina, dan Arab.

2. Pembentukan kolektiva-kolektiva sosial dalam lapangan kerja: perusahaan dagang, persuratkabaran, dan sebagainya.

3. Pembentukan kolektiva-kolektiva sosial dalam bidang sosial dan politik atas dasar solidaritas kedaerahan: Boedi Oetomo, 1908; Ambonsch Studiebonds, 1909; Ambon's Bond, 1909; Mena Moeria, 1913; Pagoejoeban Pasoendan, 1914; Sarekat Soematra, 1918; Sarekat Ambon, 1920; Kaoem Betawi, 1923; Sarekat Madoera, 1925; dan sebagainya.

4. Pembentukan kolektiva-kolektiva sosial dalam bidang agama: Sarekat Islam, 1912; Moehamadijah, 1912; Centraal Sarekat Islam, 1915; Partai Sarekat Islam, 1923; Pakempalan Politiek Katolik Djawi, 1925; Nadhatoel Oelama, 1926; Persatoean Tarbijah Islamijah, 1930; dan sebagainya.

5. Pembentukan kolektiva-kolektiva sosial dalam bidang kepemudaan:

a. Atas solidaritas kedaerahan: Tri Koro Darmo, 1915; Jong Java, 1918; Sekar Roekoen, 1921; Jong Soematranen Bond, 1918; Studeerenden Vereeniging Minahassa, 1918; Ambonsche Studeerenden (Jong Ambon), 1923; Jong Batak's Bond, 1925; dan sebagainya.

b. Atas dasar kebangsaan Indonesia: Perhimpoenan peladjar-peladjar Indonesia, 1926; Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia), 1927; Indonesia Moeda, 1931; dan sebagainya.

c. Atas dasar agama: Jong Islamieten, 1925; Moeda Katolik, 1929; Ansor Nadhatoel Oelama, 1932; dan sebagainya.

6. Pembentukan kolektiva-kolektiva sosial dalam bidang kemahasiswaan: Bataviaasche Studenten Corps, 1924; Indonesische Studentenvereeniging Bandung, 1920; Unitas Stuidiosorum Indonesiensis, 1933; dan sebagainya.

7. Pembentukan kolektiva-kolektivas sosial atas dasar solidaritas rasial:

a. Tiong Hua Hwee Koan, 1900; Kuo Min Tang, 19...; Sin Po, 19...; Chung Hua Hui 19...; Partai Tionghwa Indonesia, 1932; dan sebagainya.

b. Persatoean Arab Indonesia, 1936; Indo-Arabische Beweging, 1939; dan sebagainya.

c. Insulinde, 19...; Indische Partij, 1912; National Indische Partij, 1919; Indo-Europeesch Verbond, 1919; dan sebagainya.

8. Pembentukan kolektiva-kolektiva sosial atas dasar kebangsaan Indonesia: Perserikatan Nasional Indonesia (kemudian: Partai Nasional Indonesia), 1927; Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia, 1930; Partij Indonesia, 1930; Persatoean Bangsa Indonesia, 1931; dan sebagainya. 

B. Pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda yang menghadiri Kongres Pemoeda Indonesia ke-II menyatakan tekad bersama yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda:

"Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia", tanpa menyatakan apa yang diartikan dengan 'Indonesia'.

C. Pada sidang Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Indonesia Merdeka yang diadakan di Jakarta tanggal 10 dan 11 Juli 1945 ternyata bahwa pada waktu itu para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia belum sepakat tentang batas-batas wilayah dan penduduk yang dicakup oleh nama "Indonesia". Tanggal 11 Juli diadakan pemungutan suara dan keputusan bersama. Ternyata ada 5 kemungkinan pilihan:

1. "Hindia Belanda dahulu".
2. "Hindia Belanda dahulu ditambah Borneo Utara, ditambah Papua, ditambah Timor semuanya".
3. "Hindia Belanda dahulu ditambah Malaka, ditambah Borneo Utara, ditambah Papua, ditambah Timor dan kepulauan sekelilingnya", (usul M. Yamin, Soekarno).
4. "Hindia Belanda dahulu minus Papua" (usul M. Hatta).
5. "Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka, dipotong Papua".

(Keterangan: dengan Malaka dimaksud semenanjung Malaka; dengan Papua dimaksud Irian).

Sesudah diadakan pemungutan suara, suara memperlihatkan 39 dari 66 suara memilih no. 3; dan 19 memilih no. 1; sehingga ketua Radjiman menyatakan:

"Dan saya tetapkan pada saat ini para anggota yang terhormat yang diputuskan, yang disahkan hari ini oleh persidangan, yaitu bahwa daerah yang masuk Indonesia merdeka: Hindia Belanda dahulu ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya".

Sebelum pemungutan suara dilakukan, Soekarno antara lain mengatakan: "Bahkan pernah ada suatu waktu di dalam hidup saya bahwa saya mengenang-ngenangkan suatu Pan Indonesia, satu Pan Indonesia yang meliputi pula di dalamnya bukan saja Malaya dan Papua, tetapi juga kepulauan Pilipina .... Tetapi Pilipina telah Merdeka. Kedaulatan bangsa Pilipina harus kita hormati ...."

Fakta sejarah yang memperlihatkan bagaimana "Indonesia" diartikan oleh pemimpin-pemimpin gerakan kebangsaan kita tidak lebih dari satu bulan ditambah satu minggu sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak ditampilkan sebagai pencerminan pemikiran, bahkan keinginan, untuk memperluas wilayah Republik Indonesia, melainkan untuk memperlihatkan bahwa batas-batas pengertian "Indonesia" adalah sangat baru. Siapa yang dianggap termasuk orang Indonesia dan siapa yang tidak didasarkan atas "kesepakatan", kehendak yang jelas untuk meneruskan hidup bersama.

Kenyataan yang Kita Hadapi:

Penduduk yang berjumlah lebih dari 160.000.000 manusia, hidup di kepulauan yang terbentang luas, lebih luas daripada benua Eropa atau Amerika Utara.

1. Penduduk kepulauan Indonesia mewujudkan ras-ras manusia yang berbeda-beda (Mongoloid, Negroid, Caucasoid), masing-masing dengan ciri-ciri pisik tertentu, sebagai akibat pewarisan biologi. Banyak orang beranggapan bahwa orang-orang yang merupakan suatu ras juga mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu, watak tertentu, malah kebudayaan tertentu, tapi kenyataan tidak membenarkan anggapan demikian. Ada kecenderungan pada banyak orang untuk mempertahankan kemurnian ras masing-masing, tapi banyak orang yang menganggap diri perwujudan ras murni asli, adalah tidak murni adalah campuran. Lagi pula, sekalian ras manusia yang merupakan penduduk Indonesia masing-masing hanya merupakan sebagian dari keseluruhan ras yang bersangkutan; bagian lain dari masing-masing ras tanpa kecuali, berada di luar wilayah Indonesia.

2. Penduduk kepulauan Indonesia mewujudkan beraneka suku bangsa, yang dulu masing-masing dikenal sebagai bangsa tersendiri (bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Minangkabau, bangsa Melayu, bangsa Bugis, bangsa Bali, bangsa Minahasa, dan sebagainya). Masing-masing suku bangsa mempunyai kebudayaan sendiri (termasuk kepercayaan-kepercayaan sendiri), bahasa sendiri, struktur masyarakat sendiri, sistem politik sendiri, dan, ini yang amat penting, wilayah (tanah air!) sendiri. Anggota-anggota masing-masing suku bangsa cenderung mempunyai identitas sebagai anggota suku bangsa yang bersangkutan dan oleh sebab itu dalam keadaan tertentu mewujudkan rasa setia kawan, solidaritas, dengan sesama anggota suku bangsa yang bersangkutan di kota-kota besar, seperti Jakarta, terdapat sejumlah orang yang tidak mempunyai identitas suku bangsa tapi jumlah orang-orang demikian sangat sedikit dibanding dengan orang-orang yang mempunyai identitas suku bangsa. Di masing-masing daerah ada suku bangsa tertentu yang merupakan mayoritas; orang-orang lain merupakan minoritas. Suku bangsa yang merupakan mayoritas di satu daerah bisa merupakan minoritas di daerah lain. Di beberapa daerah tidak ada mayoritas yang jelas. Minoritas tidak selalu merupakan golongan yang terugikan oleh mayoritas. Orang-orang yang bukan kelahiran daerah yang bersangkutan, malah sering kali orang-orang yang bukan anggota suku bangsa yang menganggap daerah yang bersangkutan sebagai kampung halaman, tanah air, tanah yang diwarisi dari para nenek moyang, cenderung dianggap sebagai "orang luar", "bukan orang kita" oleh orang-orang pribumi daerah yang bersangkutan. 

3. Penduduk kepulauan Indonesia mewujudkan berbagai agama, sehingga terbentuk berbagai umat agama besar: Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, Hindu-Bali. Penganut masing-masing agama besar, terutama agama Islam, Kristen Protestan, dan Katolik Roma berkeyakinan bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang benar dan berbagai penganut, oleh sebab itu, merasa berkewajiban berusaha agar orang-orang yang tidak menganut agama yang bersangkutan dijadikan penganutnya. Masing-masing umat merupakan suatu masyarakat moral yang juga merupakan suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari anggota-anggota yang sedikit banyaknya solider satu dengan yang lain. Di satu pihak, masing-masing agama besar memperkuat persatuan nasional Indonesia karena mempersatukan para penganut agama yang sama dari berbagai ras, berbagai suku bangsa, berbagai golongan sosial lain menjadi satu umat, tetapi di lain pihak masing-masing agama besar bisa menghambat persatuan nasional Indonesia karena para penganutnya bisa memisahkan orang lain yang tidak seagama, malah menolak mengganggu orang-orang yang tidak seagama ini.

Adanya perbedaan ras pada penduduk di kepulauan Indonesia, yang batas-batas pemisahnya pun sangat kabur karena banyaknya percampuran antar ras di masa lalu dan sekarang ini tidak dapat dimungkiri, harus diterima sebagai kenyataan yang tidak mungkin dan tak perlu dirobah. Begitupun halnya dengan perbedaan suku bangsa. Paling sedikit sekalian suku bangsa yang besar, yang banyak anggotanya akan bertahan terus sebagai kolektiva-kolektiva sosial yang mempunyai kebudayaan sendiri dan wilayah kediaman sendiri. Orang-orang Fries di Nedherland, orang-orang Basque di Spanyol, orang Georgia di Uni Soviet, orang Skotlandia di Inggris dan banyak lagi kolektiva-kolektiva sosial yang sejenis tetap bertahan meskipun mengalami industrialisasi, modernisasi. Perbedaan agama pun haruslah diterima sebagai kenyataan yang tidak bisa diubah. Selain beberapa orang perseorangan, pada umumnya masing-masing orang, betapapun lemahnya keyakinan agamanya tidak akan menjadi penganut agama lain, sehingga masing-masing agama akan bertahan dengan jumlah penganut yang cukup besar untuk memungkinkan kehidupan agama yang terus menerus berkembang subur.

Karena perbedaan-perbedaan ras, suku bangsa, dan agama tidak dapat diubah, haruslah diusahakan pengaturan hubungan antar ras, antar suku bangsa, dan antar agama yang tidak merugikan satu sama lain, malah, kalau dapat, saling mendukung satu sama lain.

Cita-cita Kita:

Cita-cita kita bersama adalah sederhana tapi agung: suatu masyarakat di mana sekalian golongan (kecuali golongan penjahat) dapat hidup rukun, mengembangkan diri tanpa merugikan golongan lain dan bahkan membantu, mendukung, golongan-golongan lain, sehingga terwujud suatu masyarakat yang adil dan makmur.

Cita-cita demikian hanya dapat tercapai bilamana kita semua berpedoman pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia kita maupun berpedoman pada Pancasila. ***

(Artikel ini adalah makalah yang disampaikan Prof Dr Harsja W. Bachtiar pada Diskusi Panel "Pemantapan Pengertian Nasionalisme dan Pembentukan Bangsa Dewasa Ini Demi Pengokohan Eksistensi Negara Bangsa" yang diselenggarakan Yayasan Prasetya Mulya, dan Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia, 8 Nopember 1984 di Jakarta).



Sumber: Suara Karya, 9 November 1984



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan