Langsung ke konten utama

Bahasa Indonesia sebagai Aspal Kolonial

Tulisan P Ari Subagyo berjudul "Masalah Utama Bahasa Indonesia" (Kompas, 3/5) menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, apa yang dipersoalkan dalam tulisan itu selalu menjadi perdebatan yang aktual di kalangan orang muda Indonesia sesudah mereka berkumpul dan berikrar dalam Soempah Pemoeda pada 1928.

Perdebatannya adalah di seputar "kesatuan bahasa" yang baru saja digagas atau dibangun demi tujuan perjuangan untuk merdeka dari Belanda. Bagi Partai Indonesia Raya, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang diperintahkan untuk digunakan dalam semua pernyataan umum terhadap setiap anggotanya. Begitu pula dengan anggota-anggota pribumi di Volksraad, yang telah memutuskan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia ketika bersuara dalam dewan tersebut.

Akan tetapi, seperti apakah sesungguhnya bahasa Indonesia yang ditunjuk oleh partai politik terbesar zaman itu dan badan penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut? Sebetulnya itu adalah juga bahasa Melayu. Namun, Melayu yang benar. Artinya, "Melayu Tinggi" yang dibakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, Volkslectuur (Bacaan Rakyat), dan penerbit Balai Poestaka. Sering pula disebut "Melayu Ophuijsen" sesuai dengan nama insinyur bahasa yang membentuknya.

Bahasa Melayu itu berbeda dengan "Melayu Rendah", "Melayu Betawi", atau "Melayu bazaar (pasar)", seperti yang dipakai oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis dan penulis pribumi awal. Gaya penulisannya dikenal sebagai koyok Cino (seperti China) yang identik dengan China-Melayu. Namun, ia juga memakai campuran Melayu-Belanda yang begitu ekspresif atau bersifat banci-banci modernitas.

Oleh karena itulah, Mas Marco berulang kali ditangkap dengan jeratan pasal haatzaai (menyebarkan kebencian). Bahkan, di akhir hayatnya, ia hidup di kamp interniran Boeven Digoel, Irian Barat, dalam pembuangan mirip dengan bahasa Melayu-nya. Sebuah bahasa jalanan yang dibuang, dikucilkan secara linguistik dan diasingkan dengan sukarela.

Kajian mengenai bahasa Indonesia--atau lebih tepat politik bahasa--di atas dipaparkan dengan baik oleh sejarawan Rudolf Mrázek dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). Bahkan, dengan baik pula, Mrázek menempatkan dan mengibaratkan persoalan bahasa itu sebagai aspal. Hal ini sejalan dengan modernitas kolonial yang sedang digalakkan melalui pembangunan jalan dan rel modern.

Penampilan bahasa Indonesia pasca-Soempah Pemoeda tak lepas dari usaha untuk membuat suatu bangsa yang masih lemah dan sedang tumbuh menjadi seperti sebuah jalanan yang beraspal. Dengan penampilan seperti itu, bahasa Indonesia dihadapkan pada bahaya-bahaya yang merupakan permainan dari bahasa teknis (vaktaal). Dalam bahasa ini, ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah yang diharapkan mampu mengikat atau menyatukan rasa kesatuan dapat gagal dan bahkan hancur berantakan. Dengan kata lain, bahasa itu menjadi seperti "tidak punya perasaan" (rasaloos) atau "tidak punya malu" (ma-loeloos).

Akrobat otak

Itulah sebabnya bahasa Indonesia yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan sebagai bahasa persatuan tampil tak jauh berbeda dengan "Pak Koesir yang telanjang kaki, bingung, ketakutan, gugup, ragu-ragu, dan pantas ditertawakan di tengah lalu lintas umum". Penampilan itu adalah stereotip yang dikenakan kepada para pengguna jalan modern yang berlabel p.k. (paardekracht) atau "daya kuda", "Sidin", dan juga "Simin". Label-label itulah yang merepresentasikan identitas "penduduk asli" atau "pribumi" yang lebih sering menjadi korban kecelakaan/tabrakan di jalanan dan berjalan tanpa sepatu.

Masuk akal jika sejak semula bahasa Indonesia tak pernah utuh, apalagi terikat pada satu peraturan permainan linguistik semata. Melalui bahasa itu, terbuka kemungkinan untuk "mengabstrakkan dunia dari keadaan-keadaan sosialnya" dan "untuk membuatnya tampak seolah-olah, secara teknologis, menggantung di awang-awang". Dengan demikian, bahasa seperti itu mampu merekatkan bersama segala sesuatu yang paling tidak akur, bahkan dapat bermanfaat untuk melawan rasa malas dan ketakutan dalam berbahasa karena mirip seperti sebuah batu yang dapat dipasang dan dilepas secara bebas seturut kepentingannya.

Konsekuensi logisnya, bahasa Indonesia menjadi seperti akrobat otak. Atau, mengeltaal, mischprache, gado-gado, "bahasa campuran", "bahasa oblok-oblok", "bahasa campur aduk" yang tidak hanya memiliki satu rasa. Dengan cara itulah bahasa Indonesia tidak menjadi mesin, instrumen, dan bahkan komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar. Hal ini dapat dilacak dari pengalaman berbahasa kaum nasionalis radikal Indonesia yang menulis di majalah atau surat kabar tentang gerakan nasionalisme mereka. Yang ditulis--termasuk dilukis--bukan lagi wilayah Indonesia yang tropis dengan pemandangan alam yang hijau dan lebat. 

Sekali lagi, Mas Marco, misalnya, dengan mudahnya menggores dan meretakkan, bahkan merusak, apa yang sudah dipoles atau diperhalus dalam bahasa ibu/asli. Singkatan Weltvaartschomissi (Komisi Kesejahteraan) dapat terlihat "subversif" di mata pejabat kolonial yang terhormat ketika dibuat menjadi WC. Atau, boemipoetra yang secara teknis lucu dan menggigit disingkat sebagai bp. Bahkan, Kromoblanda-nya Tillema yang memperlihatkan perpaduan yang tenang dan bahagia antara penduduk asli dan Belanda digubah dengan campuran Melayu-Belanda-nya menjadi "kromolangit", "kromorembulan", dan "kromobintang".

Tidak setiakah bahasa yang mencampuradukkan istilah-istilah asli dengan ungkapan-ungkapan yang seolah-olah datang dari dunia lain? Seorang pakar Jawa termasyhur, Dr Poerbatjaraka, pernah menyatakan kepada salah satu mahasiswanya bahwa keindahan bahasa (Belanda) terletak pada kemampuannya untuk tidak melukai orang (Jawa). Namun, bagi para pekerja kereta api di Semarang yang pernah menggalang aksi pemogokan terbesar pada 10 Mei 1923, istilah spoor tabrakan, "tabrakan kereta", justru menjadi teriakan perang yang mampu membangkitkan dan menggerakkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda meski hanya dalam waktu 12 hari.

Bahasa memang potensial sebagai perekat kebangsaan di antara orang-orang yang tak saling kenal. Hanya masalahnya, bahasa seperti itu dapat muncul secara historis jika, salah satunya, tidak dianggap sebagai kebenaran yang dikeramatkan. Begitu pula dengan bahasa Indonesia yang telah mampu menumbuhkan nasionalisme. Bahasa itu sesungguhnya tidak dilahirkan di ruang-ruang resmi perserikatan/perkumpulan, tetapi "dipungut" dari jalanan kolonial yang keras atau beraspal.

A WINDARTO
Anggota Staf Peneliti Lembaga Studi Realino, Yogyakarta



Sumber: Kompas, 28 Mei 2008 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...