Langsung ke konten utama

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL: Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa

Oleh NINOK LEKSONO

Dalam seri pertama tulisan mengenai "100 Tahun Kebangkitan Nasional" pekan lalu disinggung. Kebangkitan Nasional tak bisa dilepaskan dari munculnya elite berpendidikan di Bumi Nusantara. Ulasan mendalam mengenai hal ini dapat dijumpai, antara lain, dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite oleh Robert van Niel (1960, terjemahan Pustaka Jaya, 1984).

Dikemukakan pula, pada akhirnya Pemerintah Belanda merasa terpanggil secara moral untuk memperbaiki peri kehidupan pribumi di tanah jajahan Hindia Belanda. Ini pula semangat dari pidato tahunan kerajaan, September 1901, di mana Ratu Wilhelmina menyebut tentang "satu kewajiban luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia Belanda". Laporan wartawan Belanda, Pieter Brooshooft (bekerja di redaksi harian De Locomotief di Semarang), yang pada tahun 1988 menyaksikan sendiri kehidupan sengsara rakyat pribumi, dipercayai ikut memengaruhi lahirnya kebijakan baru tersebut.

Saat itu, tantangan terhadap praktik ekonomi liberal yang mulai diterapkan tahun 1870 bertambah luas, sampai akhirnya tahun 1899 muncul tulisan CT van Deventer yang terkenal, "Een Eereschuld" (Utang Budi). Tulisan ini mengimbau Pemerintah Belanda membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang miskin sebagai kompensasi atas keuntungan yang sudah dikeruk dari Jawa melalui Sistem Tanam Paksa, yang pada tahun 1900 jumlahnya sekitar 200 juta dollar.

Sementara peri kehidupan di Jawa terus menurun, melahirkan kemiskinan akut. Pimpinan urusan jajahan dari Partai Sosial Demokrat Belanda, HH van Kol, juga banyak menyerang kebijakan kolonial dan politik jajahan, dan dalam soal kemiskinan ungkapannya mengingatkan orang pada ucapan tokoh Perancis, Mirabeau, yang dikutip Van Niel, "La misere, la hideuse misere est la, et vous, vous deliberez." (Kesengsaraan, kesengsaraan mengerikan itu, ada di sana dan Anda, Anda harus bebaskan itu.)

Meski hasilnya disebut kurang signifikan, sekurang-kurangnya arah baru di atas berperan dalam peningkatan kesadaran orang pribumi di Nusantara. Putra-putri pribumi menjadi punya kesempatan merasakan pendidikan menengah dan tinggi, memungkinkan munculnya sosok seperti Dr Wahidin Sudirohusodo dan Dr Sutomo mendirikan Budi Utomo. 

Seperti juga diakui sarjana Belanda, WF Wertheim, "Pendidikan Barat punya efek dinamit terhadap sistem status kolonial." (Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, 1956).

Pendidikan membuka pikiran kaum muda terhadap ide-ide politik Barat, termasuk pemerintahan sendiri dan kebebasan dasar bagi pers, untuk berserikat dan berbicara. Pendidikan pula yang membuat riwayat tentang revolusi di tempat lain diketahui, khususnya Revolusi Perancis dan Amerika, juga gerakan gegap-gempita pada pertengahan abad ke-19 di Eropa yang bisa menggantikan otokrasi dengan hak individu.

Bangkitnya nasionalisme

Budi Utomo telah seabad dipandang sebagai simbol ikhtiar lahirnya kesadaran kebangsaan. Untuk hal terakhir ini, sejumlah faktor eksternal tampak besar peranannya. Pengaruh yang dimunculkannya pun tidak saja dirasakan di Hindia Belanda, tetapi juga Asia Tenggara dan bahkan di Asia secara umum.

Dalam Southeast Asia--Past and Present (Macmillan, 1989), sejarawan DR SarDesai dari Universitas California di Los Angeles menulis, "Nasionalisme tak diragukan lagi merupakan elemen tunggal paling kuat, dinamik, emotif (menggugah) yang telah mengubah konfigurasi politik Asia dan Afrika pada abad ke-20." Nasionalisme merupakan respons atas imperialisme dan eksploitasi politik dan ekonomi atas pihak yang diperintah.

Menarik juga apa yang dicatat SarDesai bahwa kekuasaan kolonial Barat juga melakukan aktivitas yang dampaknya justru membangunkan ingatan bangsa-bangsa Asia Tenggara terhadap kejayaan masa lalu. Yang dimaksud di sini adalah penggalian arkeologi yang lalu menemukan kembali benda antik bersejarah, candi-candi direstorasi, kesenian dipelajari. Semuanya--khususnya yang dilakukan Thomas Stamford Raffles di Malaya dan Jawa pada awal abad ke-20--ikut berperan mengobarkan kebanggaan kaum nasionalis, bahwa di masa lalu pun sudah ada kejayaan di tanah mereka.

Kejayaan di tempat lain

Akses terhadap informasi juga memungkinkan warga Asia Tenggara mengetahui peristiwa penting di negara tetangga, dan ini pun ikut membesarkan rasa nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa Asia Tenggara. Pemberontakan Boxer melawan kehadiran dan dominasi bangsa Barat di China tahun 1899 menumbuhkan simpati di berbagai tempat di Asia, demikian pula bangkitnya perlawanan Filipina terhadap Spanyol. Yang lebih hebat lagi pengaruhnya adalah kemenangan militer Jepang atas Rusia pada tahun 1905.

Dengan contoh itu, mitos bahwa bangsa Eropa tidak bisa dikalahkan runtuh. Lebih dari itu juga muncul harapan, kalau ada kesempatan, bangsa Asia juga bisa membangun kekuatan militer dan ekonominya hingga ke tingkat maju.

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1911, terjadi penggulingan Dinasti Manchu di China dan proklamasi Republik China. Pemimpinnya, Dr Sun Yat-Sen, dan partainya (Kuomintang, KMT) kemudian amat memengaruhi banyak nasionalis di berbagai wilayah Asia Tenggara, terutama di Vietnam.

Akhirnya yang juga harus disebut adalah perjuangan nasionalis di India, di mana Kongres Nasional India (KNI) yang sudah muncul sejak tahun 1885 dan masuknya Mahatma Gandhi ke kancah politik selama Perang Dunia I membangkitkan semangat jutaan warga. Tidak sedikit kaum nasionalis Asia Tenggara yang menghadiri acara tahunan KNI dan berkonsultasi dengan Gandhi dan Nehru. Keberhasilan perjuangan nasionalis India menimbulkan efek gelombang di Asia Tenggara dan Afrika dalam dua dekade berikutnya.

Semua disemaikan dalam satu proses fermentasi yang merebak pada awal abad ke-20. Saat itulah Asia, menurut sejarawan DGE Hall (dalam A History of South-east Asia, 1988), secara menyeluruh menjadi sadar atas dirinya. Persemaian itu sendiri mengingatkan orang pada apa yang untuk sejarah Eropa dikenal sebagai Renaisans atau kelahiran kembali yang terjadi pada abad ke-15 dan ke-16. Bedanya dengan Eropa, di Asia Tenggara serangan terhadap tradisionalisme, pengenalan terhadap cara berpikir baru, dan runtuhnya tata sosial feodal lama merupakan hasil dominasi politik dan ekonomi asing.

Seabad kemudian

Hasil fermentasi satu abad silam itu sekarang justru sedang dihadapkan pada tantangan yang amat hebat. Bila seabad silam kekuatan kolonial mempersatukan bangsa terjajah untuk bangkit melawan dominasi asing, kini kekuatan asing yang ada bukan lagi invasi atau okupasi kekuatan kolonial Eropa baru, tetapi gelombang kapitalisme global yang dengan amat dahsyat menerobos batas-batas ekonomi dan politik bangsa-bangsa, termasuk di Asia Tenggara.

Dalam pidatonya ketika memperingati Peringatan Emas Konferensi Asia-Afrika Bandung tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenangkan kembali tumbuh dan berkembangnya solidaritas bangsa-bangsa di dua kontinen, betapa mereka di paruh kedua dekade 1940-an memberikan sokongan terhadap RI, republik muda yang waktu itu terancam oleh kekuasaan kolonial yang ingin kembali.

Nasionalisme Indonesia yang telah lahir karena diilhami oleh perkembangan dunia kemudian berbalik menjadi salah satu inspirasi dunia, khususnya bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika yang--meminjam pidato Presiden Yudhoyono di atas--melihat RI sebagai anak pertama dari solidaritas kedua benua.



Sumber: Kompas, 12 Mei 2008



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...

Jiwa Bandung Lautan Api

Ingan Djaja Barus Staf Khusus di Dinas Sejarah Angkatan Darat Ingat anak-anakku  sekalian. Temanmu,  saudaramu malahan ada  pula keluargamu yang mati  sebagai pahlawan yang tidak  dapat kita lupakan selama- lamanya. Jasa pahlawan kita  telah tertulis dalam buku  sejarah Indonesia. Kamu  sekalian sebagai putra  Indonesia wajib turut mengisi  buku sejarah itu - Pak Dirman, 9 April 1946 T ANGGAL  24 Maret 1946, terjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kita, yaitu Bandung Lautan Api. Suatu peristiwa patriotik yang gemanya abadi di setiap hati. Tak hanya bagi mereka yang pernah hidup dalam masa berlangsungnya peristiwa itu, tetapi juga bagi mereka yang lahir lebih kemudian. Pada hakikatnya peristiwa "Bandung Lautan Api" merupakan manifestasi kebulatan tekad berjuang dan prinsip "Merdeka atau Mati" TNI AD (Tentara Republik Indonesia/-TRI waktu itu) bersama para pemuda pejuang dan rakyat Jawa Barat. Mereka bergerak melawan...

Lincoln--Stanton

P rabowo sudah resmi masuk Kabinet Indonesia Maju. Bersama para pejabat kabinet lainnya, Prabowo dilantik Presiden Joko Widodo sebagai menteri pertahanan. Sebelumnya ia bersafari silaturahmi, menyambangi para ketua umum partai koalisi Jokowi. Dengan demikian, kisah nyata Lincoln-Stanton berulang di Indonesia. Edwin McMasters Stanton (1814-1869) adalah politikus dan ahli hukum yang getol sekali mencermati langkah-langkah Abraham Lincoln dan mengecamnya dengan keras. Namun, oleh Presiden Lincoln (1861-1865), Stanton justru diangkat menjadi Menteri Peperangan (Secretary of War) dalam Perang Sipil (1861-1865). Lincoln akan selalu dikenang sebagai "Great Emancipator" karena ia sangat mendukung upaya untuk menghentikan perbudakan di Amerika Serikat. Sementara Stanton membuktikan kehebatannya sebagai nasionalis dan negarawan yang setia kepada kepala negaranya. L WILARDJO Klaseman, Salatiga Sumber: Kompas , 11 November 2019