Langsung ke konten utama

Patah Tumbuh Seorang Perintis

Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah
Editor: Herlina Lubis
Penerbit: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran, Bandung, 2002

Selesai ditulis pada 1971, naskah ini dipetieskan dalam suasana represi dan komunistofobia pada waktu itu. Padahal, Iwa adalah seorang perintis kemerdekaan dan pejuang nasionalisme Indonesia.

SEPERTI kebanyakan tokoh pergerakan, Iwa Kusuma Sumantri berasal dari keluarga priayi rendahan. Orang tuanya adalah elite politik setingkat desa. Saat Iwa muda bersekolah di Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA), orang tuanya berharap dia akan menjadi pangreh praja. Tapi sang anak tidak setuju. Dia memilih belajar ilmu hukum dan bekerja di Pengadilan Negeri Bandung serta Pengadilan Tinggi Jawa Timur.

Pada masa-masa itu Iwa rajin membaca majalah Matahari pimpinan Dr. Abdul Rivai serta kerap berhubungan dengan para aktivis pemuda politik dan pergerakan. Kesadaran politiknya mulai tumbuh. Hal ini antara lain terlihat dari reaksinya menghadapi janji-janji Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Limburg Stirum, yang panik menghadapi situasi Perang Dunia I.

Ketika itu Van Limburg berjanji di depan Voolksraad pada 1919 bahwa pemerintah Belanda akan memberikan otonomi dan demokrasi atau partisipasi rakyat luas pada koloni. Janji ini tak pernah dilaksanakan. Dan Iwa menagihnya dalam berbagai tulisan. Orang tua Iwa dengan susah payah kemudian membiayai studi anaknya ke Belanda. Di Nederland, petualangan politik Iwa justru kian menemukan wadahnya dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia.

Sumbangan terbesar Iwa bersama mahasiswa Indonesia lain seperti Hatta adalah melahirkan konsep politik "Indonesia", yang sebelumnya hanya merupakan konsep ilmiah-geografis. Saat di Eropa, Iwa sempat diutus pergi ke Belgia untuk mengikuti Konferensi Liga Anti-Imperialisme yang dipengaruhi oleh pihak Moskow--yang menyerukan front persatuan buruh dan rakyat jajahan. Iwa sempat pula ke Rusia. Di sana dia bertemu dan menikah dengan wanita Rusia bernama Anna. Mereka punya satu putri yang sampai kini tetap tinggal di sana.

Pernikahan dengan perempuan Rusia ini membuat dia seumur hidup dicurigai sebagai komunis. Namun jiwa petualangannya sebenarnya sama dengan seorang tokoh kemerdekaan lain: Tan Malaka. Keduanya diikat oleh pertalian separtai dan persahabatan erat seumur hidup.

Sepulang ke Tanah Air, Iwa pergi ke Ciamis, Jawa Barat. Di sana dia diamati polisi Belanda yang menyuruh keluarganya melaporkan segala kegiatan Iwa. Akan tetapi setelah pulang dari Moskow, Iwa rupanya tak lagi aktif dalam politik. Dia kehilangan kontak maupun berita-berita dengan kelompok pergerakan, baik yang di Nederland maupun di Indonesia. Namun dia amat kagum pada pemuda Sukarno yang berapi-api menentang penjajahan sehingga ditangkap dan dibuang ke luar Jawa.

Iwa kemudian bekerja sebagai pengacara di pusat perburuhan di Medan. Tulisan-tulisannya yang tajam membuat dia diberangus Belanda dan dibuang ke Banda Neira. Dia baru meninggalkan Banda pada Maret 1942 setelah pendudukan Jepang. Tapi Iwa tidak diberi jabatan apa pun pada masa itu. Dia menjadi penganggur karena dicurigai sebagai Marxis. 

Hubungannya dengan Sukarno-Hatta dan khususnya Mr. Subarjo terus berlangsung.

Selama zaman revolusi, dia juga melontarkan kecaman terhadap Hatta dan Sjahrir dengan maklumat x-nya yang mengesampingkan UUD 45. Ini tidak mengherankan. Iwa memang ikut dalam Persatuan Perjuangan bersama Tan Malaka-Sudirman, yang menolak perundingan dengan Belanda. Dia terlibat dalam usaha kudeta 3 Juli 1946, yang membuatnya ditangkap bersama si pelaku kudeta, Jenderal Sudarsono dan kawan-kawan.

Bagian ini kurang jelas digambarkan Iwa dalam otobiografinya--kecuali bahwa ia menyabot usaha perundingan Sjahrir. Sejarah mencatat, Iwa ditangkap dan dihukum karena peristiwa ini. Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi. Sedangkan Sudirman menjadi panglima besar. Iwa kemudian muncul lagi dalam dunia politik sebagai anggota DPR dan kemudian menjadi Menteri Pertahanan Sipil, yang sempat menghadapi krisis 17 Oktober 1952. Dalam dekade akhir kepemimpinan Sukarno, dia pernah menjabat Rektor Universitas Padjadjaran Bandung, Menteri Ilmu Pengetahuan dan Perguruan Tinggi, serta menteri negara.

Otobiografi ini ditutup dengan perjalanan haji Iwa pada awal tahun 1965. Sayang, dia tak memaparkan soal peristiwa G30S--walau dia pernah menulis masalah tersebut dalam buku tersendiri. Sembilan buku lahir dari tangan Iwa Kusuma Sumatri, seorang perintis kemerdekaan dan seorang nasionalis-revolusioner.

Onghokham, sejarawan



Sumber: Tempo No. 25/XXXI/19-25 Agustus 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...