Langsung ke konten utama

Kami

Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? (Bung Karno, 1 Juni 1945)

SEBUAH negara tak pernah didirikan di atas kecerdasan. Uni Soviet, sebuah percobaan pertama untuk menerapkan "sosialisme ilmiah", dimulai dengan sebuah pemerintahan yang bekerja di atas 170 juta petani, yang, seperti kata Bung Karno, umumnya buta huruf. Begitu juga Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan para pendiri republik itu memang pintar, dan negara yang mereka rancang berdasarkan ide-ide filsafat yang mutakhir, tapi ada benarnya kalimat lucu penulis Inggris Malcolm Bradbury: "Sejarah Amerika seluruhnya adalah cerita tentang orang yang membenci ayah mereka dan mencoba membakar tiap hal yang dilakukan ayah itu."

Sebuah kemerdekaan lahir lebih karena kemarahan, bukan karena kedahsyatan pikiran. Perasaan dizalimi, perasaan tertindas, bukan datang dari otak, tapi dari seluruh pengalaman, termasuk tubuh yang tertekan.

Itu juga yang dapat dikatakan tentang Indonesia. Para pemimpin yang berkumpul di awal Juni 1945 untuk mempersiapkan kemerdekaan negeri ini sadar bahwa rakyat yang tinggal di bekas koloni Belanda yang diduduki Jepang itu bukan rakyat yang 100 persen sehat dan terdidik. Tapi selama masa kolonialisme mereka tahu, melalui kemiskinan dan penghinaan, bahwa ada yang tak beres dengan keadaan. Mereka menghendaki perubahan. Perubahan itu bernama "merdeka". Bung Karno mengutarakannya dengan bagus: semua tahu bahwa bangsa Indonesia banyak yang menderita malaria, disentri, busung lapar, dan ini dan itu, tapi haruskah kita menyetujui pendapat agar "Sehatkan dulu bangsa kita, baru merdeka"?

Justru orang harus merdeka karena disentri dan busung lapar yang harus diakhiri itu. Sejarah Republik Indonesia dimulai dengan keterbatasan. Yang mengagumkan di hari-hari persiapan kemerdekaan pada tahun 1945 itu bukanlah bekerjanya sejumlah pria dan wanita yang sakti dan sempurna, melainkan berlangsungnya negosiasi dengan ketidaksempurnaan. Yang mereka lakukan adalah sebuah awal. Bung Karno dan Bung Hatta menegaskan langkah mereka sebagai perjalanan mengantar ke "pintu gerbang". Tak ada yang menganggap kemerdekaan adalah "tanah yang dijanjikan".

Hari-hari itu Perang Pasifik menjelang berakhir, tapi tak jelas bagaimana ujungnya. Mereka harus bergegas memanfaatkan peluang yang dibuka pemerintahan militer Jepang yang sedang kalah itu. Para pemimpin pergerakan nasional itu tak punya waktu untuk bertanya kepada rakyat, yang mereka anggap sudah mereka wakili, Indonesia macam apa yang sebenarnya diinginkan. Bahkan benarkah rakyat akan memilih mereka? Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan diproklamasikan, Bung Karno berkata tentang Undang-Undang Dasar Republik yang ikut ia susun beberapa hari sebelumnya, "Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat ...." Ini hukum dasar revolusi, katanya. "Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap."

Tapi siapakah "kita"? Sebuah hukum dasar revolusi disusun melalui satu apokalipse. Ada perubahan besar yang mengguncang sendi kehidupan. Ada sebuah ledakan yang menimbulkan kekosongan. Ada sebuah kekosongan yang menuntut untuk diisi lekas-lekas. Yang mengisi adalah "kita", tapi "kita" yang darurat. Jefferson dan sekitar 50 delegasi datang dari 13 koloni Inggris di Amerika mengambil alih kekuasaan, dan berkata, "We hold this truth ...." Tapi tak jelas benarkah "we" mereka mewakili seantero koloni, yang juga dihuni oleh orang pribumi Amerika dan orang berkulit hitam. Satu setengah abad setelah 4 Juli 1774, kata "we" dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika hanya terbatas pada yang berkulit putih, dan acap kali hanya laki-laki. Itulah sebabnya satu momen yang paling menarik dalam persiapan kemerdekaan Indonesia ialah ketika Bung Karno bertanya kepada Moh. Yamin tentang satu kalimat dalam rancangan Mukadimah: "kita" atau "kami"? Yamin, penulis soneta itu,memilih kata yang tepat: "kami".

Para perumus konstitusi itu tak mungkin, di hari itu, mengatasnamakan siapa saja yang berada di luar zaman mereka. Hari itu siapa "warga negara" belum selesai diberi batasan, juga wilayah hidupnya. Tentu, "rakyat" adalah mereka yang hadir di rapat-rapat umum protes dan rapat gelap politik di bawah kekangan kolonialisme. Tapi "massa" itu lebih merupakan bayangan satu kesatuan. "Massa" itu masih sebuah nebula--yang memukau dan menimbulkan ilham. Seolah-olah di zaman itu di kota-kota Indonesia sudah hadir kelimun yang seperti "orang-orang nestapa" dalam karya Victor Hugo: sebuah sumber tenaga revolusi yang tak segera tampak, sebuah kerumunan yang serapat rimba, ya, sebuah kedalaman: "Les profondeurs sont des multitudes."

Ada masanya, orang ramai itu justru kekuatan batin para pemimpin politik; ia bagian dari "kami". Tapi kemudian politik jadi normal dan kekuatan batin itu jadi kekuatan suara. Pada saat itu, bukan hanya pemimpin, tapi juga rakyat, tak lagi menyandang karisma. Rakyat tak tampak lagi sebagai "kedalaman" yang tunggal, melainkan pelbagai kelompok yang berbeda latar dan kepentingan. Pada saat itu, "kami" sebuah hukum dasar revolusi akan jadi barang antik. Tentu ada yang tetap menyembah-nyembahnya. Tapi di situlah yang terjadi dalam fundamentalisme agama--yang memandang masa silam sebagai wujud kesempurnaan--akan berlaku dalam konstitusionalisme. Dan sejarah? Ah, hanya sebatang bangkai. 

Goenawan Mohamad



Sumber: Tempo Nomor 23/XXXI/5-11 Agustus 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...