Langsung ke konten utama

Karena Kasih Sepanjang Jalan

Betawi mempertemukan Mohammad Hatta dengan Mak Etek Ayub Rais, anak sahabat kakeknya. Saudagar perantau Minang ini mengabaikan rasa takutnya sendiri untuk Hatta.

TAHUN baru 1908. Mohammad Hatta datang dari sekolah dengan menimang sebuah kapal-kapalan dari kaleng bekas--hadiah tahun baru dari Sinterklas di sekolahnya. Sepulang sekolah, ia mengajak sahabatnya, Rasjid Manggis, melayarkan kapal kecil itu di tebat kecil sembari menunggu jam mengaji di surau Inyiak Djambek tiba. Di hari yang lain, waktu lowong Hatta diisi dengan menyepak bola rotan.

Kapal-kapalan dan bola rotan adalah mainan yang membuat Hatta begitu riang di masa kecil. Selebihnya, hari-hari Hatta adalah belajar. Sejak berumur lima tahun, siang hari ia belajar di Sekolah Melayu Paripat dan les bahasa Belanda pada Tuan Ledeboer di waktu petang. Alhasil, Hatta tak menemukan kesulitan ketika ia akhirnya bersekolah di Europeesche Lagere School, sekolah dasar khusus untuk anak-anak Belanda, di Bukit Tinggi. Orang-orang tua di Bukit Tinggi menyebut dia anak cie pamaenan mato--anak yang pada dirinya terpendam kebaikan, dan perangainya mengundang kasih sayang.

Ayahnya, Syekh Muhammad Djamil, meninggal tatkala ia bayi berusia delapan bulan, tapi Mohammad Hatta tak pernah kehilangan kasih sayang. Ia tumbuh dalam buaian ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya. Nenek Aminah yang keras mengajarkan keteguhan hati, sedangkan Kakek Ilyas Baginda Marah mendidik Hatta prinsip-prinsip dasar perniagaan. Bersekolah di sekolah dasar Belanda, setiap pagi Hatta diantar dengan kereta bendi milik kakeknya. Setamat sekolah di Padang, pertengahan Juli 1919, Hatta berangkat ke Betawi. Di sanalah untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Mak Etek Ayub, pamannya. Pria ini memainkan peranan penting dalam kehidupan sang keponakan.

Ayub adalah perantau dari Bukit Tinggi. Ayahnya, Rais, seorang saudagar barang hutan di Payakumbuh, sahabat Ilyas Baginda Marah, kakek Bung Hatta. Di Betawi, Ayub mula-mula bekerja sebagai juru tulis seorang pedagang bangsa Jerman. Karena rajin, dia diangkat anak oleh sang majikan, bahkan diajari cara berdagang. Dan di kemudian hari, Ayub tumbuh menjadi seorang saudagar besar tapi hidup sederhana. Ia memimpin Malaya Import Maatschappij dan Firma Djohan Djohor--yang menjadi buah bibir pribumi--toko-toko ternama karena aksi jual murahnya yang memaksa toko-toko Cina di Pasar Senen, Pasar Baru, dan Kramat menurunkan harga barang.

Suatu sore di akhir Agustus 1919, Hatta mendatangi kantor Ayub di kawasan Patekoan. Saat itulah Ayub menyatakan akan membiayai Hatta selama di Jakarta. "Uang sekolah dan belanja Hatta di sini Mak Etek yang tanggung. Jangan menyusahkan bagi orang di rumah," kata Ayub. Sejak saat itu, Mak Etek Ayub memberikan uang belanja kepada Hatta sebesar 75 gulden sebulan. Jumlah ini jauh melebihi yang diperlukan anak muda itu sehingga uang kiriman dari kampung disimpannya di Bank Tabungan Pos.

Mak Etek Ayub pula yang memperkenalkan Hatta pada buku. Suatu sore di akhir Agustus, Ayub membawa Hatta ke toko buku di kawasan Harmonie. Ia membeli tiga buku tentang sosial dan ekonomi: Staathuishoudkunde karangan N. G. Pierson, De Socialisten yang disusun H. P. Quack, dan Het Jaar 2000 yang ditulis Belamy. "Inilah buku-buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku," tulis Bung Hatta di kemudian hari.

Pada Maret 1921, Hatta pindah dari tempat kos ke rumah baru Mak Etek Ayub di kawasan Tanah Abang. Di rumah ini Hatta diberi dua kamar: satu untuk tidur, satu untuk ruang kerja. Pada Mak Etek Ayub lah Hatta mulai belajar cara berdagang. Bisnis Mak Etek Ayub, menurut Hatta, adalah "dagang waktu". Ia berdagang dengan cara spekulasi harga: meminjam sekarung lada kepada seorang pedagang lain, menjualnya ke pasar, lalu tiga bulan kemudian ia mengembalikan sekarung lada juga kepada pedagang itu--dengan harga berapa pun. Pada perbedaan harga dulu dan tiga bulan kemudian inilah letak untung-rugi Mak Etek Ayub. "Dalam dagang waktu ini, Mak Etek Ayub seperti punya indra keenam. Ia selalu mencetak untung," kata Hatta.

Suatu ketika, Hatta menyaksikan Mak Etek Ayub sukses mencetak untung 10 ribu gulden dalam tempo 15 menit saja. Hatta tercengang ketika Ayub menawarkan seluruh keuntungan itu kepadanya. "Uang ini Hatta ambil sajalah, simpan di bank. Pakai untuk membiayai pelajaranmu ke Rotterdam," kata Mak Etek Ayub. Tapi Hatta tidak serta-merta menerima. "Lebih baik Mak Etek perputarkan saja uang itu dulu. Hasilnya tentu lebih banyak," kata Hatta. Di kemudian hari, Hatta amat menyesal tidak segera mengambil uang itu: beberapa bulan sebelum Hatta ke Belanda pada 1921, Mak Etek Ayub dinyatakan pailit karena piutangnya yang tidak tertagihkan pada saudagar lain. Gara-gara pailit, Ayub mendekam enam bulan dalam tahanan pemerintah Hindia Belanda.

Dari balik jeruji penjara, Ayub berpesan agar Hatta tetap meneruskan pelajarannya ke Negeri Belanda. "Biarlah, aku beristirahat sebentar di sini. Aku gembira sekarang Hatta sudah dapat berangkat ke Rotterdam," kata Mak Etek Ayub. Maka, dengan meninggalkan Mak Etek Ayub dalam tahanan, Hatta berangkat ke Belanda. Selama 11 tahun, Hatta bergulat dengan berbagai aktivitas pergerakan di Negeri Belanda, termasuk memimpin organisasi pelajar dari Tanah Air di Eropa, Perhimpunan Indonesia.

Pada Juli 1932, setelah sempat mengenyam ruang tahanan di Belanda, Hatta kembali ke Tanah Air. "Ia menjadi orang yang dihindari oleh banyak orang. Mereka takut dianggap dekat dengan Hatta oleh penjajah," kata Meutia Farida Swasono, putri sulung Hatta. Tapi Ayub mengesampingkan semua itu. Ia menyambut kedatangan Hatta di bawah intaian para mata-mata pemerintah Hindia Belanda. Mak Etek Ayub juga menawarkan posisi sekretaris direksi di perusahaannya, Malaya Import Maatschappij, kepada anak angkatnya yang baru selesai studi di Belanda itu.

Tapi Hatta memilih berkutat di dunia pergerakan dengan memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Sekitar bulan Desember 1932, Hatta terlibat dalam polemik dengan Sukarno. Selama tiga bulan debat mereka mengisi petak-petak koran Daulat Ra'jat, Menjala, Api Ra'jat, dan Fikiran Rakjat. Waktu Hatta benar-benar tersita untuk itu. "Apakah dapat kukurangkan ketegangan ini jika aku tinggal di rumah?" Hatta bertanya kepada dirinya sendiri.

Lagi-lagi Mak Etek Ayub menjadi penawar bagi kegusaran Hatta. Saudagar itu mengajaknya ikut serta dalam satu kunjungan bisnis ke Jepang. Dengan menumpang kapal Djohor Maru, keduanya berlayar ke Jepang pada Februari 1933. Di Jepang, Hatta--yang ikut dengan alasan meredakan ketegangan--kaget oleh sambutan media massa negeri itu. Baru saja kapal bersandar di Pelabuhan Kobe, para wartawan telah menunggunya di tangga kapal dan menyapanya. Mereka menyebut dia dengan julukan "Gandhi of Java".

Tiga bulan di Jepang, hari-hari Hatta terisi oleh undangan demi undangan: dari Wali Kota Tokyo, menteri pertahanan, dan parlemen Jepang. Keduanya kembali ke Indonesia pada awal Mei 1933. Beberapa saat kemudian, Mak Etek Ayub ditangkap. "Ayah dianggap pro-Jepang. Apalagi Ayah menyekolahkan kakak saya, John Rais, di Universitas Waseda," kata Iskandar Rais, 73 tahun, putra Mak Etek Ayub.

Hatta sendiri tidak berdaya melihat Mak Etek Ayub ditawan Jepang. Untunglah Jepang kemudian takluk kepada Sekutu. Ayub lantas dibebaskan dari Penjara Cilacap. Tapi, kesehatannya terus menurun. Penyakit liver yang dia derita sejak dalam tahanan tak pernah pulih seperti semula. Pada akhir 1948, Mak Etek Ayub Rais meninggal dunia di rumahnya di Bogor pada usia 53 tahun.

Hatta mendapat berita duka itu di daerah pembuangannya di Bangka. Beberapa kali semasa menjadi wakil presiden dan sesudah pensiun, Hatta berziarah ke makam itu secara diam-diam. Tak seorang pun tahu bagaimana Hatta menekuri tahun-tahun yang lewat bersama Mak Etek Ayub Rais di sisi nisan tersebut.

Boleh jadi karena kedekatan mereka, menjelang kemerdekaan, para tetua Minang di Jakarta sempat berikhtiar untuk menjodohkan Bung Hatta dengan Nelly, putri sulung Mak Etek Ayub Rais. Tapi sifat keduanya rupanya bersimpang jauh. Nelly Rais anak seorang saudagar kaya yang besar di Jakarta, sementara Hatta adalah pemuda perantau yang besar dalam lingkungan puritan.

Toh, Hatta mengingat Mak Etek Ayub Rais seakan ayahnya sendiri. Nama Mak Etek ia tebar dalam buku memoarnya. Di rumah kelahiran Bung Hatta di Aur Tajungkang, Bukit Tinggi, foto hitam-putih Mak Etek Ayub digantung di depan kamar kakek Bung Hatta. Ketika TEMPO berkunjung ke rumah itu pada Juni silam, foto itu masih tetap ada di sana. Wajah Ayub Rais yang setengah tertawa terbingkai dalam pigura yang sudah kusam dimakan waktu. Tawanya seperti mengingatkan kembali masa-masa bahagianya bersama Hatta, si anak cie pamaenan mato, anak yang mengundang kasih sayang. []



Sumber: Tempo Nomor 24/XXXI/12-18 Agustus 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...