Langsung ke konten utama

Kontroversi 27 Juli Versi Kediri

Hari jadi Kota Kediri diperdebatkan. Bagaimana sebetulnya menentukan usia sebuah kota secara arkeologis?

UMBUL-umbul bertaburan di jalan-jalan Kota Kediri, Jawa Timur. Bila malam tiba, neon-neon dan lampu jalanan menyala terang. Tak kurang, sebuah pertunjukan musik digelar di Sungai Brantas, yang membelah kota, selama 30 jam nonstop dengan biduan dari Jakarta.

Kediri memang sedang merayakan hari jadinya yang ke-1123, 27 Juli lalu. Selama sebulan penuh kota itu berdandan habis-habisan. Namun, di balik gemerlapnya peringatan ulang tahun yang menghabiskan dana sekitar Rp 2 miliar itu, terselip kontroversi menyangkut kapan tepatnya hari jadi dan usia kota tersebut.

Sebagian anggota tim penelusuran hari jadi Kota Kediri, yang terdiri dari para sejarawan dan arkeolog, berpendapat bahwa hari jadi Kediri jatuh pada 27 Juli, sesuai dengan prasasti Kwak yang ditemukan di Desa Ngabean, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti bertanggal 27 Juli 879 Masehi ini menyebut kata "Kwak", yang kebetulan adalah nama sebuah desa di Kediri. Daerah ini sampai sekarag masih ada.

Sebagian lagi menganggap ulang tahun Kediri seperti tertulis di prasasti Hanjiring A (25 Maret 804 Masehi). Tapi ada pula yang memakai prasasti Hanjiring B bertanggal 19 September 921 Masehi sebagai patokan.

Kontroversi kian hangat di acara Pertemuan Ilmiah Arkeologi Nasional dan Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, yang digelar pada 23-28 Juli 2002 di Kediri. Para peserta mempertanyakan validitas penetapan hari jadi Kediri berdasarkan prasasti Kwak.

Versi mana yang benar? Bagaimana pula sebetulnya cara menentukan hari jadi dan usia sebuah kota?

Secara arkeologis, kata Edi Sedyawati, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, sulit mencari parameter baku untuk menentukan hari jadi sebuah kota. Dan mengingat kota pada umumnya tumbuh secara berangsur-angsur, tidak mudah memastikan pada tahap mana sebuah kelompok hunian bisa disebut kota. Karena itu, banyak kota di Indonesia, termasuk Kediri, menentukan hari jadinya semata-mata berdasarkan prasasti atau situs peninggalan kuno yang dapat ditemukan. 

Menurut Edi, yang juga bekas direktur jenderal kebudayaan, penentuan hari jadi sebuah kota sering kontroversial karena ada dua aliran pemikiran. Aliran pertama menganggap hari jadi sebuah kota ditentukan dari sejak kapan suatu hunian (kota) diketahui pertama kali ada berdasarkan peninggalan benda-benda, seperti keramik, misalnya. Aliran kedua memandang hari jadi sebuah kota ditentukan oleh sejak kapan ia diberi nama seperti itu dalam prasasti tertua yang ditemukan.

Kedua aliran bertumpu pada temuan benda kuno. Itu sebabnya arkeologi menjadi disiplin ilmu yang paling berperan menentukan usia sebuah kota. Namun, tidak selalu mudah menemukan artefak semacam itu. Tidak mudah pula menentukan umur sekeping keramik yang tertimbun tanah ratusan tahun. Karenanya, banyak disiplin ilmu lain, seperti sejarah politik dan sosial, untuk mendukung atau menguji sebuah temuan arkeologis. 

"Arkeologi sangat penting untuk meneguhkan sesuatu yang sudah disimpulkan oleh sejarah," kata Moehamad Habib Mustopo, guru besar arkeologi di Universitas Negeri Malang. "Sejarah berdasarkan dokumen, arkeologi berdasarkan material culture," dia menambahkan.

Habib mengatakan, kajian arkeologi dimulai dengan pelacakan ada-tidaknya material culture suatu tempat. Material culture itu bisa berupa artefak (benda-benda yang sengaja dibuat manusia, misalnya prasasti, arca, patung) atau situs (lokasi artefak berada). Pelacakannya bisa berdasarkan sumber tertulis melalui epigrafi (penelitian tulisan prasasti) ataupun filologi (penelitian tulisan yang cenderung ke fiksi atau kesusastraan). 

Setelah itu, arkeologi akan menguji validitas artefak yang ditemukan dan mencocokkannya dengan artefak pendukung lainnya. Tahap berikutnya adalah melakukan penafsiran terhadap semua temuan budaya, melibatkan para ahli dari pelbagai disiplin ilmu. Ahli fisika, misalnya, diperlukan untuk melakukan analisis karbon untuk menguji usia suatu benda. Baru setelah itu dilakukan penjelasan akhir tentang kesimpulan yang didapat setelah dilakukan uji metodologis.

Pada kasus Kediri, tahap-tahap itu sebetulnya juga telah dilakukan. Ketua Tim Kajian Sejarah dan Budaya IKIP PGRI Kediri, Heru Marwanto, menyatakan pihaknya telah melakukan riset panjang soal penentuan hari jadi tersebut dengan meneliti semua prasasti yang ada. Dan di antara beberapa catatan sejarah, prasasti Kwak atau prasasti Ngabean-lah yang paling bisa dipertanggungjawabkan validitasnya. Terdiri atas lima artefak, prasasti itu sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti berbentuk lempengan tembaga berukuran 35,7 x 32,8 sentimeter dengan huruf Jawa kuno itu menyebut-nyebut soal adanya penganugerahan tanah tegalan (tgal) di Kwak seluas 4 tampah (meter persegi) untuk dijadikan areal sawah dengan status semacam tanah perdikan (sima). Kwak adalah nama sebuah kampung dan tempat pemandian yang sangat dikenal oleh masyarakat Kediri. 

"Selain itu, seluruh prasasti Kwak juga menyebut soal adanya pajak dan tata pemerintahan di sebuah kawasan yang dikenal sebagai Kediri," kata Heru Marwanto, yang juga Rektor Universitas Kediri. Jadilah prasasti Kwak dipakai sebagai "dasar hukum" untuk menentukan hari jadi dan umur Kediri.

Masalahnya, para arkeolog masih berbeda penafsiran. Menurut habib, kata "Kwak" yang dimaksud prasasti belum tentu nama tempat di Kediri. "Sejauh mana 'Kwak' yang disebut dalam prasasti itu mengacu pada Kediri?" tanya Habib, "Bukankah nama tersebut bisa berarti sebuah lokasi di tempat lain?"

"Selain itu, ada sejumlah prasasti yang sebenarnya juga bisa dipakai sebagai pijakan dalam menentukan hari jadi dan usia Kota Kediri," kata Habib. Ada prasasti Pamotan bertanggal 20 November 1042 Masehi (periode Airlangga), misalnya, juga prasasti Hantang bertanggal 7 September 1135 (periode Jayabaya), dan prasasti Mula-Malurung yang bertahun 1255 Masehi (periode Singasari). Dari ketiga prasasti tersebut, menurut Habib, Hantang-lah yang punya argumen paling kuat karena jelas-jelas menyebut kata "Panjalu", yang identik dengan Kediri.

Silang-sengketa itu belum berakhir. Itu sebabnya beberapa ilmuwan sering lebih menyandarkan diri pada dokumen sejarah yang lebih mutakhir. Dalam kasus Kediri, misalnya, hari jadi kota bisa ditentukan berdasarkan surat keputusan pembentukan administrasi kota itu pada era Republik Indonesia yang merdeka. "Cara ini yang paling valid," kata Edi. Adapun tentang umur sebenarnya Kota Kediri, orang tetap boleh memperdebatkannya. 

Wicaksono, Dwidjo U. Maksum (Kediri)



Sumber: Tempo Nomor 23/XXXI/5-11 Agustus 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...