LAGU Mars Siliwangi bukanlah ciptaan satu orang saja, akan tetapi hasil kerja beberapa orang. Ide untuk menciptakan lagu itu tumbuh atas prakar kendaraan kita praktis terhenti, karena Cecep Aryana (Perwira Staf dalam Divisi Siliwangi) dan Letnan Sunar Pirngadi. Ide tersebut timbul di saat berada di kapal M. S. Plancius yang mengangkat sebagian pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah. Di dalam kapal itu turut serta antara lain Letnan Kolonel Daan Yahya, Kapten Daeng Kosasih, Kapten Ahmad Wiranatakusumah, dan Kapten Daeng Muhammad.
Kira-kira 5 hari menjelang HUT ke-2 Siliwangi, yaitu tanggal 15 Mei 1948, bertempat di Hotel Tidar Magelang, lagu tersebut digubah lagi oleh Letnan Dua Ahmad Adnawijaya, Cecep Aryana, dan Letnan Kolonel Dr. Barnas Alibasyah (Dr. Brigade XIV merangkap staf spesial yang ditugaskan merencanakan pengembalian keluarga Brigade XIV ke Jawa Barat dalam rencana kemungkinan kembali ke Jawa Barat.
Dalam masa sedang hijrah ini, Siliwangi dihadapkan lagi pada suatu ujian berat, karena di saat Republik Indonesia tengah menghadapi ancaman dari Tentara Belanda, tiba-tiba PKI Muso di Madiun pada tanggal 18 September 1948 melakukan pengkhianatan dan berontak terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Siliwangi dalam perang kemerdekaan
Sekalipun telah tercapai persetujuan Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 antara Pemerintah Belanda dengan Republik Indonesia, namun pada tanggal 21 Juni 1947 pihak Belanda dengan terang-terangan melanggar persetujuan Linggarjati, dengan melancarkan agresi militernya yang pertama.
Belanda melancarkan serbuan "Blitzrieg"-nya yang langsung dan terarah, menikam Republik Indonesia dengan mengerahkan sepenuhnya daya mampunya, sepenuhnya kekuatan militernya yang mengandalkan kepada senjatanya yang perkasa dan modern.
Adapun tujuan daripada Agresi Militer Belanda tersebut adalah maksimal menghancurkan Republik Indonesia dan minimalnya adalah pengepungan ekonomis, dengan sasaran utamanya adalah Jawa Barat.
Untuk meratakan jalan bagi pelaksanaan siasat "divide et impera"-nya, dengan pembentukan suatu "Negara Pasundan".
Pada akhir tahun 1946 integritas dan kedalaman (diepte) pertahanan kita di Jawa Barat sudah terpecah-pecah, akibat kedudukan Belanda di Jakarta, Bogor, dan Bandung. Bahkan pada tanggal 28 Juni 1947 Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan izin kepada tentaranya yang berada di Indonesia untuk mengadakan suatu operasi militer (agresi militer), yang disusul dengan izin bergeraknya pada tanggal 20 Juli 1947. Maka bergeraklah pada tanggal 21 Juli 1947 di medan Jawa Barat Divisi "B" dan Divisi "December".
Belanda melancarkan agresi militernya terhadap Republik Indonesia, dalam rangka perang penjajahannya yang mengambil Jawa Barat sebagai sasaran utamanya.
Satuan Belanda yang didahului oleh pasukan lapis baja serta dibantu secara ofensif oleh angkatan udaranya bukanlah merupakan tandingan batalyon-batalyon kita ketika itu dalam suatu perang konvensional, perang terbuka, yang menjadi kebijaksanaan kita selama ini.
Perhubungan radio, telepon, dan serangan-serangan udara sepanjang hari, hingga menambah kesulitan bagi komando. Komando Divisi Siliwangi yang waktu itu berkedudukan di Tasikmalaya hanya dapat mencapai pasukan-pasukan di wilayah Kabupaten Priangan saja yang masih sepenuhnya dikuasai.
Kekalutan itu bertambah dengan adanya pemancar Belanda yang meniru/memalsu sebagai pemancar Divisi Siliwangi, sempurna dengan kode-kodenya yang bukan rahasia lagi, menyiarkan "perintah palsu" dari Panglima Divisi Siliwangi kepada pasukan-pasukan Siliwangi untuk berkapitulasi. "Perintah Palsu" ini tertangkap oleh batalyon-batalyon di Bandung Selatan pada tanggal 26 Juli 1947.
Untuk menambah kekalutan suasana yang memang sudah kalut itu dengan kekuatan moril, Yogyakarta juga menangkap siaran Belanda tersebut, dan memercayainya pula. Mereka menganggap Divisi Siliwangi sudah berkapitulasi pada Belanda. Maka dibentuklah Divisi "Bambu Runcing" di Yogyakarta, dengan tugas untuk merebut kembali Jawa Barat.
Pada tanggal 21 Juli 1947 pagi-pagi, pihak Belanda melancarkan serangan udara atas lapangan udara Kalijati (Subang), Parigi (Serang) dan Tasikmalaya. Kemudian menggerakkan pasukan-pasukannya, menyerbu ke daerah Republik Indonesia dari pemusatan-pemusatan pasukannya di Jakarta, Bogor, dan Bandung.
Pasukan Belanda berhasil merebut beberapa daerah di Jawa Barat untuk didudukinya. Namun gerakan Belanda yang demikian pesatnya itu, mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan-pasukan Siliwangi.
Begitu juga dalam percaturan politik di PBB, Dewan Keamanan PBB telah mendesak pihak Belanda dan Republik Indonesia untuk saling menghentikan permusuhan.
Di mana pada tanggal 4 Agustus 1947, pihak Belanda dan Republik Indonesia mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak. Tetapi dalam kenyataannya, pihak Belanda tidak mau menghentikan agresi militernya, bahkan berusaha untuk memperluas wilayahnya dengan melanggar cease fire order. Batas terakhir dari perluasan wilayah dituntutnya sebagai garis demarkasi yang dikenal dengan nama "garis Van Mook".
Apa yang dinamakan "garis Van Mook" itu sebetulnya adalah semata-mata khayal yang ditarik dari batas akhir pasukannya berhenti. Penguasaan daerah-daerah ini bertujuan memperkuat posisi mereka dalam perundingan selanjutnya.
Pengalaman Divisi Siliwangi selama agresi militer Belanda pertama adalah kecekatan pimpinan Divisi untuk menilai dan menganalisa keadaan serta telah menghasilkan konsepsi "Perlawanan Gerilya". Pasukan-pasukan yang terterobos oleh tikaman-tikaman serbuan tentara kolonial Belanda, menjadi terhambur atau menghambur, tetapi tidak hancur, akan tetapi terhambur atau menghambur, ini terbukti bahwa prajurit-prajurit Siliwangi tidak lumpuh semangat atau daya mampu militernya akan tetapi secara kelompok atau perseorangan, berusaha untuk mencapai daerah asalnya atau kampung halamannya. Di kampung halamannya itu selalu terjadi pengelompokkan kembali baik dalam pasukan yang lama ataupun baru, guna berusaha mencari hubungan yang lebih besar. Kelompok-kelompok prajurit atau pasukan ini dapat saja bergerak ke mana-mana menerobos di sela-sela jaringan pos-pos pendudukan serta patroli-patroli Tentara Kolonial Belanda.
Masyarakat pedusunan setempat selalu menerima kembali putra-putranya sendiri dengan penuh rasa simpati memberi perlindungan dan dukungan. Masyarakat sama sekali tidak menjadi patah semangat, walaupun ada rongrongan terhadap kemerdekaannya oleh agresi Belanda tersebut. Konsepsi perlawanan gerilya pada hakikatnya telah menyatupadukan operasi-operasi militer dan teritorial bersifat ofensif dalam susunan bentuk perlawanan rakyat secara semesta.
Menjelang akhir tahun 1947, situasi berbalik. Siliwangi mencatat kemenangan demi kemenangan di berbagai medan pertempuran di Jawa Barat, hingga pihak lawan terpaksa harus menghitung kekalahan demi kekalahan setiap hari.
Di antara sekian banyak peristiwa pertempuran yang berkecamuk di Jawa Barat yang penuh dengan kepahlawanan, menunjukkan betapa putra-putra Siliwangi setiap saat tanpa sesuatu pamrih melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab, sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan jiwanya.
Kadang-kadang hasil yang dicapai oleh kita tidak besar dan hanya berupa hancurnya satu atau dua kendaraan, akibat meledaknya ranjau-ranjau yang kita pasang. Namun mau tidak mau hal ini tidak saja menimbulkan kejengkelan di kalangan pihak lawan, akan tetapi secara tidak langsung merupakan pula suatu bantahan atas propaganda Belanda yang seolah-olah seluruh Jawa Barat sudah jatuh di tangan mereka dan pasukan Siliwangi sudah hancur.
Kisah penyelamatan Panji Siliwangi
Dalam penyelesaian Long March, di Jawa Barat saat itu terjadi perubahan rute, yakni satu kompi yang dikawal oleh Kapten Tomi Prawirasuta, sekaligus mengawal Kapten Neman yang membawa ransel berisi uang Divisi dan Panji Antralina, sebagian lagi (Yon 322) dan Staf Divisi pimpinan Mayor A. Wiranatakusumah dan Mayor Saragih menuju ke Gunung Sawal.
Ketika rombongan dan Staf Divisi Siliwangi telah berada di Kaduwangi dan Pasir Jaya, pasukan bermalam satu malam di Pasir Jaya. Kemudian pada pagi hari datanglah Kapten Lili Kusumah melaporkan bahwa Kapten Poniman cs. telah dikepung oleh DI/TII di Desa Guranteng selama 3 hari dan 3 malam mereka tidak makan.
Mendengar laporan tersebut, pimpinan rombongan dengan spontan memerintahkan 2 peleton anggota dari Kapten Tomi yaitu Ton Brata dan 2 peleton lagi dari anggota Lili Kusumah untuk membantu Kapten Poniman tersebut.
Dua peleton anggota pimpinan Lili Kusumah langsung pergi ke Lemahputih, sedangkan 2 peleton anggota Kapten Tomi langsung ke Guranteng. Di Guranteng inilah terjadi tembak-menembak antara DI dengan Ton Brata dan habislah 10 orang. DI semuanya mati tertembak dan Kapten Poniman dapat diselamatkan.
Bersamaan dengan itu terdengar pula suara tembakan yang nampaknya telah terjadi kontak senjata antara pasukan kita dengan DI/TII di arah utara. Di sini Peleton Brata diperintahkan untuk kembali ke utara, yaitu Pasir Jaya.
Di Pasir Jaya ternyata seluruh bukit yang ada di Pasir Jaya telah dikuasai oleh DI/TII dengan pakaian hitam-hitam berbendera merah berbintang bulan serta meniup terompet.
Setelah didekati ternyata semua anggota Divisi Siliwangi yang ada di Pasir Jaya telah terbunuh semua termasuk Kapten Neman, dan ransel pun telah berada di tangan DI.
Dalam serbuan yang terjadi di Pasir Jaya ini, dua orang staf divisi yang sempat sembunyi di balik semak-semak yaitu Ibu Hety Prawira Suta dan Letnan Puspa Lubis tetapi akhirnya mereka ketahuan dan langsung ditawan.
Dalam keadaan lelah Peleton Brata pun langsung terlibat pertempuran melawan DI/TII yang telah menguasai Pasir Jaya tersebut. Namun karena kekuatan musuh lebih banyak, akhirnya Peleton Brata memutuskan untuk melintas bukit guna mencari teman-teman lainnya agar bisa membantu melawan musuh.
Dengan berusaha sekuat tenaga akhirnya Peleton Brata bisa menerobos pertahanan musuh tetapi harus ada korban yaitu Sersan Ubes tertembak dan gugur. Kemudian rombongan langsung menuju Selaawi terus ke Werasari dan di sini bertemu dengan Kapten Mung P, Kapten Nasuhi, Kapten Kaharudin, Kapten Witono, dan Kapten Komir, serta Letnan Ismail serta rombongan lainnya.
Sementara itu di Pasir Jaya, gerombolan yang telah berhasil merebut ransel Kapten Nirman merasa bergembira ria, karena ternyata ransel tersebut berisi sejumlah uang dan secarik kain kuning. Hal ini diperhatikan terus oleh tawanan tadi yaitu Ibu Hety P dan Letnan Puspa Lubis.
Bahkan dalam hatinya kedua orang tadi ingin merampas kembali ransel terutama secarik kain kuning itu, karena kain tersebut adalah Panji Siliwangi. Tanpa diduga tiba-tiba kain kuning (yang sebenarnya adalah Panji Siliwangi) dilempar oleh gerombolan karena dianggap tidak berguna bagi mereka.
Ketika luapan kegembiraan mereka belum habis, gerombolan DI/TII tiba-tiba dikejutkan oleh dentuman kanon berkali-kali. Dari kanonisasi pihak Belanda inilah gerombolan DI/TII menjadi panik dan lari pontang-panting untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Kesempatan baik inilah oleh Letnan Puspa dan Ibu Hety dimanfaatkan dan kemudian mengambil secarik kain kuning yang sebenarnya Panji Siliwangi itu untuk kemudian dibawa kabur ke arah utara tanpa sepengetahuan DI/TII tadi, untuk langsung menuju Werasari. Di Werasari inilah Panji Siliwangi diserahkan kembali kepada Kapten Mung Parhadimulyo terutama dalam upaya menyelamatkannya jangan sampai jatuh kembali ke tangan musuh. Sepintas memang bisa dianggap enteng. Namun betapa besar tanggung jawab yang dipikul Kompi IV dalam upaya menyelamatkan panji mempertahankan dan menyelamatkannya bisa mempertaruhkan jiwa.
Karuan saja Letnan Mung Parhadimulyo teringat seorang penduduk Kampung Cirikip Kabupaten Ciamis bernama Sunahwi yang menjabat sebagai lurah (punduh).
Sudah cukup lama Sunahwi memangku jabatan tersebut, yakni semenjak zaman pendudukan Jepang. Pak Sunahwi pun termasuk penduduk yang banyak membantu perjuangan Siliwangi, serta senantiasa setia kepada pemerintah. Karenanya, timbullah niat untuk menitipkan panji tersebut kepada Pak Sunahwi. Alasannya, di samping Pak Sunahwi termasuk orang yang bisa dipercaya, juga mengingat letak kampungnya yang jarang dilalui Patroli Belanda.
Pada tanggal 2 Januari 1949, Letnan Mung Parhadimulyo mendatangi Lurah Cirikip. Setelah mengobrol ke sana kemari, akhirnya perwira itu menyatakan maksudnya untuk menitipkan sebuah "barang" yang harganya tidak bisa diukur dengan sejumlah uang. Dikatakan, bahwa barang tersebut hendaklah dijaga jangan sampai diketahui musuh. Pak Sunahwi harus bersedia menebusnya dengan jiwa. Mendengar ucapan itu, Sunahwi terperangah. Kaget, Apakah gerangan barang yang harus dipertahankan dengan menaruhkan jiwa itu? Setelah diketahui, Pak Sunahwi tidak banyak berkomentar, terkecuali menerima titipan barang, yang ternyata sebuah Panji Siliwangi, ia pun berjanji akan menjaganya, serta ia akan usahakan agar tidak jatuh ke tangan orang lain.
Panji Siliwangi itu oleh Pak Sunahwi dimasukkan ke dalam suatu besek tempat menyimpan pakaian yang terbuat dari anyaman bambu. Namun hatinya tidak tenang. Apalagi setelah pada suatu saat, memperoleh suatu berita ada Patroli Belanda yang sudah sampai ke Kampung Indragiri. Berita tentang adanya patroli itu mencemaskan hatinya, membuat dirinya tidak tenang karena dihantui berbagai perasaan yang menakutkan. Jangan-jangan patroli Belanda itu memasuki rumahnya, dan mengambil barang titipan. Karenanya, Pak Sunahwi pun memindahkan besek itu ke kolong. Tidak lama kemudian, ia pindahkan lagi ke dalam sebuah lumbung tua yang sudah reyot. Tidak mungkin Belanda memasuki lumbung reyot, pikirnya.
Patroli Belanda semakin dekat. Bahkan diperoleh berita, istri Pak Sunahwi yang tengah berada di rumah Pak Wiharja pun disergapnya. Banyak penduduk yang sedang menjemur padi yang dipukuli Belanda, membuat Pak Sunahwi semakin gelisah. Teringat akan pesan Letnan Mung Parhadimulyo, serta teringat pula akan segala konsekuensinya. Pak Sunahwi yang siap mempertaruhkan jiwanya demi membela Siliwangi pun seolah mendapatkan petunjuk untuk mencari sebuah lodong bambu guna membawa dan menyimpan air bersih. Selanjutnya lodong tersebut ia simpan di atas pohon kelapa yang tidak jauh dari rumahnya. Agar tidak diketahui orang, lodong tersebut ia simpan di atas pohon kelapa sekitar pukul 17.00. Setelah ia simpan di atas pohon kelapa, barulah hatinya merasa tenteram. Tak ada lagi perasaan yang mencemaskan, tak ada lagi bayang-bayang yang sebelumnya selalu menyelimutinya. Karenanya setiap bangun pagi ia selalu menengadah, melihat ke atas pohon kelapa. Bahkan setiap dua hari sekali, ia pun memanjatnya, untuk memeriksa simpanannya itu. Tiga bulan kemudian, Kapten Mung Parhadimulyo menemui kembali Pak Sunahwi untuk mengambil barang yang dititipkannya itu. Ada sebuah perasaan bangga yang membuat perwira Siliwangi itu terharu, hanya karena mendengar kisah yang diutarakan Pak Sunahwi dalam menyelamatkan Panji Siliwangi. Betapa besar jasa Pak Sunahwi yang tidak mungkin dilupakan Kapten Mung Parhadimulyo dan Siliwangi. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 26 Mei 1994
Komentar
Posting Komentar