DALAM rangka pendudukan Sekutu di Indonesia, maka pada tanggal 12 Oktober 1945 Brigade MC. Donald dari Divisi ke-23, tiba di Kota Bandung dengan menumpang Kereta Api, sesuai dengan persetujuan yang telah tercapai antara pihak dengan Pemeritah Republik Indonesia.
Tentara Pendudukan Sekutu di Indonesia pada hakikatnya senantiasa dibon oleh unsur-unsur dan kepentingan-kepentingan Kolonial Belanda, yang ingin menguasai kembali Tanah Air Indonesia.
Sejarah telah membuktikan bahwa kehadiran Tentara Pendudukan Sekutu di Indonesia berbuat pelanggaran, perkosaan, atau penteroran terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada waktu itu kita sedang bergulat dengan Jepang, dalam usaha pemindahan atau ambil alih kekuasaan ke tangan kita, baik secara damai seperti yang terjadi di PTT pada tanggal 27 September 1945, di Balai Besar Kereta Api pada tanggal 28 September 1945, di Pabrik Senjata & Mesiu tanggal 5 Oktober 1945, di Gudang Utara tanggal 6 Oktober 1945, maupun yang dilakukan secara pertempuran seperti pertempuran di Tegalega tanggal 11 Oktober 1945 dan di tempat lainnya.
Sewaktu datang Tentara Sekutu ke Kota Bandung secara mengadakan diplomasi, yang isinya pihak sekutu akan memberikan perlindungan atas pendudukan Kota Bandung. Akan tetapi peranannya sebagai "Wakil Kolonial" Belanda, hanya menimbulkan ketegangan-ketegangan dan bentrokan dengan pihak kita. Pada tanggal 23 November 1945, 2 orang serdadu India "menyeberang" ke pihak kita lengkap dengan persenjataannya, mereka menyerah kepada Kompi II Batalyon I/Abdulrakhman di Fokkersweg. Diplomasi Viaduk dari Batalyon II/Sumarsono menghasilkan 8 orang menyerah berikut satu set unit pemancar radio dan persenjataan. Pemancar tersebut dipergunakan untuk memanggil teman-teman mereka orang India agar menyeberang. Usaha tersebut menghasilkan 7 orang Tentara India menyerah lengkap dengan persenjataannya.
Pada tanggal 24 November 1945, dengan serempak kita memadamkan aliran listrik di seluruh kota, kemudian secara serentak pula mengadakan serangan-serangan terhadap kedudukan Sekutu di Kota Bandung yang berpusat di bagian Bandung utara, Hotel Preanger, dan Savoy Homan di bagian selatan.
Bulan November 1945 ini merupakan ujian berat bagi penduduk Kota Bandung. Karena di samping harus menghadapi serangan lawan, juga harus menghadapi bencana alam berupa banjir besar Cikapundung yang terjadi malam Minggu tanggal 25 November 1945.
Banjir tersebut sempat melanda daerah Lengkong, Sasak Gantung, Banceuy, dan Balubur, sehingga daerah itu berubah menjadi telaga. Lalu lintas mengalami kemacetan, karena jalan penuh kotoran, pohon-pohon tumbang yang terbawa air bah. Diduga ratusan orang menjadi korban, karena terbawa hanyut, belum lagi harta benda.
Dalam kejadian itu, seorang serdadu Gurkha yang sedang berada di Pos Savoy Homan dan Hotel Preanger dirampas senjatanya oleh pihak Pemuda, sehingga menimbulkan amarah bagi serdadu-serdadu Gurkha lainnya. Mereka dengan membabi buta, melepaskan tembakan-tembakan, menambah tegangnya keadaan.
Tanggal 27 November 1945 pagi, Jenderal MC. Donald meminta Gubernur Jawa Barat, Sutarjo, yang kemudian diganti oleh Datuk Yamin, untuk datang di Markas Tentara Sekutu/Inggris yang terletak di daerah utara Kota Bandung.
Dalam pertemuan tersebut, Jenderal Mc. Donald menyerahkan sebuah ultimatum yang ditujukan kepada penduduk Bandung, agar paling lambat tanggal 29 November 1945 pukul 12.00, unsur-unsur bersenjata Republik Indonesia, sudah meninggalkan Bandung bagian utara dengan jalan kereta api sebagai garis demarkasinya. Selain itu, pihak kita tidak diperbolehkan mendekati tempat-tempat RAPWI serta tempat-tempat yang ada penjagaan Jepang dalam jarak 200 meter.
Setelah batas waktu ultimatum yang dikeluarkan oleh pihak Inggris habis waktunya, maka pada tanggal 29 November 1945 pukul 12.00 secara resmi Kota Bandung sudah dianggap telah terbelah menjadi dua, dengan batasnya rel kereta api yang membujur dari Barat ke Timur. Bagian utara dianggap daerah Inggris dan di bagian selatan merupakan wilayah antara Bogor dan Bandung, sehingga Republik Indonesia.
Walaupun sudah terbelah dua, tapi pada kenyataannya sebagian besar penduduk yang berdiam di Bandung utara tidak mau mempedulikan ultimatum Inggris itu. Sikap jantan dari mereka itu yang tidak mau tunduk begitu saja kepada Inggris menimbulkan kejengkelan di pihak tentara Inggris. Kampung-kampung yang menjadi tempat tinggal orang Indonesia dihujani dengan tembakan-tembakan membabi buta.
Selain itu beberapa orang pemuda datang menghadap atasannya, melaporkan Gedung Sate/Gedung PTT telah dikepung oleh tentara Inggris. Para pemuda itu atas nama kawan-kawannya bertekad untuk mempertahankan Gedung Sate dan mengharap diberikannya bantuan senjata.
Sekalipun pihak atasannya berusaha untuk mencegah niat para pemuda itu, namun hasrat mereka tidak dapat ditahan. Mereka yang bertekad untuk mempertahankan Gedung Sate tersebut antara lain: Samsu, D. Kosasih, satu Kompi Hizbullah, Pemuda PTT, Batalyon II Res. 8 Poniman, Paryadi, Ali Hanafiah dengan satu peleton, pasukan-pasukan Batalyon II Res. 9 Kompi Sujana dan Tatang Basyah.
Karena kekuatannya tidak seimbang, akhirnya Gedung Sate/Gedung PTT berhasil dikuasai oleh tentara Inggris, setelah mereka melangkahi dulu mayat-mayat para suhada yang telah gugur dengan penuh keikhlasan dan secara kesatria, tanpa sesuatu pamrih, menyerahkan hak milik mereka yang paling berharga bagi Nusa dan Bangsa.
Para Suhada yang gugur mempertahankan Gedung Sate hingga titik darah yang penghabisan itu di antaranya, Didi Kamarga, Suhodo, Muktaruddin, Rana, Subengat, Susilo, dan Suyono.
Gerakan-gerakan TRI di Kota Bandung tidak menurun. Bahkan pada tanggal 1 Desember 1945 menyerbu kedudukan-kedudukan Sekutu di kompleks Unpad sekarang, diserbu oleh Batalyon II Res. 9 dan Badan Perjuangan tanggal 6 Desember 1945 Badung utara mendapat giliran penyerbuan pasukan TRI, di antaranya Batalyon I Res. 8 Kompi Slamet dan Badan Perjuangan.
Dengan adanya serangan-serangan dari TRI, Tentara Sekutu menjadi kewalahan. Maka pada tanggal 6 Desember 1945 pagi Tentara Sekutu yang berkedudukan di Hotel Homan dan Hotel Preanger mulai bergerak dari utara menuju selatan melalui Jalan Lengkong, untuk membebaskan tawanan-tawanan Belanda di Tulndorp dan Ciateul, dengan lindungan tank panser, dan beberapa buah truk.
Ketika pasukan itu tiba di Jalan Cikawao, mendapat serangan dari Tentara dan pejuang-pejuang kita dari Sabilillah, Hizbullah pimpinan Husinsyah, Batalyon II Res. 8 Sumarsono, Batalyon Ahmad Wiranatakusumah, dan barisan-barisan lainnya, secara gagah berani telah menyerbu tank-tank musuh seraya meneriakkan kata-kata: "Allahu Akbar ...!" Walaupun persenjataan dari pejuang-pejuang kita kebanyakan dari bambu runcing, golok, pedang, bambu, dan botol pembakar, pertempuran itu cukup sengit.
Pertempuran di Fokhersweg (Jl. Garuda sekarang), merupakan salah satu pertempuran yang terbesar, yang berlangsung selama 3 hari 3 malam. Jl. Garuda merupakan garis penghubung yang sangat vital bagi pihak sekutu, yang menghubungkan setiap konvoi Sekutu yang melalui jalan itu, selalu dijadikan bulan-bulanan oleh Tentara kita.
Ketika ada konvoi yang mengangkut pasukan-pasukan sekutu, Belanda/NICA dan dikawal kuat dengan kendaraan berlapis baja sedang dalam perjalanan dari Bogor menuju Bandung, Batalyon Sumarsono (Batalyo II Res. 8). Batalyon I/Abdulrakhman, badan-badan perjuangan yang menempati posisi strategis di sekitar Jalan Garuda, diperintahkan untuk menghadang dan menghancurkan konvoi tersebut. Pertempuran sengit pun berlangsung dari tanggal 20 Maret s/d tanggal 22 Maret 1946, dan banyak menelan korban baik materiil maupun jiwa dari pihak Sekutu, sedangkan dari pihak kita pun banyak pula jatuh korban, baik yang gugur maupun yang menderita luka-luka.
Pada tanggal 22 Maret 1946 Markas Sekutu menelepon markas kita, bahwa Panglima Komandemen I Jawa Barat beserta Menteri Keuangan Mr. Syafrudin Prawiranegara tiba di Bandung, membawa amanat Perdana Menteri Republik Indonesia yang menyetujui tuntutan Sekutu tertanggal 20 Desember 1945 tentang pengunduran unsur bersenjata kita dalam straal 10 km pusat Kota Bandung.
Pejuang-pejuang kita sangat taat kepada para pemimpinnya, sekalipun untuk melaksanakan dituntut pengorbanan perasaan yang tidak terhingga. Sebagai akibat dari kesemuanya itu, maka terjadilah peristiwa "atas Bandung Lautan Api" pada tanggal 24 Maret 1946, yakni sebagai konsekuensi pejuang kita menaati perintah Pemerintah. Di samping perintah tersebut di atas, terdapat pula perintah dari Markas Tertinggi Yogyakarta yang pada pokoknya berisi untuk jangan menyerahkan Bandung Selatan begitu saja kepada pihak Sekutu.
Sebelum para pejuang dan rakyat meninggalkan Kota Bandung, maka Kota Bandung dibumihanguskan. Mereka merelakan rumah-rumahnya dibakar, daripada harus dihuni oleh para Tentara Sekutu.
Para pejuang yang digembleng di berbagai medan pertempuran di Jawa Barat, baik yang bergabung dalam ketentaraan maupun badan perjuangan, menjadi cikal bakal daripada Divisi Siliwangi yang dibentuk kemudian, dengan maung-maung yang disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Sadar akan kepentingan negara dalam membela dan mempertahankannya, maka akhirnya badan-badan perjuangan yang beraneka ragam disatukan menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) tanggal 24 Januari 1946.
Pada pertengahan bulan Mei 1946, dalam rapat pimpinan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Yogyakarta yang dipimpin oleh Jenderal Pangeran Purbonegoro ditetapkan nama-nama daripada divisi-divisi. Untuk divisi di Jawa Barat dua calon namanya, yakni "Taruma Negara" dan "Siliwangi". Akhirnya yang diterima adalah nama Siliwangi, karena nama Siliwangi itu mengandung nilai histori yang tinggi di kalangan rakyat Jawa Barat dan dirasakan telah menjadi milik rakyat Jawa Barat.
Tanggal 20 Mei 1946, Komandan I Jawa Barat yang pada saat itu berkedudukan di Tasikmalaya diresmikan menjadi Divisi I Siliwangi, di mana sebagai panglimanya ditetapkan Jenderal Mayor A. H. Nasution.
Siliwangi hijrah
Di saat perjuangan pahlawan terhadap Belanda di Jawa Barat sedang memuncak dan inisiatif berada di tangan kita, pihak Belanda sekali lagi memaksa diadakannya perundingan yang diselenggarakan di atas sebuah Kapal Amerika Serikat "RENVILE". Persetujuan yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 itu, isinya antara lain mengharuskan pasukan-pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah ke daerah yang masih dikuasai oleh Republik Indonesia.
Bila ditinjau secara politik, persetujuan "RENVILE" tersebut berarti pengakuan Republik Indonesia "de jure" atas kedaulatan Kerajaan Belanda atas Tanah Air kita tercinta.
Sedangkan dipandang secara militer, persetujuan ini berarti menyerahkan kantong-kantong gerilya kita yang tidak dapat direbut dan yang membuntukan serbuan-serbuan Belanda itu, kepada pihak Belanda. Dengan demikian hal tersebut membuat kita menjadi terkepung dan terancam.
Dipandang dari segi ekonomis, persetujuan itu berarti kita menerima dari keadaan, bahwa semua kota besar, pusat produksi dan perdagangan keluar, telah berada di dalam tangan Belanda. Ekonomi kita berada dalam keadaan terkepung, terblokade dan tercekik.
Pada saat menjelang hijrah bulan Februari 1948, unsur-unsur pimpinan Divisi Siliwangi tersebut, antara lain Panglima Divisi I; Kolonel A. H. Nasution, Kepala Staf; Kolonel Hidayat, Komandan Brigade I Tirtayasa di Banten; Letnan Kolonel Dr. Erie Sudewo yang menggantikan Letnan Kolonel Bratamenggala sekitar tanggal 17 Juli 1948. Komandan Brigade II/Suryakencana di Sukabumi; Letnan Kolonel A. W. Kawilarang, Komandan III/Kiansantang di Pursumah, Komandan Brigade I/Guntur II di Bandung Selatan; Letnan Kolonel Daan Yahya dan Komandan Brigade V/Sunan Gunung Jati di Cirebon; Letnan Kolonel Abimanyu.
Dalam melaksanakan perintah hijrah dari pemerintah pusat, tidak semua unsur-unsur jajaran Divisi Siliwangi digerakkan berhijrah. Misalnya saja Brigade I/Tirtayasa tidak disertakan dalam gerakan ini, karena masih menguasai keadaan sepenuhnya. Demikian pula berbagai unsur Badan Perjuangan ada yang tetap tinggal di kampung halamannya.
Ada persetujuan "RENVILE" tersebut, tidak saja menghilangkan kesempatan kepada Divisi Siliwangi untuk mencicipi "kemenangan" dalam menanggulangi Agresi Militer Belanda yang pertama di Jawa Barat, tetapi juga menyebabkan Divisi Siliwangi terdesak, untuk kemudian terlempar dari kampung halamannya sendiri.
Pada tanggal 22 Februari 1948 telah selesai dihijrahkan kurang lebih 29 ribu prajurit Siliwangi dari kantong-kantong gerilyanya.
Adanya perintah gerilya itu merupakan satu bukti dan kesaksian sejarah bahwa Jawa Barat tidak pernah berkapitulasi dalam menghadapi perang melawan penjajah Belanda yang pertama itu.
Setelah hijrah lalu datang pula Rekonstruksi dan Rasionalisasi untuk ketiga kalinya bagi Siliwangi. Bagi Siliwangi yang dalam pengembaraan itu, sangat berarti sekali dirasakan terutama oleh anak-anak yang tidak masuk formasi, di mana dia harus berpisah dari kawan-kawan dan pimpinannya yang selama ini senantiasa bersama-sama. Hal itu pun tidak sedikit pengaruhnya terhadap Siliwangi. Kesemuanya itu tertulis dalam lagu Siliwangi pada waktu hijrah. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 24 Mei 1994
Komentar
Posting Komentar