Langsung ke konten utama

Kebangkitan Nasional: Dari Gerakan Kultural ke Aksi Struktural

Oleh Andi Syaiful Oeding

Kebangkitan nasional yang dialami bangsa Indonesia di awal abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dari persepsi kultural dan struktural yang dihayati pada masa itu. Maka sebagai sebuah fenomena "pergerakan" yang mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, daya gerak kebangkitan nasional sesungguhnya dicapai lewat konvergensi, komplementasi, dan bahkan proses dialektis dari kekuatan kultural dan struktural.

Munculnya kesadaran serta gerakan kultural dan struktural tidak dapat dilepaskan dari realitas sosiologis dan struktur sosial yang ada pada masa itu. Kelas sosial yang tampak dominan di awal abad ke-20 ialah kaum priyayi. Mereka adalah kaum terpelajar yang bekerja pada profesi-profesi yang terbuka waktu itu, terutama di bidang pemerintahan. Mereka inilah yang disebut ambtenaar atau priyayi tinggi. Sementara itu mereka yang bekerja di luar pemerintahan, seperti dokter dan ahli hukum, berasal dari lapisan bawah.

Pada mulanya kedua lapisan priyayi itu tidak memiliki perbedaan cara berpikir yang jelas. Secara bersama-sama mereka melakukan gerakan kaum priyayi hampir di semua kota, termasuk kota-kota kabupaten; walaupun sifat gerakan mereka lebih etnosentris karena bangsa "Jawa" sebagai suku yang dominan. Di Surakarta, misalnya, pada tahun 1904 telah didirikan perkumpulan kaum priyayi yang bernama Abipraya, yang dianggap sebagai pelopor gerakan kebudayan untuk "bangsa" Jawa.

Dilengkapi dengan kepengurusan, penerbitan, dan gedung pertemuan, Abripaya bercita-cita memajukan "bangsa" Jawa. Dan sebagai priyayi mereka terpanggil untuk melawan kebodohan dan melenyapkan kebiasaan-kebiasaan jelek. Gerakan kaum priyayi ini menemukan bentuknya ketika didirikan Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908. Dengan demikian, gerakan kultural--gerakan "kemajuan"--ini semakin intensif lewat Boedi Oetomo karena sifatnya yang polisentris: keanggotaan yang tidak hanya terbatas pada "bangsa" Jawa semata.

Sebagai gerakan kultural, arti penting Boedi Oetomo karena sumbangannya dalam merumuskan cita-cita kemajuan dan penyadaran betapa pentingnya pendidikan di kalangan pribumi. Dalam kongresnya di Yogyakarta 4-5 Oktober 1908, sudah diperdebatkan tentang apa yang disebut kemajuan, ke mana kemajuan itu berorientasi. Sembilan agenda pokok kongres hampir seluruhnya membahas mengenai pendirian dan perluasan pendidikan. Kemudian surat kabar milik Boedi Oetomo, Darmo Kondo, melancarkan gerakan kebudayaan "berpikir ilmiah" dengan memuat artikel-artikel yang memberikan artikel-artikel yang memberikan penjelasan rasional tentang berbagai gejala alam. Kejadian atau peristiwa-peristiwa yang bersifat mistis dan penuh keajaiban ditulis dengan penuh keraguan. Dengan kata lain kebijaksanaan redaksional ditujukan untuk mengubah dunia magis menjadi dunia yang lebih rasional.

Sebuah buku karya Padmasusastera, Subasita, yang diterbitkan Boedi Oetomo pada tahun 1914, menguraikan bagaimana seorang yang "maju" seharusnya berbuat. Dikemukakan pula banyaknya etiket Jawa tradisional yang dianut di kalangan priyayi dinyatakan tidak lagi memenuhi persyaratan kemajuan. Begitulah Boedi Oetomo masuk ke dalam gerakan kultural karena yang mereka anggap penting dalam perubahan kehidupan masyarakat adalah perubahan budaya, tradisi, dan cara berpikir.

Gerakan kultural yang pada mulanya dipelopori kaum priyayi dan mendapatkan bentuknya yang paling jelas pada Boedi Oetomo kemudian dilanjutkan oleh golongan lain--yang tidak selalu masuk dalam kategori priyayi--yang juga berusaha mengubah cara berpikir bangsa lewat bidang pendidikan, yakni Muhammadiyah dan Taman Siswa. Dua lembaga pergerakan nasional itu di samping sebagai organisasi keagamaan untuk Muhammadiyah lebih jauh menempatkan pendidikan dalam kerangka makro kebudayaan.

Demikianlah, misalnya, obsesi dan kegelisahan Taman Siswa untuk merumuskan kebudayaan nasional memunculkan sikapnya untuk mandiri terhadap intervensi pemerintah kolonial. Dan lewat independensi itulah yang menjadikan Taman Siswa mempunyai kontribusi dalam pencarian identitas budaya bangsa. Sementara itu, kalau Taman Siswa berusaha memecahkan ketegangan budaya Timur dan Barat, maka Muhammadiyah bergulat pada ketegangan antara agama dan modernitas. Kalau sebelumnya penghayatan keagamaan dilakukan secara parokial, eksklusif dan berhadapan secara diametral dan dikotomis dengan modernitas, Muhammadiyah secara kreatif "mendamaikannya".

Dengan uraian di atas, tampak bahwa gerakan kultural yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pergerakan nasional--antara lain Boedi Oetomo, Muhammadiyah dan Taman Siswa--telah memberikan kontribusi secara kualitatif dan substansial kepada kebangkitan nasional itu.

Orientasi Struktural

Setelah terlibat dalam gerakan-gerakan kultural, kaum priyayi yang tidak tertampung dalam pemerintahan--yang kebanyakan berasal dari priyayi lapisan bawah--lambat laun menyadari keterbelakangan bangsanya terutama keberadaannya sendiri dalam struktur sosial, dalam pemahaman yang sama sekali berbeda.

Struktur sosial itu antara lain ditandai dengan ketidakmampuan pemerintah kolonial menampung mereka yang sudah terlanjur teredukasikan pada pekerjaan yang cocok dengan keterampilan dan pendidikan mereka. Sementara kaum priyayi ini tidak memiliki pekerjaan tetap, dan dalam waktu yang sama mereka telah tercabut dari akar dan kehidupan tradisional mereka. Akibatnya, mereka kemudian menjadi golongan "marginal" yang selalu gelisah; yang terpaksa mencari pekerjaan bebas seperti wartawan, saudagar, pedagang, dan profesi yang lain. Sementara itu penetrasi ekonomi Cina mulai masuk ke bidang "garap" pengusaha pribumi yang masih tersisa seperti industri batik dan rokok.

Akibat struktur sosial semacam ini yang secara sosial ekonomi hanya meletakkan golongan "marginal" dan pedagang pribumi dalam peran yang disubordinasikan dari para ambtenaar--yang duduk mapan dalam pemerintahan--dan dari pedagang Cina serta pengusaha Eropa lainnya, mereka kemudian menyadari diskriminasi itu dan melahirkan kesadaran struktural. Maka golongan " marginal" itu bersama-sama dengan pedagang pribumi yang tergusur--yang pada mulanya bergabung dalam SDI dan kemudian berubah menjadi SI--lalu mempersoalkan tatanan dan struktur masyarakat kolonial tersebut.

Mereka lalu memformulasikan ideologi tandingan yang sering diidentifikasi sebagai nasionalisme. Wujud nyata dari nasionalisme mereka adalah perjuangan untuk memisahkan diri dari penjajah, perjuangan antara kaum "sini" lawan kaum "sana". Dan akibat sosialisasi dan penyebaran ideologi tandingan itu kepada massa kebanyakan, maka lahirlah gerakan-gerakan sosial yang bersifat anti-kolonial, anti-feodal, dan bahkan anti-rasial.

Gerakan anti-kolonial bisa dilihat dalam gerakan Sarikat Islam Afdeeling-B, gerakan anti-Cina muncul di Kudus dan beberapa tempat lainnya; sementara itu gerakan Jawa Dipo di Jawa dan Madura dapat diidentifikasi sebagai gerakan antifeodal. Bahkan di Madura juga lahir gerakan anti-ambtenaar. Dan mungkin sudah terlalu jelas untuk disebutkan lagi sederet gerakan anti-kolonial yang dilakukan oleh para pemimpin pergerakan, juga para elite nasionalis yang menyertakan massa lapisan bawah seperti yang dilakukan RM Suryopranoto sehingga ia dikenal sebagai tokoh pemogokan kaum buruh yang tidak kenal menyerah.

Masa Depan

Fenomena kebangkitan nasional yang dialami bangsa Indonesia di permulaan abad ini memperoleh corak substantifnya pada kekuatan kultural dan struktural yang komplementatif dan berkonvergensi. Apabila gerakan kultural menjadikan kemajuan sebagai tujuan utama, maka gerakan struktural mengacu pada cita-cita kemerdekaan. Jika gerakan kultural memberikan kesadaran untuk bangkit dari kebodohan dan "keterbelakangan" budaya, gerakan struktural menyadarkan betapa kemiskinan itu harus dihapus, keterbelengguan harus diputus, keadilan sosial harus diciptakan. Dan, jika gerakan kultural memberikan kontribusi kualitatif dan substansial pada kebangkitan nasional dan pergerakan nasional, aksi struktural menjadi ujung tombak dan menjadikan pergerakan nasional--meminjam terminologi sejarawan Jepang, Kenji Tsuchiya--sebagai institusi tandingan (counter institution) yang mampu menentang dan mengimbangi institusi kolonial Belanda yang secara nyata berkuasa di Indonesia.

Lewat paralelisme sejarah, rupa-rupanya upaya untuk mengantisipasi masa depan yang dekat--yang sering dirumuskan sebagai kebangkitan nasional kedua atau PJPT II--hanya mungkin dilakukan dengan baik jika orientasi kultural dan struktural mengambil tempat untuk dilaksanakan secara bersama-sama, betapapun penjabaran operasionalnya berbeda dengan masa lalu dan sesuai dengan tantangan yang dihadapi.

Jika di zaman pergerakan "kemajuan" yang dicita-citakan oleh gerakan kultural adalah menghapuskan segala tradisi, tahyul, dan etiket tradisional yang menghambat kemajuan; maka di zaman ini gerakan kultural dimaksudkan menyiapkan bangsa ini secara kebudayaan untuk memasuki masyarakat industri dan informasi--yang tampaknya tidak terelakkan--serta mengendalikannya agar tetap dalam jati-diri nasional.

Demikian pula bila di era pergerakan gerakan struktural mencita-citakan untuk hidup bebas dari keterbelengguan akibat penjajahan dan struktur yang tidak adil, maka kesadaran struktural di zaman ini adalah bagaimana agar hasil-hasil pembangunan bisa dinikmati bersama, tidak dijumpai kesenjangan atau monopoli kekayaan pada segelintir orang. Sebab bukan hanya secara moral hal itu tidak benar, secara politis juga bisa mengancam integrasi nasional.***

Penulis adalah alumnus Jurusan Sejarah FS UGM.



Sumber: Suara Karya, circa Mei 1994



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Gedung Kebangkitan Nasional Lebih Dikenal Kalangan Pelajar

Ruang "Anatomi" hanyalah sebuah ruangan kecil yang terletak di salah satu sudut gedung. Tapi dibanding dengan ruangan lain yang ada di komplek Gedung Kebangkitan Nasional, ruang "Anatomi" merupakan ruang yang paling bersejarah. Di ruang berukuran 16,7 x 7,8 meter itulah lahir perkumpulan Budi Oetomo. Budi Oetomo yang dilahirkan 20 Mei 1908 oleh para pelajar sekolah kedokteran Stovia adalah organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia yang merintis jalan ke arah pergerakan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Jadi tepat sekali kalau gedung eks-Stovia itu dinamakan Gedung Kebangkitan Nasional (GKN). Di dalam gedung tersebut terdapat Museum Kebangkitan Nasional yang bertugas menyelenggarakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penerbitan, pemberian bimbingan edukatif kultural, perpustakaan, dokumentasi, dan penyajian benda-benda bernilai budaya dan ilmiah yang berhubungan dengan sejarah kebangkitan nasional. Peranan Museum Kebangkitan Nasiona...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

TRAGEDI HIROSHIMA: Maaf Itu Tidak Pernah Terucapkan ....

Di mata rakyat Jepang, nama Paul Warfield Tibbet Jr menyisakan kenangan pedih. Dialah orang yang meluluhlantakkan Kota Hiroshima dalam sekejap pada 6 Agustus 1945 lalu. Yang lebih pedih lagi, Tibbets, seperti juga pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah mau meminta maaf atas perbuatannya itu. Akibat bom atom 'Little Boy' berbobot 9.000 pon (4 ton lebih) yang dijatuhkan dari pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay, 140 ribu warga Hiroshima harus meregang nyawa seketika dan 80 ribu lainnya menyusul kemudian dengan penderitaan luar biasa. Sebuah kejadian yang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perang yang pernah ada di muka bumi. Hingga kini seluruh rakyat Jepang masih menanti kata 'maaf' dari pemerintah AS atas perbuatan mereka 62 tahun silam itu. Paling tidak, Tibbets secara pribadi mau menyampaikan penyesalannya. "Tapi ia tidak pernah meminta maaf. Seperti juga pemerintah AS, ia justru beralasan bom itu telah menyelamatkan jutaan orang Amerika dan Jepa...