Langsung ke konten utama

Melacak Sejarah Islam di Indonesia (3): Menyebar Lewat Perdagangan dan Perkawinan

Masalah pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di Indonesia haruslah dipandang sebagai masalah proses budaya. Artinya bahwa proses penyebaran dan perkembangan agama Islam di Indonesia merupakan sesuatu yang dilaksanakan secara sadar dan sengaja oleh para pelakunya (dalam hal ini terdapat kelompok yang mempengaruhi dan kelompok yang dipengaruhi). Karenanya, hal pertama yang harus ditelusuri adalah bagaimana masyarakat kita untuk pertama kalinya mengadakan kontak (budaya) dengan orang-orang muslim yang berasal dari luar wilayah Indonesia.

Hingga saat ini para pakar sejarah dan budaya bangsa Indonesia masih sependapat bahwa jalur pelayaran--dengan motivasi perdagangan--merupakan salah satu sarana paling efektif untuk mampu menjelaskan bagaimana kontak budaya lintas kultur untuk pertama kalinya terjadi. Demikianlah, maka masyarakat kita mulai mengadakan kontak budaya dengan orang-orang muslim yang berasal dari luar wilayah Indonesia lewat aktivitas perdagangan. 

Dari berita Cina zaman dinasti T-ang, diperoleh keterangan bahwa pada sekitar abad ke-7 M daerah Selat Malaka dan pesisir barat Sumatera sudah merupakan jalur perdagangan yang ramai. Demikian pula halnya dengan berita-berita asing dari masa-masa berikutnya (berita Jepang dari abad ke-8 M, berita Chau ju-Kua dari abad ke-12, berita Marco Polo dari abad ke-13 M, Ibn Batuttah dari abad ke-14 M, dan sebagainya), menggambarkan bagaimana beberapa tempat di Samudera (Indonesia, pen.) sudah menjadi pusat perdagangan.

Lewat tulisannya yang berjudul Indonesian Trade and Society: Essay in Asian Social Economic History, JC van Leur mengatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa di antara para pedagang muslim yang datang ke Indonesia dalam melakukan transaksi perdagangannya juga melakukan aktivitas lainnya, misalnya menyebarkan agama Islam. Dan di sinilah, masyarakat kita untuk pertama kalinya mengadakan kontak budaya dengan masyarakat muslim, bahkan beberapa di antaranya menjadi muslim.

Sementara, beberapa ahli lain mencoba menggambarkan bahwa raja-raja, bangsawan-bangsawan dan penguasa-penguasa setempat memegang peranan dalam menentukan kebijaksanaan perdagangan dan pelayaran. Mereka bukan saja hanya menguasai perdagangan dan pelayaran, tetapi juga pemilik saham bahkan pemilik kapal-kapal dagang. Hasil perdagangan biasanya pula menjadi hak monopoli negara, di mana raja dan bangsawan berkuasa menentukan harga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas perdagangan.

Tidak tertutup kemungkinan pula bahwa di antara kaum raja-raja, bangsawan-bangsawan atau penguasa-penguasa setempat secara tidak sadar telah terpengaruh agama Islam yang dibawa oleh para pedagang muslim dari luar wilayahnya dan menjadi seorang muslim. Karena masyarakat Indonesia (kala itu) menganggap bahwa rajanya atau golongan bangsawan merupakan orang yang kharismatik, maka penerimaan Islam melalui golongan-golongan elite ini memungkinkan proses penyebaran Islam lebih cepat daripada melalui golongan masyarakat bawah.

Proses penyebaran Islamis melalui saluran perdagangan dipercepat pula oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan non-Islam, di mana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Di Sumatera misalnya, munculnya masyarakat muslim tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan kemunduran yang dialami kerajaan Sriwijaya dalam abad-abad ke-9-12 M. Begitu pula halnya di Pulau Jawa, proses Islamisasi berjalan demikian cepatnya setelah kerajaan Hindu terbesar Majapahit mengalami kemunduran di akhir abad ke-15 M.

Dalam hal ini MAP Meillink-Roelofsz dalam tulisannya yang berjudul Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipleago: Between 1500 and about 1630, mengatakan bahwa adipati-adipati pesisir yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat itu kemudian mengadakan hubungan dengan pedagang-pedagang muslim. Setelah menjadi seorang muslim, lewat sifat kharismatik yang dimilikinya mereka kemudian menjadi penyebar agama Islam. Dikatakan lebih lanjut bahwa perubahan kepercayaan dan pergeseran kekuasaan di kota-kota pelabuhan di Jawa mempunyai pengaruh tertentu terhadap disintegrasi yang sedang berlangsung di pusat.

Akibat hubungan perdagangan, daerah-daerah pesisir yang disinggahi oleh pedagang-pedagang muslim tumbuh menjadi kota-kota pelabuhan yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan maritim yang bercorak Islam. Di antaranya adalah kerajaan Samudera Pasai yang muncul pada abad ke-13 M. Lahirnya Samudera Pasai sebagai suatu kerajaan yang bercorak Islam erat hubungannya dengan kemunduran Sriwijaya akibat ekspansi politik yang dilakukan oleh Singhasari dari Jawa dan ekspansi politik dari Cina yang dilakukan oleh Khubilai Khan pada akhir abad 13 M. Samudera Pasai mengadakan pula hubungan perdagangan dengan Malaka dan akibat adanya hubungan perdagangan ini, Malaka tumbuh menjadi suatu kerajaan Islam pada abad 15 M. Setelah Malaka menjadi suatu kerajaan Islam, kota pelabuhannya tidak saja menjadi pusat perdagangan, tetapi juga berkembang menjadi pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Dari uraian di atas, jelas bahwa perdagangan merupakan salah satu sarana paling efektif dalam proses Islamisasi di Indonesia. Selain perdagangan, proses Islamisasi di Indonesia juga berlangsung melalui perkawinan, tasawuf, pesantren, dan kesenian.

Perkawinan

Agaknya, mudah dipahami mengapa para peneliti tentang Islam di Indonesia menempatkan perkawinan sebagai salah satu sarana efektif dalam proses Islamisasi. Perkawinan--yang ditandai dengan adanya suami dan istri--akan membentuk suatu keluarga yang memiliki ikatan lahir-batin yang kuat, dan keluarga merupakan inti dari suatu masyarakat. Dari perkawinan akan terbentuk pula pertalian kekerabatan antara keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Premis logisnya, bukan tidak mungkin bila dari keluarga muslim akan terbentuk suatu komunitas/masyarakat yang juga muslim.

Adanya perkawinan campuran (muslim dan nonmuslim) ini barangkali terjadi manakala para pedagang muslim yang berasal dari luar wilayah Indonesia memutuskan untuk tinggal menetap di lokasi di mana ia memperoleh keuntungan dari hasil transaksi perdagangan yang telah dilakukannya. Dan sesuai dengan hukum alam, mereka kemudian melangsungkan perkawinan dengan penduduk setempat.

Saluran penyebaran melalui perkawinan ini akan lebih mempercepat proses Islamisasi bila ternyata yang melangsungkan perkawinan tersebut memiliki jabatan atau status sosial yang tinggi. Misalnya antara golongan saudagar, ulama, atau golongan lain, dengan anak bangsawan atau anak raja dan adipati. Kisah mengenai perkawinan beda agama (muslim dan nonmuslim) ini banyak dijumpai dalam ceritera-ceritera babad, hikayat, dan tradisi.

Dalam babad Tanah Jawa misalnya dikisahkan tentang perkawinan putri Campa (muslim) dengan seorang raja Majapahit yang bernama Brawijaya (nonmuslim). Babad yang ditulis sekitar pertengahan abad ke-17 M ini juga mengisahkan tentang perkawinan Maulana Ishak (muslim) dengan seorang putri penguasa Blambangan (nonmuslim) yang kemudian melahirkan Sunan Giri; perkawinan antara Raden Rahmat atau yang lebih kondang dengan sebutan Sunan Ngampel (muslim) dengan Nyai Gede Manila (nonmuslim), putri Tumenggung Wilatika.

Sedangkan babad Cirebon mengisahkan perkawinan antara Sunan Gunung Jati (muslim) dengan putri Kawunganten (nonmuslim). Sementara itu, babad Tuban menampilkan kisah perkawinan antara Raden Ayu Teja (nonmuslim), putri adipati Tuban, dengan Seh Ngabdurahman, seorang Arab muslim yang kemudian melahirkan anak laki-laki dengan gelar Seh Jali atau Jaleludin.

Uraian di atas jelas memberi keterangan kepada kita bahwa perkawinan memang merupakan salah satu sarana yang efektif dalam proses penyebaran Islami di Indonesia. (Hasanuddin)



Sumber: Suara Karya, 11 Maret 1993



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Kebangkitan Nasional Lebih Dikenal Kalangan Pelajar

Ruang "Anatomi" hanyalah sebuah ruangan kecil yang terletak di salah satu sudut gedung. Tapi dibanding dengan ruangan lain yang ada di komplek Gedung Kebangkitan Nasional, ruang "Anatomi" merupakan ruang yang paling bersejarah. Di ruang berukuran 16,7 x 7,8 meter itulah lahir perkumpulan Budi Oetomo. Budi Oetomo yang dilahirkan 20 Mei 1908 oleh para pelajar sekolah kedokteran Stovia adalah organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia yang merintis jalan ke arah pergerakan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Jadi tepat sekali kalau gedung eks-Stovia itu dinamakan Gedung Kebangkitan Nasional (GKN). Di dalam gedung tersebut terdapat Museum Kebangkitan Nasional yang bertugas menyelenggarakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penerbitan, pemberian bimbingan edukatif kultural, perpustakaan, dokumentasi, dan penyajian benda-benda bernilai budaya dan ilmiah yang berhubungan dengan sejarah kebangkitan nasional. Peranan Museum Kebangkitan Nasiona...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Indonesia Menjelang Perang Pasifik (2) Spionase Jepang di Hindia Belanda Lebih Hebat Sejak Pertengahan Th 30-an

Oleh: H ROSIHAN ANWAR SPIONASE  aktif pihak Jepang di Hindia Belanda dilaksanakan lebih hebat sejak pertengahan tahun 1930-an. Salah satu perkakas spionase paling aktif ialah Nanyo Warehousing Company. Seorang karyawannya di Betawi adalah Naoju Aratame, perwira marine yang khusus ditugaskan dengan pekerjaan spionase. Kemudian dia ditempatkan sebagai pegawai konsulat-jenderal Jepang di Betawi. Sesudah tahun 1939 hampir semua karyawan perusahaan-perusahaan Jepang di Hindia Belanda dilibatkan dalam pekerjaan spionase. Kujiro Hayashi menjabat sebagai Direktur utama perusahaan Nanyo Kyokai yang terkenal karena menspesialisasikan diri dalam pembiayaan perdagangan kecil dan pengiriman para karyawan. Bulan Mei 1940 dia mengunjungi Hindia Belanda. Tujuan resmi perjalanannya ialah melaksanakan missi muhibah kepada pemerintah Hindia Belanda. Dari sepucuk surat yang dicegat setelah keberangkatannya ternyata apa tujuan sebenarnya perjalanannya yakni koordinasi kegiatan-kegiatan spionas...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

TRAGEDI HIROSHIMA: Maaf Itu Tidak Pernah Terucapkan ....

Di mata rakyat Jepang, nama Paul Warfield Tibbet Jr menyisakan kenangan pedih. Dialah orang yang meluluhlantakkan Kota Hiroshima dalam sekejap pada 6 Agustus 1945 lalu. Yang lebih pedih lagi, Tibbets, seperti juga pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah mau meminta maaf atas perbuatannya itu. Akibat bom atom 'Little Boy' berbobot 9.000 pon (4 ton lebih) yang dijatuhkan dari pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay, 140 ribu warga Hiroshima harus meregang nyawa seketika dan 80 ribu lainnya menyusul kemudian dengan penderitaan luar biasa. Sebuah kejadian yang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perang yang pernah ada di muka bumi. Hingga kini seluruh rakyat Jepang masih menanti kata 'maaf' dari pemerintah AS atas perbuatan mereka 62 tahun silam itu. Paling tidak, Tibbets secara pribadi mau menyampaikan penyesalannya. "Tapi ia tidak pernah meminta maaf. Seperti juga pemerintah AS, ia justru beralasan bom itu telah menyelamatkan jutaan orang Amerika dan Jepa...