Langsung ke konten utama

Melacak Sejarah Islam di Indonesia (2): Datang dari Gujarat, Parsi, Arab

Seperti halnya permasalahan mengenai kapan agama Islam masuk ke Indonesia, suatu permasalahan yang juga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan para ahli adalah mengenai negara asal Islam di Indonesia. Sebagian ahli menganggap bahwa Islam di Indonesia berasal dari Arab dan Parsi, dan sebagian lagi berpendapat bahwa Islam di Indonesia berasal dari India Selatan (terutama Gujarat dan Malabar). Satu-satunya pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Mesir dikemukakan oleh S. Keyzer (1859). 

Pendapat pertama menyatakan bahwa agama Islam di Indonesia berasal dari Arab. Pendapat ini barangkali merupakan suatu opini yang akan dengan begitu saja terlontar, mengingat bahwa agama Islam lahir di tanah Arab dan langsung menarik garis hubungan antara Arab, agama Islam, dan Indonesia. "Orang Arab identik dengan agama Islam," begitulah anggapan kebanyakan orang. Artinya pula bahwa di mana saja orang Arab dijumpai, di situ pula agama Islam berada. Tak heran, bila kemudian para ahli sejarah Islam Indonesia lantas menduga bahwa Islam di Indonesia dibawa langsung oleh orang-orang Arab yang "bertualang" ke negeri ini.

Para ahli yang berpendapat bahwa agama Islam di Indonesia berasal dari Arab, terutama mendasarkan teorinya antara lain atas interpretasinya atas nama Ta-shih yang disebutkan dalam berita Cina pada abad ke-7 M. Bahkan lebih jauh, para ahli yang mendukung pendapat ini antara lain adalah John Crawfud (1820), GK Nieman (1861), JJ de Hollander (1861), PJ Veth (1878), TW Arnold (1935), Hamka (1963), Syed Naguib Al Attas (1969), dan Rita Rose Di Maglio (1970). 

Mereka yang tdak sependapat dengan hipotesa bahwa agama Islam di Indonesia dibawa secara langsung oleh orang-orang Arab, menyatakan bahwa agama Islam di Indonesia tidak dibawa secara langsung, melainkan oleh orang-orang muslim India (Gujarat, Malabar, dan Benggala). DJ Pijnapel misalnya, menelusuri penyebaran agama Islam di Kepulauan Indonesia kepada orang-orang Arab pengikut mazhab Syafi'i yang berasal dari Gujarat dan Malabar.

Lebih lanjut, dalam tulisannya yang berjudul Over de Kennis, die de Arabieren voor de Komst der Portugueezen van den Indischen archipel bezaten dan dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkunkunde Jilid 19 (1872, hal. 135-138), Pijnapel membuat suatu rekonstruksi jalur perdagangan dari Teluk Parsi ke pantai barat India untuk memperkuat dugaannya bahwa agama Islam di Indonesia ini adalah berasal dari India (Gujarat dan Malabar).

Setelah Pijnapel, pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari India dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje (1883). Dalam sebuah ceramah ilmiah yang disampaikan di Amsterdam--yang kala itu ia masih berusia 26 tahun dan sudah bergelar Doktor--Hurgronje mengatakan bahwa wilayah India Selatan merupakan tempat asal mula Islam di Indonesia. Namun, ia tidak memastikan lebih lanjut wilayah India Selatan mana yang dimaksud.

Dalam tulisannya yang lain, Hurgronje (1924) mengatakan bahwa bukti-bukti hubungan langsung antara Indonesia dengan Arab baru terjadi pada masa-masa kemudian. Contohnya adalah hubungan utusan dari Mataram dan Banten ke Mekkah pada akhir abad ke-17 M. Pendapatnya ini didasarkan pula kepada unsur-unsur Islam di Indonesia yang menunjukkan persamaannya dengan di India.

Hikayat-hikayat mengenai Nabi dan pengikutnya yang beredar di Indonesia sudah sangat menyimpang jauh dari ceritera-ceritera Arab, tetapi lebih menunjukkan persamaannya dengan hikayat-hikayat yang beredar di India. Lebih lanjut, dikatakan pula bahwa bersamaan dengan hikayat-hikayat tersebut, beberapa kebiasaan muslim di Indonesia--dari mazhab Syafi'i--menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang sama dengan muslim di pantai Malabar dan Koromandel. Dan secara tegas, C. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa tarikh 1200 M haruslah dipandang sebagai tahun-tahun pertama Islam masuk di Indonesia dan muslim-muslim dari Indialah yang berperan besar dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.

Kedua pendapat di atas (Pijnapel dan Hurgronje) kemudian diperkuat oleh hasil penelitian arkeologis mengenai nisan kubur yang terdapat di Indonesia oleh beberapa sarjana lainnya. Van Ronkel (1910) misalnya, mengatakan bahwa batu nisan kubur Malik Ibrahim dari Gresik yang meninggal pada tahun 1418 M adalah batu nisan yang berasal atau diimpor dari India.

Penelitian arkeologis mengenai nisan kubur yang terdapat di Indonesia kemudian dilanjutkan oleh JP Moquette (1912). Setelah meneliti nisan-nisan kubur yang terdapat di Samudra Pasai dan Gresik berdasarkan bentuk dan jenis bahan, dengan agak meyakinkan dalam tulisannya yang berjudul De Grafsteenen te Pase en Grisse vergekelen met dergelijke monumenten uit Hindoestan, JP Moquette mengatakan bahwa nisan-nisan kubur tersebut menunjukkan pembuatan yang berasal dari satu pabrik di Cambay-Gujarat. Pendapatnya ini didasarkan atas adanya persamaan dengan nisan kubur Umar Ibn Al Kazaruni yang terdapat di Cambay yang berangka tahun 1333 M.

Pendapat Moquette di atas ternyata mendapat sanggahan dari RA Kern. Dalam tulisannya yang berjudul De Islam in Indonesia, Kern mengatakan: "Batu-batu nisan yang ada di makam Malik al-Salih dibawa dari Cambay dalam keadaan sudah jadi. Karena itu di sinilah tempat kita harus mencari sumber mata rantai bersifat rohani maupun kebendaan yang menghubungkan Samudera (Samudera Pasai, pen.) dengan dunia Islam." Pendapat Kern ini telah mengundang perhatian sarjana lain untuk mencari alternatif selain Gujarat.

GE Marrison (1951) misalnya, mengatakan bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh orang-orang muslim dari Benggala dan bukan Gujarat seperti yang telah banyak dikemukakan para ahli. Dengan metode penelitian yang lain, SQ Fatimi dalam tulisannya yang berjudul Islam Comes to Malaysia (1963), berhasil membuktikan sekaligus memperkuat hipotesa Marrison bahwa Islam di Indonesia berasal dari Benggala.

Demikianlah pendapat para ahli mengenai tempat asal agama Islam di Indonesia. Sebagian besar ahli memang berpendapat bahwa Islam di Indonesia tidak dibawa langsung dari Arab, melainkan oleh orang-orang muslim yang berasal dari India (Gujarat, Malabar, dan Benggala). Satu-satunya pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Mesir dikemukakan oleh S. Keyzer. Kesimpulannya didasarkan atas kenyataan bahwa hampir semua orang Arab yang ada di Indonesia berasal dari Hadramaut, sebagai pusat mazhab Syafi'i. Bila ditelusuri lebih lanjut, imigrasi orang-orang Hadramaut ke Indonesia ternyata berlangsung jauh setelah agama Islam berkembang di Indonesia.

Beberapa penelitian arkeologis terhadap karya arsitektur masa Islam yang telah dilakukan belakangan ini membuktikan bahwa karya arsitektur bentuk kubah masjid di Indonesia (yang bentuknya lengkung atau setengah bulat) banyak mendapat pengaruh dari arsitektur kubah pada masjid-masjid kuno di India. Sangat sedikit sekali dari masjid-masjid kuno di Indonesia yang mendapat pengaruh langsung dari Arab atau Parsi.

Untuk mencapai suatu kapasitas tentang tempat asal agama Islam di Indonesia, memang masih dibutuhkan suatu penelitian lebih lanjut dengan fakta yang lengkap dan akurat serta dengan pembahasan yang dalam. Namun demikian, untuk sementara bolehlah kita beranggapan bahwa Islam di Indonesia berasal dari beberapa tempat: Arab, Parsi, Gujarat, Malabar, dan Benggala. Walau terasa agak "netral", namun dengan menempatkan penelitian mengenai tempat asal Islam di Indonesia sebagai suatu proses budaya, tidak menutup kemungkinan bahwa Islam yang kini banyak penganutnya di Indonesia berasal dari beberapa tempat.

Lantas pertanyaannya kini, bagaimana proses terbentuknya masyarakat muslim di Indonesia? Dengan kata lain, bagaimana proses penyebaran dan perkembangan agama Islam di Indonesia hingga kini menjadi sebuah agama yang paling banyak pengikutnya di negeri ini? (Hasanuddin)



Sumber: Suara Karya, 10 Maret 1993



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan