Langsung ke konten utama

R. Kotjosungkono, Satu-satunya Pemaraf Sumpah Pemuda yang Masih Hidup

Oleh: Drs. Suhadiyono

Pada tanggal 28 Oktober 1928 seorang pemuda yang bernama R. Kotjosungkono, ikut menentukan tonggak sejarah perjuangan pemuda Indonesia. Dia adalah seorang di antara pemuda yang lain ikut memaraf Naskah Sumpah Pemuda yang terkenal itu, dalam suatu Kongres Pemuda Indonesia yang kedua pada persidangan rapat yang ketiga (terakhir), di Gedung Indonesische Clubgebaouw (sekarang Gedung Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya 106) Jakarta.

Perlu diketahui, penyelenggara Kongres Pemuda tersebut adalah sembilan organisasi/perhimpunan pemuda yakni Jong Java, Jong Sumatra (Pemuda Sumatra), Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, dan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia. Masing-masing utusan dari organisasi pemuda itu (yang duduk di dalam Bestur Congres/panitia inti) membubuhkan paraf pada naskah Sumpah Pemuda, setelah isinya disetujui secara aklamasi oleh seluruh peserta Kongres.

Naskah Sumpah Pemuda itu sendiri adalah merupakan manifestasi pengakuan pemuda terhadap persatuan tumpah darah, persatuan bangsa dan persatuan bahasa yang satu; yang sebelumnya merupakan satu resolusi yang diajukan dalam forum kongres tersebut. Untuk itu penulis ingin mengemukakan sejauh mana peranan R. Kontjosungkono pada momentum bersejarah itu mengingat beliau satu-satunya yang masih hidup, di antara sembilan pemuda yang ikut memberi paraf pada Naskah Sumpah Pemuda pada hari Minggu malam tanggal 28 Oktober 1928. Di samping penulisan ini kami maksudkan dalam rangka menyongsong Hari Sumpah Pemuda/Pemuda yang ke-54 tanggal 28 Oktober 1982 mendatang.

PENGALAMANNYA DALAM PERGERAKAN PEMUDA SEBELUMNYA

Sebagai seorang putra Madura yang dilahirkan di Pamekasan tanggal 24 Oktober 1908 dari orang tuanya yang bernama R. Rio Danoko Sosro Danoe Koesoemo, R. Kotjosungkono sebagai orang Islam mempunyai prinsip bahwa: "Takdir Allah S.W.T. melakukan kehendaknya atas hambanya". Hal inilah yang tidak akan terlepas terhadap pengalaman dari perjuangannya khususnya dalam pergerakan pemuda di masa silam. Dia sekarang sudah berusia lanjut dan hidup bersama keluarganya di kampung Klampak, Parelegi, Purwodadi, Lawang, Jawa Timur, tetapi dalam mengisi sisa-sisa hidupnya beliau juga masih memancarkan perjuangan hidupnya dengan membuat penulisan-penulisan dan membaca buku-buku yang berbobot.

R. Kotjosungkono mulai ikut dalam dunia pergerakan pemuda sejak tahun 1925, dengan menjadi anggota Jong Java cabang Bandung, ketua ranting Kebon Jati. Ikut menulis di dalam majalah cabang Bandung dan ikut serta dalam Kongres Jong Java yang diadakan di Bandung 1925. Di sana mulai berkenalan dengan mahasiswa-mahasiswa Technische Hoogeschool (T. H.) dan atas anjuran Bung Sudjadi berkenalan dengan Bung Karno (Candidaat Ingeneur atau Insinyur). Hampir setiap minggu Bung Karno di rumahnya menerima R. Kontjosungkono sampai Bung Karno telah lulus ujian Insinyur. Bung Sudjadi sering kali memberi majalah Indonesia Merdeka kepadanya, yang berisi ide-ide tentang persatuan Indonesia.

Antara permulaan dan pertengahan tahun 1926, beliau masuk Nationale Padvinders Organisatie, suatu organisasi kepanduan yang didirikan oleh Mr. Soenario (sekarang masih hidup dan tinggal di Jl. Raden Saleh 22 Jakarta). Akhirnya berkenalan dengan Mr. Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Mr. Boediarto, Dr. Samsi; yang membawa semangat dan prinsip-prinsip Perhimpunan Indonesia dari negeri Belanda ke Bandung. Tahun itu pula, R. Kotjosungkono mengambil inisiatif bersama mahasiswa Technische Hoogeschool bernama Soegiono, yang sama-sama dekat dengan Bung Karno, untuk mendirikan Jong Indonesia. Inisiatif mana disetujui dan disokong oleh mahasiswa-mahasiswa Technische Hoogeschool yaitu Soekamso, Soemantri, Soemono, Slamet, dan lain-lain; yang tidak puas dengan sifat-sifat kedaerahan. Soegiono kemudian melanjutkan propaganda di antara murid-murid sekolah A. M. S Bandung, yang mula-mula mendapat persetujuan dari Boediono, Sutan Sjahrir, Mulyadi, Soepangkat, dan lain-lain.

Sebelum ikut mengambil inisiatif tersebut, pada bulan Mei 1926 berkenalan dengan seorang yang selalu berpakaian adat Jawa sebagai murid A. M. S Bandung dan sebagai anggota Jong Java yang bernama Sigit (kemudian dikenal Prof. Abdullah Sigit). Sigit tidak senang juga dengan sifat kedaerahan dan setelah lulus dari A. M. S masuk ke Rechts Hooegeschool (R. H.) di Batavia (Jakarta). Di Recht Hoogeschool (sekolah tinggi hukum) inilah Sigit mendirikan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (P. P. P. I) atas dasar Indonesia Bersatu menuju ke Indonesia Merdeka, pada bulan September 1926.

Di Solo waktu itu ada gejala serupa. Pada Kongres Jong Java bulan Desember ada mahasiswa R. H. anggota P. P. P. I. yang juga selalu berpakaian adat Jawa (masih tetap menjadi anggota Jong Java dari mula) angkat bicara di atas mimbar Kongres (sebagai ketua) dengan melepaskan isi kalbunya: "Bukan selalu Jawa Raya yang menjadi tujuannya, tetapi cita-citanya ialah Indonesia Bersatu menuju ke Indonesia Merdeka".

Namanya yaitu R. T. Djaksodipoero yang kemudian terkenal dengan K. R. M. T. Mr. Wongsonegoro.

R. Kotjosungkono setelah ikut meresmikan berdirinya Jong Indonesia di bawah pimpinan Soegiono pada tahun 1927, yang kemudian membentuk cabang pertamanya tanggal 20 Pebruari 1927 dengan ketua Ongko G. dan mendirikan ranting Jong Indonesia di Kebon Jati dengan ketua rantingnya Soemantri Lang lalu pergi ke Solo untuk membuat persoonlijke propaganda terutama kepada murid-murid A.M.S di sana. Selanjutnya atas penugasan Ketua Soegiono, pada 9 Oktober 1927 ikut meresmikan berdirinya Jong Indonesia Cabang Surabaya, di sana bertemu dengan kawan lama Ir. Anwari (salah seorang pendiri P.N.I, yang sebelumnya mendapatkan Ir juga sebagai anggota Jong Indonesia).

Di Solo dapat didirikan cabang Jong Indonesia baru pada tanggal 31 Oktober 1927, atas persetujuan dari murid A.M.S asal Jawa Timur (Soepingi, Soediono, Soedargo), asal Aceh (Teuku Mohammad), asal Bagelen (Basoeki), dari Tanah Sunda (Soeweta), asal Minahasa (Sondakh) dan berkat kemurahan hati dari dua orang Danatrice (penyokong wanita) dari kalangan bangsawan Mangkunegaran.

Berdirinya Jong Indonesia yang mendahului P.N.I itu, sebenarnya harus ditinjau dalam hubungannya dengan Situasi Politik waktu itu. Untuk orang yang mengerti Jong Indonesia, adalah bukan organisasi muda-mudi biasa karena banyak elemen politiknya dari pada elemen relax-nya setelah bekerja keras di sekolah. Hal ini terbukti dari kongresnya yang diadakan pada tahun 1927 itu juga.

Sebelum R. Kontjosungkono pergi dari Bandung ke Solo, dia pernah diajak oleh Bung Karno (sebelum Bung Karno menjadi gurunya di sekolah (Douwes Dekker) untuk mengunjungi rapat permulaan (maksudnya mendirikan) Algemeene Studie Club Bandung, di mana beliau melihat dan mendengar untuk pertama kalinya Dr. Tjipto Mangoekosomo dan kemudian O.M.G Koch berbicara. Dirasakannya suasana rapat waktu itu, seperti Indische Partij-nya Doewes Dekker, Tjipto Mangoenkoesomo, dan Soewardi Soerjoningrat hidup kembali. Artinya seperti suasana yang diceritakan oleh ketiga kakak-kakaknya ketika Indische Partij sedang jaya, apalagi setelah seorang teman sekolah Bung Karno seorang peranakan Eropa bernama Jansens (candidaat Ingenieur) berbicara, yang mengatakan bahwa Indie ini juga tanah airnya. Pendek kata dia akhirnya masuk menjadi anggota Algemeene Studie Club itu.

Di Solo pada tahun 1927 itu R. Kotjosungkono mudah mulai mempergunakan media massa dengan sering kali menulis di dalam surat kabar Darmo Kondo dengan nama samaran Tjarwaka. Sewaktu P.N.I mengadakan kongresnya yang pertama di Surabaya tanggal 27 s/d 30 Mei 1928, dilaporkannyalah dengan verslaag-nya yang dimuat secara berseri-seri di Darmo Kondo dengan nama samaran lainnya yaitu Cardium. Semenjak itu dikenal oleh Hoofdredacteur Darmo Kondo, R.M. Soedarjo Tjondrosisworo, dipandang dan disebut sebagai Propagandis P.N.I dan nyatanya R. M. Soedarjo Tjondrosisworo sendiri dari Boedi Oetomo condong kepada ideologi P.N.I. Sejak itu disadarilah akan kegunaan dan pentingnya Pers Nasional yang bersifat Strijd - Journalistik, dan semenjak itu pula lebih memusatkan tenaganya kepada penulisan artikel-artikel ataupun verslaag, yang kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan dipahami oleh publik yang lebih besar pula kalau dibandingkan dengan berpidato di tempat yang sempit dengan waktu yang terbatas pula.

Antara tanggal 25-28 Desember 1927 menjadi utusan ke Kongres Jong Indonesia yang diadakan di Bandung. Berlangsungnya kongres itu ada di bawah Pertandaan Jaman (Zeit geiste) dan di bawah situasi politik ekonomi yang mencekik leher rakyat Indonesia pada umumnya.

Tahun 1928 R. Kotjosungkono menjadi utusan perhimpunan Pemoeda Indonesia (sebelumnya bernama Jong Indonesia) dengan surat yang ditandatangani oleh ketua Soekamso (pengganti ketua pertama Soegiono). Pada Kongres Pemuda Indonesia Kedua 28 Oktober 1928 itu, selain duduk di dalam Bestuur-congres, juga sebagai Notulist.

Tidak lama setelah Kongres Pemuda Indonesia Kedua, pada bulan Desember 1928 diutus oleh Pengurus P.P.P.I. waktu itu (Ketua: Soegondo, Sekretaris: Soewirjo, dan Bendahara: Soekirno) untuk mengunjungi Kongres Jong Java di Yogyakarta dengan tugas memajukan kembali serta membela usul lama dari P.P.P.I. yang pernah ditolak oleh Kongres Jong Java di Semarang bulan Desember 1927, yaitu usul Fusi. Setelah utusan P.P.P.I. berpidato, maka angkat bicaralah Mohammad Jamin dari Jong Sumatranen Bond (tidak sebagai utusan), dengan menerangkan bahwa Jong Sumatranen Bond akan dileburkan di dalam fusi asal Jong Java setuju akan peleburan itu.

Atas ketangkasan Goenadi (kemudian dokter), utusan dari Jawa Timur semua sepakat menyatakan setuju, sehingga usul fusi itu diterima dengan aklamasi. Sehingga mulai terwujudlah udara baru persatuan di kalangan pergerakan pemuda, karena Jong Java adalah suatu perkumpulan/organisasi pemuda terbesar dan terbanyak anggotanya, sehingga kalau Jong Java sudah setuju akan fusi, pasti yang lainnya akan mengikutinya dan kalau sudah demikian persatuan pemuda akan terwujud.

Kemudian atas anjuran Sigit, R. Kotjosungkono dimasukkan di Redaksi Indonesia Raya yaitu organ dari P.P.P.I. yang diketuai oleh R.T. Djaksodipoero (K.R.M.T. Mr. Wongsonegoro), dengan komposisi sebagai berikut: Sekretaris Redaksi Imam Soedjahri (kemudian Mr), Abdoel Hakim (kemudian Mr), Roespandji, Sigit, dan R. Kontjosungkono.

Sementara itu oleh Pengurus Besar Pemuda Indonesia di Bandung diberi tugas memimpin Redaksi Majalah Pemuda Indonesia yang dipindahkan dari Bandung ke tangannya di Jakarta dengan alamat Kramat 106 Batavia Centrum (sekarang Gedung Sumpah Pemuda Jl. Kramat Raya 106 Jakarta). Pada pertengahan tahun 1929, dari Jakarta pergi ke Yogyakarta dan di sana diterima oleh Ki Hadjar Dewantoro (Suwardisurjoningrat) untuk mengajar di Kweek School (Sekolah Guru) dan MULO (Sekolah Menengah Pertama). Sepeninggalannya ke Yogyakarta, Redaksi Pemuda Indonesia diambil alih oleh Abu Hanifah (1929).

Setelah itu, R. Kontjosungkono kurang aktif dalam gelanggang Pergerakan Pemuda, tetapi lebih aktif dalam pendidikan, persurat-kabaran, dan aktivis politik di P.N.I. Menurut R. Kontjosungkono bahwa semenjak Sumpah Pemuda 1928 beliau selalu dikawani oleh Lagu Indonesia Raya, maka Indonesia Raya = Indonesia Merdeka. Kewartawanannya didukung oleh semangat zaman dan diarahkan kepada terlaksananya cita-cita suci Indonesia Raya.

NASKAH SUMPAH PEMUDA

Sumpah Pemuda adalah produk perjuangan pemuda yang pada hakekatnya menghendaki terwujudnya Persatuan Indonesia. Suatu Sumpah Pengakuan Pemuda yang lahir dari aktivitas pergerakan pemuda dengan Kongres Pemuda Indonesia Kedua tahun 1928. Kongres itu sendiri terbagi dalam tiga persidangan rapatnya yang bersifat umum, pada persidangan rapat yang terakhir (ketiga) Sumpah Pemuda itu lahir, yang kemudian semakin dewasa dan kuat seiring sejauh mana besarnya semangat perasaan persatuan rakyat Indonesia. Gedung Indonesische Clubgebouw (sekarang Gedung Sumpah Pemuda Jl. Kramat Raya 106 Jakarta) mendapatkan kehormatan sebagai tempat lahirnya Sumpah Pemuda itu dan kemudian menjadi gedung terhormat sebagai gedung bersejarah yang dapat membangkitkan inspirasi semangat persatuan selama-lamanya.

Pada hari Minggu malam tanggal 28 Oktober 1928, berlangsunglah kegiatan persidangan rapat Kongres Pemuda Indonesia Kedua di gedung tersebut, dengan berbagai pidato/ceramah, tanggapan dan saran. Dengan terseling berbagai perdebatan, semangat jiwa persatuan yang berkobar-kobar, serta bentakan dan hardikan dari pihak polisi/petugas pemerintah Belanda karena ada beberapa peserta kongres mengeluarkan kata-kata terlarang, tetapi kongres terus berjalan.

Menurut R. Kotjosungkono, pada waktu kongres itu akan ditutup, Mohammad Jamin muncul dengan menyodorkan sesuatu resolusi Kongres yang ditulis tangannya sendiri dan kemudian diberikan kepada R. Kotjosungkono (sebagai Notulist) yang kemudian diteruskan kepada Ketua Kongres Soegondo untuk dibacakan di hadapan peserta Kongres. Waktu itu Ketua Kongres sudah memberikan pidato penutupannya, dan pada pidato penutupan itu pula dibacakanlah resolusi kongres, berbunyi sebagai berikut:

POETOESAN KONGRES

PERTAMA

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH INDONESIA.

KEDUA

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.

KETIGA

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.

Setelah dibacakan resolusi kongres tersebut, dengan gegap gempita sorak sorai, dan pekik persatuan, para peserta kongres menyetujui secara aklamasi. Menurut Soegondo (Ketua Kongres) bahwa resolusi itu isinya tidak lain ialah tiga pernyataan/sumpah yang kemudian lebih terkenal dengan Sumpah Pemuda. Resolusi kongres berupa secarik kertas kecil ukuran 10 x 20 cm yang memuat tiga pernyataan/sumpah, yang kita sebut Sumpah Pemuda.

Soegondo juga menjelaskan, bahwa naskah resolusi (naskah Sumpah Pemuda), sesudah disetujui secara aklamasi kemudian diparaf oleh masing-masing anggota panitia kongres. Hanya sayang naskah yang begitu penting itu sekarang tidak jelas di mana beradanya, tetapi menurut Soegondo dahulu dipegang oleh Mohammad Jamin setelah diparaf oleh masing-masing pemuda anggota panitia kongres; bahkan palu sidang pun ada waktu itu, tetapi di mana sekarang tidak tahu.

Para anggota panitia kongres berasal dari sembilan perhimpunan/organisasi pemuda, sebagaimana yang telah penulis sebutkan, yaitu Jong Java, Jong Sumatera (Pemuda Sumatera), Pemoeda Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemuda Kaum betawi, dan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia. Menurut R. Kontjosungkono, pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 1928 pada saat naskah Sumpah Pemuda (resolusi) diberi paraf, utusan dari Jong Celebes yaitu Senduk tidak tampak hadir/tidak kelihatan (menurut keyakinan R. Kotjosungkono), di samping itu utusan dari Jong Islamieten Bond berganti yang mula-mula bernama Djohan Moehammad Tjai diganti dengan Ramelan (kaki tangan Agus Salim). Sedangkan yang lain hadir, yaitu Djoko Marsaid dari Jong Java, menurut R. Kotjosungkono diwakili Soedjono Djoenet Poesponegoro, Mohammad Jamin dari Jong Sumatera, R. Kotjosungkono dari Pemuda Indonesia, Rochjani dari Pemuda Kaum Betawi, Antapermana dari Sekar Rukun, Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond dan Soegondo dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia.

Kesemua utusan dari perhimpunan/organisasi pemuda yang ikut membubuhkan paraf pada naskah Sumpah Pemuda sudah tiada: hanya satu-satunya yang masih hidup utusan dari Perhimpunan Pemuda Indonesia yaitu R. Kontjosungkono. Soegondo yang waktu itu sebagai Ketua Kongres telah meninggal beberapa tahun yang lalu, di Yogyakarta.

Untuk itu, kita berbesar hati karena masih memiliki tokoh yang pernah mempunyai andil besar dalam mencanangkan gema persatuan Indonesia, yang perlu kita pelihara, yang perlu kita jaga dan perlu kita pertahankan. Persatuan Bangsa Indonesia wajib kita lestarikan!

Jakarta, September 1982


Sumber: Suara Karya, 26 Oktober 1982


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan