Langsung ke konten utama

Mengapa "Menjunjung Bahasa Persatuan"?

Oleh: Ayatrohaedi

Indonesia terkenal sebagai negara dengan penduduk dengan latar budaya yang berlainan. Salah satu khazanah budaya yang memperlihatkan hal itu ialah bahasa. Menurut pihak Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tidak kurang dari 400 bahasa dipergunakan di Indonesia. Di antara bahasa itu, ada yang dipergunakan oleh jumlah pemakai yang sangat banyak, seperti misalnya bahasa-bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Ada pula yang dipergunakan oleh sejumlah kecil orang, seperti misalnya bahasa-bahasa di pedalaman Irian Jaya. Ada bahasa yang dipergunakan di daerah yang cukup luas, seperti misalnya bahasa Melayu dan Minangkabau. Ada bahasa yang daerah pakainya sangat terbatas, seperti misalnya bahasa-bahasa di Irian Jaya atau Nusa Tenggara Timur.

Semua kenyataan itu tentu saja ada untung-ruginya. Bahasa-bahasa yang luas daerah pakainya, misalnya, untung karena dengan demikian banyak dikenal penduduk di daerah lain. Tetapi dari pihak lain hal itu merugikan, karena mungkin keterpakaiannya itu menyebabkan bahasa yang kecil menjadi terdesak, dan hanya menunggu saatnya saja untuk "dikuburkan". Jika menjiplak Khairil Anwar, dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa kecil itu "hidup hanya menunda kekalahan".

Tetapi kenyataan tidak demikian sederhana seperti itu. Banyak bahasa kecil yang hingga kini masih bertahan hidup. Walaupun harus diakui bahwa pengaruh dari luar dirinya selalu "mengganggu" hak hidupnya. Menurut Mantik, seharusnya kenyataan itulah yang melahirkan kalimat ketiga Sumpah Pemuda, "...menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia", dan bukan "...mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia."

Walaupun nampaknya kedua kalimat itu menyarankan dukungan yang positif terhadap bahasa Indonesia, jika dilihat dan dikaji lebih teliti, akan nampak perbedaan pandangan. "Kalimat "...mengaku berbahasa satu..." nampaknya lebih merupakan pernyataan politik, sedangkan "...menjunjung bahasa persatuan,..." lebih menjurus kepada pernyataan kebudayaan.

Secara politik, memang sangat wajar jika kalimat ketiga itu mengikuti pola kedua kalimat sebelumnya yang "mengaku...". Tetapi, benarkah hal itu dapat diterapkan pada waktu Sumpah Pemuda dikumandangkan?

Pernyataan dan pengakuan berbangsa satu dan bertanah air satu di kalangan bangsa Indonesia, bukanlah sesuatu yang baru pada tahun 1928. Organisasi pergerakan kebangsaan yang mulai bangkit pada awal abad ke-20, walaupun masih mempergunakan warna daerah, secara sadar menunjukkan keindonesiaan di bidang ini. Para pemuda yang berasal dari berbagai daerah, bersatu dalam wadah organisasi pergerakan untuk seluruh "orang Indonesia". Organisasi itu meluaskan sayap dan melaksanakan kegiatannya di seluruh wilayah yang sesuai dengan "tanah air Indonesia".

Tetapi, sedemikian jauh mereka masih merasa memiliki harta budaya yang berbeda. Orang Jawa berbudaya Jawa, orang Batak berbudaya Batak, orang Ambon berbudaya Ambon. Belum ada sesuatu yang dari segi budaya, dapat dianggap satu. Mereka merasa belum memiliki kebudayaan yang satu. Karenanya, jika mereka dengan lantang dan lancar dapat mengikrarkan satu bangsa dan satu tanah air, ketika juga harus mencanangkan satu bahasa, timbul masalah.

Namun mereka juga sadar, bahwa ada sesuatu yang mempersatukan mereka dalam gerak perjuangan selama ini. Dalam talimarga (komunikasi), mereka menyadari ada satu alat yang sangat tepat guna, yaitu bahasa Melayu. Orang-orang yang berasal dari berbagai latar itu merasa dipersatukan oleh bahasa itu. Bahasa yang memang sudah sejak ratusan tahun sebelumnya menjadi basantara di seluruh wilayah Indonesia.

Tetapi, ternyata mereka tidak menyetujui rumusan "berbahasa satu...". Jika pernyataan berbangsa satu diterima, adalah karena mereka secara sadar mau meleburkan kejawaan, kesundaan, kebalian, atau kemanadoan mereka ke dalam keindonesiaan. Jika mereka menerima pernyataan bertanah air satu, adalah karena mereka sejak bangkit tidak berniat mendirikan kerajaan Jawa, kesultanan Sunda, republik Aceh, atau kenarpatian Bali. Mereka secara sadar berniat meleburkan ciri daerah mereka ke dalam satu negara Indonesia yang sekian lama telah mereka perjuangkan dan cita-citakan.

Bagaimana jika mereka juga menerima rumusan "berbahasa satu..."? Ini ternyata tidak dapat mereka terima, karena itu berarti bahwa mereka harus membuang kebudayaan Dayak, kebudayaan Gorontalo, bahasa Sasak mereka. Mereka harus membuang ciri mandiri mereka, dan menggantikannya dengan sesuatu yang belum lagi berwujud. Jika kebudayaan, termasuk bahasa, yang merupakan diri mandiri dibuang, lalu apa lagi yang mereka miliki?

Itulah barangkali sebabnya, mereka akhirnya menolak rumusan ketiga yang disodorkan Yamin, menggantinya dengan "...menjunjung bahasa persatuan...".

Itu memang hasil maksimal yang dapat dicapai. Mereka menyadari bahwa ada satu bahasa yang mempersatukan mereka. Tetapi mereka menyadari, bahasa itu bukan satu-satunya milik mereka. Masih terdapat ratusan bahasa yang lain di samping bahasa itu. Karena itu, bahasa yang selama ini mereka pergunakan sebagai alat perjuangan, memang paling layak jika dianggap sebagai bahasa persatuan. 

Kemudian, mengingat kedua kalimat sebelumnya menyebutkan Indonesia sangat janggal jika kalimat ketiga masih menyebut "...bahasa Melayu". Demi kesejajaran, dan demi kesadaran mereka akan fungsi dan peranan bahasa itu, maka sepakatlah mereka untuk meyebut bahasa persatuan itu bahasa Indonesia.

Maka lahirlah kalimat ketiga itu, "...menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Dengan menjunjung bahasa persatuan, tidak terkandung ikrar untuk membuang bahasa dan kebudayaan daerah.

Apakah hal ini sepenuhnya disadari oleh mereka yang akhir-akhir ini lebih cenderung mengumandangkan "...mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia"?



Sumber: Tidak diketahui, 28 Oktober 1982



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

Berburu Keberuntungan di Trowulan

T anpa terasa sudah hampir dua pekan hari-hari puasa terlewatkan. Dan sudah hampir dua pekan pula Trowulan dikunjungi banyak tamu. Memang, di setiap bulan Ramadhan, Trowulan--sebuah kecamatan di kabupaten Mojokerto--sekitar 50 km barat laut Surabaya, selalu dikunjungi banyak pendatang. Apa yang bisa dilakukan pengunjung di Trowulan di setiap Ramadhan? Menurut banyak orang yang pernah mengunjungi Trowulan, banyak yang bisa dipelajari dan diperhatikan secara saksama di kota bersejarah itu. Trowulan adalah bekas kota kejayaan Kerajaan Majapahit. Di kota itu hingga kini masih banyak peninggalan bekas kejayaan kerajaan Majapahit, salah satu di antaranya adalah Kolam Segaran. "Selain itu, juga ada situs kepurbakalaan kerajaan Majapahit. Ada Candi Tikus, Candi Brahu, makam Ratu Kencana, makam Putri Campa, dan yang paling banyak dikunjungi pendatang adalah makam Sunan Ngundung," ujar Suhu Ong S Wijaya, paranormal muslim yang tiap Ramadhan menyempatkan berziarah ke makam-makam penyeba...

Perjuangan Pelajar Sekolah Guru

Oleh Maman Sumantri TIDAK lama sesudah tersirat secara luas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, berkobarlah semangat juang para pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat lainnya di seluruh Indonesia. Mereka serempak bangkit berjuang bahu-membahu secara berkelompok dalam badan-badan perjuangan atau kelasykaran, dengan tekad mengisi dan menegakkan proklamasi kemerdekaan. Kelompok badan perjuangan atau kelasykaran yang turut dalam perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan pada awal revolusi kemerdekaan di Kota Bandung dan sekitarnya, di antaranya Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Barisan Merah Putih, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Berani Mati, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Indonesia Maluku, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Lasykar Rakyat, Pasukan Istimewa, (PI), Lasykar Wanita Indonesia (Laswi), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR)....

Museum Sumpah Pemuda yang Bagai Terlupakan

S atu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa merupakan tiga pokok substansial yang dapat mempersatukan keberagaman etnis, bahasa, dan budaya ke dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Mengingat demikian pentingnya peristiwa tersebut bagi upaya pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara nasional setiap tanggal 28 bulan Oktober selalu dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda. Satu hal yang barangkali agak terlupakan oleh kita, ketika memperingati hari bersejarah ini, adalah sebuah museum yang bernama Museum Sumpah Pemuda dan terletak di Jl Kramat Raya No 106 Jakarta Pusat. Di museum inilah, ikrar itu diucapkan. Di gedung ini pulalah, Wage Rudolf Supratman menggesekkan biolanya, melantunkan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya pada 28 Oktober 1928. Segala proses yang menyangkut lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 66 tahun silam, tertata secara apik lewat sajian foto dan patung di museum yang tidak begitu luas ruangannya ini. Sarana Pembinaan Berbeda dengan museum-museum lainny...