Langsung ke konten utama

Manunggaling Kawula Lan Gusti: Ajaran Syech Siti Jenar yang Ditentang Wali Songo

Oleh: MUHAMMAD RIDLO 'EISY

"KULONUWUN (permisi), adakah Syech Siti Jenar. Beliau dipanggil Sultan Demak," ucap utusan Sultan Demak kepada Syech Siti Jenar.

"Syech Siti Jenar tidak ada, yang ada Tuhan," kata Syech Siti Jenar.

Utusan kembali ke Demak dan melaporkan percakapannya kepada Sultan Demak. "Panggil Tuhan kemari," kata Sultan Demak. Utusan kembali ke tempat Syech Siti Jenar. (Dalam sebagian kisah rakyat, yang memanggil Syech Siti Jenar bukan Sultan Demak, tetapi Sunan Kudus.)

"Kulonuwun, adakah Tuhan, beliau dipanggil Sultan Demak," ucap utusan Sultan Demak kepada Syech Siti Jenar.

"Tuhan tidak ada, yang ada Syech Siti Jenar," kata Syech Siti Jenar.

Utusan kembali ke Demak dan melaporkan percakapannya kepada Sultan Demak. "Panggil Tuhan dan Syech Siti Jenar kemari," kata Sultan Demak.

Setelah dipanggil atas nama Tuhan dan Syech Siti Jenar maka berangkatlah Syech Siti Jenar menghadap Sultan Demak, walaupun ia tahu kehadirannya ke Demak berarti kematiannya. Ia mau datang ke Demak, karena dengan cara panggilan seperti itu (Tuhan dan Syech Siti Jenar) berarti Sultan Demak mengakui secara de facto ajaran "Manunggaling Kawulo lan Gusti" (bersatunya manusia dengan Tuhan) atau lebih terkenal dengan Wahdatul Wujud.

Tetapi Syech Siti Jenar bukan berangkat bunuh diri seperti yang dikatakan dalam naskah karya Vredi Kastam Marta yang dipentaskan Teater Kita di Rumentang Siang tanggal 7, 8, dan 9 Oktober 1982 yang lalu.

Kisah kematian Syech Siti Jenar barangkali dapat disetarakan dengan Socrates ketika ia dihukum mati. "Setia dan teguh dalam keyakinannya, orang tua ini tidak mempergunakan kesempatan untuk lari dari tahanannya, sungguh pun kesempatan untuk lari ini tersedia. Ia hadapi hukuman mati itu dengan tabah; baginya mati dalam keyakinan lebih bernilai daripada mengorbankan keyakinan itu sendiri." Demikian tulisan Deliar Noer tentang Socrates (1972).

Sesungguhnya Syech Siti Jenar dapat melarikan diri dengan pertolongan penduduk Pengging, pengikut Kebo Kenangga (ayah Sultan Hadiwijaya atau Sultan Pajang) yang menjadi murid Syech Siti Jenar. Tapi ia datang ke Demak dengan keyakinan penuh.

Konflik Wali Songo

KISAH dialog antara utusan Sultan Demak dengan Syech Siti Jenar adalah puncak dari kisah Syech Siti Jenar, sebuah konflik hidup atau mati dalam mempertahankan keyakinan. Konflik dalam diri Syech Siti Jenar tidaklah seberapa besar dibandingkan konflik yang terjadi pada Wali Songo sehingga mereka mengambil keputusan untuk menghukum mati Syech Siti Jenar.

Bahkan dapat dikata dalam diri Syech Siti Jenar tidak ada konflik sama sekali. Ia orang yang yakin akan pendapatnya dan berani mempertaruhkan nyawa untuk keyakinannya. Berbeda dengan Wali Songo yang harus memutuskan hukuman bagi Syech Siti Jenar, sesama wali tetapi berbeda faham.

Dalam pengertian Rendra (1975) Wali Songo adalah cendekiawan yang setengah dilembagakan, sedangkan Syech Siti Jenar tidak mau disetengah-lembagakan, ia ingin tetap berumah di angin. Tugas cendekiawan yang setengah dilembagakan ialah menyebarkan nilai roh dan nilai badan sehingga menjelma menjadi perumusan yang bisa dilaksanakan. "Inilah tugas yang berat dan gawat, karena menuntut kebijaksanaan dan kematangan jiwa," kata Rendra.

Disiplin cendekiawan yang setengah dilembagakan menurut Rendra adalah harus menjaga agar selalu ada ruang dalam pikiran, perasaan, dan perkataannya untuk diplomasi. Merekalah yang bertugas untuk menjaga agar pertentangan roh dan badan tidak menjelma menjadi perang tetapi menjadi diplomasi.

Oleh karena itu kita dapat membayangkan betapa sengitnya perdebatan yang terjadi dalam forum musyawarah Wali Songo, sehingga mereka dengan terpaksa atas nama negara dan agama menghukum mati Syech Siti Jenar. Kita dapat membayangkan peranan Sunan Kudus yang mewakili Islam Ortodox, dan kita dapat membayangkan posisi Sunan Kalijogo walaupun ia Islam Ortodox tetapi mengenal aspirasi daerah pedalaman Jawa yang sinkretis. Kita dapat pula membayangkan betapa pucat pasi wajah Wali Songo ketika keris menghunjam di dada Syech Siti Jenar, darah yang mengalir bukan merah tetapi berwarna putih dan meleleh sambil membentuk kalimat "La ilaaha illallah" (Tiada Tuhan selain Allah) seperti yang dikisahkan Abdurrahman Wahid di Tempo.

Dalam pengakuannya sebagai orang berumah di angin, wajar bila Rendra berkata, "Syech Siti Jenar sesungguhnya tak usah dibunuh. Sebab nilai rohani yang menghalalkan pembunuhan semacam itu sudah menjadi budak dari badan. Itulah kesalahan Sunan Kudus, wali yang menjadi budak dari badan. Ialah yang memulai timbulnya keguncangan keseimbangan antara roh dan badan." (1975)

Bukan Sekadar Salah Pengertian

HUKUMAN mati bagi Syech Siti Jenar bukan sekadar salah pengertian seperti apa yang ditulis Ali Audah (Horison, Februari 1971),

"Pengertian bahasa puisi tasauf juga kadang mempunyai arti sendiri pula. Kata-kata cinta, anggur (minuman keras), kekasih, piala, mabuk adalah kata-kata simbolik yang banyak kita jumpai dalam puisi-puisi kaum sufi, yang sebenarnya mempunyai arti yang lain sama sekali. Umumnya dalam arti hubungan insan dengan Tuhannya. Dari sini pula dikenal kata-kata alhublul Ilahi, the God intoxicated love atau mencintai Tuhan. Mungkin dalam rangkaian kata-kata semacam ini pula--karena salah pengertian--sering timbul tragedi dalam dunia tasauf  seperti yang terjadi terhadap Syahrawardi, Hallaj, dan Bistami." (hal. 46)

Hukuman mati bagi Syech Siti Jenar menyangkut masalah yang lebih prinsipal, yaitu penyelewengan akidah. Faham wahdatul wujud yang disebarkan Syech Siti Jenar mengakibatkan terhapusnya semua tugas dan kewajiban, karena tidak ada artinya tugas kewajiban selama orang berkeyakinan bahwa tidak ada yang wujud selain Tuhan. Apakah artinya mengutus Rasul? Mungkinkah mengutus utusan dari diri sendiri, kepada diri sendiri, untuk diri sendiri? Dan apakah artinya pada makhluknya terdapat orang yang baik dan orang yang tidak baik? (Muchtar Rosjidi, 1962)

Lebih tajam dari Muchtar Rosjidi, JWM Bakker SY dalam bukunya Sejarah Filsafat dalam Islam (1978) menulis,

"Terlepas dari semangat fatalisme (qadar wa qada, qismet, nasib, maktub) dan iklim agnotisisme (tak tahu kenyataan), ajaran kalam ini mengandung bahaya lebih besar lagi bagi kepercayaan Islam sendiri. Peralihan dari faham: "semua kegiatan adalah kegiatan Tuhan, semua penyebab adalah penyebaban Tuhan' kepada faham: "semua ada adalah Tuhan' itu mudah. Ini bukan khayalan; banyak sufi melangkah dari faham wahdatul sebab kepada faham wahdatul wujud atau dalam filsafat dari penergetisme ke pantheisme dan monisme." (hal. 61)

Dalam cerita rakyat yang sering saya dengar, ajaran Syech Siti Jenar mengakibatkan orang-orang Islam baru mengacuhkan Syariat Islam, meninggalkan sholat, puasa dsb. Hal ini tentu sangat mengacaukan dan menyesatkan ajaran Islam. Secara tegas Muchtar Rosjidi (1962) mengatakan bahwa wahdatul wujud merupakan bid'ah yang membahayakan aqidah Islamiyah dan mengakibatkan timbulnya ajaran-ajaran kebatinan yang tidak menentu ujung pangkalnya yang hanya akan merugikan perkembangan mental masyarakat.

Faham wahdatul wujud ini ditangkap secara dangkal Vredi Kastam Marta dengan mengungkapkan tindakan masyarakat Pengging yang mempertuhan Syech Siti Jenar, karena mukjizat-mukjizat yang dipunyai Syech Siti Jenar.

Tak Ada Pertentangan Antara Islam dan Sufi

BANYAK orang yang menangkap masalah secara setengah-setengah menganggap tragedi kaum sufi adalah pertentangan antara Islam (ortodox) dengan faham sufi. Padahal faham sufi adalah bagian dari Islam itu sendiri.

Sufi tumbuh karena ritual dalam Islam cenderung mekanistis, tetapi tanpa penghayatan dan isi. Orang sholat hanya jungkal-jungkel atau berolah-raga belaka, tanpa konsentrasi yang menghantarkan hubungan antara makhluk dengan Khaliknya. Sufi tumbuh untuk mengisi kekurangan yang terjadi pada peribadatan yang dilakukan oleh sementara orang Islam.

Vredi Kastam Marta dalam naskahnya sejauh yang saya simak dari pementasan Teater Kita mempertentangkan Islam Ortodox dengan falsafi sufi. Dari naskah itu muncul kata-kata Syech Siti Jenar menyesatkan hukum syara, membeberkan agama dengan falsafi sufi. Bukankah ini sebuah indikasi kekurangan landasan pengetahuan penulis naskah tentang tumbuhnya faham sufi dalam Islam?

Suara Masa Kini

JIKA Wali Songo menghukum Syech Siti Jenar karena fahamnya yang wahdatul wujud, yang dapat menumbuhkan aliran-aliran kebatinan, bukan berarti Syech Siti Jenar sudah terjerumus ke dalam aliran-aliran kebatinan.

Kata-kata Syech Siti Jenar yang diungkapkan dari naskah Vredi Kastam Marta tentang sorga dan neraka bukanlah sesuatu yang nyata tetapi hanyalah suasana-suasana belaka. Mengingatkan ceramah Moh. Said dari aliran kebatinan pada tanggal 18 Maret 1971 di Balai Budaya Jakarta yang menyatakan,

"Bagi kebatinan sorga dan dunia sebagai keadaan kejiwaan--sorga itu adalah keadaan jiwa yang bahagia, neraka adalah keadaan jiwa yang menderita, sudah dapat kita hayati di dunia ini, di masa kini. Dan masalah penderitaan dan kebahagiaan hendaknya dapat dipecahkan di masa kini dan di dunia ini juga." (Horison, Mei 1971)

Lebih jauh dari itu Vredi Kastam Marta lebih menyuarakan masalah kemerdekaan seorang individu dalam menganut sebuah faham dari ancaman usaha penyeragaman yang dilakukan Wali Songo. Tentang sejarah yang menjadi milik orang yang menang dan hidup. Tentang masalah pahlawan. Tentang masalah kegelisahan dalam bernegara. Penyisipan suara-suara masa kini dalam kisah lama memang sah, asal masalah pokok dari kisah itu tergarap secara memadai.

Catatan Kecil untuk Teater Kita

DENGAN kondisi Syech Siti Jenar versi Vredi Kastam Marta yang pincang ini "Teater Kita" berangkat ke pentas. Dari apa yang saya simak di pentas, Teater Kita tampak tidak mempunyai imajinasi tentang kisah Syech Siti Jenar.

Karakter Syech Siti Jenar yang garang, dan Sunan Kudus yang panglima perang tetapi tak gagah di pentas benar-benar menandakan kurang penghayatan kisah Syech Siti Jenar. Yang paling menonjol adalah artikulasi yang teramat buruk, sehingga amat mengganggu penangkapan penonton apalagi bila latar belakang musik dengan sewenang-wenang menguasai ruang.

Walaupun begitu, masyarakat pencinta drama di Kota Bandung harus bersikap permissive, bersikap memaafkan karena banyak pendukung pementasan ini adalah orang-orang baru. Tetapi alangkah baiknya bila "Teater Kita" yang sering dihubungkan dengan ASTI/IKI berlatih dengan baik sebelum tampil ke pentas. Tampil dengan persiapan yang kurang memadai bisa merusak nama "Teater Kita" yang sudah mulai dikenal masyarakat Bandung. Ingat penonton telah mengorbankan waktu dan uang untuk datang ke pementasan.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 13 Oktober 1982



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Lahirnya Bangsa Indonesia

Oleh Onghokham SETIAP tahun Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, hari yang cukup penting sebagai hari peringatan nasional, yang melebihi hari-hari peringatan nasional lain, seperti Hari Kartini, Hari Kebangkitan Nasional, dan lain-lain. Dalam tulisan ini kami akan mencoba menempatkannya dalam proporsi sejarah Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928 sekelompok pemuda-pelajar di kota yang dahulu disebut Batavia, ibukota Hindia Belanda, dan kini menjadi Jakarta, ibukota Republik Indonesia, mengucapkan Sumpah Pemuda. Peristiwa ini patut disebut pembentukan atau proklamasi adanya bangsa ( nation ) Indonesia. Konsep bangsa ini lahir dari proses apa yang disebut dalam sejarah kita pergerakan nasional. Ia diambil dari definisi bangsa ( nation ) di Eropa, khususnya dari Ernest Renan, yang mengatakan bahwa bangsa menempati satu wilayah tertentu, berbahasa satu, dan yang terpenting merasa senasib dan seperjuangan. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 juga bukan yang pertama kali mencetu...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...