Langsung ke konten utama

SEI MAHAKAM (1) Membulatkan Identitas Kutai Kartanegara

"Cara ampuh satu-satunya untuk menembus suatu bangsa dengan jalan damai di mana-mana sama: hadiah perkenalan, pembagian obat-obatan yang menyembuhkan, dan jimat-jimat penolak bala, bala yang nyata dan yang semu. Orang asing itu harus betul-betul orang kaya atau dianggap kaya, tabib dan tukang sihir. Dalam semua hal ini, tidak ada yang mampu berperilaku semahir orang India. Orang India itu mungkin sekali menyatakan diri keturunan raja atau pangeran, yang hanya dapat memberi kesan baik pada tuan rumahnya" (Gabriel Ferrand dalam "Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha", George Coedes, Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, hlm 50-51).

"Adik ... kau ini Bugis atau Kutai? Atau Dayak?" kata pembawa acara bernama Rudy dengan ringan dari atas panggung. Pertanyaan itu sebenarnya sungguh menyentak. Namun, rupanya itu hal biasa saja di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Oleh HARIADI SAPTONO

Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)--sebagaimana banyak provinsi di Indonesia--rupaya juga jadi salah satu contoh potret medan persemaian kebinekaan yang menampung demikian banyak adat istiadat, suku bangsa, ataupun agama di Indonesia. Kebinekaan dalam wujud adat istiadat dan kesenian daerah--sebagaimana sekilas terlihat Selasa (14/10) malam itu--demikian atraktif sekaligus "gemuruh".

Anekdot Gabriel Ferrad di atas--yang ditulis berdasarkan pengalamannya sebagai peneliti wilayah antikolonial antarbenua, tetapi tetap dianggap spekulatif oleh peneliti George Coedes--semata ingin segera menunjuk bahwa Kutai Kartanegara pada masa lampau menjadi medan persemaian ras dan peradaban sejagat yang plural manakala pengaruh Hindu-Buddha dari India meruak ke sana abad ke-4. Kutai sebagai kerajaan Hindu tertua di Nusantara belum terpatahkan sampai hari ini.

Nah, bocah lelaki kecil berusia sekitar delapan tahun yang ditanya Rudy, serta berpakaian adat Melayu dengan celana panjang, kain sarung, dan ikat kepala agak tinggi itu, langsung menjawab pelan tanpa ekspresi, "Bugis."

"Waaa, Bugiis .... Bagus. Sebab tak tampak Bugis atau Kutai," kata Rudy mengometari bocah yang tampil menari dan membaca pantun dalam logat Kutai bersama kelompoknya.

Rombongan anak-anak yang membawakan tarian daerah Kutai Kartanegara itu pun turun dari panggung setelah Rudy meminta hadirin memberikan aplaus pada kelompok tesebut. Hari kedua Festival Kampong Kutai (13-19 Oktober 2014) malam itu silih berganti tambil tarian daerah dari Jawa Timur, Bali, Dayak, Sasak (Lombok, Nusa Tenggara Barat), dan macam-macam lagi kesenian daerah dari Kabupaten Kutai.

Penampilan setiap kelompok demikian mencolok dan segera tampak bedanya satu sama lain ketika naik ke panggung. Faktor kostum, instrumen musik yang dipergunakan, dan sosok (fisik) para penari yang tampil memang berbeda. Para penari putri Dayak yang berjumlah sekitar 12 orang, misalnya, terlihat begitu putih kulitnya dengan kostum gemerlapan oleh manik-manik khas Dayak dan hiasan bulu-bulu burung enggang yang menawan. Penampilan kelompok-kelompok kesenian asli Kutai, dengan untaian bunyi rebana bersahut dan berpilin, seruling, serta getar bunyi tingkilan (gitar khas Kalimantan) yang mengalir, berputar dan kembali bergulung bagai riak gelombang Sungai Mahakam. Belum lagi lantunan syair-syair lama yang jarang didengar lagi, sungguh menggambarkan potret ke-Bhinneka Tunggal Ika-an negeri tercinta kita. Kaya nuansa, beragam, mendebarkan, tetapi juga menyentuh nurani karena teruntai jadi satu, yaitu Indonesia. 

"Kami selalu tampil diundang untuk pentas kalau hari-hari besar nasional. Entah di Samarinda atau Tenggarong," kata Dalo Hamdan (39), salah seorang sesepuh Sanggar Seni Sindoro dari Kampung Elana, Tenggarong Seberang. Dalo Hamdan adalah warga Tenggarong yang berasal dari suku Sasak di Pulau Lombok. Malam itu, ia membawa 30 penari dan pemusik, seorang di antaranya penari perempuan. Rupanya, tidak semua pemainnya asli orang Sasak (Lombok). Beberapa di antara mereka orang Kutai dan Bugis. Hamdan mengungkapkan hubungan Sanggar Sindoro dengan "tumpah darahnya" di Lombok masih begitu mesra: instrumen musik yang mereka mainkan malam itu sumbangan dari pemerintah kabupaten di NTB.

Kondisi sosial budaya yang plural dan sejak lama telah berlangsung seperti itu diakui oleh Menteri Sekretaris Keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura Dr. HAPM Haryanto Bachroel MM. "Orang Kutai sendiri sekarang ini jumlahnya nomor empat di Kutai. Yang terbanyak justru suku Jawa, kemudian Bugis, lalu Banjar, keempat Kutai, kelima Dayak, dan terakhir lain-lain," kata Pangeran Harry Gondo Prawiro, gelar Dr Haryanto Bachroel. Pada 2013, penduduk Kutai Kartanegara tercatat 870.306 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan.

Pengaruh budaya Kutai Kartanegara hingga kini masih meliputi tujuh wilayah adat eks wilayah administratif Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martapura, yakni Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, Kota Bontang, Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Penajam Paser Utara.

Warisan kebinekaan

Potret kerumitan persebaran dan pembauran penduduk di Kutai Kartanegara dan Kaltim pada khususnya serta di wilayah Nusantara pada umumnya ternyata sudah sejak awal abad ke-3 atau ke-4 Masehi, sebagaimana tercatat dalam empat batu bertulis Prasasti Yupa (abad ke-4 M) di Kutai Lama, Kaltim, peninggalan Raja Mulawarman.

Parakitri Tahi Simbolon melihat proses yang serba rumit di atas adalah ciri pokok masyarakat Nusantara yang diperintah oleh raja-raja sebagaimana disebut keempat Prasasti Yupa, yaitu ciri Bhinneka Tunggal Ika akibat perbauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal. Rakyat seperti itulah yang berada di bawah Kerajaan Mulawarman di Kalimantan pada 400 M atau Purnawarman di Tarumanegara Jawa Barat pada 450 M. Rakyat yang kaya ragam seperti itu tentu tidak mudah dihimpun di bawah suatu bentangan sayap kekuasaan. Mungkin kekuasaan yang kecil sekalipun terpaksa mencari-cari sumber wibawa besar atau legitimasi yang kuat agar berhasil diterima oleh rakyat yang demikian. Kalau betul demikian, tentu pengaruh itu (budaya India dengan bahasa Sanskerta serta aksara Pranagari dan Pallawa) masuk sesuai dengan keperluan si penerima, bukan hanya keperluan si pemberi. Pola budaya India berupa budaya kekuasaan pendeta (hierocratic civilization) menganggap pendeta yang berkuasa menghubungkan raja dengan sumber kekuasaan yang mutlak: Raja dipuji, tetapi pendetalah yang dimuliakan. (Menjadi Indonesia, Buku I, Akar-akar Kebangsaan Indonesia, Parakitri T Simbolon, Penerbit Buku Kompas, 1995, hlm 8-9). 

Pada Prasasti Yupa berupa empat batu bertulis bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, di Muara Kaman, Kutai, antara lain tertulis: "Pangeran yang masyhur Kudungga punya anak yang terkenal bernama Aswawarman, sang pendiri wangsa. Salah satu yang terhebat dari putra Aswawarman adalah Raja Moelawarman, yang telah mempersembahkan banyak emas sehingga untuk mengenangnya didirikanlah batu persembahan ini oleh para pemuka dari yang lahir dua kali (pendeta)" (Menjadi Indonesia, hlm 369).

Dalam versi Museum Mulawarman, Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, kami mencatat dua dari empat Yupa, sebagai berikut:

Yupa (tiang batu) pertama: Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia, mempunyai putra masyhur, sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Ansuma (Dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga orang, seperti api suci tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu adalah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan acara selamatan yang dinamakan bahusuwarnakam (banyak emas). Untuk peringatan atas selamatan itu, maka Yupa (tiang batu) ini didirikan oleh Brahmana.

Yupa kedua: Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberikan sedekah 20.000 lembu kepada para Brahmana yang seperti api di tanah lapang yang suci (bernama) Wajarakeswara, untuk acara peringatan tentang kebaikan budi Sang Raja itu maka Yupa ini dibuat oleh Brahmana.



Sumber: Kompas, 6 November 2014



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...