Langsung ke konten utama

SEI MAHAKAM (2 - HABIS) Keraton Kutai dan Pergulatan Mawas Diri

Cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dimulai sekitar abad ke-2 di Muara Kaman dengan raja pertama Kudungga, dilanjutkan putranya, Aswawarman, yang melahirkan tiga putra, yaitu Mulawarman (Kutai Kartanegara, Kaltim), Purnawarman (Taruma Negara, Jawa Barat), dan Adityawarman (Pagaruyung, Sumatera Barat).

Oleh HARIADI SAPTONO

Pada masa pra Islam tersebut, tercatat 25 raja memimpin Kerajaan Kutai Martadipura, dari Kudungga hingga Dermasetia. Berita tentang Kerajaan Kutai kemudian tidak terdengar. Selanjutnya, abad ke-13 berdiri Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama dengan raja pertama Adji Batara Agung Dewa Sakti hingga raja kelima Pangeran Tumenggung Baya-Baya, sebelum kemudian pada abad ke-16 Kerajaan Kutai Kartanegara memeluk Islam dan abad ke-17 Pangeran Sinum Pandji Mendapa menyerang serta menghancurkan Kerajaan Kutai Martadipura dan kedua kerajaan dipersatukan menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura sampai sekarang. Pada 1945, keraton bergabung dengan Republik Indonesia menjadi Daerah Istimewa Kutai hingga 1960. Sejak 1960 hingga sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara. "Indonesia baru bisa terwujud menjadi Republik Indonesia setelah para raja dan sultan menyerahkan wilayah kerajaan dan kesultanan bergabung menjadi Republik Indonesia karena ketika itu banyak sekali bangsa di Nusantara," kata Pangeran Harry, doktor bidang ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya.

Rangkaian fakta itu membentuk "kesadaran" dan identitas kultural Kutai Kartanegara hingga kini, termasuk pertalian Kutai dengan Tarumanegara di bawah Purnawarman di Jawa Barat. Pada prasasti Tarumanegara abad ke-5, diterangkan perintah penggalian saluran irigasi besar, 6.122 dhanu atau 10 kilometer lebih, di daerah Tugu yang tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok (kini) oleh Purnawarman. Teks-teks tersebut adalah bukti jejak-jejak pertama masuknya budaya tulis di Jawa (Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu, Jilid 3, Dennys Lombart, Penerbit Gramedia, 1996, hlm 13).

Selaku Ketua Umum Forum Silaturahmi Keraton Se-Nusantara (FSKN) dan Juru Bicara Keraton Kutai Kartanegara, Pangeran Harry menyadari bahwa Kesultanan Kutai Kartanegara--sebagaimana juga disadari Kesultanan Yogyakarta, Keraton Cirebon, dan Kesultanan Bima (Sumbawa)--kerajaan-kerajaan itu dulu merupakan negara-negara berdaulat penuh dan pada masanya melawan penjajah sendirian.

Ketegangan dialektika antara sektor "domestik" (warisan sejarah, tradisi, dan identitas kultural) dengan sektor "publik" sebutlah politik praktis dan peran nyata birokratis keraton saat ini--sebagaimana dialami Keraton Kutai Kartanegara, niscaya dialami pula oleh keraton-keraton tradisional lain di Nusantara. Ketegangan untuk membulatkan identitas itu pun belum tentu tuntas hingga hari ini. "Keinginan kami yang sudah lama, ya, pembuatan buku sejarah Kutai Kartanegara secara lengkap. Buku sejarah ini penting sekali," kata Pangeran Harry.

Obsesi Pangeran Harry mirip dengan tugas berat filolog dan keturunan Sultan Bima, Dr Hj Siti Maryam R Salahuddin, yang harus bekerja sendiri di usia 82 tahun. "Lebih dari seribu naskah tulisan tangan menunggu saya untuk diterjemahkan. Tidak ada yang membantu saya karena jarang yang mengenal huruf dan bahasa lama Bima serta tidak ada dananya," kata Siti Maryam di kediamannya, Bima, September lalu. Siti Maryam antara lain berhasil membukukan Hukum Adat Undang-undang Bandar Bima, terbitan Penerbit Lengge, Mataram, 2004.

Pergulatan sektor "domestik" untuk membulatkan identitas Keraton Kutai Kartanegara bukannya tak dilakukan. Usaha mengumpulkan data sejarah, mempertahankan struktur pemerintahan (birokrasi) dan sistem kekerabatan kerajaan, terus dilaksanakan. Begitu pula pelaksanaan ritual inti Erau yang ditarik kembali sebagai upacara di keraton, pelaksanaan sejumlah festival kesenian dan adat Kutai, serta bank data jenis kesenian dan artefak lama.

Dalam pergulatan sektor "publik", Harry Gondo Prawiro mengakui, keraton saat ini bukan lagi kekuatan sosial politik, apalagi militer, melainkan sebatas kekuatan sosial-budaya. Tidak berarti otoritas dan peran sosial politik keraton lenyap. "Maka, menurut pemikiran saya, seharusnya raja-raja atau sultan didudukkan di DPR secara langsung tanpa melalui pemilihan, mewakili masyarakat adat yang menjadi konstituen kami," kata Pangeran Harry.

Jurus perumusan

Sebagaimana pesan budayawan Dr Soedjatmoko, dialektika identitas dan tugas riil mengawal kesejahteraan masyarakat itu merupakan tugas kebudayaan manusia. Kekuatan motivasi suatu bangsa, tekad, dan daya tahannya dalam usaha pembangunan semacam itu sangat erat hubungannya dengan kejernihan dalam persepsinya mengenai subyektivitas dan kepribadian sendiri. Dalam pada itu perlu disadari bahwa kepribadian nasional (dan identitas lokal) bukan sesuatu yang tidak berubah karena unsur-unsur masyarakat yang jadi elite masyarakat senantiasa berubah.

Yang paling pokok, identitas nasional terus-menerus ditentukan kembali oleh pilihan-pilihan yang harus dilakukan oleh bangsa itu, di antara berbagai kemungkinan yang masing-masing mengandung nilai-nilai budaya bangsa itu, biarpun dalam campuran yang berbeda. Nilai-nilai pokok baru menampakkan diri secara jelas dalam pilihan-pilihan itu. "Itulah konfigurasi nilai-nilai yang dipilih suatu bangsa. Konfigurasi ditentukan oleh bobot relatif yang diberikan kepada nilai-nilai, yaitu nilai-nilai mana yang diberatkan dan nilai-nilai mana yang oleh suatu bangsa bersedia untuk dikorbankan atau dikebelakangkan dalam menghadapi pilihan konkret. Oleh karena itu, kepribadian nasional itu senantiasa berubah, senantiasa memerlukan redefinisi dalam suatu proses mawas diri nasional (national self reflection), secara terus-menerus" (Aku dalam Budaya, Telaah Teori & Metodologi Filsafat Budaya, Toety Heraty Noerhadi, Gramedia, 2013, hlm X-XI).

Dalam kacamata Francis Fukuyama, nilai-nilai budaya masyarakat tak bisa dioperasikan apabila sebatas norma sosial belaka. Modal sosial bukan norma sosial, modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal pemberi teladan yang digunakan bersama di antara anggota-anggotanya yang memungkinkan mereka saling bekerja sama. Modal sosial juga berciri nilai-nilai yang benar dan secara substantif mengikutsertakan kebajikan. Fukuyama mengutip sosiolog Diego Gambetta tentang situasi Italia Selatan yang secara umum kekurangan modal sosial dan kepercayaan dalam skala besar walau terdapat norma-norma sosial ("mafioso") yang kuat. "Seorang pensiunan bos (mafia) menceritakan bahwa ketika ia muda, ayahnya yang mafioso memaksanya memanjat dinding dan kemudian menyuruhnya melompat. Sang ayah bersumpah untuk menangkapnya. Awalnya ia menolak, tetapi ayahnya tetap memaksa sampai akhirnya si anak melompat--dan seketika ia mendarat di tanah, wajah membentur terlebih dulu. Kearifan yang ayahnya coba sampaikan teringkas dengan kata-kata ini: 'Kau harus belajar untuk tidak percaya, bahkan kepada orangtuamu sendiri" (Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia, editor Lawrence E Harrison & Samuel P Huntington, LP3ES, 2006, hlm 153-154). Jelas beda antara normal sosial dan modal sosial!

Keraton dan Kabupaten Kutai Kartanegara serta Provinsi Kalimantan Timur niscaya akan menemukan kekuatannya sendiri, yaitu ciri khasnya di satu sisi dan modal sosial di sisi lain jika saja para konstituen dan aktor-aktornya sanggup mengoordinasikan sebuah simbiosis mutualisme di antara tiga pihak. Pertama, kebutuhan dan aspirasi masyarakat luas. Kedua, peran akademisi dan cerdik pandai/budayawan menjadikan kajian penelitian/perencanaan, serta ketiga eksekusi oleh birokrasi.

Yang dibutuhkan selanjutnya ialah stamina panjang, nyali besar untuk mimpi serta eksekusi agenda, dan di atas segalanya--landasannya ialah kejujuran dan kebajikan demi kesejahteraan masyarakat.



Sumber: Kompas, 7 November 2014



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...