Langsung ke konten utama

Akulturasi Budaya Islam-Hindu Jawa

Bersamaan tahun baru Islam 1 Muharam 1436 Hijriah, Sabtu (25/10), masyarakat Jawa merayakan tahun baru Jawa 1 Sura 1948 Jawa. Meskipun mengadopsi sejumlah ketentuan kalender Hijriah, kalender Jawa punya konsep dan aturan berbeda. Jadilah kalender Jawa sebagai sistem penanggalan khas memadukan budaya Islam, Hindu, dan Jawa.

Oleh M ZAID WAHYUDI

Sejumlah perayaan pun digelar menyambut tahun baru Islam dan Jawa. Namun, banyak orang Jawa tak mengenal kalendernya dan menganggap dua tahun baru itu sama. Penggunaan kalender Masehi untuk administrasi publik dan kalender Hijriah untuk ibadah membuat kalender Jawa kian ditinggalkan orang Jawa.

"Walau ada pro dan kontra atau kritik, sebuah kalender harus dimanfaatkan. Jika tidak, hilang," kata ahli kalender pada Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharta, Minggu (26/10).

Itulah yang dialami sejumlah kalender Nusantara: kalender Sunda, Batak, atau Bali. Supaya bertahan, sebuah kalender harus ditopang budaya masyarakatnya, minimal dalam upacara adat.

H Djanudji dalam Penanggalan Jawa 120 Tahun Kurup Asapon (2006) menyebut, kalender Jawa mulai dipakai bertepatan dengan 1 Muharam 1043 H atau 8 Juli 1633 M. Ketika itu, Raja Mataram Sultan Agung Anyakarakusuma menyatukan berbagai sistem penanggalan masyarakat: kejawen menggunakan kalender Saka, sedangkan kaum santri menggunakan kalender Hijriah.

Penyatuan itu memperkuat posisi Mataram di hadapan penjajah Belanda. Perubahan itu, menurut K Ng H Agus Sunyoto pada Kalender Jawa-Islam, Asimilasi Candrasengkala dengan Hijriyah di Pesantrenbudaya.com, berlaku di seluruh wilayah Mataram, kecuali Banten dan Madura.

Kalender Saka merupakan sistem penanggalan matahari berdasarkan pergerakan bumi mengelilingi matahari. Itu digunakan masyarakat Hindu India sejak 78 M, masyarakat Hindu Jawa, dan masyarakat Hindu Jawa, dan masyarakat Hindu Bali hingga kini. Sementara kalender Hijriah adalah kalender bulan, berdasarkan pergerakan bulan mengelilingi bumi, yang perhitungannya dimulai 622 M.

Demi mengakomodasi kepentingan masyarakat Jawa yang berbeda, sistem penanggalan Jawa dibuat. Nama bulan dan jumlah hari dalam setahun diambil dari kalender Hijriah. Namun, angka tahun Saka dipertahankan. Alhasil, tahun pertama kalender Jawa adalah 1 Sura 1555 Jawa, bukan 1 Sura 1 Jawa.

Meski demikian, sistem kalender Hijriah tak diserap mentah-mentah. Sejumlah istilah dan aturan disesuaikan dengan kondisi dan budaya Jawa, seperti nama bulan kalender Hijriah yang disesuaikan dengan pengucapan/lidah Jawa atau kegiatan keagamaan Islam Jawa bulan itu. Jadilah Sapar menggantikan Safar atau Besar menggantikan Zulhijah.

Khas Jawa

Selain konsep bulan, nama hari pada kalender Hijriah juga diadopsi kalender Jawa. Lahirlah nama hari Akad/Ngaat, Senen, dan lain-lain mengganti Ahad, Itsnain, dan seterusnya. Itu sekaligus mengganti nama hari dalam kalender Saka, yaitu Radite/Raditya, Soma, dan seterusnya. Konsep tujuh hari kalender Jawa itu dinamai saptawara atau siklus mingguan (minggon).

Masyarakat Jawa juga menganut sistem pancawara (lima hari) yang dikenal dengan hari pasaran Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Konsep pancawara khas Jawa tidak ada baik dalam kalender Hijriah, Saka, maupun Masehi.

Konsep hari pasaran lebih tua dibandingkan saptawara. Namun, berbeda dengan penyebutan hari tujuh dalam kalender Masehi yang berasal dari nama benda langit atau dalam kalender Hijriah yang artinya urutan hari, nama hari pasaran berasal dari cerita mitologi tentang Resi Raddhi dan Empu Sengkala yang menciptakan pancawara.

Aturan lain khas Jawa adalah siklus delapan tahunan (windu). Nama tahun dalam siklus itu sesuai huruf Arab (Hijaiah), namun dengan penyebutan lidah Jawa. Penyebutan tahun dalam windu sering kali bersamaan dengan penyebutan tahun Jawa, seperti tahun Alip 1555 Jawa atau 1555 (Alip), sehingga langsung diketahui posisi tahunnya pada siklus windu.

Aturan

Penggiat edukasi astronomi sekaligus pengelola Imah Noong, Lembang, Jawa Barat, Hendro Setyanto, mengatakan, kalender Jawa adalah kalender matematis, sama seperti kalender Masehi. Aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena astronomi. Sementara kalender Hijriah adalah kalender astronomis yang ditentukan peristiwa astronomi meskipun dapat dimatematikakan.

"Sifatnya yang matematis membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa seperti dalam penentuan awal bulan kalender Hijriah," katanya.

Satu tahun kalender Jawa terdiri atas 354 hari untuk tahun basit (pendek) dan 355 hari untuk tahun kabisat (panjang). Pada satu siklus windu terdapat lima tahun basit dan tiga tahun kabisat, yaitu tahun Ehe (2), Dal (5), dan Jimakir (8).

Adapun jumlah hari setiap bulan diatur 30 hari untuk bulan ganjil (Sura, Mulud, dan lainnya) dan 29 hari untuk bulan genap (Sapar, Bakdamulud, dan lainnya). Khusus tahun kabisat, bulan Besar (12) yang berumur 29 hari diganti 30 hari.

Melalui aturan itu, panjang tahun rata-rata kalender Jawa adalah 354 3/8 hari. Sementara itu, panjang tahun rata-rata kalender Hijriah sebagai acuan kalender Jawa adalah 354 11/30 hari atau ada 11 tahun kabisat dalam 30 tahun. Akibatnya, dalam 120 tahun, kalender Jawa akan kelebihan satu hari dibandingkan kalender Hijriah.

Mengatasi itu, pada tahun ke-120 atau tahun ke-8 (Jimakir) pada windu ke-15--yang seharusnya tahun kabisat--dibuat tetap tahun basit. Siklus 120 tahun yang disebut kurup itu membuat 1 Sura pada 120 tahun yang akan datang jatuh satu hari sebelum hari dan pasaran 1 Sura sekarang.

Proses koreksi itu baru diketahui setelah 72 tahun kalender Jawa berjalan. Oleh karena itu, Kasunanan Surakarta menetapkan 1 Sura 1627 (Alip) jatuh pada Kamis Kliwon. Karena itu pula, 120 tahun kemudian, 1 Sura 1747 (Alip) jatuh pada Rabu Wage. Indikator Alip, Rabu Wage itulah yang lalu disingkat Aboge (kalender Aboge).

Pada 120 tahun kemudian, kurup Aboge itu berakhir dengan datangnya kurup baru, yaitu 1 Sura 1867 (Alip) yang jatuh Selasa Pon. Indikator Alip, Selasa Pon itulah yang membuat kalender pada kurup itu dinamai kalender Asapon. Seiring permberlakuan kurup baru, rumusan hari dan pasaran untuk awal bulan kalender Jawa pun seharusnya disesuaikan.

Kurup Asapon itulah yang saat ini berlaku, mulai 24 Maret 1936-25 Agustus 2052 M. Sejalan itu, kurup Aboge seharusnya ditinggalkan. Namun, seiring melemahnya peran keraton dalam kehidupan masyarakat, penetapan kurup baru pun nyaris hilang. Padahal, pelaksanaan kalender apa pun butuh pemegang otoritas untuk menentukan berlakunya sebuah kalender.



Sumber: Kompas, 6 November 2014



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...