Langsung ke konten utama

Belanda Minta Maaf kepada Janda Rawagede

BANDUNG, (PR).-

Pemerintah Belanda akan meminta maaf secara resmi kepada Indonesia atas pembantaian ratusan orang Indonesia yang dilakukan tentara Belanda di Rawagede, Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, pada tahun 1947 lalu. Belanda mengakui korban pembantaian 150 orang. Versi lain menyebutkan, korbannya 431 orang.

Kementerian Luar Negeri Belanda menyatakan, pemerintah Belanda juga setuju untuk membayar kompensasi 242.000 dolar AS (180.000 euro) atau sekitar Rp 2,1 miliar.

"Duta Besar Belanda untuk Indonesia, atas nama Pemerintah Belanda, akan meminta maaf hari Jumat (9/12) atas apa yang telah terjadi," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Belanda, Aad Meijer, Senin (5/12).

Belanda pernah menyampaikan penyesalannya atas pembunuhan itu tetapi belum pernah meminta maaf secara resmi.

Diketahui, kasus pembantaian di Rawagede digugat oleh delapan janda dan seorang warga yang selamat dari pembantaian di Desa Balongsari. Janda kedelapan dalam kasus itu sudah meninggal dunia.

Menurut Irwan Lubis dari Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang memperjuangkan kasus itu, Belanda tidak menyatakan banding dan keputusan pengadilan di Den Haag dinyatakan telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Beberapa pekan setelah keputusan, diadakan perundingan dan musyawarah antarkuasa hukum kedua pihak dan telah diperoleh mufakat untuk memenuhi materi keputusan hakim pengadilan di Den Haag.

Dikatakannya, kompensasi dibayarkan kepada sembilan penggugat. "Permintaan maaf menjadi penting dan fenomenal menimbang sejak 64 tahun terakhir, untuk pertama kalinya pemerintah Kerajaan Belanda meminta maaf secara resmi," kata Irwan, Senin (5/12).

Gugatan Rawagede di Pengadilan Den Haag merupakan perjuangan harkat dan martabat bangsa, hukum, kemanusiaan, dan keadilan. Peristiwa Rawagede erat kaitannya dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan Rawagede juga mengandung nilai-nilai kebangsaan yang tinggi dan menjadi muatan penting bangsa Indonesia.

"Hal terpenting dari semua itu bahwa dalam perjuangan ini dalil kedaluwarsa yang selalu menjadi alasan penolakan Belanda telah nyata-nyata dikesampingkan dalam pertimbangan keputusan majelis hakim yang independen itu," ucap Irwan.

Irwan menilai, perjuangan dan keputusan pengadilan itu berhasil menegakkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Di sisi lain, kehormatan juga berhasil didapatkan bangsa Belanda. "Suasana ini menjadi penting untuk memandang dan menjalin hubungan bilateral yang lebih baik lagi di antara kedua bangsa pada masa-masa mendatang. Mudah-mudahan penyelesaian kasus ini menjadi inspirasi bagi penyelesaian hal-hal yang dapat mengganggu hubungan baik kedua negara pada masa-masa yang akan datang," katanya.

Saat permintaan maaf disampaikan, kata Irwan, pengacara janda Rawagede, Liesbeth Zegveld dan Ketua Yayasan KUKB Belanda, Marcel Pondaag, akan hadir di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2012.

Mereka akan memenuhi undangan Komnas HAM, berdiskusi, dan beramah tamah dengan janda-janda Rawagede dan masyarakat Balongsari. Keduanya selanjutnya akan ke Makassar menghadiri peringatan di Monumen Korban 40.000 jiwa dan bertemu dengan janda-janda korban kejahatan perang Raymond Westerling di Sulawesi Selatan. (AFP/A-95) ***


Sumber: Pikiran Rakyat, 6 Desember 2011


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ajaran Tasawuf pada Masjid Agung Demak

Oleh Wiwin Nurwinaya Peminat Sejarah dan Arsitektur Islam D asar-dasar ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman prasejarah yang ditandai dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan kekuatan gaib, hal ini tercermin dari karya seni yang banyak berlatarkan religi, seperti halnya seni bangunan, bentuk menhir, punden berundak dan sebagainya. Dasar-dasar ajaran tersebut kemudian berkembang menjadi suatu konsepsi universal yang percaya terhadap kenyataan bahwa ruh manusia akan meninggalkan badan menuju ke alam makrokosmos. Dalam ajaran Islam, ajaran tasawuf merupakan suatu praktik sikap ketauhidan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ajaran tasawuf ini dianut oleh kaum sufi  yaitu sekelompok umat yang selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi dan hidupnya senantiasa diisi dengan ibadah semata. Sufi berasal dari kata safa  yang berarti kemurnian, hal ini mengandung pengertian bahwa seorang sufi adalah orang...

Janda Menteri "Gerilya" Soepeno Terus Berjuang

Meski usianya kini sudah 72 tahun, Nyonya Tien Soepeno, istri pahlawan nasional Soepeno, masih tetap beredar di lingkungan organisasi sosial politik, kemasyarakatan, dan dunia pendidikan di Jawa Tengah. Selain masih aktif sebagai dosen Universitas Semarang, isteri mantan Menteri Pembangunan dan Pemuda ini juga memegang Ketua Yayasan Gedung Wanita Semarang dan Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBH UWK) di Semarang. Di kancah politik, dia pernah dipercaya DPD Golkar Jateng sebagai anggota komisi A (Polkam dan perundang-undangan) dan komisi B (Anggran dan Perusda) DPRD I Jawa Tengah 1982-1987. Selain itu, masih banyak kegiatannya di ormas, seperti di Perwari, Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW), Himpunan Wanita Karya, Pekerja Perempuan, Yayasan Mardi Waluyo, dan sebagai Kabid Kemasyarakatan Gerakan Pramuka Gudep IX Kwarda Jateng. Di organisasi yang terakhir ini, ia bersama 203 orang wakil dari Indonesia mengikuti jambore internasional yang diikuti ...

Menyelusuri Masjid-masjid Tua: Dari Imigran India hingga Cina

M enyelusuri kawasan kota lama di Jakarta, hingga kini banyak ditemui masjid tua yang keberadaannya hampir bersamaan dengan lahirnya kota ini. Salah satu masjid tertua itu terletak di kawasan Glodok yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari tempat penjarahan dan pembakaran bulan Mei lalu. Masjid Al-Anshor yang dibangun pada 1648 itu letaknya di belakang Pasar Pagi, salah satu pusat perdagangan dan pertokoan di Glodok. Agak sedikit terpencil dan terletak di Jalan Pengukiran II, tak jauh dari Jalan Pejagalan. Masjid yang dulunya sedikit berada di luar tembok kota Batavia, didirikan oleh para imigran India dari Malabar. Orang-orang Islam dari India ini dahulunya banyak bermukim di sini. Sebagaimana masjid-masjid tua di DKI, setelah diperbaharui, gaya lamanya telah agak hilang. Dan untungnya tiang-tiang penyangganya masih utuh. Umumnya masjid-masjid tua di Jakarta yang banyak dibangun sesudah masa itu memiliki empat tiang penyangga. Dan hebatnya, tiang penyangga itu sekalipun sudah ber...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

Akulturasi Islam dan Sunda

A DA cerita yang populer berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Tatar Sunda: Kian Santang adalah pemuda gagah perkasa anak Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Karena kesaktiannya, sepanjang hidupnya ia belum pernah tahu warna darahnya. Ia pun terus-menerus bertanding, menguji kesaktian, tapi tak pernah menemukan lawan yang sepadan. Semua lawannya dengan mudah selalu ia kalahkan. Pada suatu waktu Kian Santang mendapat petunjuk dari seorang ahli nujum bahwa lawan yang pantas baginya adalah Baginda Ali yang tinggal di tanah Makah. Dengan menggunakan kesaktiannya, ia pergi ke tanah Makah. Sesampainya di tanah Makah, Kian Santang berusaha mencari Baginda Ali. Menurut orang tua yang kebetulan ia temui di perjalanan, Baginda Ali sedang berada di Masjidil Haram bersama Kangjeng Nabi. Orang tua itu pun bersedia mengantarnya ke Masjidil Haram. Setelah berjalan beberapa ratus langkah, si orang tua berhenti. Rupanya tongkat yang dibawanya tertinggal di tempat ketika bertemu dengan Kian Santang. I...

Semangat Pembauran "Jong Kos"

Hakikat suatu bangsa ada dalam keinginan untuk hidup bersama. Bagi bangsa Indonesia, benih keinginan untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu ikut disemai lewat hidup bersama para penggagas Sumpah Pemuda yang menghuni rumah pemondokan yang kini beralamat di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. S enda gurau terdengar dari rumah indekos di Jalan Kramat 106, Weltevreden, Batavia, pada suatu hari menjelang tahun 1928. Mahasiswa penghuni pemondokan milik Sie Kong Liong itu tak sedang membicarakan revolusi di belahan dunia lain atau pemikiran Mahatma Gandhi dan John Stuart Mill. Mereka melepas penat, berseloroh tentang masakan khas daerah masing-masing. "Sementara ini, enaknya gini aje dulu , Sup!" kata Adnan Kapau Gani, yang lebih sering disingkat AK Gani, pemuda asal Sumatera, kepada Jusupadi Danuhadiningrat, pemuda asli Yogyakarta.  Dari semua "jong kos" alias pemuda penghuni kos Kramat Raya 106 atau Indonesisch Clubgebouw (IC), yang masing-masing di kemud...

Revolusi Kebudayaan

Oleh YUDHISTIRA ANM MASSARDI M ari kita renungkan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang belum selesai.  Dari masa silam, kita selalu membanggakan Kerajaan Sriwijaya yang berjaya di sekitar Palembang pada 600-1400. Kita juga membanggakan Majapahit di sekitar Surabaya pada kurun 1293-1519. Kita pun membanggakan kemegahan Borobudur dan Prambanan di sekitar Yogyakarta. Terhadap tonggak-tonggak masa silam itu, kita (ingin) menyatakan diri sebagai bagian darinya: sebagai generasi pemilik dan penerus. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyadari bahwa itu adalah hasil karya "mereka" dan tak ada hubungannya dengan "kita". Lalu, muncullah pertanyaan eksistensial itu: "Jadi, sebenarnya, siapakah kita?" "Simsalabim" Dari sejarah Indonesia modern, kita belajar tentang sekelompok priayi di "Sekolah Dokter Jawa" (STOVIA) di Jakarta yang--pada 20 Mei 1908--mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Para pemuda itu tercerahkan dan menyadari ba...