Denpasar, 21 November
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para pejuang Indonesia secara terus-menerus melakukan perang dan revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan itu. Terjadi peristiwa Bandung Lautan Api di Bandung, Perang Arek-arek Suroboyo di Surabaya, peristiwa korban 40.000 orang penduduk di Makassar, dan lain-lain.
Di Bali, perang untuk mempertahankan kemerdekaan itu terkenal dengan perang besar di Desa Marga, Tabanan, yang lebih dikenal dengan Perang Puputan Margarana. Perang puputan itu terjadi pada 20 November 1946. Korban yang jatuh di pihak pejuang pada saat itu adalah 96 orang. Termasuk pucuk pimpinan perjuangan di Bali yakni Brigjen TNI Anm. I Gusti Ngurah Rai alias Pak Rai. Sedangkan korban yang jatuh di pihak Belanda tidak terhitung banyaknya. Karena Belanda dengan cerdik mengangkut teman-temannya yang gugur dalam perang itu, sehingga tak begitu terlihat banyak korbannya.
Lima puluh tahun kemudian, 20 November 1996, atau sering disebut Tahun Emas, para pejuang merayakannya di Bali dengan sangat besar-besaran. Acara puncak dilaksanakan dengan pelaksanaan apel di Kawasan Candi Margarana, Tabanan, sekitar 45 km di barat Denpasar.
Pangdam IX Udayana Mayjen TNI HA Rivai dalam sambutannya selaku inspektur upacara mengatakan bahwa Perang Puputan yang dilaksanakan oleh para pejuang di Bali membuktikan betapa rakyat Bali ikut memberikan andil dalam upaya mempertahankan kemerdekaan RI.
Ia berharap agar nilai perang itu dapat diaktualisasikan dalam pelaksanaan pembangunan nasional sekarang ini. Tujuannya adalah agar pembangunan nasional, yang bertujuan untuk mengisi arti kemerdekaan Indonesia, dapat segera terwujud dengan baik.
Hadir dalam acara puncak itu, hampir sebagian besar pejuang di Bali. Meski mereka sudah sangat sepuh, bahkan ada yang berjalan dengan tertatih-tatih, namun mereka berusaha datang ke kawasan yang sangat bersejarah itu. Semangatnya ternyata masih sangat mengagumkan.
Sejarah Singkat
Dari catatan sejarah diketahui, perang tersebut terjadi sehari penuh di sebuah kawasan persawahan di Subak Uma Kaang, Desa Marga, Tabanan. Saat itu di persawahan subak sedang tumbuh tanaman jagung yang sudah tua.
Pagi-pagi benar, pada hari Rabu 20 November 1946, Pak Rai mendapat laporan dari seorang laskar penghubung bahwa pasukan pejuang telah dikepung oleh NICA. Penduduk desa itu disiksa dengan sengit oleh NICA dan antek-anteknya. Tujuannya adalah untuk memeras informasi, di mana tepatnya lokasi pasukan Pak Rai itu berada. Namun rakyat desa terus bungkam, dan siksaan yang dialami terus menjadi-jadi.
Karena keadaan itu, Pak Rai berembug dengan stafnya untuk meninggalkan lokasinya di kawasan desa yang berpenduduk. Lalu menuju ke kawasan persawahan di dekat desa itu. Pasukan Pak Rai yang terkenal dengan Pasukan Ciung Wanara, dari Resimen Sunda Kecil, terus mempersiapkan diri untuk bertempur melawan Belanda. Karena diyakini bahwa Belanda pasti akan mengetahui lokasinya dan pertempuran harus pecah.
Dengan harapan agar dalam perang itu, rakyat jelata tidak terkena imbas, maka persiapan perang dilakukan di persawahan. Pertahanan pasukan memanfaatkan pematang sawah dan kontur lahan sawah.
Kontak Senjata
Apa yang direncanakan memang terjadi. Kontak senjata dengan Belanda mulai terjadi pada pukul 09.00 pagi. Yakni dengan mulai suatu tembakan pistol dari Pak Rai sendiri.
Tembakan itulah yang menjadi tanda awal dari perang besar itu. Belanda, kecuali menggunakan pasukan darat, tetapi juga mempergunakan kapal udara. Sebuah kapal udara sempat ditembak oleh pasukan Pak Rai dengan menggunakan senjata 12,7 yang ditembakkan bersamaan dengan senjata lainnya.
Setelah tembakan itu, kapal itu menghilang. Lalu yang datang adalah kapal yang lebih besar, yang langsung memuntahkan pelurunya kepada pasukan Pak Rai.
Satu per satu pasukan Pak Rai itu gugur. Setelah diketahui bahwa seorang teman kepercayaannya yakni Kapten Sugianyar gugur terkena tembakan, maka Pak Rai menjadi sangat marah. Kemudian beliau memberikan perintah Perang Puputan. Pasukan Pak Rai melakukan perlawanan yang gagah berani.
Pasukan Belanda sempat mundur, tapi kemudian maju kembali setelah mendapatkan tambahan pasukan dari daerah lainnya. Namun pasukan Pak Rai terus bertahan dan melawan.
Setelah senjakala, adu tembakan antar kedua kubu semakin sepi dan akhirnya usai. Belanda belum berani maju sendiri. Mereka menggunakan tameng dari penduduk setempat untuk memeriksa, apakah memang sudah semua pasukan Pak Rai gugur di sana.
Pak Rai sendiri terlihat telah gugur pada kesempatan perang itu. Diketahui bahwa luka yang diderita Pak Rai adalah pada kepala bagian atas. Ini berarti bahwa Pak Rai terkena peluru yang berasal dari atas. Mungkin dari kapal udara milik Belanda itu.
Jazad Pak Rai sempat dibawa berkeliling oleh Belanda, sebelum diadakan pembersihan jenazah di RSU Wangaya. Kemudian jenazah Pak Rai diperabukan di desanya yakni Desa Carangsari, Kabupaten Badung, sekitar 40 km di utara Kota Denpasar. (040)
Sumber: Suara Pembaruan, 21 November 1996
Komentar
Posting Komentar