Langsung ke konten utama

Jembatan Merah, Nyaris Hilang dari Pandangan

NILAI kepahlawanan tercermin jelas dalam peperangan pada tanggal 10 November 1945 di seputar Jembatan Merah dan Tanjung Perak, Surabaya. Para pejuang Indonesia di bawah komando Bung Tomo begitu gigih dalam pertempuran melawan pasukan Inggris, yang membonceng Sekutu. Karena itulah momentum 10 November dijadikan sebagai Hari Pahlawan dan diperingati hingga sekarang.

Peristiwa pertempuran "Arek-arek Soeroboyo" melawan pasukan Inggris, memang demikian dahsyat dan mendebarkan. Karena itu pemerintah Inggris bahkan mengakui, betapa heroiknya para pejuang Indonesia yang terjun dalam pertempuran tersebut. Para pejuang Indonesia tanpa rasa takut terus maju menggempur musuh, sehingga pasukan musuh yang sebetulnya memiliki persenjataan lebih canggih keder juga.

Berdasarkan catatan prajurit Inggris, Mayor RB Houston dalam bukunya berjudul What Happened in Java, kiprah para pejuang Indonesia saat itu benar-benar memusingkan pasukan Inggris. Rakyat Indonesia hanya dapat diusir dari bumi Surabaya, setelah digempur habis-habisan oleh meriam Angkatan Laut dan meriam Artileri dalam 21 hari pertempuran. Kondisi ini sangat melelahkan pasukan Inggris.

Dari catatan arsip yang ada di pihak Inggris dan tersimpan di London, diketahui bahwa seusai pertempuran yang maha dahsyat itu mayat-mayat bergelimpangan yang ditemukan di jalan-jalan di Surabaya terhitung sebanyak 1.618 orang. Sedangkan yang ditemukan tewas dan terluka di bawah puing-puing bangunan sebanyak 4.696 orang.

Berdasarkan catatan Doktor Roeslan Abdulgani, salah seorang pelaku pejuang yang terjun di gelanggang pertempuran 10 November 1945, korban dari pihak Inggris tergolong cukup banyak karena prajurit Inggris yang dinyatakan tewas dalam pertempuran tersebut sebanyak 220 orang, termasuk di antaranya sejumlah perwira. Itulah sebabnya pasukan Inggris menjuluki pertempuran melawan "Arek-arek Soeroboyo" bagaikan terjun dalam "neraka" karena meminta banyak korban jiwa.

Berkobarnya perang di Surabaya yang demikian hebat itu berawal dari tewasnya Brigadir Jenderal AWS Mallaby dalam suatu insiden di Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945. Sampai saat ini, tidak diketahui secara pasti pihak siapa yang mengakibatkan tewasnya Brigjen Mallaby tersebut. Diduga dia tewas terbunuh dalam mobil yang terkena granat di depan gedung Internatio (kini gedung PT Tjipta Niaga), karena pada saat ditemukan mobilnya dalam keadaan rusak terbakar.

"Seandainya Jenderal Mallaby meninggal, belum dapat dipastikan apakah meninggalnya itu dari tembakan rakyat atau tembakan Gurkha (Pasukan Inggris). Akan tetapi, nyata sekali bahwa seandainya dia meninggal, adalah terjadi di tengah-tengah keributan yang disebabkan oleh tembakan-tembakan yang pertama dilakukan oleh pihak Gurkha. Dalam keributan demikian, maka anggota Kontak Biro dan Rakyat yang berada di lapangan di muka gedung Internatio mengandung risiko yang sama," tulis Roeslan Abdulgani dalam bukunya sekitar tewasnya Brigadir Jenderal AWS Mallaby pada insiden Jembatan Merah.

Kesaksian Roeslan Abdulgani ini mengutip pengumuman Kontak Biro pihak Indonesia yang ditandatangani oleh Tjak Doel Arnowo yang pada saat itu dikawatkan ke seluruh dunia oleh Menlu RI, Soebardjo di antaranya ke New York, London dan Moskwa.

Almarhum Blegoh Sumarto, mantan Ketua DPRD Jatim dan Ketua Umum Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya ketika akan membukukan peristiwa ini, mengaku sempat kesulitan menentukan pihak mana yang mengakibatkan terbunuhnya Jenderal Mallaby. Namun, ia agaknya lebih setuju bila pelaku terbunuhnya Mallaby itu adalah "Arek-arek Soeroboyo".

Peristiwa terbunuhnya Jenderal Mallaby dalam insiden Jembatan Merah ini memang membuat pihak Inggris (Sekutu) marah besar. Kematian komandan 6.000 tentara Inggris yang mulai mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak 25 Oktober 1945 itu, akhirnya dijadikan alat oleh pihak Sekutu untuk mengancam "Arek-arek Soeroboyo" agar menyerah. Apabila tidak, maka Sekutu akan membumihanguskan Surabaya dari darat, laut dan udara.

Buntut dari kemarahan pihak Sekutu, secara konkret diwujudkan dalam berbagai insiden setelah kematian Jenderal Mallaby. Di antaranya dilakukan Panglima Sekutu di Jawa Timur, Mayor Jenderal EC Mansergh, dengan memanggil Gubernur Jatim, Suryo, agar menghadapnya pada 9 November 1945. Pemanggilan ini tidak digubris oleh Gubernur Suryo.

Akibatnya, kemarahan Sekutu semakin memuncak yang divisualisasikan dengan penyebaran pamflet berisi ultimatum dari udara pada 9 November 1945 siang hari. "Arek-arek Soeroboyo" marah dengan ultimatum tersebut dan tidak memenuhi permintaan Sekutu supaya menyerah, meski diancam Surabaya akan dibumihanguskan jika permintaan tidak dipenuhi hingga batas waktu pukul 06.00 WIB tanggal 10 November 1945.

Begitu juga, pada saat batas waktu yang telah ditentukan, "Arek-arek Soeroboyo" tetap tidak gentar dengan ancaman Sekutu tersebut. Hal itu mengakibatkan pertempuran tidak terelakkan lagi. Pertempuran Surabaya pecah diawali dengan serangan udara pihak Inggris di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak. Gempuran pihak Sekutu dengan senjata modern dibalas "Arek-arek Soeroboyo" meski hanya dengan senjata seadanya dan bedil hasil rampasan. Begitu semangatnya "Arek-arek Soeroboyo" melawan Sekutu, sehingga tak menghiraukan berondongan peluru senapan mesin dan hujan bom yang dimuntahkan dari pesawat, kapal maupun meriam artileri tentara Sekutu. Korban pun tewas berjatuhan. Surabaya dibumihanguskan.

Bung Tomo

Di balik semangat "Arek-arek Soeroboyo" yang meletup-letup dan membakar dalam perang 10 November 1945, ternyata ada sosok yang cukup vokal waktu itu dan sangat berarti dalam insiden perang Surabaya. Dialah Bung Tomo, wartawan Kantor Berita Indonesia (KBI). Melalui corong RRI, Bung Tomo mengobarkan api perjuangan "Arek-arek Soeroboyo" agar tidak gentar menghadapi ancaman Sekutu.

Dari suara Bung Tomo yang menggebu-gebu, terdengar oleh "Arek-arek Soeroboyo" agar api perjuangan harus terus dikobarkan. Merdeka atau Mati. Itulah doktrin yang disulut Bung Tomo.

Bagi "Arek-arek Soeroboyo", nama Bung Tomo sebelum peristiwa 10 November 1945 memang sudah cukup terkenal. Ini lantaran pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan 17 Agustus 1945, Bung Tomo yang memiliki nama lengkap Soetomo sudah bekerja sebagai wartawan di Kantor Berita Domei di Jakarta. Namun saat itu tidak "besar" seperti sekarang. Hanya terbatas pada posisinya sebagai wartawan saja.

Menurut Ki Soemadji Adi, yang juga wartawan KBI, dalam peristiwa terbunuhnya Mallaby di Jembatan Merah, Bung Tomo termasuk wartawan yang ikut meliput kejadian itu. Ki Soemadji yang akrab dipanggil "Petruk" ini menuturkan, waktu terbunuhnya Mallaby, Bung Tomo meliput bersama dengan Fakih Hasan yang juga wartawan KBI. Hanya saja pada saat kejadian itu Bung Tomo tidak bisa langsung ke kantor KBI, tetapi baru keesokan harinya melaporkan peristiwa besar itu.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang penuh heroisme yang begitu dahsyat dengan korban ribuan jiwa manusia ini, berhasil menggedor gedung PBB dan membuka mata dunia terhadap kenyataan besarnya kesungguhan serta tekad bangsa Indonesia untuk hidup merdeka, sejajar dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya. Tidak berlebihan memang jika peristiwa ini menjadi salah satu tonggak sejarah pengakuan dunia terhadap keberadaan Republik Indonesia. Peristiwa heroik ini sekarang tidak saja dikenang bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa lain di dunia. Terlebih bangsa-bangsa yang waktu itu tergabung dalam Sekutu dan merasakan "nerakanya Surabaya".

Peristiwa 10 November 1945 akhirnya melahirkan Hari Pahlawan dan Kota Surabaya mendapat julukan kehormatan "Kota Pahlawan". Dari segi nation and character building, visualisasi jiwa dan semangat patriotisme serta heroisme dalam pertempuran itu kini diwujudkan dalam bentuk monumen Patung Tugu yang memiliki arti sangat besar bagi generasi penerus. Salah satu monumen yang sangat penting artinya dalam mengenang peristiwa 10 November 1945 yakni Tugu Pahlawan yang dibangun pada tahun 1952. Lokasi pembangunan monumen ini dulu merupakan gedung yang disebut Istana Pengadilan (Het paleis van justitie). Bangunan ini hancur dalam pertempuran yang maha dahsyat.

Mata dunia tersentak tidak saja pada peristiwa 10 November 1945 tetapi juga peristiwa-peristiwa lain yang mengawalinya sampai dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Peristiwa-peristiwa yang menyulut insiden perang Surabaya ini di antaranya, insiden perobekan bendera di Hotel Yamato di Jalan Tunjungan Surabaya yang kini dikenal sebagai Hotel Majapahit. Kejadian ini berlangsung pada 19 September 1945, di mana "Arek-arek Soeroboyo" merasa risih melihat bendera Belanda sepanjang hari berkibar di puncak hotel.

Jiwa patriotisme "Arek-arek Soeroboyo" begitu kental sehingga mereka tak seorang pun gentar, berusaha merobek bendera Belanda tersebut, sehingga warnanya tersisa Merah Putih.

Insiden di Rumah Sakit Darmo Surabaya, juga termasuk peristiwa yang membuka mata dunia terhadap keberadaan bangsa Indonesia. Rumah Sakit Darmo yang sejak mendaratnya Sekutu di Surabaya dijadikan markas pasukan Gurkha dengan beraninya diserang "Arek-arek Soeroboyo", terutama pemuda dari Kampung Dinoyo. Serangan yang begitu gencar itu memaksa pasukan Sekutu berlarian meninggalkan markasnya di Rumah Sakit Darmo.

Saksi-saksi bisu peristiwa 10 November 1945 ini, sayang sekarang sangat kurang diperhatikan kelestariannya. Tercatat hanya beberapa saja gedung atau bangunan yang memiliki nilai historis ini masih terawat baik dan tampak asli.

Hotel Majapahit misalnya yang memiliki nilai sejarah, kini sudah direnovasi bentuknya. Kawasan Jembatan Merah yang merupakan saksi sejarah tewasnya Jenderal Mallaby yang mendunia itu pun kini tidak luput dari renovasi. Kawasan ini saat ini telah menjadi pusat perbelanjaan di Surabaya yang megah. Kesan bahwa jembatan yang berada di sebelah Jembatan Merah Plaza sebagai saksi dalam insiden itu pun, nyaris hilang.

(KF-6/KF-7/KF-9)



Sumber: Suara Karya, 9 November 1996



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...