Langsung ke konten utama

Tank Rampasan dan Gerbong Maut, Saksi-saksi Sejarah

Museum Brawijaya yang terletak di Jalan Ijen, Malang, merupakan tempat menyimpan dan memamerkan benda-benda yang memiliki nilai-nilai sejarah erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan RI. Inilah museum yang membangkitkan semangat seperti sesantinya "Citra Utthapana Cakra". Dalam bahasa Sanskerta, Citra berarti sinar. Utthapana berarti membangun, menggairahkan, atau membangkitkan, dan Cakra berarti semangat, daya, atau kekuatan.

Dengan luas bangunan 3.300 m2, museum ini mengkoleksi benda-benda bersejarah dari tahun 1945 sampai dengan sekarang yang merupakan bukti nyata perjuangan TNI-AD khususnya dan ABRI pada umumya dalam menegakkan, membela dan mempertahankan kemerdekaan RI.

Koleksi museum dipamerkan pada dua bagian. Di ruang dalam museum, sebagian besar berupa benda-benda yang pernah punya andil besar dalam merebut dan mempertahankan Tanah Air, serta sejumlah barang bersejarah lainnya. Seperti senapan mesin ringan, mortir, serta alat-alat komunikasi model kuno. Sedangkan di halaman museum khusus dipamerkan benda-benda yang besar-besar seperti tank lapis baja, meriam, gerbong kereta api, dan perahu Segigir.

Meriam "Kopral Buang"

Menyaksikan isi museum seperti mencungkil masa silam. Rekonstruksi peristiwa-peristiwa heroik pun seperti terpampang di hadapan. Di halaman depan museum misalnya, kita akan menjumpai dua senjata penangkis serangan udara (PSU) buatan Jepang dengan kaliber 40 mm. PSU ini pernah menjatuhkan dua pesawat terbang Belanda dalam pertempuran hebat di Bangkalan, Madura.

Di antara dua PSU, terdapat sebuah tank rampasan dari tentara Jepang yang berhasil direbut "Arek-arek Suroboyo" pada pertempuran di bulan Oktober 1945. Tank ini juga digunakan saat menghadapi tentara Sekutu pada pertempuran 10 November 1945 yang tersohor itu. Tapi apa mau dikata, saat itu pengetahuan teknis para pejuang mengenai tank sedemikian terbatasnya. Maka begitu kendaraan lapis baja ini ngadat, langsung ditinggalkan setelah sebelumnya merusak peralatan-peralatan tembaknya.

Masih di halaman depan museum, terdapat meriam yang diberi nama "Kopral Buang". Senjata artileri ini menyimpan kisah heroik. Dalam perjalanan ke Lamongan, serombongan TKR kepergok tentara Belanda yang merasa kehilangan meriam jenis Vickers Amstrong, buatan Australia berkaliber 3,7 inci seberat 10 ton itu pada pertempuran di Gresik, 10 Desember 1945. Dalam pertempuran itu, Kopral Buang gugur dalam upaya mempertahankan meriam tersebut. Meriam "Kopral Buang" dijadikan kenangan baginya.

Masuk ke dalam bangunan museum, kita akan disongsong sebuah tank AM-Track yang mempunyai kisah heroik bagi TRIP. Ketika menyerbu Malang, tentara Belanda membawa pasukan dan peralatan perang yang memadai, sementara pasukan TRIP dengan persenjataan yang sederhana. Ketika mengepung Jalan Salak, dua peleton TRIP terkepung dan tak mau menyerah begitu saja. Pertempuran tak seimbang terjadilah dan gugurlah 35 tentara pelajar di pertempuran 31 Juli 1947 itu. Untuk mengabadikan pahlawan kita itu, Jalan Salak diganti namanya menjadi Jalan Pahlawan TRIP, serta dibangun monumen TRIP yang terletak di depan kantor Polres Malang.

Batang Pisang Pembalut Luka

Di ruang koleksi I, terdapat sebuah mobil sedan merek De Soto buatan Amerika yang merupakan kendaraan dinas Panglima Divisi I/Jawa Timur, Kolonel Sungkono (1946-1950). Terdapat pula seperangkat meja kursi yang pernah dipakai perundingan antara Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta dengan Mayjen Hawtorns - Brigjen AWS Mallaby, pada 29-30 Oktober 1945, dalam rangka penghentian baku tembak TKR dengan Sekutu di Surabaya.

Masih di ruang ini, disimpan senjata dan amunisi yang dibuat bangsa Indonesia sendiri pada tahun 1945 di Mrican, Kediri. Terdapat pula tempat tidur yang pernah dipakai Pak Dirman sewaktu memimpin gerilya di Desa Bagelen, Nganjuk, Jawa Timur. Juga ada alat-alat komunikasi model kuno. Sedang dalam salah sebuah almari, kita bisa menyimak betapa sederhananya peralatan yang dipergunakan untuk menolong jiwa dan keselamatan seseorang pada masa silam. Misalnya, perban yang dipakai untuk membalut luka dibuat dari lembar-lembar batang pisang yang sudah dikeringkan.

Ruang koleksi 2, sebagian besar berisi berbagai peristiwa saat Kodam Brawijaya mengadakan operasi militer. Tercatat operasi militer menumpas Malik alias Abdul Salim, Manan, anggota Ki Dachlan Yon 17 di Plumbon, Pasuruan. Malik dan gerombolannya berhasil ditumpas pada 12 Mei 1950. Kemudian operasi militer di Bandung (APRA) dan menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera Barat.

Saat operasi Trisula di Blitar Selatan, andil pasukan Brawijaya bersama rakyat dalam menumpas sisa gerombolan PKI, merupakan wujud dari sebuah kebersamaan. Di museum ini disimpan batu yang pernah digunakan untuk membunuh salah satu tokoh PKI, Oloan Hutapea. Sejumlah tokoh berhasil ditangkap serta persenjataan mereka dirampas. Sebagian besar memang disimpan di museum ini. 

Waktu terjadi ketegangan hubungan dengan Negeri Belanda mengenai Irian Barat, yang akhirnya berbuntut dengan aksi militer, Kodam Brawijaya juga ikut mengambil bagian. Tanggal 23 Januari 1962, Mayor Benny Moerdani bersama sejumlah pasukan para dari Yonif 530/Para Brawijaya dan pasukan khusus diterjunkan di Merauke. Aksi militer ini memang banyak memakan korban, namun semua itu tidaklah sia-sia. Operasi lain adalah di Timor Timur (Seroja). Sedangkan di luar negeri, pasukan Brawijaya pernah bergabung dalam pasukan multinasional PBB di Kongo pada tahun 1962.

Gerbong Maut

Di bagian halaman tengah museum ini, terdapat koleksi yang punya kisah heroik, yaitu berupa sebuah gerbong kereta api. Gerbong Maut, demikian sebutan untuk gerbong itu. Disebut demikian, sebab gerbong tersebut menjadi saksi bisu kegigihan para pejuang kita.

Pada masa Perang Kemerdekaan, gerbong tersebut telah menelan korban puluhan pejuang kita. Korban Gerbong Maut bukan sekadar pembunuhan biasa, uniknya, nyaris sama dengan cara pembunuhan Nazi terhadap bangsa Yahudi di Kamp Auschwitz. Dalam peristiwa Gerbong Maut ini Belanda telah membunuhi para pejuang kita yang tak berdaya. Para pejuang disekap selama belasan jam dalam gerbong-gerbong kereta api yang terkunci rapat dan dipanggang di bawah terik matahari.

Peristiwa keji tersebut berawal pada 21 Juli 1947, yakni ketika Belanda mendarat di Pantai Pasir Putih, lalu menyerang Bondowoso.

Dalam pertempuran sengit itu tentara kita gigih mempertahankan Kota Bondowoso. Meskipun, Belanda akhirnya berhasil menangkap 100 pejuang kita. Mereka ditawan di penjara Bondowoso. Karena alasan tertentu, mereka dipindah ke penjara Bubutan, Surabaya.

23 November 1947 pukul 02.00 dini hari, ke-100 tawanan itu dibangunkan oleh serdadu Belanda yang dikomandoi Letnan Van Dorpen. Seorang penerjemah menyatakan agar para tawanan itu berkumpul di depan penjara Bondowoso pada pagi buta itu.

Kemudian, mereka digiring ketat oleh enam serdadu Belanda menuju Stasiun Bondowoso. Di sana, telah menanti tiga gerbong barang yang ditarik oleh sebuah loko. Para tawanan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam gerbong-gerbong itu. Masing-masing dalam jumlah 38, 32, 30 mereka dikunci rapat dalam tiga gerbong itu.

Pukul 07.00 kereta api berangkat meninggalkan Stasiun Bondowoso. Selama dalam perjalanan mereka tersekap, tanpa ventilasi dan tidak diberi makan dan minum. Karena dahaga yang dahsyat itulah yang menyebabkan mereka meminum air kencing sendiri.

Dalam gerbong yang sempit, gelap, dan hanya sedikit udara masuk ke dalam serta ditambah suasana sangat panas karena sengatan matahari membuat mereka benar-benar tersiksa. Satu per satu para tawanan itu ambruk. Lemas. Akhirnya meninggal. Sepanjang perjalanan ke Surabaya, banyak tawanan yang bergelimpangan di lantai gerbong. Jerit minta tolong dan gedoran pintu tak digubris oleh serdadu-serdadu Belanda yang mengawalnya.

Sesampai di Kalisat, beberapa pejuang mencoba menggagalkan perjalanan dengan cara memasang bom. Namun ledakan bom tersebut tidak sampai merusakkan rel kereta api sehingga kereta terus melaju, dengan jerit pilu para penumpangnya yang tak henti-hentinya.

Pukul 20.00 kereta api sampai di Stasiun Wonokromo, Surabaya. Ternyata, dari 30 orang tawanan yang ada di gerbong kedua, 8 orang tewas. Gerbong ketiga, yang berpenumpang 38 orang, semuanya tewas. Dan gerbong pertama, dari 32 penumpang, 18 orang di antaranya berada dalam keadaan kritis.

Tidak hanya sampai di situ kejamnya penjajah Belanda. Para pejuang yang masih hidup dipaksa menggotong jenazah-jenazah rekannya. Tubuh-tubuh tawanan yang tewas itu keadaannya benar-benar mengerikan. Ada yang kulitnya gosong mengelupas, karena selama kurang lebih 15 jam dipanggang dalam gerbong, ada lagi yang dalam keadaan kaku memegang tenggorokan karena diserang dahaga yang dahsyat, dan lain-lain.

Empat puluh orang tawanan yang masih hidup itu kemudian diangkut ke penjara Bubutan. Di tempat inilah mereka diisolasi dari tawanan lainnya. Sebulan lebih mereka diperlakukan tidak manusiawi oleh Belanda. Makan, tidur, buang kotoran menjadi satu. Ditambah, tempat mereka ditawan terdapat banyak tikus, kecoa. Satu lagi siksa yang baru, mereka tidak boleh saling berbicara.

Kejadian tragis itu sampai sekarang tidak dilupakan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Bondowoso. Satu di antara tiga gerbong yang menyimpan kisah sadis itu kini bisa disaksikan di Museum Brawijaya.

Di sebelah Gerbong Maut, terdapat sebuah perahu penangkap ikan yang biasa digunakan pelaut Madura, perahu Segigir. Saat bertempur melawan tentara laut Belanda, Letkol Chandra Hasan, komandan pasukan Jokotole, menggunakan perahu ini sebagai sarana peperangan. Inilah juga bukti keperkasaan para pejuang. Dengan peralatan sederhana, berani menghadapi musuh yang persenjataannya jauh lebih lengkap. (Gunawan Kurniawan)



Sumber: Suara Karya, 2 Agustus 1995



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Makam Imam Al-Bukhori

Menarik membaca tulisan Arbain Rambey berjudul "Uzbekistan di Pusaran Sejarah" ( Kompas , 20 Oktober 2019).  Berdasarkan kisah dari pemandu wisata di Tashkent, diceritakan peran Presiden Soekarno memperkenalkan Makam Imam Al-Bukhori di Samarkand yang nyaris terlupakan dalam sejarah. Kisah Soekarno dimulai ketika dalam kunjungan ke Moskwa minta diantar ke makam Imam Al-Bukhori. Menurut buku The Uncensored of Bung Karno, Misteri Kehidupan Sang Presiden  tulisan Abraham Panumbangan (2016, halaman 190-193), "Pada tahun 1961 pemimpin tertinggi partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khruschev mengundang Bung Karno ke Moskwa. Sebenarnya Kruschev ingin memperlihatkan pada Amerika bahwa Indonesia adalah negara di belakang Uni Soviet".  Karena sudah lama ingin berziarah ke makam Imam Al-Bukhori, Bung Karno mensyaratkan itu sebelum berangkat ke Soviet. Pontang-pantinglah pasukan elite Kruschev mencari makam Imam Al-Bukhori yang lah...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...