Langsung ke konten utama

Zaman Penjajahan Dai Nippon: Undang-undang untuk Golongan Bangsa Musuh

Oleh HARYADI SUADI

KITAB Undang-undang Balatentara Dai Nippon yang bernama Osamu Seirei, telah diberlakukan oleh Pemerintah Jepang sejak tanggal 7 Maret 1942. Sejak itulah sejumlah undang-undang dan aturan berikut sangsinya, secara berturut-turut telah diumumkan ke seluruh penduduk di tanah air kita.

Berbagai aturan dari yang sepele sampai yang paling berat telah mulai dilaksanakan. Akibatnya ratusan rakyat kita yang dianggap salah, apa lagi yang bersikap tidak loyal terhadap penguasa baru ini, telah menjadi korban Osamu Seirei. Mereka yang dianggap subversif langsung digiring ke lapang tembak atau dihadapkan ke seorang algojo. Penjara pun telah penuh sesak oleh orang-orang yang oleh Jepang disebut bangsa musuh.

Dalam Undang-undang nomor 33 Osamu Seirei, yang dimaksud dengan bangsa musuh adalah bangsa Belanda totok, Amerika, Inggris, dan Australia. Undang-undang yang ditujukan kepada golongan ini, tentu saja amat berat. Mula-mula mereka diwajibkan untuk mendaftarkan diri. Untuk pendaftaran itu mereka wajib membayar 150 rupiah untuk kaum pria. Sedangkan kaum wanitanya hanya 80 rupiah. Uang seratus rupiah, pada masa itu memang punya nilai yang cukup tinggi.

Namun demi keselamatannya, mereka terpaksa kerja keras untuk mencari uang sebesar permintaan Jepang itu. Sebab dalam peraturannya disebutkan bahwa barang siapa tidak melunasi uang pendaftaran itu, pihak pemerintah tidak bertanggung jawab kalau di belakang hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Nasib bangsa Sekutu yang tinggal di negeri kita pada masa itu memang amat menyedihkan. Kedudukan mereka benar-benar terjepit. Siang hari mereka takut oleh para kenpeitai yang berkeliaran di kota. Sedangkan di malam hari bangsa kita yang sudah menaruh dendam sekian lama, sering merampok dan menganiaya mereka. Ketika tentara datang ke Indonesia, golongan inilah yang paling ketakutan.

Oleh karena itu di jalan atau tempat keramaian hampir tidak terdapat orang bule berkeliaran. Seandainya ada, pasti mereka dijadikan bulan-bulanan tentara Jepang atau bangsa kita. Pada masa itu sering terjadi orang-orang kulit putih telah dianiaya di tempat ramai. Konon kaum wanitanya diculik. Dan kaum prianya dihajar atau disunat beramai-ramai. Itulah sebabnya sewaktu pemerintah menawarkan jasa untuk melindungi mereka dari pengacau keamanan, golongan ini langsung menyambutnya dengan gembira. Mereka kemudian ramai-ramai datang ke kantor Sityokan (Balai Kota) untuk mengisi formulir dan membayar ratusan rupiah. Setelah itu mereka disumpah untuk tetap setia kepada Tenno Heika sambil mantuk-mantuk di muka para pejabat Jepang. Pokoknya asal hidup mereka aman, mereka bersedia membayar, berapa pun besarnya uang pendaftaran itu.

Tetapi tidak lama sesudah mereka melunasi uang pendaftaran, tiba-tiba tentara Jepang mengeluarkan lagi peraturan yang isinya memanggil kaum pria bangsa musuh yang berusia antara 17 sampai 60 tahun. Setelah dihimpun, kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara.

Sisanya yakni yang hanya terdiri dari kaum pria jompo dan wanita serta anak-anak, juga telah diamankan. Selanjutnya bagaimana nasib mereka ini, telah ditentukan oleh Undang-undang nomor 33 tahun 2602 yang berbunyi:

Perempoean-perempoean bangsa Belanda, Inggeris, Amerika, dan Australia jang totok (djadi boekan perempoean peranakan), jang diam terpisah dari soeaminja atau penanggoengnja, jang tinggal di Djakarta Tokubetu Si, serta laki-laki bangsa Belanda totok yang beroemoer koerang dari 17 tahoen atau 60 tahoen atau lebih, haroes diam dalam daerah perlindoengan jang ditoendjoekan dalam keterangan di bawah ini ... dan seterusnya.

Sebagai tempat perlindungan mereka, Jepang telah menentukan dua lokasi (di Jakarta) yakni daerah yang terletak antara Petojo, Jalan Cideng, Duri Kanal, dan Jalan Lematang. Kemudian lokasi lain, terletak di Jalan Cikini, Kramat, sampai daerah Ciliwung.

Pihak Pemerintah agaknya tidak mau tahu, bahwa dua kawasan seluas itu, sudah sejak lama telah menjadi tempat hunian permanen dari penduduk Jakarta. Tetapi dengan kekuasaannya, penduduk di daerah itu harus segera meninggalkan tempatnya dengan menggunakan undang-undang yang berbunyi sebagai berikut:

 ... barang siapa jang diam sekarang dalam daerah perlindoengan jang ditoendjoekan itoe, walau bangsa apa poen djoega, semoeanja haroes pindah roemah dari daerah itoe ke tempat lain.

Setelah dikeluarkannya kedua undang-undang tersebut di atas, maka hampir separuh penduduk Jakarta menjadi terkejut bercampur panik. Di satu pihak orang-orang Belanda harus segera meninggalkan rumahnya. Di pihak lain penduduk bangsa kita maupun bangsa asing lainnya secara mendadak harus pula meninggalkan tempat tinggalnya.

Lebih memprihatinkan lagi, mereka ini tidak mengetahui harus pindah ke mana. Konon pada masa itu terjadilah kepanikan di antara para penduduk yang terusir. Selama beberapa hari suasana di kedua lokasi itu, amat hiruk-pikuk dan kacau balau. Ratusan orang hilir mudik mengangkut barang-barangnya, mereka tidak tahu ke mana harus mencari tempat tinggal baru. Sedangkan ratusan orang Belanda yang harus segera menempati kawasan itu, sudah mulai berduyun-duyun berdatangan. Barang-barang mereka berupa segulung kasur, bantal, kopor, dan tas pakaian serta alat memasak juga sudah menggunung di tepi jalan.

Dalam pada itu pihak Jepang pun selalu hadir mengawasi mereka. Sejumlah tentara Jepang telah dikerahkan untuk turut menggusur penduduk. Sambil membentak-bentak mereka pun turut mengatur agar para penduduk hanya membawa barangnya untuk keperluan sehari-hari saja.

Setelah keadaan agak tenteram, pemerintah mengeluarkan lagi peraturan yang melarang semua laki-laki dari bangsa mana pun memasuki daerah perlindungan tersebut.

Kisah uang pendaftaran 100 rupiah

Dalam Undang-undang nomor 7 yang dikeluarkan pada tanggal 11 April 2602, juga disebutkan bahwa di tanah air kita ada bangsa asing yang dianggap bukan musuh.

Mereka adalah kaum Indo (peranakan), bangsa Cina, Arab, India, dan bangsa-bangsa yang anti Sekutu. Mereka ini pun tidak luput dari uang pendaftaran. Cuma besarnya tidak setinggi uang pendaftaran bagi bangsa musuh, yakni laki-laki 100 rupiah, sedang kaum wanitanya 50 rupiah.

Dalam artikel Pendaftaran a f. 100,- per djiwa di jaman Djepang (Majalah Star Weekly 8 Desember 1946), dikisahkan bagaimana penderitaan orang-orang asing bukan bangsa musuh mencari uang pendaftaran ratusan rupiah. Menurut penulisnya uang 100 rupiah pada zaman itu memang amat tinggi nilainya. Katanya dengan uang sebesar itu orang bisa menyewa sebuah rumah tembok ukuran besar lengkap dengan perabotnya. Namun pemerintah tentunya tidak mau tahu. Pokoknya mereka wajib melunasi uang pendaftaran itu paling lambat satu bulan setelah aturan tersebut dikeluarkan.

Antara bulan April sampai Mei konon orang-orang asing berkeliaran ke sana kemari untuk mencari uang. Bagi yang kantongnya tebal, boleh jadi uang sebesar itu tidak jadi masalah. Tetapi bagi rakyat kecil, merupakan tekanan jiwa. Mereka terpaksa harus melempar barang perhiasannya. Tetapi jual beli barang pada masa itu tidak mudah dilakukan.

Selain susah mencari pembeli, mereka takut kenpeitai yang selalu ingin turut campur urusan penduduk. Oleh karena itu transaksi mesti dilakukan di tempat yang tersembunyi, dan harga pun terpaksa dibanting.

Waktu satu bulan telah berlalu dengan cepat. Orang-orang asing yang berhasil mengumpulkan uang langsung menghadap ke kantor Sityokan. Setelah menyerahkan uang dan mengisi formulir, mereka harus kerei (membongkokkan badan) sambil diberi wejangan agar tetap setia kepada Dai Nippon.

Katanya sekalipun pada saat itu rakyat manggut-manggut sambil mengucapkan janji-janji seia sekata di hadapan tentara Jepang, namun hatinya berontak .... Oewang jang telah ditjari dengen soesah pajah dikasih begitoe sadja pada machloek machloek jang baroe sadja kita dapet lihat tjetjongornja dan dari siapa kita belon pernah dapet trima barang satoe kebaekan.

Membajar itoe oewang ibarat menelan pel kina .... Begitulah isi hati mereka tatkala uang pendaftaran ratusan rupiah yang mereka cari dengan susah payah secepat kilat berpindah tangan ke pihak Jepang.

Tetapi bagi mereka yang belum berhasil mengumpulkan uang, hatinya semakin kelabakan. Sebab pasti Jepang akan mengeluarkan peringatan keras dengan ancaman hukuman yang lebih berat. Dugaan mereka ternyata benar.

Pada tanggal 21 Mei, lewat surat kabar Asia Raya, Jepang mengeluarkan lagi aturan yang berbunyi: yang belum melunasi utangnya diancam tidak boleh bekerja. Karena sampai berakhirnya bulan Mei, masih banyak juga yang belum mampu membayar, maka Jepang mengeluarkan lagi ancaman: tidak boleh kawin, bagi mereka yang belum membayar.

Ancaman ini, katanya tidak begitu berat. Pasalnya melangsungkan perkawinan pada masa sesulit itu, tidak cocok untuk dilakukan. Bahkan para ibu rumah tangga yang suaminya berniat kawin lagi, diam-diam telah menyambut gembira aturan itu. Tetapi bagi para muda mudi yang akan mengekalkan hubungan cintanya dan telah mengedarkan surat undangannya, terpaksa orang tuanya harus menyisihkan ratusan rupiah dari biaya pesta perkawinan anaknya.

Pihak Nippon tampaknya dengan gigih terus menteror terhadap orang-orang yang belum bayar. Pada bulan berikutnya diumumkan lagi aturan yang cukup berat yaitu semua aktivitas para penunggak, akan dibekukan. Antara lain mereka tidak boleh bepergian ke luar kota. Bahkan untuk membeli beras, bawang, cabe, garam, atau sabun mereka harus memperlihatkan surat kuitansi tanda lunas.

Tetapi akhirnya Jepang rupanya telah menyadari, bahwa tidak semua rakyat sanggup membayar uang pendaftaran. Oleh karena itu pada bulan Juni, pemerintah mengumumkan aturan yang agak melonggarkan rakyat yakni membayar uang pendaftaran boleh dicicil. Tetapi peraturan ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu. Dan ketidakmampuannya harus dibuktikan dengan surat pernyataan dari kumico (kepala desa). Yang pura-pura tidak mampu, Jepang sudah menyiapkan aturannya, yakni dihadapkan ke meja hijau. Dan barang siapa yang dihadapkan ke meja hijau, hukumannya pasti masuk penjara.

Rakyat pun jadi bingung kembali. Oleh karena itu mereka tidak terlalu gembira dengan aturan itu yang kata pemerintah meringankan beban rakyat. Apalagi mereka masih sakit hati oleh ancaman-ancaman penguasa yang telah membuat mereka tertekan jiwanya dan tidak bisa tidur selama berbulan-bulan. Dan yang lebih menjengkelkan, lagi, adalah bahwa ancaman-ancaman itu katanya hanya untuk menakut-nakuti rakyat. Sebab dengan jalan demikian Jepang dengan cepat dan mudah bisa memperoleh uang sebanyak-banyaknya.

Di samping itu betapa rendahnya pemerintah Nippon memandang derajat sekelompok manusia yang tinggal di Jawa pada masa itu. Kurs mereka tidak lebih dari 100 rupiah. Gara-gara uang sebesar itulah, Jepang dengan sewenang-wenang mempermainkan rakyat dengan berbagai ancaman.

Mula-mula rakyat diancam tidak akan dilindungi. Aturan ini artinya apabila mereka dirampok, dianiaya atau dibunuh, pemerintah tidak mau tahu. Sesudah itu rakyat akan dibiarkan mati berdiri, karena aturan berikutnya mereka tidak boleh bekerja alias dibiarkan menganggur.

Begitulah cara Jepang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dengan dalih untuk kemakmuran bersama dan memenangkan peperangan, sambil memutarbalikkan undang-undang, mereka terus menyedot harta benda penduduk di tanah air kita.

Dan penduduk semakin kecewa, karena aturan-aturan dari tak boleh bekerja, dilarang kawin sampai membeli terasi harus memperlihatkan surat tanda lunas, tidak terdapat dalam Kitab Oendang-oendang Dai Nippon atau Osamu Seirei.

Inilah pemerintah edan jang maen maen dengan oendang-oendangnja sendiri .... Demikianlah kata penulis artikel tersebut di atas.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 15 Agustus 1995



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...