10 NOVEMBER 1945. Puncak awal Perang Kemerdekaan di Surabaya. Jumlah tentara Sekutu yang terlibat tak kurang dari 30.000 orang, terdiri dari tentara reguler Inggris dan Ghurka (Divisi India V dan Brigade 49 Inggris) yang berpengalaman tempur melawan Jepang.
Dibutuhkan waktu 5 minggu antara Oktober - November bagi Sekutu untuk menduduki Surabaya, dengan korban lk 900 tentara Inggris dan Ghurka tewas, termasuk Brigjen AWS Mallaby dan Brigjen Robert Guy Loder-Symonds.
Korban di pihak pejuang Indonesia 6.315 tewas yang dihitung Inggris, di luar itu diperkirakan tak kurang 10.000 rakyat tewas. Jumlah keseluruhan pejuang yang tewas dalam Pertempuran Surabaya diperkirakan sekitar 16.000 jiwa.*
OMONGKOSONG BESAR, barangkali itulah yang segera terucap dari teman-teman pemuda atau remaja masa kini bila saya menceritakan: dalam bulan-bulan terakhir menjelang Agustus 1945 masyarakat Surabaya menjadi terbiasa menyaksikan lebih dari 30 pesawat terbang serentak menderu di langit kota yang di "jaman normal" dikenal sebagai Kota Dagang terbesar di Hindia Belanda.
Lebih dari 30 pesawat terbang tempur, antara lain pesawat bomber B-26, pesawat pemburu yang dilisankan masyarakat sebagai Yakher, hampir tiap 3 sampai 4 hari, siang atau malam, menderu dan meraung-raung di atas Surabaya. Tawon-tawon raksasa ini hanya sekitar 10 sampai 20 menit di sana, tetapi sebelum mereka menghilang di kegelapan malam, terlebih dulu mereka menyebar maut dengan bom-bom yang dijatuhkan di tempat-tempat yang diperkirakan menjadi basis pertahanan balatentara Nippon yang sudah hampir lebih dari 3 tahun bercokol di Nusantara ini.
Serangan-serangan udara pesawat-pesawat tempur itulah salah satu prolog yang dibuat tentara Sekutu sebelum mereka mendaratkan 6.000 pasukannya di pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, mulai 25 Oktober 1945, 2 bulan sesudah Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Serangan udara itu juga merupakan prolog mengapa pertempuran 10 November 1945 dikenang sebagai peristiwa dahsyat.
Sungguh, memang sulit dipercaya bagi masyarakat sekarang ketika membayangkan kembali betapa gegap gempitanya bila di sepotong langit serentak menampak puluhan pesawat terbang yang garang mengancamkan maut. Fantastik, dalam film kejadian seperti itu, kalaupun ada, tentu akan dianggap berlebihan. Tetapi saya yakin, orang-orang tua Surabaya yang setua saya, yang waktu itu masih berumur di atas 8 tahun tentulah masih ingat bahwa peristiwa memang luar biasa seperti mimpi yang difilmkan.
Demikian sepotong penuturan Subegjo, 64 tahun, kepada Suara Karya dalam wawancara kecil di rumahnya, Kaliasin Pompa, Surabaya awal November yang lalu. Ia seorang pensiunan pegawai Rumah Sakit Umum Purwokerto yang sebelum "jaman rasionalisasi" sempat berpangkat Letnan Satu Angkatan Laut di Surabaya.
Subegjo bukan termasuk seorang dari sekian tokoh terkenal pelaku Pertempuran 10 November 1945. Dengan rendah hati ia bertutur, di awal Perang Kemerdekaan itu ia hanya satu dari ribuan pemuda yang tergabung dalam BKR Laut di Surabaya setelah beberapa bulan sebelumnya Subegjo termasuk "calon wurung Heiho" (calon yang gagal menjadi Heiho dalam ketentaraan penjajah Jepang waktu itu).
Bukan hanya tentang serangan udara Sekutu yang setiap saat menyebar maut di Surabaya, tetapi saya curiga, jangan-jangan masyarakat masa kini yang masih terhitung remaja atau pemuda hanya setengah percaya terhadap pertempuran yang terjadi ketika angkatan saya bergerilya atau terlibat pertempuran melawan Belanda hanya dengan bambu runcing atau golok, tombak, keris atau senapan bekas seadanya.
Fantastik
"Saya pun kadang ragu, benarkah masyarakat masa kini mempercayai bahwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya itu pernah ada, benar-benar terjadi," sambung Subegjo sambil tertawa kecil.
"Bukan lantaran faktor usia, juga bukan lantaran alasan politis, juga bukan lantaran mereka sudah modern maka mereka menjadi ogah percaya. Tidak. Tetapi karena bila peristiwa 10 November 1945, yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan, diceritakan ulang dengan cara yang sejujur-jujurnya akan nyata terkesan bahwa pertempuran itu sangat luar biasa seru, fantastik," katanya lagi.
Contoh yang paling populer adalah pertempuran di depan Gedung Internatio dekat Jembatan Merah, Surabaya, 30 Oktober 1945. Saat itu saya bersama teman-teman, antara lain Pak Marhab (almarhum, dengan pangkat terakhir Kolonel TNI-AD) terlibat tembak-menembak seru dengan tentara Belanda yang terkepung di dalam gedung itu.
Demikian Subegjo mengenang, lalu katanya lagi: waktu itu saya hanya mengenakan celana komprang (celana kolor panjang) sambil menggenggam tombak milik paklik (paman) Soepono dari Gang Temenggungan I nomor 20, dekat Bubutan, tempat selama masa itu saya tinggal.
Petang itu pertempuran benar-benar gegap gempita. Pak Marhab yang berada di sebelah saya, yang berulang-ulang menembakkan senapan yang dirampasnya dari Jepang dua minggu sebelumnya, tiba-tiba teraduh-aduh karena bahu kirinya diserempet peluru. Orang yang tinggi besar ini, yang sebelumnya adalah Heiho dalam resimen tentara Dai Nippon anti-serangan udara, terguling-guling di got tempat kami menebar diri sambil tiarap.
Saya dan teman-teman waktu itu sama sekali tak tahu, bahwa dalam pertempuran yang seru ini seorang penggede tentara Sekutu tewas.Yang kami jelas saksikan hanyalah satu mobil Sekutu meledak. Belakangan, selang 2 hari sesudah itu, baru kami mengetahui bahwa di dalam mobil yang meledak terdapat Jenderal Sekutu, Mallaby. Dan ketika kami baru mengetahui bahwa pertempuran di depan Gedung Internatio dan sepanjang Jembatan Merah telah menewaskan seorang jenderal Sekutu, maka teman-teman yang ber-"markas" di Alun-alun Conthong bersorak-sorak.
Saya tak bisa membayangkan, kalau saja pada saat pertempuran itu terjadi teman-teman mengetahui bahwa seorang Sekutu tewas, maka pastilah teman-teman yang jumlahnya ratusan itu berapi-api menyerbut ke Gedung Internatio. Korban pasti akan lebih banyak, tetapi belakangan saya bayangkan, gedung itu pasti berhasil direbut teman-teman karena gembira, semangat dan kenekatannya.
"Sungguh, Mas," katanya meyakinkan Suara Karya, "pertempuran itu edan-edanan (gila-gilaan), tanpa pola, tanpa komando, nyaris seperti tawuran antarkampung yang luar biasa seru. Jika pun orang sekarang memfilmkannya dengan cara yang jujur, sesuai dengan kenyataan waktu itu, rasanya penonton pun akan merasa aneh, berlebihan, seperti omong kosong belaka. Sampai sekarang bila saya tiba-tiba tercenung karena mendengar lagu iringan mengheningkan cipta, saya kembali mengenang peristiwa itu seakan dalam mimpi saja."
Meriam Gatotkoco
Subegjo lebih jauh mengenangkan kembali pertempuran-pertempuran berikutnya di Surabaya. Dia menyebut-nyebut meriam Gatotkoco yang dibanggakan Arek-arek Suroboyo. Meriam ini, kata Subegjo, tiap saat menjelang Magrib mulai berdentum. Suara pelurunya menderu seakan suara kereta api yang lewat di atas kota Surabaya. Dalam beberapa menit kemudian akan terdengar dentuman yang lamat-lamat terdengar. Ini pertanda bahwa peluru Gatotkoco sudah sampai ke sasaran, konon sekitar pelabuhan Tanjungperak.
Subegjo juga mengenangkan betapa tentara Ghurka, India, yang tergabung dalam tentara Sekutu dikenal sebagai penembak-penembak jitu. Dia pun termasuk orang yang mengagumi suara Bung Tomo yang dikenal sebagai "Geledek". Beberapa kali ia menyebut nama teman-temannya masa itu yang gugur tak sempat dikubur, antara lain Oce Sapakua, Rene Tampubolon, Munawar, Guritno, Ong Kebi, dan Sulawas serta Tabrani pemuda Samarinda. Ketujuh teman-teman itu, kata Subegjo, tewas terbakar di pabrik cat Ngagel bersama belasan Ghurka dan tentara Inggris yang terjebak hadangan laskar rakyat pada pertengahan November 1945.
"Saya ingat benar. Hari itu Jumat Pahing walaupun saya lupa tanggalnya. Bung Imron, anak Pesapen, sudah lama almarhum, menjadi cacat seumur hidup akibat tangan dan punggungnya tertumpahi cairan cat yang muncrat terbakar dalam pertempuran di Ngagel ini," kata Subegjo terbata-bata.
Bila Rakyat Ditindas
Bagi Subegjo, 10 November 1945 layak diperingati tiap tahun karena pertempuran itu bukan saja luar biasa, tetapi juga merupakan cerminan betapa kemerdekaan itu besar maknanya bagi masyarakat yang terlalu lama ditindas, diintimidasi, diremehkan, dibinatangkan seperti apa yang pernah rakyat alami ketika tentara Dai Nippon merasa diri paling jagoan di Asia Timur Raya. Atau seperti Belanda maupun Inggris yang dengan congkaknya sebagai "pemenang Perang Dunia II" mendarat di Tangjungperak di tahun 1945 itu.
"Terus terang," kata Subegjo, "sekarang saya sering ngelus dodo bila mendengar banyak orang gedean, saudagar maupun rakyat biasa, terlebih pemuda dan remaja, tega meremehkan momen mengheningkan cipta, ogah-ogahan mengibarkan Sang Saka Merah Putih di hari-hari bersejarah. Apa lagi bila saya mendengar orang berkhianat lewat korupsi, kolusi, dan sebagainya. Kayaknya kemerdekaan yang kita kenyam sekarang ini begitu gampang kita peroleh. Diperoleh dari mengemis kepada bangsa lain."
Kalau 17 Agustus adalah hari saat kita bergembira dan bersyukur, maka 10 November sebaiknya dijadikan hari saat kita merenungkan kembali keberadaan kita di Republik ini. Sepuluh November layak menjadi hari permenungan, saat kita berkontemplasi, mengendapkan hati dan jiwa serta bertanya: benarkah apa yang sudah saya berikan kepada Republik ini merupakan pengorbanan, kewajiban, ataukah sekadar pancingan agar kita dapat memperoleh keuntungan pribadi karena kita merasa diri sebagai bagian dari anak-turun Pahlawan?
Demikian Subegjo mengemukakan pendapatnya ketika kepadanya ditanya apa makna Hari Pahlawan bagi dirinya maupun bagi bangsanya. Ia kini mengaku bahagia dan bersyukur karena anaknya yang hanya 4 orang sudah "jadi" semua. Kalau bukan karena kemerdekaan, kalau bukan karena rasa kebangsaan, kesatuan dan persatuan, mana mungkin anak-anak saya dapat mengenyam pendidikan tinggi dan berhasil dalam perjalanan hidupnya? tanya Subegjo yang tak memerlukan jawab. (Tri/KF-7/R-2)
Berlanjut Besok
Komentar
Posting Komentar