Langsung ke konten utama

Saat-saat yang Tepat Merenung Makna Perjuangan

Apa yang dialami oleh Subegjo pada 30 Oktober 1945 di depan Gedung Internatio Surabaya (Suara Karya, 10/11), juga dialami oleh Moedjali (70 th, Kolonel Purn, yang kini sudah Haji), Oesman Bahrawi (76 th) dan Ali Bari (67 th). Mereka bertiga secara terpisah masing-masing mengungkapkan pengalamannya 49 tahun yang lalu kepada Suara Karya awal pekan ini di Surabaya.

Sebagaimana halnya Subegjo, ketiga pejuang yang kini sudah menikmati masa tuanya merasa bahwa 10 November selalu membangkitkan semangatnya untuk hidup lebih tangguh dan optimis.

Orang-orang setua saya dan pernah merasakan kobaran api 10 November 1945 tak lagi memiliki ambisi lebih tinggi kecuali kelak ketika saya meninggalkan dunia ini, tidak membebani anak-cucu dengan atribut-atribut kontroversial dan berbau kemunafikan karena di dekat akhir hidup saya melakukan tindak korupsi, kolusi, aji mumpung, dan berbangga-bangga merasa diri pejuang. Demikian cetus salah seorang dari ketiga pelaku dan saksi 10 November 1945.

Pertempuran di depan Internatio umpamanya, kata orang tua itu, memberi pelajaran berharga bagi kita semua: betapapun lemahnya keadaan dan posisi suatu masyarakat, kalau mereka memiliki tekad dan rasa kebersamaan, senasib serta bersatu maka ancaman yang bagaimana pun besarnya pasti teratasi. Dan jangan lupa, kita harus tahu batas serta waktu karena pada akhirnya Allah jualah yang menentukan akhir perjuangan itu.

Dalam kaitan itulah mereka bertiga, secara terpisah sama-sama berharap agar di zaman pembangunan ini jangan seorang pun "lupa daratan". Eling. Mengapa? Karena betapapun kecilnya kebahagiaan yang kini kita kenyam, adalah hasil perjuangan para syuhada, para pendahulu kita.

Pertempuran yang terjadi di depan Gedung Internatio, di sekitar Jembatan Merah, khususnya yang terjadi serentak pada 10 November 1945, mereka nilai sebagai pertempuran yang terbesar dari seluruh pertempuran yang terjadi di masa Perang Kemerdekaan antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949.

Mengingat detail peristiwa-peristiwa November 45, nama Residen Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Muhammad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Roeslan Abdulgani, TD Kundan, Pak Surio, Bung Tomo adalah beberapa dari sekian banyak nama lagi yang tak bisa dipungkiri sebagai pendorong perjuangan dan kegigihan perlawanan terhadap penjajah Belanda di berbagai daerah dan wilayah dalam bulan-bulan sesudah 10 November 1945.

Hari-hari dan bulan-bulan sesudah November di Viaduct, Jembatan Merah, depan Gedung Internatio, Alun-Alun Contong, Ngagel, Darmo, Gunung Sahari dan tempat-tempat lain dalam Kota Surabaya, maka pertempuran pun merembet ke daerah-daerah lain di Jawa Timur.

Dalam keadaan yang sudah berubah dari pertempuran frontal ke pertempuran gerilya, tidak hanya sekuen-sekuen tragis yang terjadi. Saat-saat yang lucu, mengesalkan, dan kadang mirip sandiwara pun bisa muncul di tengah ketakutan akan datangnya maut yang tiba-tiba. Apa yang diceritakan oleh Haji Muhammad Fuad kepada Suara Karya berikut ini adalah pengalaman-pengalaman pribadi yang terjadi antara tahun 1946 sampai dengan 1949.

Juni tahun 1946, Garis pertahanan Japanan - Gempol.

Karena rasa kurang puas dengan jatah makanan yang dikirim dari dapur yang berada di satu desa antara Pandaan - Japanan, sekitar Mojokerto, maka rekan-rekan TRIP dalam waktu senggang jika tidak sedang dalam "Stelling" atau patroli, kami biasanya keluyuran "berburu ayam kampung". Biasanya dalam kelompok dua atau tiga orang.

Daerah favorit berburu ayam kampung ini justru "di daerah tak bertuan" yang waktu itu kita sebut "niemansland", ialah kampung yang terletak di sebelah utara jalan Japanan - Watukosek - Mojokerto.

Kampung tersebut memang ideal untuk berburu karena ayam kampungnya banyak sekali dan pemiliknya sudah mengungsi. Hanya sayangnya serdadu-serdadu Belanda juga ikut-ikutan keranjingan berburu ayam kampug di daerah tersebut, sehingga dalam beberapa kejadian bisa terjadi kontak senjata ala cowboy antara kita dengan mereka secara individual sewaktu secara tidak terduga terjadi perjumpaan mendadak antara kita dengan mereka. Karena mengalami hal-hal yang kurang nyaman tersebut maka akhirnya saya ganti berburu ayam kampung sendirian di belakang garis pertahanan, meskipun tidak banyak lagi ayam kampung yang tampak berkeliaran.

"Pucuk dicinta ulam tiba" begitu kata pepatah. Suatu saat tampak oleh saya satu peti besar dengan tutup di atas berbingkai besi dan diberi kawat kasa yang tampak kokoh. "Waar het hart van vol is, loopt de mond van over", apa yang penuh di hati itulah yang terucap di mulut. "Lhaaa ... ini mesti kandang ayam," kata saya sambil menyelempangkan senapan steyer di punggung.

Dengan sigap tangan kiri saya membuka penutup peti dan tangan kanan saya siap menyelonong ke dalam peti untuk menangkap ayam yang ada di dalamnya.

Brrrt ... terasa ada yang menggigit ujung lengan baju tangan kiri saya. Ternyata yang menyambar ujung lengan baju saya yang kiri tak lain adalah seekor ular phyton yang besar, melingkar di dalam peti tersebut.

Tangan kanan saya cepat-cepat menghentakkan tutup peti keras-keras. Pada saat yang sama saya menarik tangan kiri yang masih memegangi tutup peti tersebut. Bingkai tutup peti yang terbuat dari besi itu sempat menggencet ujung moncong ular phyton yang kemudian cepat-cepat menarik kepalanya lalu mengambil sikap siap mematuk, seperti ular cobra.

Untuk sesaat saya berdiri mematung dengan hati berdebar-debar, lalu pelan-pelan saya lepaskan senapan karabyn dari punggung saya. Lalu saya buka kunci pelatuknya, saya bidikkan ke kepala sang phyton dan ... dorrr, saya tembak hancur kepalanya.

Dengan perasaan yang tidak keruan, terkejut, gembira, gusar, dan menyesal bercampur baur menjadi satu, saya kembali ke markas komando dengan berlari-lari kecil. Untung saja, ya untung saja, kalau tidak, mungkin saat ini saya sudah lama tak bisa menulis kisah kecil ini, jadi almarhum dililit sang phyton sehingga remuk seperti bergedel lalu ditelannya. Dan tak seorang pun bisa menemukan di mana gerangan "TRIPPER sontoloyo" yang seorang ini.

Jombang, Februari 1949, Jam 02.00.

Peleton Sulaman menyusup masuk Kota Jombang dan berhasil menggelar peletonnya di dalam pasar di pusat pertokoan Kota Jombang. Mereka siap menyerang sarang senapan mesin di mulut jembatan yang hanya berjarak kurang lebih 50 meter. 

Rencana penyerangan pada jam 04.00, disinkronkan dengan serangan "Mobrig" pada kubu Belanda yang di Kebonrojo.

Semua berjalan sesuai rencana. Kecuali satu hal, ialah bahwa pasar yang di malam hari dipastikan dalam keadaan kosong, ternyata penuh berisi orang, laki-laki tua, perempuan-perempuan tua, ibu-ibu bahkan bayi-bayi. Waktu saya tanya, mereka adalah pengungsi-pengungsi yang hendak kembali ke Surabaya.

Keadaan yang di luar perhitungan itu sangat menyulitkan kami. Kalau kami jadi menyerang sarang senapan mesin, tentu akan terjadi tembak-menembak yang sangat sengit, dan Belanda akan menembaki los-los pasar dengan senapan mesinnya secara membabi-buta. Para pengungsi itu, termasuk anak-anak dan bayi-bayi akan menjadi korban.

Akhirnya kami putuskan untuk membatalkan serangan tersebut dan peleton pindah ikut menyerang Kebonrojo saja. Untuk itu peleton harus dipindah ke seberang jalan dan masuk ke jalan yang memotong jalan raya Jombang - Surabaya tepat di depan pasar. Agar tidak diketahui oleh tentara Belanda yang ada di dalam sarang senapan mesin, maka penyeberang jalan diatur bergantian.

Semua berjalan mulus, sampai yang terakhir giliran saya untuk menyeberang. Nah, di saat itu tepat di tengah-tengah jalan terdengar suara berdentang. Rupa-rupanya senapan salah seorang dari penyeberang di depan saya terbentur tiang telepon di trotoar.

Dan, byaaar ... seberkas sinar lampu sorot yang sangat terang menyilaukan memancar tepat mengenai saya.

Hati saya terkesiap karena terkejut berat. Saya pun tegak berdiri. Diam seperti patung dengan dua kaki pasang kuda-kuda dan kedua tangan memegang senapan dalam posisi siap tembak, tetapi tidak mungkin bisa mengenali sasaran karena kedua mata saya silau oleh sinar lampu sorot. Saya bagaikan pemain pantomim di bawah sinar cahaya spotlight di atas pentas.

Tentunya sebentar lagi akan menyusul rentetan tembakan senapan mesin dan saya tergeletak "dedel-duwel" bermandi darah di tengah jalan di tengah Kota Jombang. Tetapi yang terjadi ternyata tidak demikian. Mendadak lampu sorot serdadu Belanda itu dimatikan, di saat itulah saya serta-merta lari ke depan toko. Tampak kilatan lampu senter (flash light), dan remang-remang kelihatan seorang serdadu Belanda keluar dari dalam sarang senapan mesin menuju ke arah tempat saya berdiri menempel di dinding toko. Tetapi cahaya flash light untungnya tidak diarahkan kepada saya, tetapi ke tengah jalan. Belanda itu kemudian berhenti berjalan dan berdiri di trotoar tidak jauh dari tempat saya berdiri, tetapi menghadap ke arah pasar sambil memain-mainkan cahaya flash light-nya ke arah pasar. Rupa-rupanya dia puas dan tidak menemukan sesuatu apa pun yang mencurigakan, lalu sambil bergumam dia berjalan kembali ke arah sarang senapan mesin.

Kesempatan lengah tersebut tidak saya sia-siakan, lalu saya lari menyusul rekan-rekan yang mulai bergerak ke selatan ke arah alun-alun. Mereka memaki-maki saya, terutama sdr. Idong Aryono yang memegang mitraliur Lewis tidak berhenti-hentinya memaki saya, karena memang saya seharusnya menempel pada dia seperti perangko karena saya adalah penembak pelindung yang harus selalu melindungi dia.

Blimbing April 1949, jam 10.00 pagi.

Peleton Sulaman bergerak meninggalkan Blimbing, bergerak ke arah timur untuk "menyambut" tentara Belanda yang diperkirakan akan datang dari Ngoro menyerang Blimbing dari arah timur.

Belum lama berjalan, sekira di sebelah selatan Sekolah Dasar Negeri Blimbing, kami berpapasan dengan segerombolan orang, lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak berbondong-bondong lari dari timur menuju barat, arah ke Blimbing. Mereka tampak ketakutan, tergopoh-gopoh sambil berteriak, "Belanda .... Belanda!!!"

Setelah semua mereka lewat, tampaklah di depan kami "tamu-tamu" yang akan kami sambut, kurang lebih satu peleton tentara Belanda!

Head on Colission! Dan terjadilah "perang tawuran" tanpa pola tempur yang jelas di tengah jalan. Untunglah antara sebentar terjadi polarisasi tanpa musyawarah dan mufakat. Tentara Belanda berlarian ke sebelah selatan, atau dari sudut pandang mereka, ke sebelah kiri jalan, kami pun lari ke sebelah utara jalan menuju gedung sekolah SD. Dari sudut pandang kami, berarti kami juga bergerak ke kiri. Rupanya aturan lalu-lintas "links houden" secara tidak sengaja telah kami terapkan di dalam "vuurcontact" sebagai sarapan pagi hari itu.

Langkah berikutnya yang perlu diambil adalah ke arah mana kami terus "hengkang" alias mundur teratur atau jelasnya lari "tinggal gelanggang colong playu", karena kami yakin, seyakin-yakinnya Belanda pasti tidak hanya satu peleton saja. Pengalaman selama di Palagan, Jombang selatan, menunjukkan kalau menyerang, Belanda pasti mengerahkan pasukan dalam jumlah besar; minimum satu kompi, bahkan sering dalam satuan batalyon.

Untuk menentukan manuver yang lihai dan tepat, maka kami mulai menghitung neptu (hari pasaran dalam kalender Jawa), hari apa, neptu-nya berapa, dan seterusnya. Alhasil kami mundur ke arah barat laut. Saya sekali lagi sebagai mitralieur dekking pengawal senapan mesin menempel pada mitralieur schutter sdr. Jiwo (alm) dan mitralieur helper sdr. Suyoso.

Setelah semua mundur, baru mitralieur-nya "madal pasilan", ikut mundur. Saya pun lari mengekor Jiwo dan Suyoso.

Peleton kemudian menyeberangi kanal irigasi melalui "wot ogal agil" berupa beberapa rel kereta api yang direntangkan di atas kedua tanggul kanal irigasi terletak kurang lebih 75 meter di sebelah utara jembatan yang sesungguhnya.

Semua berjalan mulus. Jiwo dan Yoso menyeberangi kanal irigasi, lalu saya pun ikut menyeberang. Tepat di tengah-tengah saya menengok ke arah selatan. Astaga, saya lihat di atas jembatan tampak sekerumunan serdadu-serdadu Belanda bertolak pinggang sambil tertawa terbahak-bahak.

Di antara kerumunan tentara Belanda saya lihat Mas Hasan, penjual sate-gule di dekat jembatan dengan dua orang istrinya yang cantik-cantik dan seorang serdadu Belanda membidikkan senapannya ke arah saya!!!

Saya merasa seperti orang yang sedang dihipnotis, diam berdiri di atas "wot ogal agil" (titian) sambil tertegun-tegun melihat ke arah serdadu Belanda yang akan menembak saya. Lalu terjadilah hal yang aneh. Serdadu Belanda tersebut menurunkan senapannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pada kesempatan inilah saya cepat-cepat lari dan menghambur di antara tanaman padi yang sedang menguning dan terus lari ke barat menuju ke Klepek, menyusul teman-teman yang sudah jauh meninggalkan saya.

Sore hari kami mendapat kepastian bahwa Belanda terus bergerak ke arah utara, menuju Jombang. Kami kembali ke Blimbing sore itu juga, dan ngandok (jajan) di warung sate-gulenya Mas Hasan. Kedua istri Mas Hasan berkali-kali menepuk punggung saya sambil berkata, "Slamet, dik, slamet, untung sekali kamu, dik. Sekarang makan gule sama sate sak kenyangmu, gak usah bayar."

Saya heran ada kata "nggak usah bayar", karena biasanya kalau makan gule dan sate memang saya tidak pernah bayar, gratis. Mas Hasan dan kedua istrinya tidak pernah membolehkan saya membayarnya. Yang terasa agak lain mungkin kata-kata "sak kenyangmu" itu, karena biasanya terbatas 1 porsi nasi putih plus 1 porsi gule kambing dan 10 tusuk sate kambing. Juga saya lihat ternyata tidak hanya daging tetapi ada sate hati.

Saya pun bertanya, "Memangnya ada apa sih, mas?" Mas Hasan menjawab, "Dik Fuadi tadi kan sudah dibidik sama serdadu Belanda waktu menyeberangi kanal, eee, tidak jadi, senapannya diturunkan sambil dia geleng-geleng kepala dan berkata, kasihan, masih anak kecil." Kedua istri Mas Hasan tertawa terus sambil mengusap-usap punggung saya.

Di dalam hati saya memaki-maki karena diremehkan, dianggap anak kecil, meskipun diam-diam saya dapat membenarkan apa yang mereka katakan tentang diri saya. Maklum, berat badan saya waktu itu kurang dari 50 kg!!! Dan hari itu sekali lagi saya telah lolos dari terkaman "El Maut".

Mei tahun 1949.

Hari Jum'at tengah hari di Desa Kedungturi Blimbing, Jombang Selatan. Kami berenam jongkok berjajar di selokan dengan hati berdebar-debar. Menghadap ke utara, berjajar dari timur ke barat, berturut-turut dari timur Sukarno, Poniman, Darmo, jembatan desa selebar kurang lebih 4 meter memisahkan Darmo dengan saya, kemudian di sebelah kiri saya Gandu Arif lalu Toemintoro (sekarang beralih nama menjadi Hoetomo). Tiba-tiba beberapa granat tangan berletusan kemudian disusul dengan tembakan brengun dan stengun

Pada saat itulah kami serentak berdiri untuk membalas tembakan tentara Belanda. Waktu itu saya lihat Darmo menembak seorang tentara Belanda yang berada beberapa meter di depan saya sehingga pangkal lengan kanannya hancur dan pistol yang digenggam Belanda itu pun jatuh.

Dari sebelah kanan terdengar teriakan sangat keras, "Cuki mae!" dan tampak tiga orang serdadu "Belanda hitam" menancapkan senapan berbayonetnya di perut Darmo, Poniman, dan Soekarno. Lalu serentetan tembakan brengun menggelegar terdengar beberapa meter di depan saya, dan desingan peluru di sekitar saya bersahut-sahutan. Tampak seorang serdadu "Belanda hitam" menembakkan brengun-nya ke arah saya.

Sungguh suatu keajaiban. Tembakan dari jarak yang begitu dekat, tidak satu butir peluru pun yang mengenai tubuh saya. Tiba-tiba tembakan brengun berhenti. Saya lihat si tentara Belanda tersebut masih mengacung-acungkan brengun-nya ke arah saya dengan bernafsu, kemudian memaki "Cuki mae" sambil berusaha merebut "houder bak" peluru brengun-nya.

Kesempatan sekilas itu saya gunakan untuk me"ngokang" senapan "Springfield USA" saya. Rupanya "si cuki mae" menyadari kalau dia masih harus memasang houder-bak peluru yang baru, pasti kalah cepat dengan saya. Tiba-tiba sesuatu yang tidak saya duga terjadi. "Si Cuki mae" menimpuk saya dengan houder-bak kosong lewat di atas kepala saya dan terdengar tersangkut di rumpun bambu yang ada di belakang saya.

Dengan cepat saya bersama-sama Gandu Arif dan Toemintoro lari menghindar ke arah barat tetapi segera kami bertiga terhenti karena ternyata di sebelah barat tampak datang berduyun-duyun tentara Belanda. Kembali ke tempat semula tidak mungkin karena sudah ditempati tentara Belanda, mundur ke arah selatan juga tidak mungkin karena terhadang oleh serentetan rumpun bambu berduri yang sangat lebat. Akhirnya kami bertiga menyuruk di rumpun tanaman keladi yang lebat sejauh hanya kurang lebih 10 meter dari jembatan desa.

Tampak "si Belanda Hitam" yang penasaran melempari saya dengan houder-bak kosong tadi, berjongkok sambil mengacungkan brengun-nya ke arah kolong jembatan desa, lalu berteriak, "Ayo keluar lu anjing dari kolong." Karena yang tadi berdiri di dekat jembatan itu saya, teriakannya tentu ditujukan kepada saya yang dikira bersembunyi masuk di bawah kolong jembatan. Meskipun saya merasa himbauannya tersebut tertuju pada saya, tentulah Anda dapat mengerti kalau saya pada saat tersebut tidak menanggapi seruannya. Dan tidak lama kemudian terdengar menggelegar serentetan tembakan brengun dilepaskan oleh sang sinyo hitam tersebut.

Semula saya memang punya niat bersembunyi di kolong jembatan. Untung tidak jadi. Kalau jadi mendekam di kolong jembatan desa itu, tidak tahulah saya, apa jadinya dengan pantat saya.

Setelah tentara Belanda pergi meninggalkan Desa Kedungturi, barulah saya, Gandu Arif dan Toemintoro mengurus jenasah Darmo, Karno, dan Poniman. Dengan bantuan penduduk, jenasah ketiga rekan yang telah gugur tersebut kami makamkan di kuburan umum Desa Plemahan, tidak jauh dari Desa Kedungturi, dengan upacara militer sederhana, tanpa salvo.

Hanya karena perubahan niat sekilas, masuk ke kolong jembatan saya batalkan, saya telah terhindar dari "El Maut" hari itu. Siapakah yang dalam waktu sekilas itu telah mengubah keinginan hati saya sehingga tidak jadi masuk ke kolong jembatan? Dia Yang Maha Agung lah yang mengetahui.*

(Tri/KF-7/R-2)



Sumber: Suara Karya, 11 November 1994



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...