Apa yang dialami oleh Subegjo pada 30 Oktober 1945 di depan Gedung Internatio Surabaya (Suara Karya, 10/11), juga dialami oleh Moedjali (70 th, Kolonel Purn, yang kini sudah Haji), Oesman Bahrawi (76 th) dan Ali Bari (67 th). Mereka bertiga secara terpisah masing-masing mengungkapkan pengalamannya 49 tahun yang lalu kepada Suara Karya awal pekan ini di Surabaya.
Sebagaimana halnya Subegjo, ketiga pejuang yang kini sudah menikmati masa tuanya merasa bahwa 10 November selalu membangkitkan semangatnya untuk hidup lebih tangguh dan optimis.
Orang-orang setua saya dan pernah merasakan kobaran api 10 November 1945 tak lagi memiliki ambisi lebih tinggi kecuali kelak ketika saya meninggalkan dunia ini, tidak membebani anak-cucu dengan atribut-atribut kontroversial dan berbau kemunafikan karena di dekat akhir hidup saya melakukan tindak korupsi, kolusi, aji mumpung, dan berbangga-bangga merasa diri pejuang. Demikian cetus salah seorang dari ketiga pelaku dan saksi 10 November 1945.
Pertempuran di depan Internatio umpamanya, kata orang tua itu, memberi pelajaran berharga bagi kita semua: betapapun lemahnya keadaan dan posisi suatu masyarakat, kalau mereka memiliki tekad dan rasa kebersamaan, senasib serta bersatu maka ancaman yang bagaimana pun besarnya pasti teratasi. Dan jangan lupa, kita harus tahu batas serta waktu karena pada akhirnya Allah jualah yang menentukan akhir perjuangan itu.
Dalam kaitan itulah mereka bertiga, secara terpisah sama-sama berharap agar di zaman pembangunan ini jangan seorang pun "lupa daratan". Eling. Mengapa? Karena betapapun kecilnya kebahagiaan yang kini kita kenyam, adalah hasil perjuangan para syuhada, para pendahulu kita.
Pertempuran yang terjadi di depan Gedung Internatio, di sekitar Jembatan Merah, khususnya yang terjadi serentak pada 10 November 1945, mereka nilai sebagai pertempuran yang terbesar dari seluruh pertempuran yang terjadi di masa Perang Kemerdekaan antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949.
Mengingat detail peristiwa-peristiwa November 45, nama Residen Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Muhammad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Roeslan Abdulgani, TD Kundan, Pak Surio, Bung Tomo adalah beberapa dari sekian banyak nama lagi yang tak bisa dipungkiri sebagai pendorong perjuangan dan kegigihan perlawanan terhadap penjajah Belanda di berbagai daerah dan wilayah dalam bulan-bulan sesudah 10 November 1945.
Hari-hari dan bulan-bulan sesudah November di Viaduct, Jembatan Merah, depan Gedung Internatio, Alun-Alun Contong, Ngagel, Darmo, Gunung Sahari dan tempat-tempat lain dalam Kota Surabaya, maka pertempuran pun merembet ke daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Dalam keadaan yang sudah berubah dari pertempuran frontal ke pertempuran gerilya, tidak hanya sekuen-sekuen tragis yang terjadi. Saat-saat yang lucu, mengesalkan, dan kadang mirip sandiwara pun bisa muncul di tengah ketakutan akan datangnya maut yang tiba-tiba. Apa yang diceritakan oleh Haji Muhammad Fuad kepada Suara Karya berikut ini adalah pengalaman-pengalaman pribadi yang terjadi antara tahun 1946 sampai dengan 1949.
Juni tahun 1946, Garis pertahanan Japanan - Gempol.
Karena rasa kurang puas dengan jatah makanan yang dikirim dari dapur yang berada di satu desa antara Pandaan - Japanan, sekitar Mojokerto, maka rekan-rekan TRIP dalam waktu senggang jika tidak sedang dalam "Stelling" atau patroli, kami biasanya keluyuran "berburu ayam kampung". Biasanya dalam kelompok dua atau tiga orang.
Daerah favorit berburu ayam kampung ini justru "di daerah tak bertuan" yang waktu itu kita sebut "niemansland", ialah kampung yang terletak di sebelah utara jalan Japanan - Watukosek - Mojokerto.
Kampung tersebut memang ideal untuk berburu karena ayam kampungnya banyak sekali dan pemiliknya sudah mengungsi. Hanya sayangnya serdadu-serdadu Belanda juga ikut-ikutan keranjingan berburu ayam kampug di daerah tersebut, sehingga dalam beberapa kejadian bisa terjadi kontak senjata ala cowboy antara kita dengan mereka secara individual sewaktu secara tidak terduga terjadi perjumpaan mendadak antara kita dengan mereka. Karena mengalami hal-hal yang kurang nyaman tersebut maka akhirnya saya ganti berburu ayam kampung sendirian di belakang garis pertahanan, meskipun tidak banyak lagi ayam kampung yang tampak berkeliaran.
"Pucuk dicinta ulam tiba" begitu kata pepatah. Suatu saat tampak oleh saya satu peti besar dengan tutup di atas berbingkai besi dan diberi kawat kasa yang tampak kokoh. "Waar het hart van vol is, loopt de mond van over", apa yang penuh di hati itulah yang terucap di mulut. "Lhaaa ... ini mesti kandang ayam," kata saya sambil menyelempangkan senapan steyer di punggung.
Dengan sigap tangan kiri saya membuka penutup peti dan tangan kanan saya siap menyelonong ke dalam peti untuk menangkap ayam yang ada di dalamnya.
Brrrt ... terasa ada yang menggigit ujung lengan baju tangan kiri saya. Ternyata yang menyambar ujung lengan baju saya yang kiri tak lain adalah seekor ular phyton yang besar, melingkar di dalam peti tersebut.
Tangan kanan saya cepat-cepat menghentakkan tutup peti keras-keras. Pada saat yang sama saya menarik tangan kiri yang masih memegangi tutup peti tersebut. Bingkai tutup peti yang terbuat dari besi itu sempat menggencet ujung moncong ular phyton yang kemudian cepat-cepat menarik kepalanya lalu mengambil sikap siap mematuk, seperti ular cobra.
Untuk sesaat saya berdiri mematung dengan hati berdebar-debar, lalu pelan-pelan saya lepaskan senapan karabyn dari punggung saya. Lalu saya buka kunci pelatuknya, saya bidikkan ke kepala sang phyton dan ... dorrr, saya tembak hancur kepalanya.
Dengan perasaan yang tidak keruan, terkejut, gembira, gusar, dan menyesal bercampur baur menjadi satu, saya kembali ke markas komando dengan berlari-lari kecil. Untung saja, ya untung saja, kalau tidak, mungkin saat ini saya sudah lama tak bisa menulis kisah kecil ini, jadi almarhum dililit sang phyton sehingga remuk seperti bergedel lalu ditelannya. Dan tak seorang pun bisa menemukan di mana gerangan "TRIPPER sontoloyo" yang seorang ini.
Jombang, Februari 1949, Jam 02.00.
Peleton Sulaman menyusup masuk Kota Jombang dan berhasil menggelar peletonnya di dalam pasar di pusat pertokoan Kota Jombang. Mereka siap menyerang sarang senapan mesin di mulut jembatan yang hanya berjarak kurang lebih 50 meter.
Rencana penyerangan pada jam 04.00, disinkronkan dengan serangan "Mobrig" pada kubu Belanda yang di Kebonrojo.
Semua berjalan sesuai rencana. Kecuali satu hal, ialah bahwa pasar yang di malam hari dipastikan dalam keadaan kosong, ternyata penuh berisi orang, laki-laki tua, perempuan-perempuan tua, ibu-ibu bahkan bayi-bayi. Waktu saya tanya, mereka adalah pengungsi-pengungsi yang hendak kembali ke Surabaya.
Keadaan yang di luar perhitungan itu sangat menyulitkan kami. Kalau kami jadi menyerang sarang senapan mesin, tentu akan terjadi tembak-menembak yang sangat sengit, dan Belanda akan menembaki los-los pasar dengan senapan mesinnya secara membabi-buta. Para pengungsi itu, termasuk anak-anak dan bayi-bayi akan menjadi korban.
Akhirnya kami putuskan untuk membatalkan serangan tersebut dan peleton pindah ikut menyerang Kebonrojo saja. Untuk itu peleton harus dipindah ke seberang jalan dan masuk ke jalan yang memotong jalan raya Jombang - Surabaya tepat di depan pasar. Agar tidak diketahui oleh tentara Belanda yang ada di dalam sarang senapan mesin, maka penyeberang jalan diatur bergantian.
Semua berjalan mulus, sampai yang terakhir giliran saya untuk menyeberang. Nah, di saat itu tepat di tengah-tengah jalan terdengar suara berdentang. Rupa-rupanya senapan salah seorang dari penyeberang di depan saya terbentur tiang telepon di trotoar.
Dan, byaaar ... seberkas sinar lampu sorot yang sangat terang menyilaukan memancar tepat mengenai saya.
Hati saya terkesiap karena terkejut berat. Saya pun tegak berdiri. Diam seperti patung dengan dua kaki pasang kuda-kuda dan kedua tangan memegang senapan dalam posisi siap tembak, tetapi tidak mungkin bisa mengenali sasaran karena kedua mata saya silau oleh sinar lampu sorot. Saya bagaikan pemain pantomim di bawah sinar cahaya spotlight di atas pentas.
Tentunya sebentar lagi akan menyusul rentetan tembakan senapan mesin dan saya tergeletak "dedel-duwel" bermandi darah di tengah jalan di tengah Kota Jombang. Tetapi yang terjadi ternyata tidak demikian. Mendadak lampu sorot serdadu Belanda itu dimatikan, di saat itulah saya serta-merta lari ke depan toko. Tampak kilatan lampu senter (flash light), dan remang-remang kelihatan seorang serdadu Belanda keluar dari dalam sarang senapan mesin menuju ke arah tempat saya berdiri menempel di dinding toko. Tetapi cahaya flash light untungnya tidak diarahkan kepada saya, tetapi ke tengah jalan. Belanda itu kemudian berhenti berjalan dan berdiri di trotoar tidak jauh dari tempat saya berdiri, tetapi menghadap ke arah pasar sambil memain-mainkan cahaya flash light-nya ke arah pasar. Rupa-rupanya dia puas dan tidak menemukan sesuatu apa pun yang mencurigakan, lalu sambil bergumam dia berjalan kembali ke arah sarang senapan mesin.
Kesempatan lengah tersebut tidak saya sia-siakan, lalu saya lari menyusul rekan-rekan yang mulai bergerak ke selatan ke arah alun-alun. Mereka memaki-maki saya, terutama sdr. Idong Aryono yang memegang mitraliur Lewis tidak berhenti-hentinya memaki saya, karena memang saya seharusnya menempel pada dia seperti perangko karena saya adalah penembak pelindung yang harus selalu melindungi dia.
Blimbing April 1949, jam 10.00 pagi.
Peleton Sulaman bergerak meninggalkan Blimbing, bergerak ke arah timur untuk "menyambut" tentara Belanda yang diperkirakan akan datang dari Ngoro menyerang Blimbing dari arah timur.
Belum lama berjalan, sekira di sebelah selatan Sekolah Dasar Negeri Blimbing, kami berpapasan dengan segerombolan orang, lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak berbondong-bondong lari dari timur menuju barat, arah ke Blimbing. Mereka tampak ketakutan, tergopoh-gopoh sambil berteriak, "Belanda .... Belanda!!!"
Setelah semua mereka lewat, tampaklah di depan kami "tamu-tamu" yang akan kami sambut, kurang lebih satu peleton tentara Belanda!
Head on Colission! Dan terjadilah "perang tawuran" tanpa pola tempur yang jelas di tengah jalan. Untunglah antara sebentar terjadi polarisasi tanpa musyawarah dan mufakat. Tentara Belanda berlarian ke sebelah selatan, atau dari sudut pandang mereka, ke sebelah kiri jalan, kami pun lari ke sebelah utara jalan menuju gedung sekolah SD. Dari sudut pandang kami, berarti kami juga bergerak ke kiri. Rupanya aturan lalu-lintas "links houden" secara tidak sengaja telah kami terapkan di dalam "vuurcontact" sebagai sarapan pagi hari itu.
Langkah berikutnya yang perlu diambil adalah ke arah mana kami terus "hengkang" alias mundur teratur atau jelasnya lari "tinggal gelanggang colong playu", karena kami yakin, seyakin-yakinnya Belanda pasti tidak hanya satu peleton saja. Pengalaman selama di Palagan, Jombang selatan, menunjukkan kalau menyerang, Belanda pasti mengerahkan pasukan dalam jumlah besar; minimum satu kompi, bahkan sering dalam satuan batalyon.
Untuk menentukan manuver yang lihai dan tepat, maka kami mulai menghitung neptu (hari pasaran dalam kalender Jawa), hari apa, neptu-nya berapa, dan seterusnya. Alhasil kami mundur ke arah barat laut. Saya sekali lagi sebagai mitralieur dekking pengawal senapan mesin menempel pada mitralieur schutter sdr. Jiwo (alm) dan mitralieur helper sdr. Suyoso.
Setelah semua mundur, baru mitralieur-nya "madal pasilan", ikut mundur. Saya pun lari mengekor Jiwo dan Suyoso.
Peleton kemudian menyeberangi kanal irigasi melalui "wot ogal agil" berupa beberapa rel kereta api yang direntangkan di atas kedua tanggul kanal irigasi terletak kurang lebih 75 meter di sebelah utara jembatan yang sesungguhnya.
Semua berjalan mulus. Jiwo dan Yoso menyeberangi kanal irigasi, lalu saya pun ikut menyeberang. Tepat di tengah-tengah saya menengok ke arah selatan. Astaga, saya lihat di atas jembatan tampak sekerumunan serdadu-serdadu Belanda bertolak pinggang sambil tertawa terbahak-bahak.
Di antara kerumunan tentara Belanda saya lihat Mas Hasan, penjual sate-gule di dekat jembatan dengan dua orang istrinya yang cantik-cantik dan seorang serdadu Belanda membidikkan senapannya ke arah saya!!!
Saya merasa seperti orang yang sedang dihipnotis, diam berdiri di atas "wot ogal agil" (titian) sambil tertegun-tegun melihat ke arah serdadu Belanda yang akan menembak saya. Lalu terjadilah hal yang aneh. Serdadu Belanda tersebut menurunkan senapannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pada kesempatan inilah saya cepat-cepat lari dan menghambur di antara tanaman padi yang sedang menguning dan terus lari ke barat menuju ke Klepek, menyusul teman-teman yang sudah jauh meninggalkan saya.
Sore hari kami mendapat kepastian bahwa Belanda terus bergerak ke arah utara, menuju Jombang. Kami kembali ke Blimbing sore itu juga, dan ngandok (jajan) di warung sate-gulenya Mas Hasan. Kedua istri Mas Hasan berkali-kali menepuk punggung saya sambil berkata, "Slamet, dik, slamet, untung sekali kamu, dik. Sekarang makan gule sama sate sak kenyangmu, gak usah bayar."
Saya heran ada kata "nggak usah bayar", karena biasanya kalau makan gule dan sate memang saya tidak pernah bayar, gratis. Mas Hasan dan kedua istrinya tidak pernah membolehkan saya membayarnya. Yang terasa agak lain mungkin kata-kata "sak kenyangmu" itu, karena biasanya terbatas 1 porsi nasi putih plus 1 porsi gule kambing dan 10 tusuk sate kambing. Juga saya lihat ternyata tidak hanya daging tetapi ada sate hati.
Saya pun bertanya, "Memangnya ada apa sih, mas?" Mas Hasan menjawab, "Dik Fuadi tadi kan sudah dibidik sama serdadu Belanda waktu menyeberangi kanal, eee, tidak jadi, senapannya diturunkan sambil dia geleng-geleng kepala dan berkata, kasihan, masih anak kecil." Kedua istri Mas Hasan tertawa terus sambil mengusap-usap punggung saya.
Di dalam hati saya memaki-maki karena diremehkan, dianggap anak kecil, meskipun diam-diam saya dapat membenarkan apa yang mereka katakan tentang diri saya. Maklum, berat badan saya waktu itu kurang dari 50 kg!!! Dan hari itu sekali lagi saya telah lolos dari terkaman "El Maut".
Mei tahun 1949.
Hari Jum'at tengah hari di Desa Kedungturi Blimbing, Jombang Selatan. Kami berenam jongkok berjajar di selokan dengan hati berdebar-debar. Menghadap ke utara, berjajar dari timur ke barat, berturut-turut dari timur Sukarno, Poniman, Darmo, jembatan desa selebar kurang lebih 4 meter memisahkan Darmo dengan saya, kemudian di sebelah kiri saya Gandu Arif lalu Toemintoro (sekarang beralih nama menjadi Hoetomo). Tiba-tiba beberapa granat tangan berletusan kemudian disusul dengan tembakan brengun dan stengun.
Pada saat itulah kami serentak berdiri untuk membalas tembakan tentara Belanda. Waktu itu saya lihat Darmo menembak seorang tentara Belanda yang berada beberapa meter di depan saya sehingga pangkal lengan kanannya hancur dan pistol yang digenggam Belanda itu pun jatuh.
Dari sebelah kanan terdengar teriakan sangat keras, "Cuki mae!" dan tampak tiga orang serdadu "Belanda hitam" menancapkan senapan berbayonetnya di perut Darmo, Poniman, dan Soekarno. Lalu serentetan tembakan brengun menggelegar terdengar beberapa meter di depan saya, dan desingan peluru di sekitar saya bersahut-sahutan. Tampak seorang serdadu "Belanda hitam" menembakkan brengun-nya ke arah saya.
Sungguh suatu keajaiban. Tembakan dari jarak yang begitu dekat, tidak satu butir peluru pun yang mengenai tubuh saya. Tiba-tiba tembakan brengun berhenti. Saya lihat si tentara Belanda tersebut masih mengacung-acungkan brengun-nya ke arah saya dengan bernafsu, kemudian memaki "Cuki mae" sambil berusaha merebut "houder bak" peluru brengun-nya.
Kesempatan sekilas itu saya gunakan untuk me"ngokang" senapan "Springfield USA" saya. Rupanya "si cuki mae" menyadari kalau dia masih harus memasang houder-bak peluru yang baru, pasti kalah cepat dengan saya. Tiba-tiba sesuatu yang tidak saya duga terjadi. "Si Cuki mae" menimpuk saya dengan houder-bak kosong lewat di atas kepala saya dan terdengar tersangkut di rumpun bambu yang ada di belakang saya.
Dengan cepat saya bersama-sama Gandu Arif dan Toemintoro lari menghindar ke arah barat tetapi segera kami bertiga terhenti karena ternyata di sebelah barat tampak datang berduyun-duyun tentara Belanda. Kembali ke tempat semula tidak mungkin karena sudah ditempati tentara Belanda, mundur ke arah selatan juga tidak mungkin karena terhadang oleh serentetan rumpun bambu berduri yang sangat lebat. Akhirnya kami bertiga menyuruk di rumpun tanaman keladi yang lebat sejauh hanya kurang lebih 10 meter dari jembatan desa.
Tampak "si Belanda Hitam" yang penasaran melempari saya dengan houder-bak kosong tadi, berjongkok sambil mengacungkan brengun-nya ke arah kolong jembatan desa, lalu berteriak, "Ayo keluar lu anjing dari kolong." Karena yang tadi berdiri di dekat jembatan itu saya, teriakannya tentu ditujukan kepada saya yang dikira bersembunyi masuk di bawah kolong jembatan. Meskipun saya merasa himbauannya tersebut tertuju pada saya, tentulah Anda dapat mengerti kalau saya pada saat tersebut tidak menanggapi seruannya. Dan tidak lama kemudian terdengar menggelegar serentetan tembakan brengun dilepaskan oleh sang sinyo hitam tersebut.
Semula saya memang punya niat bersembunyi di kolong jembatan. Untung tidak jadi. Kalau jadi mendekam di kolong jembatan desa itu, tidak tahulah saya, apa jadinya dengan pantat saya.
Setelah tentara Belanda pergi meninggalkan Desa Kedungturi, barulah saya, Gandu Arif dan Toemintoro mengurus jenasah Darmo, Karno, dan Poniman. Dengan bantuan penduduk, jenasah ketiga rekan yang telah gugur tersebut kami makamkan di kuburan umum Desa Plemahan, tidak jauh dari Desa Kedungturi, dengan upacara militer sederhana, tanpa salvo.
Hanya karena perubahan niat sekilas, masuk ke kolong jembatan saya batalkan, saya telah terhindar dari "El Maut" hari itu. Siapakah yang dalam waktu sekilas itu telah mengubah keinginan hati saya sehingga tidak jadi masuk ke kolong jembatan? Dia Yang Maha Agung lah yang mengetahui.*
(Tri/KF-7/R-2)
Sumber: Suara Karya, 11 November 1994
Komentar
Posting Komentar