Langsung ke konten utama

Mengamati Penggenerasian Pemuda Indonesia

Oleh : BABARI

CSIS


APA bila kita mengamati fakta-fakta sejarah mulai dari masa pergerakan nasional hingga saat ini dari segi generasi muda sebagai pelaku sejarah, maka terlihat tonggak-tonggak periodisasinya sebagai berikut: generasi muda 1908, 1928, 1945, dan 1966. Dalam sejarah kata generasi seringkali dipakai bersama-sama atau bergantian dengan kata angkatan yang salah satu kriteria penentunya adalah kesebayaan dalam usia dan kebersamaan dalam peranan sebagai pelaku sejarah pada masanya serta cita-cita bersama yang ingin dicapai.

Dari tonggak-tonggak generasi itu terlihat bahwa rata-rata setiap 20 tahun bangsa Indonesia mengalami pergantian generasi. Apabila kenyataan itu tidak merupakan suatu kebetulan sejarah semata, maka dalam dasawarsa 80-an ini secara alamiah akan terjadi pergantian generasi.

Setiap generasi memiliki nilai, tantangan, dan jawaban terhadap tantangan itu sendiri-sendiri. Nilai diartikan sebagai hal yang dianggap penting dan berharga baik secara individual ataupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok masyarakat yang menjiwai dan mendorong motivasi generasi itu dalam menghadapi tantangan dan memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan itu. Setiap generasi itu telah menghadapi tantangan jamannya dan memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan itu sehingga menghasilkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik dari kehidupan masyarakat bangsanya.

Generasi 1908

Generasi 1908 dipelopori oleh pemuda-pelajar School tot opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Generasi ini mulai bergerak dalam bentuk organisasi modern seperti perhimpunan Budi Utomo dan kemudian Indische Partij. Tantangan yang mereka hadapi adalah penjajahan yang selalu menjalankan penindasan di bidang politik pemerasan di bidang ekonomi dan menghancurkan budaya bangsa terjajah. Kebijaksanaan ini menimbulkan penderitaan hidup dalam masyarakat bangsa terjajah. Menghadapi tantangan ini mereka mulai berusaha sungguh-sungguh melalui organisasi (BU, IP) memperluas dan meningkatkan pendidikan rakyatnya, karena hanya pada rakyat yang terdidik dapat ditanamkan rasa cinta bangsa dan tanah air tempat lahirnya. Sebagai sarana sosialisasi ide mereka pun menulis di surat-surat kabar yang ada. Dengan cara ini mereka ingin membangkitkan kesadaran berbangsa dan bertanah air di dalam masyarakat bangsanya.

Mereka juga sadar bahwa semua gerak langkah yang dilaluinya diikuti secara teliti oleh pemerintah penjajah. Semua resiko dari perbuatan telah diperhitungkan secara matang. Karena itu pada saat mereka ditangkap, dipenjarakan, ataupun diasingkan oleh pemerintah penjajah, mereka telah menerima dan menjalankan semua itu dengan rela, ikhlas, tanpa pamrih demi kepentingan tanah air dan masyarakat bangsanya. Nilai yang menonjol pada masa itu adalah kemanusiaan, yang terwujud dalam usaha yang sungguh-sungguh untuk mengangkat martabat kemanusiaan bangsanya yang masih dijajah.

Generasi 1928

Generasi 1928 dibangun bersama oleh pemuda yang tergabung dalam organisasi pemuda seperti: Yong Java, Yong Sumatra, Yong Ambon, Yong Minahasa, Pemuda Kaum Betawi, Yong Islamiten Bond, dan Himpunan Pemuda Teosofi dengan mahasiswa yang tergabung dalam studie-studie club.

Tantangan yang dihadapi oleh generasi ini adalah politik pemecahanbelahan terhadap organisasi-organisasi pergerakan nasional yang dilakukan oleh pemerintah penjajah. Sebagaimana diketahui bersama, setelah terbentuknya BU dan IP terus tumbuh dan berkembang berbagai macam bentuk organisasi pergerakan nasional termasuk di kalangan generasi muda dan wanita dengan program dan kepentingannya masing-masing. Kemudian pada tahun 1918 pemrintah penjajah membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang mulai mengikut-sertakan golongan "bumi putera" sebagai anggota. Kebijaksanaan ini juga dilihat sebagai usaha pemerintah penjajah untuk memecah belah kerukunan intern organisasi-organisasi pergerakan nasional kita. Karena anggota organisasi pergerakan yang diangkat oleh pemerintah kolonial menjadi anggota Volksraad tentu akan setia dan bekerja sama dengan pemerintah itu, sedangkan sebagian yang lain tidak.

Sebagai jawaban terhadap tantangan ini generasi muda mencetuskan SUMPAH PEMUDA pada 28 Oktober 1928. Dengan sumpah ini generasi ini telah menetapkan identitas bangsa atau melahirkan bangsa Indonesia dalam arti etnis-politis. Maksudnya wujud dari kesatuan dan persatuan bangsa, tanah air, bahasa secara formal diikrarkan. Generasi ini telah meletakkan kebersamaan yang terlihat dalam sikap saling memberi dan menerima di antara sesama organisasi muda yang dilakukan secara terbuka, jujur, dan dilandasi rasa hormat-menghormati. Mereka rela meninggalkan kedaulatan organisasinya, suku, daerah, agama, demi kesatuan dan persatuan bangsa, tanah air, dan bahasa. Mereka juga rela mengorbankan kebanggaan pada bahasa daerahnya dan menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya.

Dengan butir-butir ikrar yang ada dalam sumpah itu generasi ini meletakkan tujuan yang jelas yang harus dicapai oleh setiap organisasi pergerakan nasional kita. Ini merupakan tujuan bersama yang mengikat semua organisasi pergerakan nasional. Namun setiap organisasi pergerakan masih tetap memiliki program dan cara perjuangan/pergerakan sendiri-sendiri. Ini menunjukkan bahwa generasi ini telah menghayati semangat demokrasi dalam usahanya menumbuhkan kesatuan dan persatuan bangsa. Ini merupakan nilai yang diemban oleh generasi 1928.

Generasi 1945

Generasi 1945 juga disebut generasi pendiri/pembentuk negara bangsa dan sekaligus generasi yang membela/mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Generasi ini telah berjuang dalam perang kemerdekaan. Semboyan yang dipakai adalah: "merdeka atau mati"; "sekali merdeka tetap merdeka"; "daripada dijajah kembali lebih baik makan batu". Tantangan yang mereka hadapi adalah mempertahankan kemerdekaan bangsa yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan kedaulatan negara yang terbentuk pada 18 Agustus 1945 dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan idiil dan konstitusionalnya terhadap serbuan tentara sekutu yang ingin menjajah Indonesia lagi setelah Jepang kalah dalam perang dunia II. Dalam perang kemerdekaan ini rakyat dan tentara kita bahu-membahu berjuang bersama, sehingga ungkapan yang mengatakan bahwa ABRI berasal dari rakyat dan berjuang untuk menjamin ketertiban dan ketenteraman hidup rakyat benar-benar terbukti. Di samping itu para politisi pemimpin negara kita juga melakukan kegiatan diplomasi untuk menarik perhatian negara-negara lain terhadap "masalah Indonesia" ini.

Dengan demikian terlihat bahwa jawaban yang diberikan oleh generasi 1945 terhadap tantangan yang dihadapinya adalah berperang dan berdiplomasi. Semangat yang menjiwai perjuangan mereka adalah sepi ing pamrih rame ing gawe. Dengan semangat itu mereka telah rela berkorban demi kepentingan negara bangsanya. Seluruh jiwa raga mereka abdikan untuk kepentingan negara bangsanya. Dan pengabdian mereka itu tidak sia-sia. Mereka berhasil mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan negara bangsanya terhadap rongrongan tentara sekutu dan pemberontakan komunis di Madiun tahun 1948. Setelah 5 tahun berada dalam suasana perjuangan mempertahankan eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia, maka pada tahun 1950 (17 Agustus) generasi ini telah memenangkan perjuangan ini.

Hasil nyata dari perjuangan generasi ini selama lima tahun pertama berdirinya negara kesatuan republik Indonesia adalah mempertahankan kemerdekaan, menjaga dan memelihara kedaulatan negara, menjamin tetap tegaknya Pancasila dan UUD 1945, membina kesatuan dan persatuan bangsa, menata kemanunggalan ABRI-Rakyat sebagai satu kekuatan nasional dan meletakkan landasan politik luar negeri yang bebas-aktif. Tahun-tahun berikutnya dalam rangka perjuangan mengisi kemerdekaan yang telah dipertahankannya itu, mereka terjerumus ke dalam pertentangan antar golongan yang berdasarkan ideologi (pertentangan antar partai politik) ataupun pertentangan kepentingan (antar pusat dan daerah atau antar sipil dan militer). Suasana ini mewarnai seluruh pola kehidupan untuk satu kurun waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar 15 tahun (1950-1965). Suasana itu merupakan pengalaman pahit dalam kehidupan kenegaraan kita karena program pembangunan sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan tidak dapat dilaksanakan.

Generasi 1966

Generasi 1966 lahir dan menjadi dewasa dalam masa kemerdekaan. Mereka tidak pernah merasakan penderitaan hidup di masa penjajahan ataupun pada masa perang kemerdekaan. Mereka tidak pernah melihat langsung bagaimana para patriot bangsa gugur sebagai kusuma bangsa demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara ini. Generasi ini hidup pada masa terjadinya perubahan-perubahan sistem nasional, yaitu suatu tata kerja dan tata cara bangsa Indonesia yang menegara untuk mencapai cita-cita dan tujuan bangsanya seperti terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan itu terjadi karena pertentangan di antara partai-partai politik untuk merebut kedudukan yang tertinggi dalam pemerintahan (perdana menteri) sehingga partai yang berhasil memperolehnya dapat melaksanakan "misi suci"-nya, yaitu menerapkan azas dan program partainya ke dalam kebijaksanaan pemerintah khususnya dan masyarakat bangsa umumnya. Di masa itu setiap partai politik memiliki azasnya sendiri-sendiri seperti: marhaenisme, islamisme, komunisme, sosialisme, murbaisme, dan sebagainya yang menjadi doktrin pengikat massa pendukungnya. Untuk memperoleh massa pendukung yang besar setiap partai politik membentuk organisasi massa sebagai onderbouw-nya yang menjangkau semua segi kehidupan masyarakat. Terjadilah pengkotakan hidup dalam masyarakat yang berdasarkan ideologi partai politik masing-masing. Dan setiap partai politik selalu berusaha bilamana perlu menggantikan ideologi negara Pancasila dengan ideologi partainya. Dengan demikian kita dapat mengerti mengapa terjadi peristiwa Madiun 1948, peristiwa DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan peristiwa Daud Beureuh di Aceh, serta G30S/PKI pada tahun 1965. Kegagalan Konstituante untuk menetapkan suatu UUD yang cocok bagi bangsa Indonesia juga menjadi bukti dari pertentangan ideologi di antara partai politik itu. Akibatnya terjadi juga perubahan dalam pemerintahan yang menganut sistem kabinet Parlementer. Rata-rata usia kabinet Parlementer tidak lebih dari 1 1/2 tahun. Suasana kehidupan politik seperti ini telah membawa kemerosotan dalam semua segi kehidupan bernegara. Untuk mengatasi suasana ini presiden mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang isinya adalah menyatakan bahwa UUD 1945 dipakai kembali dan Konstituante dibubarkan dan segera membentuk kembali lembaga-lembaga tinggi negara sesuai dengan ketetapan-ketetapan yang ada dalam UUD 1945. Presiden mulai mengambil alih semua kekuasaan untuk membentuk lembaga tinggi/tertinggi negara seperti MPRS, DPRGR, DPAS sesuai dengan kemauannya sendiri.

Mulai dengan dekrit ini kita memasuki masa demokrasi terpimpin dan melepaskan demokrasi liberal. Pada masa ini PKI (Partai Komunis Indonesia) berhasil mengambil peranan penting dan mampu memaksakan konsep nasakomnya melalui presiden. Proses nasakomisasi mulai diterapkan di semua bidang kehidupan ketatanegaraan. Manipol (manifesto politik) diterima sebagai GBHN dan USDEK sebagai uraian lebih lanjutnya menjadi bahan wajib pelajaran untuk semua tingkat sekolah. Bagi masyarakat luas diberikan dalam bentuk indoktrinasi yang bahan-bahannya dikenal dengan nama Tubapi (tujuh bahan pokok indoktrinasi). Dalam suasana ini generasi '66 ini hidup, berkembang dan menjadi manusia dewasa. Sebagian dari generasi ini mengalami sendiri hidup dalam pengkotak-kotakan organisasi pemuda atau mahasiswa yang menjadi onderbouw dari salah satu kekuatan politik dengan ideologi politiknya sendiri.

Menghadapi suasana dan tantangan seperti itu generasi muda ini setelah G30S/PKI menyatukan barisan mereka dalam kesatuan-kesatuan aksi (KAMI, KAPPI, KASI) atau ikatan organisasi pemuda lainnya yang bergerak bersama ABRI untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran akibat G30S/PKI. Semboyan perjuangan mereka adalah AMPERA dan TRITURA. Namun setelah kesatuan-kesatuan aksi ini tidak berperanan lagi, para mahasiswa kembali ke kampus dan giat dalam organisasi ekstra universiternya sedangkan pemuda lainnya kembali ke organisasi induknya, dan kesetiaan tertingginya tetap diberikan kepada kelompoknya yang berdasar pada agama, suku, daerah tempat asal ataupun golongan kepentingan. Kehidupan generasi muda kita kembali ke dalam pengkotak-kotakan seperti masa sebelumnya.

Kehadiran KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) sejak 23 Juli 1973 sebagai wadah komunikasi antar organisasi pemuda yang berhasil berbicara atas nama pemuda Indonesia di forum internasional serta tercantum dalam GBHN hingga saat ini belum diterima kehadirannya oleh semua organisasi pemuda. Generasi muda masih ingin hidup dalam kotak-kotak organisasi pemuda masing-masing. Sebagai alasan mereka mengatakan bahwa negara kita memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, pasal 28 UUD 1945 membenarkan sikap mereka dan mereka adalah generasi muda yang anti pada sistem monolit dalam hal penyaluran asprasinya. Akibatnya kesatuan dan persatuan generasi muda masa kini sangat rapuh. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah sikap organisasi pemuda atau mahasiswa ekstra universiter yang hanya terbuka, jujur, saling percaya, dan hormat-menghormati dalam kelompok atau organisasinya sendiri. Kelompok atau organisasi pemuda lain di luarnya selalu dihadapi dengan sikap curiga dan tidak mempercayainya serta tertutup. Ini merupakan suatu kemunduran dalam kehidupan organisasi muda masa kini.

Padahal tantangan yang dihadapi generasi muda masa kini sama, yaitu bagaimana mengisi kemerdekaan dengan turut mengambil peranan yang konstruktif dalam pelaksanaan pembangunan nasional sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan lebih makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dapat terwujud. Selain itu masalah kesempatan kerja, rendahnya tingkat keterampilan, kepincangan ekonomi dan sosial di antara lapisan masyarakat dan daerah, pengangguran merupakan masalah nyata yang akan turut mempengaruhi hari depan mereka. Menghadapi tantangan itu seharusnya generasi muda merapatkan barisan dalam kesatuan dan persatuan yang utuh untuk bersama-sama memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan itu. Dengan cara ini generasi muda dapat menyatakan bahwa ia generasi penerus yang bertanggung jawab terhadap kelestarian hidup negara bangsa ini di masa depan.

Dengan demikian terlihat kesinambungan perjuangan generasi muda mulai dari generasi 1908 sampai dengan 1966 dan seterusnya nanti. Semuanya berada dalam satu alur, yaitu memperjuangkan, merebut, dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan negara bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu hal yang perlu menjadi renungan utama dalam memperingati hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1983 ini adalah persatuan dan kesatuan di antara sesama generasi muda. 


Sumber: Tidak diketahui, 25 Oktober 1983


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...