Langsung ke konten utama

Paradigma Baru Kebangkitan Nasional

Mursal Esten
Budayawan 
Guru Besar IKIP Padang

Kelahiran Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan organisasi-organisasi kebangsaan lainnya sesudah itu, lebih bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Diyakini bahwa rakyat yang cerdaslah yang bisa membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Usaha memerangi kebodohan itulah yang dilakukan oleh Boedi Oetomo, Syarikat Dagang Islam, Taman Siswa, Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan organisasi-organisasi kebangsaan lainnya.

Salah satu "musuh" dari usaha mencerdaskan kehidupan bangsa itu, di samping Pemerintah Kolonial Belanda, adalah feodalisme. Feodalisme inilah yang diserang oleh roman-roman Balai Pustaka, seperti Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Azab dan Sengsara, Karena Mertua, ataupun Pertemuan Jodoh. Arogansi kesukuan dan hierarki manusia berdasarkan keturunan yang menjadi ciri masyarakat feodal dikritik dengan tajam di dalam roman-roman Balai Pustaka tersebut.

Perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa dan usaha memerangi feodalisme itulah kemudian yang menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Bahwa masyarakat di nusantara ini memiliki satu Tanah Air dan merupakan satu Bangsa, yakni Indonesia. Kesadaran akan kesatuan dan persatuan yang demikian amat diperlukan di dalam perjuangan kemerdekaan (melawan Pemerintah Kolonial Belanda). Itulah paradigma yang hidup dan dikembangkan Boedi Oetomo dan organisasi-organisasi kebangsaan sejak 1908, Soempah Pemoeda 1928, dan di awal-awal kemerdekaan 1945. Paradigma yang demikian memang amat relevan bilamana dihubungkan dengan apa atau siapa yang dihadapi bangsa, yakni Pemerintah Kolonial Belanda.

Sewaktu paradigma ini tetap dikembangkan di alam kemerdekaan, ia mulai memunculkan ekses-ekses dan konflik-konflik. Ternyata Indonesia tidak hanya satu, seragam, tetapi majemuk atau beragam. Kebhinnekaan jadi terpinggirkan oleh paradigma tentang ke-eka-an. Berbagai gerakan kedaerahan dengan berbagai alasan muncul. Pemerintah Pusat memang berhasil "menumpas" pergolakan-pergolakan tersebut, namun akar permasalahannya tidak terselesaikan.

Paradigma kesatuan dan persatuan yang dikembangkan menjadi proses sentralisasi semakin kukuh. Sentralisasi tidak hanya terjadi dalam bidang politik dan pemerintahan, tetapi lebih jauh menyangkut sektor sosial dan budaya. Berbagai indoktrinasi semasa Orde Lama dan kehadiran BP7 dengan serangkaian penataran P4 semasa Orde Baru, menjadikan proses sentralisasi budaya dan hegemoni budaya tertentu menjadi dominan. Persamaan-persamaan budaya dicari dan lebih mendapat tempat. Adanya perbedaan-perbedaan dipinggirkan dan tidak mendapat kajian yang memadai. Jelas bahwa implikasi dari kebijakan seperti itu mengingkari hakikat kemajemukan bangsa. Paradigma kesatuan dan persatuan yang demikianlah yang menyebabkan munculnya dua fenomena budaya yang dominan semasa Orde Baru, yakni sentralisme dan feodalisme (baru). Kedua fenomena budaya itulah yang membuat bangsa ini terpuruk dan susah untuk bangkit kembali.

Sentralisme kebudayaan (politik, ekonomi, pendidikan, dan sektor-sektor lainnya) menyebabkan terjadinya berbagai kesenjangan. Daerah-daerah yang jauh dari "pusat" menjadi daerah-daerah "pinggiran". Semua potensi dan sumber daya (alam dan manusia) diisap oleh "pusat", sehingga daerah-daerah tidak bisa berkembang dengan baik. Para penguasa di tingkat "pusat" itu tumbuh menjadi sebuah rezim. Kepala-kepala daerah memerintah di daerah lebih sebagai bahagian dari rezim tersebut. Keberhasilannya ditentukan oleh bagaimana yang bersangkutan mendekati pemerintah pusat, bukan oleh bagaimana dia memperjuangkan rakyat.

Kegiatan ekonomi (dan perindustrian) juga dikendalikan secara sentral. Para pemilik modal adalah orang-orang yang dekat dengan pusat kekuasaan. Kedekatan itu menyebabkan mereka mendapatkan kemudahan-kemudahan dan fasilitas yang tidak wajar dari bank-bank. Kedekatan yang seperti itu juga mengakibatkan praktek monopoli menjadi tak terelakkan.

Kesenjangan juga terjadi di dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan cenderung menjadi seragam dengan acuan apa yang disebut pendidikan nasional. Keseragaman tersebut jelas membuat proses dan mutu pendidikan di daerah menjadi "kalah". Untuk mendapatkan mutu pendidikan tinggi yang berkualitas, mereka harus meninggalkan daerah dan masuk ke universitas di Jawa. Jelas hal itu mengakibatkan biaya tinggi dan kalau berhasil menamatkan maka lulusan tersebut akhirnya akan diisap pula oleh "pusat". Feodalisme menjadi sumber malapetaka kedua dalam kehidupan bangsa. Di dalam sistem feodal segala sesuatu ditentukan oleh sang raja dan orang-orang yang dekat dengannya. Orang yang dekat dengan raja adalah keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Di masa Orde Baru para petinggi Negara nampaknya mengambil posisi sebagai raja yang seperti itu. Di dalam posisi dan kondisi demikian, profesionalisme tidak begitu mendapat tempat. Yang penting adalah kedekatan "sang raja" dan keluarganya. Sang raja menjadi panutan. Muncullah raja-raja kecil, di pusat dan di daerah-daerah. Mereka adalah para pejabat dari berbagai tingkat dan eselon. Praktek-praktek yang dilakukan sang raja menjadi alat legitimasi untuk dilakukan pula.

Sistem feodal inilah yang menghasilkan praktek-praktek KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme). Praktek-praktek itu pula yang kemudian merusak segenap tatanan yang ada, menghancurkan kehidupan bangsa. Jika dulu, feodalisme dianggap menghambat kemajuan, maka sekarang feodalisme, dalam bentuknya yang baru, justru menghancurkan.

Maka sekarang, Kebangkitan Nasional 1908, yang membawa paradigma kesatuan dan persatuan, dianut selama lebih 80 tahun, meminggirkan potensi masyarakat di daerah-daerah, dan menimbulkan fenomena-fenomena budaya yang berbahaya untuk kehidupan bangsa, seyogianya direnungkan kembali. Kebangkitan Nasional II yang didengungkan sejak beberapa tahun yang lalu tidaklah relevan. Kebangkitan Nasional sekarang ini haruslah dilihat dalam suatu paradigma baru. Apa?

Kebangkitan Nasional adalah kebangkitan bangsa, kebangkitan masyarakat, kebangkitan rakyat. Kebangkitan Nasional haruslah dilihat sebagai upaya memberdayakan rakyat, memberdayakan daerah-daerah, dan melihat keragaman sebagai kekuatan. Ke-bhinneka-an sama pentingnya dengan ke-tunggal-ika-an. Mudah-mudahan Pemilu 1999 ini bisa merupakan tonggak sejarah baru bagi proses kebangkitan bangsa. []



Sumber: Republika, 25 Mei 1999



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...

Jiwa Bandung Lautan Api

Ingan Djaja Barus Staf Khusus di Dinas Sejarah Angkatan Darat Ingat anak-anakku  sekalian. Temanmu,  saudaramu malahan ada  pula keluargamu yang mati  sebagai pahlawan yang tidak  dapat kita lupakan selama- lamanya. Jasa pahlawan kita  telah tertulis dalam buku  sejarah Indonesia. Kamu  sekalian sebagai putra  Indonesia wajib turut mengisi  buku sejarah itu - Pak Dirman, 9 April 1946 T ANGGAL  24 Maret 1946, terjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kita, yaitu Bandung Lautan Api. Suatu peristiwa patriotik yang gemanya abadi di setiap hati. Tak hanya bagi mereka yang pernah hidup dalam masa berlangsungnya peristiwa itu, tetapi juga bagi mereka yang lahir lebih kemudian. Pada hakikatnya peristiwa "Bandung Lautan Api" merupakan manifestasi kebulatan tekad berjuang dan prinsip "Merdeka atau Mati" TNI AD (Tentara Republik Indonesia/-TRI waktu itu) bersama para pemuda pejuang dan rakyat Jawa Barat. Mereka bergerak melawan...

Lincoln--Stanton

P rabowo sudah resmi masuk Kabinet Indonesia Maju. Bersama para pejabat kabinet lainnya, Prabowo dilantik Presiden Joko Widodo sebagai menteri pertahanan. Sebelumnya ia bersafari silaturahmi, menyambangi para ketua umum partai koalisi Jokowi. Dengan demikian, kisah nyata Lincoln-Stanton berulang di Indonesia. Edwin McMasters Stanton (1814-1869) adalah politikus dan ahli hukum yang getol sekali mencermati langkah-langkah Abraham Lincoln dan mengecamnya dengan keras. Namun, oleh Presiden Lincoln (1861-1865), Stanton justru diangkat menjadi Menteri Peperangan (Secretary of War) dalam Perang Sipil (1861-1865). Lincoln akan selalu dikenang sebagai "Great Emancipator" karena ia sangat mendukung upaya untuk menghentikan perbudakan di Amerika Serikat. Sementara Stanton membuktikan kehebatannya sebagai nasionalis dan negarawan yang setia kepada kepala negaranya. L WILARDJO Klaseman, Salatiga Sumber: Kompas , 11 November 2019