Langsung ke konten utama

Komunitas Arab di Pekojan dan Krukut: Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

Masjid itu masih tampak kokoh sekalipun usianya telah hampir dua setengah abad. Hanya di bagian atas menaranya yang menjulang tinggi sedikit berlumut dimakan usia. Di bagian dalamnya yang luas dan sejuk di tengah-tengah perkampungan yang gersang dan panas, terhampar permadani warna-warni buatan Persia.

Siang itu sekitar 100 orang--kebanyakan berkopiah putih--tengah menunaikan salat dzuhur berjamaah dipimpin imam H. Achmad Basarah (81). Imam Basarah adalah keturunan keluarga Arab yang sudah tinggal di daerah itu sejak beberapa generasi lalu.

Masjid Annawir yang dapat menampung lebih dari seribu jamaah itu dikenal juga dengan sebutan Masjid Pekojan. Dibangun tahun 1760 Masehi atau 1180 Hijriah. Saat ini Masjid Annawir Pekojan adalah masjid terbesar di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, yang mayoritas penduduknya keturunan Cina.

Sekitar empat kilometer sebelah selatan Kelurahan Pekojan, terdapat Kelurahan Krukut, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Di kelurahan sini berdiri pula sebuah masjid yang diberi nama Al-Mubarak. Menurut Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, masjid ini dibangun tahun 1786 M atau 26 tahun setelah Masjid Pekojan.

Persis berseberangan dengan Masjid Al-Mubarak (lebih dikenal dengan sebutan Masjid Krukut), hanya terhalang Sungai Ciliwung, berdiri Masjid Jami Kebon Jeruk, yang didirikan pada 1718. 

Berlainan dengan Masjid Krukut yang tampak megah dengan sentuhan arsitektur masa kini (setelah dipugar sekitar tiga tahun lalu), kedua masjid lainnya tampak kuno. Keduanya memang dilindungi oleh UU Pemda DKI yang menyatakan kedua bangunan tersebut sebagai bangunan sejarah yang harus dipertahankan keasliannya.

Adanya sejumlah masjid jami tua di kawasan yang kini menjadi pusat ekonomi dan bisnis, menurut Pemda DKI dalam buku Kampung Tua di Jakarta, adalah bukti bahwa kawasan Pekojan dan Krukut berperan dalam penyebaran agama Islam pada masa lalu. Ini diperkuat dengan sejarah kedua kampung itu yang lahir hampir bersamaan dengan lahirnya Kota Jakarta.



Persaingan ekonomi

Begitu memasuki kawasan Pekojan dan Krukut, hampir bisa dipastikan mata akan melihat banyak wajah khas Timur Tengah dengan hidung mancung, sorot mata tajam, kumis, dan janggut hitam. Juga sapaan akrab "Assalamualaikum" di antara mereka yang diucapkan sambil mengangkat tangan atau bersalaman ketika bertemu.

Tapi kini wajah-wajah Timur Tengah itu seperti tenggelam di tengah hingar-bingar lalu lalang manusia dan kendaraan. Pusat bisnis dan ekonomi itu--yang terutama ditandai oleh hadirnya sejumlah besar pertokoan--kini malah lebih dikenal dengan sebutan Pecinan. Sementara masyarakat Arab yang telah turun-temurun "menguasai" wilayah tersebut kini memilih hijrah ke tempat lain. Mereka meninggalkan tempat nenek moyang mereka menetap pertama kali setelah hijrah dari Hadramaut (kini Yaman Selatan).

Sebagaimana dikemukakan Abud Alkatiri, salah seorang guru dari Lembaga Pusat Pendidikan Islam "Fatahillah" Krukut yang dibangun oleh Jumhuriyah Islamiyah Al-Kathiriyah, rasa persaudaraan di antara "jamaah" (sebutan untuk keturunan Arab) masih cukup kental. "Kalau mau melihat jamaah berkumpul datanglah pada upacara pernikahan, atau bila ada yang meninggal dunia," katanya.

Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan. Meski mereka tinggal terpencar di kawasan yang cukup luas itu, "Mereka tetap berkumpul pada acara pesta perkawinan, pada saat ada kematian, tahlilan, atau maulid Nabi," kata Habib Abdurrahman Aljufri, ketua Masjid Pekojan, yang juga tokoh masyarakat setempat.

Pada pesta-pesta perkawinan masyarakat biasanya diadakan samar, yaitu lagu-lagu irama Padang Pasir yang dibawakan oleh kelompok orkes gambus dengan pemain-pemain kebanyakan keturunan Arab. Mereka bernyanyi dan memainkan alat musik sambil duduk di lantai dan beralas permadani. Tarian zafin khas Timur Tengah juga menjadi kesukaan para pemuda di kedua kawasan itu. Hampir sama populer dengan joget dangdut sekarang ini.

Tampaknya, semakin berkurangnya komunitas Arab di kedua kawasan tersebut diakibatkan oleh persaingan ketat dalam bisnis perdagangan. Pesaing utamanya adalah orang-orang Cina.

Dedy Suwardi, sekretaris Kelurahan Pekojan, mengungkapkan bahwa dari data monografi kelurahan yang ada, jelas jumlah keturunan Arab di kelurahan tersebut mengalami penurunan berarti. "Padahal yang saya tahu, dulunya masyarakat Arab merupakan mayoritas di daerah ini," katanya.

Tapi ketika ditanya, Dedy juga mengaku tahu secara pasti berapa jumlah masyarakat keturunan Arab sekarang ini. Alasannya adalah karena sebagian besar dari mereka sudah membaur dengan warga pribumi. Yang ada hanya data pemeluk agama. Dari jumlah 30.794 jiwa, yang beragama Islam 13.680 jiwa atau sekitar 45%. Sementara sisanya adalah keturunan Cina dan kebanyakan non-Muslim.

Meski minoritas, bukan berarti kegiatan keislaman di wilayah tersebut menjadi sepi. Dedy misalnya, tak menutupi rasa bangganya karena di kelurahannya terdapat 29 majelis taklim, 4 masjid, 26 musholla, dan madrasah dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Aliyah.

Dahulu di kampung ini banyak terdapat rumah-rumah dengan arsitektur Mor di samping beberapa bangunan tua berarsitektur Cina. Tapi dewasa ini kedua jenis bangunan tersebut, yang corak arsitekturnya kemudian diserap dan disebut sebagai khas Betawi, telah tergusur. Hanya beberapa di antaranya yang masih bertahan. Salah satunya, yang juga sudah berusia ratusan tahun, ditempati oleh Ibu Nining Alatas, yang menurut penduduk setempat masih ada hubungan keluarga dengan Menlu Ali Alatas.

Saat ini "bau Arab" hanya "tercium" dari beberapa nama jalan atau gang di Krukut maupun Pekojan,. Seperti Jalan Abdullah, Gang Thalib, dan sebagainya.



Organisasi sosial

Di Pekojan inilah organisasi sosial dan pendidikan Jamiat Khair pertama kali didirikan tahun awal abad ke-20. Baru belakangan pusat organisasi tersebut dipindahkan ke Jalan K. H. Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Dalam sebuah wawancara dengan Robert van Niel--penulis buku The Emergence of the Modern Indonesia Elit--H. Agus Salim menjelaskan tentang makna kehadiran organisasi sosial semacam Jamiat Khair.

"Pada tahun 1904 atau 1905, khusus untuk mengatasi ekonomi lemah Indonesia, beberapa orang keturunan Arab dan beberapa orang Sumatera membentuk suatu organisasi gotong royong yang dinamakan Jamiat Khair .... Banyak anggota Boedi Oetomo dan Sarekat Islam adalah bekas anggota Jamiat Khair."

Berkurangnya keturunan Arab di Pekojan menjadi keprihatinan bagi pemuka masyarakat seperti Habib Aljufri. Dia menunjuk sejumlah gedung, rumah dan jalan-jalan yang dahulu dihuni masyarakat keturunan Arab tapi kini beralih menjadi milik keturunan Cina. Padahal di antara gedung-gedung tersebut terdapat pula peninggalan bersejarah bekas milik kalangan Arab yang pertama datang ke Indonesia, seperti masjid, surau, tempat pertemuan, dan madrasah.

Tanah di daerah itu pun kini berkisar antara satu hingga dua juta rupiah per m2. Dan ini makin memperbesar kecemasan akan makin menipisnya jumlah komunitas Arab di wilayah tersebut. Saat ini yang warga keturunan Arab yang masih bertahan tinggal di situ hanya tinggal kira-kira 200 orang, atau sekitar 70 KK.

Kecemasan serupa juga dikemukakan oleh Abud Alkatiri. Sambil menunjuk Jalan Kejayaan dan Keutamaan yang cukup panjang itu, ia mengatakan bahwa dahulu gedung-gedung di sini hampir seluruhnya dihuni oleh "jamaah", tapi sekarang kebanyakan oleh baodeh (sebutan untuk keturunan Cina).

"Ekstrimnya," kata Abdurahman Aljufri, "dahulu tukang bakmi tidak berani lewat Pekojan, karena takut ditimpuki anak-anak." Tapi kini yang terjadi sebaliknya: para pedagang itu bebas keluar masuk "kampung Arab" Pekojan tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Krukut.

Tapi menghilangnya sebagian besar masyarakat Arab dari Krukut maupun Pekojan, bukanlah semata-mata karena soal ekonomi atau kekalahan mereka dalam bersaing dengan Cina. Bahkan mereka yang pindah itu kebanyakan keadaan ekonominya cukup baik. Mereka pindah justru untuk mengembangkan usaha ke wilayah Tanah Abang, Jatinegara, Kwitang, Condet, bahkan Bogor.



Sumber: Republika, 21 Januari 1996



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...