Langsung ke konten utama

Peristiwa Surabaya 40 Tahun Lalu: Bagaimana Brigjen Mallaby Terbunuh?

Hari itu, Selasa 30 November 1945. Hari menapak senja. Suasana di depan Gedung Internatio, Surabaya, tegang. Tiba-tiba meriam Inggris dari jendela gedung memuntahkan tembakan membabi-buta ke arah rakyat yang tengah berkerumun.

Soengkono salah seorang anggota Kontak Biro, meloncat ke kolong mobil merek Chysler yang ditumpangi Brigjen Mallaby.

Sambil mengendap-endap, ia menyaksikan komandan Pasukan Sekutu di Surabaya itu didorong-dorong dengan bayonet dan bambu runcing oleh para pemuda pejuang Surabaya sampai masuk ke mobil. Saat itu jarum jam menunjuk pukul 17.00 petang. "Dari bawah mobil saya dengar Mallaby merintih. Sekitar pukul 19.00 rintihan terhenti. Saya kira di waktu itulah dia meninggal," tutur Soengkono (alm), seperti dituturkan kembali oleh istrinya, Ny Isbandiah, kepada seorang wartawan.

Itu satu versi cerita sekitar terbunuhnya Brigjen Mallaby, komandan Brigjen ke-49, yang mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Sampai kini, peristiwa tewasnya Jenderal Inggris yang dikenal kalem, tapi gentle itu masih sering mengundang teka-teki. Itu terutama menyangkut: siapakah yang membunuh Mallaby, yang oleh pihak Sekutu di Indonesia, disebut sebagai "orang yang tak tahu ketertiban". "Who Killed Brigadir Mallaby?" tanya JGA. Parrott dalam suatu tulisannya. 

Ultimatum Sekutu

Dalam konteks peristiwa Surabaya, November 1945, tewasnya Mallaby mempunyai arti penting. Manakala kita buka lembaran sejarah yang mengisahkan peristiwa heroik di Surabaya itu, akan ditemukan betapa Inggris mengangap kematian Mallaby amat serius. Ultimatum Inggris yang ditandatangani Jenderal Christison, Panglima Tentara Sekutu di Asia Tenggara pada 31 Oktober 1945, yang disusul ultimatum Mayjen Mansergh beberapa hari kemudian, menyebut-nyebut kematian Mallaby.

"Subsequently these Indonesian broke the truce which had been agreed in the presence of Dr Soekarno and Mohammad Hatta, and foully murdered Brigadir Mallaby, who had gone to parley with them," tulis Christison dalam pengumuman yang diberi judul "Warning to Indonesian" itu. Itu sebabnya, tulis Christison lebih lanjut, "I intend to bring the whole weight of my sea, land and air forces and all the weapons of modern war against them until are crushed."

Sampai saat ini identitas pembunuh Mallaby tidak/belum diketahui. "Bukan pihak kita," sanggah Prof Dr Moestopo singkat ketika ditanya siapa pembunuh Mallaby. Katanya, waktu itu ada seorang (Soengkono?) yang mendengar Mallaby merintih dalam mobil.

Dalam buku "Pertempuran Surabaya", yang disunting Nugroho Notosusanto (1985), dikemukakan pula mengenai tidak diketahuinya identitas pembunuh Mallaby. Yang jelas, dia itu termasuk pemuda pejuang yang tampaknya sudah meledak emosinya oleh kecurangan-kecurangan pasukan Inggris di Surabaya ketika itu, yang menembaki orang-orang tak berdosa seenaknya.

Mallaby yang Naas

Ada beberapa versi kronologi peristiwa naas yang dialami Mallaby. Drs Suwarno K dalam bukunya menuturkan, Brigjen Mallaby dan beberapa orang Indonesia dari Biro Kontak datang ke tempat insiden yang melibatkan pasukan Indonesia dan Inggris. Setibanya di sana, segera diadakan perundingan. Pada saat itu rombongan Indonesia menunggu di alun-alun (depan Gedung Internatio?). Di seberang jalan nampak beberapa orang serdadu Sekutu, kira-kira 20 orang. Mereka ditempatkan di sebuah rumah yang menghadap ke jalan.

Tiba-tiba serdadu Sekutu menembaki rombongan Indonesia. Mallaby ke luar mobil dan memerintahkan agar penembakan dihentikan. Tapi setengah jam kemudian, Mallaby ke luar lagi dan memerintahkan anak buahnya melepaskan tembakan. Pertempuran berkobar lagi, dan banyak korban jatuh. Saat itulah Mallaby hilang, ia terbunuh. Tetapi siapa pembunuhnya, tulis Suwarno, tidak diketahui. Ada yang mengatakan bahwa jenderal itu tewas karena pecahan granat yang dilemparkan seorang opsir Sekutu sendiri. Demikian kisah Suwarno, yang tentunya hanya mengutip dari sumber lain, karena ia bukan pelaku/tak terlibat dalam peristiwa itu.

Saat itu memang Mallaby dikawal oleh tiga serdadu, yakni Kapten Shaw, Kapten Smith, dan Letnan Laughland. Ketika melihat Mallaby ditodong pemuda Surabaya, Kapten Smith melemparkan granat. Ketiga tentara Inggris itu dapat menyelamatkan diri dengan terjun ke Kalimas.

Melempar Granat

Awal kronologi peristiwa di atas hampir sama dengan yang dituturkan oleh Jenderal Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Tapi klimaks peristiwanya agak berbeda ceritanya. Diceritakan, Mallaby datang untuk menengahi pertempuran, dan berhasil. Kemudian, bersama pengawalnya, ia bermaksud kembali ke markasnya. Tapi di tengah jalan mereka ditahan sekelompok orang bersenjata yang tidak diketahui maksud-maksud sebenarnya.

Untuk melepaskan diri, Mayor Venugopall, komandan yang bertahan di sebuah gedung yang disebut gedung "D", melemparkan granat-granat tangan ke arah orang yang menahan Mallaby itu. Terjadi bentrok senjata antara kedua pihak. "Brigadir Mallaby terbunuh dan mobilnya hangus. Hanya dua orang pengikutnya dapat meloloskan diri," tulis Nasution.

Dalam buku Nasution itu (hlm. 355) disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada 31 Oktober 1945, menyusul insiden-insiden senjata antara kedua pihak hari itu. Pada 30 Oktober, tulis Nasution, terjadi perundingan antara Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno dengan pihak Inggris yang dipimpin Jenderal Hawthorn dan Jenderal Mallaby.

Dihadang Pemuda

Dalam buku Nugroho Notosusanto disebutkan bahwa tewasnya Mallaby terjadi pada hari Selasa tanggal 30 Oktober 1945, sore hari. Dan tampaknya buku "Pertempuran Surabaya" ini cukup lengkap mengisahkan jalannya pertempuran hari itu (yang berlangsung sejak 28 Oktober 1945), dan berakhir dengan tewasnya Mallaby (hlm. 63-76). Buku ini menyebutkan sumber-sumber primer, baik yang didapat dari hasil wawancara dengan pelaku peristiwa (seperti Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, Soengkono, dll) maupun dari tulisan-tulisan para pelaku peristiwa itu.

Ikhtisar ceritanya: perundingan Soekarno-Hawthorn berakhir sekitar pukul 13.00 tanggal 30 Oktober itu. Hasil perjanjian diumumkan secara luas lewat radio. Tapi tembakan-tembakan sporadis masih terus berlangsung di beberapa sektor kota, antara kedua pihak. Untuk menghentikan pertempuran di gedung Lindeteves dekat Jembatan Semut dan di gedung Internatio dekat Jembatan Merah, para anggota Kontak Biro mengadakan perundingan. Delapan mobil beriringan menuju daerah pertempuran, dengan mengibarkan bendera putih. Di mobil kedua, duduk Residen Sudirman dan Jenderal Mallaby.

Karena situasi di gedung Lendeteves sudah agak mereda, rombongan menuju gedung Internatio. Tapi ketika akan belok menuju Jembatan Merah (± 200 meter dari gedung itu), tiba-tiba muncul sekelompok pemuda yang tampaknya histeris. Mereka mengacung-acungkan bendera Merah-Putih yang katanya, warna merah bendera itu berasal dari darah seorang tentara Inggris. Mereka menghentikan rombongan Kontak Biro ini, dan semua anggota rombongan keluar mobilnya.

Terjadi perundingan di sana. Intinya, pihak pemuda minta agar pasukan Inggris yang ada di gedung Internatio menghentikan tembakan-tembakan kepada rakyat. Inggris setuju, dan Mallaby beserta staf bersedia masuk gedung. Tapi usul Inggris ini tak bisa diterima oleh pihak Indonesia. Jangan-jangan, setelah semua orang Inggris termasuk jenderalnya, masuk gedung, keadaan makin buruk. Makanya, Mallaby tetap di tempat sebagai "sandera", agar pasukan Inggris yang ada dalam gedung tidak melepaskan tembakan. 

Ditodong di mobil

Perundingan berlangsung antara Mohammad dan Kapten Shaw, ditengahi Kundan (pemuka masyarakat India di Surabaya). Ketiganya menuju gedung, dan sedianya mereka akan berunding 10 menit, kemudian balik lagi ke rombongan yang menunggu. Rundingan itu akan mengatur penyerahan tentara Inggris yang bertahan dalam gedung. Ketika 10 menit hampir berlalu, keadaan benar-benar tegang. Dari luar tampak gerak-gerik pasukan Inggris makin mencurigakan. Moncong meriam menyembul dari balik jendela gedung. Beberapa menit kemudian, terjadilah peristiwa menggetirkan. 

Mortir-mortir Inggris melepaskan tembakan ke arah deretan mobil di depan, yang dikerumuni para pemuda pejuang. Ini dibalas oleh pejuang kita. Korban berjatuhan. Orang-orang yang merasa terancam jiwanya, berusaha menyelamatkan diri. Ada yang terjun ke Kalimas, ada yang bertiarap di bawah mobil, termasuk Soengkono, sebelum ia terjun ke kali.

Mereka yang selamat, termasuk para anggota Kontak Biro dan Residen Sudirman.

Bagaimana Mallaby? Sekitar pk. 20.30 hari itu, pertempuran berakhir setelah berlangsung sejak pk. 18.00. Kapten Smith mengisahkan, ketika itu ia melihat dua orang pemuda menghampiri mobil Mallaby dan berusaha menjalankannya. Mobil itu bergerak, dan seorang di antara pemuda itu membuka pintu belakang, di samping Mallaby.

Mallaby ternyata masih hidup, ia hanya terluka. Dan Mallaby minta agar ia diantarkan kepada salah seorang pimpinan mereka. Setelah berembuk, pemuda itu balik lagi ke arah mobil Mallaby. Setelah berbicara sejenak, tiba-tiba pemuda itu mengacungkan pistol dan menembak Mallaby dari arah jendela mobil. Mallaby meninggal, dan mobilnya terbakar. Lewat dua arlojinya di tangan kiri dan kanan, dikenali identitasnya. Jenazahnya dimakamkan pada 8 November 1945 di Surabaya, kemudian dipindahkan ke Jakarta.

Kematian Mallaby inilah yang menjadi titik baru meledaknya peristiwa 10 November 1945. Dan kita mengenangnya hingga sekarang. (Dedi Supriadi).



Sumber: Tidak diketahui, 10 November 1985



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...