Langsung ke konten utama

Kisah-kisah Sekitar Aksi Militer I (1947)

KISAH-kisah di bawah ini aslinya berasal dari pihak Belanda, musuh Republik di masa revolusi 1945-1950. Kecuali kisah-kisah di bawah ini para penulis Belanda juga banyak menampilkan foto dokumenter. Mereka memang memiliki banyak juru potret, sedangkan pihak Republik, akibat isolasi selama Perang Dunia II dan revolusi, tidak selalu mempunyai juru potret di medan perang. Kesadaran akan dokumentasi dan pengelolaannya juga dapat kita lihat dari lebih teraturnya penyimpanan koleksi dokumen Belanda, sehingga setiap diperlukan untuk penulisan mudah dicari kembali oleh para peneliti dan penulis.

Kisah-kisah yang dilaporkan pun tampak diusahakan untuk sejauh mungkin obyektif. Ada humor dan kejenakaan, karena dikisahkan kembali setelah ada jarak-waktu yang cukup dengan saat peristiwa terjadi.

Laporan Wartawan Belanda

Kekacauan di daerah Republik makin bertambah. Dari seberang garis demarkasi, datang berita-berita tentang ketidakamanan. Berbagai kelompok bersenjata saling bertempur. Di dekat Bekasi terjadi benturan antara pengikut Tentara Rakyat Indonesia, dan pengikut Laskar Rakyat. Tembak-menembak jelas terdengar. Suasana teror dan keganasan menjadi pembicaraan umum. Pemerintah Republik mengkhawatirkan campur-tangan pihak Belanda, suatu alasan yang ada dasarnya.

Persiapan-persiapan ke arah itu telah dilakukan dengan cepat. Segera pula TRI telah dikirim ke daerah produksi beras di Karawang, yang merupakan batu ujian tersendiri bagi penduduk. Tentara memerlukan segalanya, harga-harga membubung tinggi, keadaan kesehatan rakyat makin mundur.

Tetapi di bidang kemiliteran terjadi kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Di bekas pabrik-pabrik Braat (sekarang Bharata) dengan sepenuh tenaga telah dibuat senjata-senjata sten (sten guns), granat-granat tangan dan peluru-peluru. Sukabumi menjadi daerah pertahanan yang diperkuat. Semua gedung besar, kantor pos dan telegrap, stasiun kereta api, asrama dan pabrik beras telah dipasangi ranjau. Siang malam diadakan penjagaan. Mata-mata Republik yang menyamar sebagai pembantu rumah tangga dan pedagang masuk ke dalam wilayah yang diduduki Belanda. Ketidakamanan makin dirasakan. Sabotase merupakan kejadian sehari-hari. Banyak kendaraan Belanda telah menerjang ranjau. Jalan antara Batavia (Jakarta)-Bekasi telah ditaburi dengan paku-paku. Kawat-kawat tilpon diputuskan.

Sesuatu harus terjadi, kesabaran dan kesetiaan (Tentara Belanda) makin lama dapat luntur. Penghentian tembak-menembak (cease fire) persetujuan Linggarjati menjadi omong kosong. Pelanggaran kedua belah pihak sering terjadi. Tentara (Belanda) hanya terdiam saja. Pada masa itu diperlukan usaha untuk menahan diri dan disiplin dari dalam. Keadaan menjadi makin sulit karena mereka harus berpangku tangan, seolah-olah sebagai penganggur. Tetapi di balik itu semua, disusunlah berbagai rencana. Di markas besar dan markas brigade pertemuan sering diadakan untuk memutuskan apa yang harus diperbuat bila aksi militer menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakkan lagi ....

Apa itu "Operasi Produksi"?

Sejak bulan Januari 1946 di markas-markas divisi dan brigade tentara Belanda telah disusun rencana-rencana penyerbuan terhadap Republik. Ada rencana untuk membuat kota Semarang menjadi induk kekuatan tentara Belanda. Selanjutnya dari kota itu, Kota Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia dapat langsung diserbu. Dengan hancurnya pusat pemerintahan Republik, maka kekuatan politik Republik akan hancur pula. Rencana ini nampaknya mudah dan tidak banyak mengandung risiko. (Lihat peta)

Tetapi ada beberapa keberatan terhadap rencana itu, demikian pendapat markas brigade Belanda di Surabaya. Antara lain, pemerintah Belanda dengan mudah dapat dituduh melakukan perang perebutan wilayah (Perang Dunia II baru saja selesai, perang tidak populer lagi), dan bukan sebagai aksi "untuk memulihkan keamanan dan ketertiban". Bagaimanapun aksi-aksi militer Belanda harus dipandang sebagai "aksi kepolisian".

Maka lahirlah pertimbangan untuk menyusun kembali kehidupan ekonomi. Tujuan utama dari aksi militer itu ialah, untuk merebut bagian-bagian pulau Jawa dan Sumatra yang banyak terdapat perkebunan, pabrik-pabrik dan daerah penghasil beras. Sasaran ekonomis menjadi yang utama. Karena itu, rencana aksi militer mendapat nama sandi Operatie Product. Pada bulan Maret 1947 staf divisi dan brigade tentara Belanda di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, dan Palembang diperintahkan untuk merencanakan Operasi Product dengan lebih terperinci. Bulan Mei di mana-mana rencana penyerbuan telah selesai. Awal Juni tentara Belanda di Jawa dan Sumatra telah disiapkan untuk menerima perintah dari "Batavia" ....

Pada minggu terakhir bulan Juli 1947 kedua belah pihak yang berselisih telah memperhitungkan perang akan berkobar dalam beberapa hari lagi. Di bidang diplomasi pemerintah Republik tetap menolak syarat-syarat berat yang dituntut pemerintah Belanda untuk mengadakan suatu aturan peralihan, sehingga tentara Jenderal Spoor telah mendapat perintah untuk melaksanakan "operasi produksi" pada tanggal 30 Juni, tetapi tiba-tiba saja Kabinet Sjahrir memberi konsesi-konsesi lagi. Konsesi yang diberikan kabinet Sjahrir terlalu banyak, sehingga mengakibatkan kejatuhannya dan muncullah Kabinet Amir Sjarifudin. Kabinet baru ini berhasil meyakinkan Presiden Sukarno, bahwa sulit untuk kembali kepada konsesi-konsesi yang telah diberikan Sjahrir. Namun demikian .... Pada tanggal 15 Juli Van Mook memberikan ultimatum atau ancaman lagi: pihak Republik harus mengundurkan tentaranya pada kedudukan 10 km dari garis demarkasi. Jawaban Amir Sjarifudin dianggap tidak jelas dan pada malam 17 menjelang 18 Juli Kabinet Belanda mengambil keputusan: tentara Belanda harus mengadakan aksi!

Perebutan Jembatan Citarum

Setelah menangkap kaum Republik di Jakarta dan menduduki gedung-gedung yang penting dikuasai pemerintah Republik, rencana "operasi produksi" mulai dilaksanakan. Salah satu masalah bagi staf markas besar tentara Belanda di Jakarta ialah, bagaimana dapat merebut jembatan Citarum secara utuh. Diputuskanlah untuk melakukan hal yang tidak lazim, dengan menggunakan alat taktis yang terlalu berani: dengan gerbong kereta api!

Tujuh belas gerbong yang dilindungi karung pasir disiapkan dengan dua lokomotif, satu di depan dan satu di belakang. Di dalamnya berisi serdadu-serdadu infanteri, artileri, pasukan zeni, ahli-ahli penjinak ranjau dan sebagainya. Pagi hari tanggal 21 Juli meluncurlah "senjata rahasia" itu menerobos garis demarkasi antara Bekasi dan Tambun. Pada saat yang sama induk pasukan tentara Belanda menyerbu ke Timur melalui jalan raya yang sejajar dengan jalan kereta api. Ternyata dalam penyerbuan itu tentara Belanda telah mendapat bantuan dari laskar Haji Panji, yang sebelum aksi militer dilancarkan telah menyerang ke pihak Belanda.

Pertempuran hebat di Bekasi dan Tambun menyadarkan pimpinan tentara Belanda, bahwa untuk selanjutnya akan mendapat perlawanan yang sama dari pihak Republik di sepanjang pantai utara Jawa Barat. Kereta api itu sempat pula dihujani peluru mortir dan sesaat sebelum memasuki stasiun Cikarang meledaklah stasiun itu. Tetapi ternyata, rel yang rusak justru rel yang tidak dipergunakan. (Antara Jakarta dan Cikampek sejak dulu dipergunakan rel ganda.)

Pesawat Mustang Belanda menghujani daerah sekitar jembatan Citarum dengan mitralyur, agar tentara Republik tidak dapat mendekati bom-bom ranjau yang telah terpasang. Lebih dari 38 bom ranjau kemudian dapat dijinakkan dan kereta api Belanda itu dapat meluncur di atas jembatan Citarum. Pasukan Republik melakukan usaha terakhir. Mereka mengirimkan satu lokomotif dengan kecepatan penuh menuju Tanjungpura (sebelah Timur jembatan Citarum) dan terjadilah tabrakan dahsyat, namun tak menimbulkan korban manusia. Soalnya, tentara Belanda telah meninggalkan rangkaian gerbong, hanya sebuah gerbong depan dengan meriam rusak hebat.

Pada hari yang sama tentara Belanda yang melalui jalan raya menerobos ke kota Karawang, tetapi dihadang dan mendapat perlawanan keras dari TNI yang mempertahankan pabrik es dengan gigih. Tentara Belanda yang sudah kecapaian mengurungkan maksudnya dan mundur kembali ke Tanjungpura. Kota Karawang dikosongkan TNI setelah melakukan "bumi hangus" dengan membakar gedung-gedung yang penting.

Siapa Haji Panji?

Di atas telah disebutkan seorang Haji Panji yang menjadi kepala laskar di Bekasi. Entah karena apa terjadi sengketa dengan TNI yang dikirim dari Yogya, sehingga ia menyeberang ke pihak tentara Belanda, tepat pada saat aksi militer pertama akan dijalankan.

Dia dan pasukannyalah yang menjadi pelopor di depan tentara Belanda ketika menerobos garis demarkasi. Atas bantuannya pula tentara Belanda dapat cepat mengetahui jalan-jalan yang penuh ranjau dan tempat-tempat kedudukan tentara Republik.

Laskar Haji Panji dikenang oleh pasukan Belanda sebagai bagian yang aneh dari tentara Belanda ....

Apakah dari pihak Republik masih ada yang mengetahui tentang Haji Panji itu?

Pertempuran di tempat bersejarah

Brigade-W tentara Belanda yang keluar dari kota Bandung ke arah Utara maju tidak sesuai dengan rencana. Ia harus menghadapi halangan di lembah Ciater, sebelah Utara Lembang. Di lembah itu pula pasukan KNIL dahulu tidak berhasil menghadang tentara Jepang. Bekas-bekas benteng KNIL masih ada dan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh TNI di bawah Letkol Brotoatmodjo. TNI telah menyiapkan kesiagaan untuk tidak akan mundur hanya karena beberapa peluru saja. Batalion-batalion terbaik dari Brigade-3 Siliwangi menduduki pos di sekitar daerah itu, yang keadaannya juga diketahui oleh markas besar tentara Belanda.

Brigade-W diperkuat dengan bagian artileri istimewa. Meriam-meriam bagian ini harus menyiapkan lapangan yang menguntungkan bagi penyerbuan, yang direncanakan pada jam enam pagi hari, tanggal 21 Juli 1947. Setengah jam sebelumnya, artileri tentara Belanda menghujani daerah sekitar lembah itu dengan peluru-peluru meriam, meter demi meter menyusuri lembah, sehingga keadaan tanah bagaikan sawah yang baru dibajak. Benteng-benteng di situ justru tidak dapat dirusakkan. Tidak nampak adanya patah semangat pada pasukan TNI; ini terbukti ujung tombak tentara Belanda masih harus maju dengan berlindung. Pos-pos mitralyur TNI masih sanggup memuntahkan peluru dan satu demi satu harus direbut. Menjelang senja sebagian pos-pos mitraliur dapat dipatahkan, tetapi seluruh benteng Ciater masih juga belum dapat ditaklukkan.

Pertempuran berlanjut terus di malam hari menjelang tengah malam ujung tombak tentara Belanda berhasil merebut pos mitraliur terakhir. Jalan ke utara nampaknya terbuka. Tetapi ternyata tentara Belanda masih menghadapi kesulitan lain, seluruh jembatan dan tempat penyeberangan lain berhasil dihancurkan oleh TNI pada saat-saat terakhir.

Jalan Melingkar Kolonel Meijer (6)

Melalui Tanjungsari dan Sumedang pasukan Kolonel Meijer dengan susah payah baru mencapai Cirebon pada tanggal 26 Juli. Ia juga mengalami perlawanan yang cukup gigih di Sumedang. Pasukannya pada tanggal 29 Juli 1947 telah dikumpulkan di Slawi (lihat peta) untuk meneruskan penyerbuan menuju pelabuhan Cilacap, di pantai Selatan Jawa Tengah. Tetapi antara Slawi dan Cilacap terdapat rangkaian pegunungan sepanjang 100 km. Lain dari itu di ketinggian Bumiayu terdapat konsentrasi pasukan TNI yang sejak aksi militer pertama meletus ditempatkan di situ.

Masalah yang besar bagi Meijer bukanlah TNI, tetapi bagaimana pasukannya dapat mengatasi medan yang berat. Jam dua siang, setelah dekat Prupuk pasukannya harus memasang jembatan Bailey sepanjang 87 meter. Setelah hal itu selesai, persediaan bagian-bagian jembatan tinggal hanya satu set saja untuk satu jembatan lagi, sedangkan pada saat itu baru sepertiga jalan ke Cilacap yang ditempuh ....

Pasukan penyelidiknya melaporkan bahwa sebelum Kota Bumiayu masih terdapat jembatan-jembatan yang dirusak dan memperhitungkan, pasukan Meijer akan mendapat perlawanan yang gigih. Ia membaca peta-peta dan walaupun ia bisa berjalan kaki menuju Cilacap, tetapi tentu saja ia pun harus memperhitungkan kecapaian yang akan diderita pasukannya. Pasukan diperintahkan berbalik dan mencoba untuk masuk daerah Purwokerto dengan melingkari lereng bagian Timur Gunung Slamet yang tingginya lebih 2.000 meter di atas permukaan laut. Melalui Prupuk, Margasari, Balapulang sampai simpang tiga desa Yomani berbelok ke kanan menuju Kalibakung, Tuwel dan desa-desa yang tidak dikenal oleh satu anggota pun dari pasukannya.

Jalan-jalan kabupaten yang melingkari lereng sebelah Timur Gunung Slamet, meskipun lebih sempit daripada jalan Bumiayu, ternyata masih dapat dilalui oleh iring-iringan tentara Belanda. Tank dan truk harus sangat berhati-hati apabila menyeberangi jembatan kayu, atau praktis menyeberangi suatu lembah sungai yang setengah kering dengan susah payah. Suatu jembatan selebar 50 meter harus dilalui oleh kendaraan dan tank satu per satu dengan goncangan yang membahayakan. Satu hal yang menguntungkan pasukan Meijer ialah, daerah yang dilewatinya itu ternyata tidak masuk rencana TNI atau tidak dalam dugaan bahwa tentara Belanda akan melewati jalan itu menuju Cilacap. Kolonel Meijer pun mengambil keputusan untuk menempuh jalan melingkar tersebut tanpa pengetahuan dan persetujuan markas divisinya. Munculnya naluri kemiliteran yang tepat pada saat keragu-raguan dapat menerobos garis pertahanan Jenderal Gatot Subroto di atas Bumiayu.

Perjalanan yang berat itu akhirnya ada buahnya juga. Pada tanggal 30 Juli 1947 pasukan Meijer telah mencapai Bobotsari dan langsung melaju ke lembah sungai Serayu dan menggelinding terus menuju Purbalingga, Sukareja, dan Purwokerto.

Jenderal Gatot Subroto terlambat mengetahui jalan lingkar Meijer itu. Walaupun pasukan TNI di Cilacap segera diperintahkan menghadang pasukan itu, TNI terlambat sampai di lereng Timur Gunung Slamet. Ketika pasukan Pak Gatot meninggalkan Cilacap, pasukan Meijer telah masuk kota Bobotsari!

Pada saatnya Jenderal Gatot Subroto sempat memerintahkan melalui radio dan kurir bahwa sejak itu satuan-satuan TNI harus menjadi satuan-satuan gerilya.

Cilacap akhirnya dapat direbut setelah perlawanan yang cukup gigih. Kota yang menurut rencana semula akan didarati marinir Belanda terpaksa direbut melalui darat. Jembatan anak-sungai Serayu sempat dihancurkan TNI dan ketika tentara Belanda masuk kota tanggal 2 Agustus, segenap instalasi pelabuhan, gudang-gudang tempat pertokoan telah dibumihanguskan pasukan Letkol Abimanyu.

Pada saat itu telah tercapai persetujuan diplomatik, atas tekanan PBB, agar pada tanggal 24 Agustus jam 24.00 perintah penghentian tembak-menembak harus telah diberikan kedua belah pihak ....

Jalan Kematian

"Garis Van Mook" yang ditentukan Van Mook sendiri tidak dapat menghentikan kegiatan pasukan-pasukan TNI dan pasukan perjuangan di "daerah-daerah kantong". Aksi-aksi pembersihan tentara Belanda tidak sepenuhnya berhasil. Pos-pos Belanda terlalu tipis tersebar di tengah wilayah pegunungan dan desa-desa yang luas. Hanya dengan patroli terus-menerus kadang-kadang suatu wilayah dapat diamankan, tetapi tidak lama kemudian, berita-berita dari komandan-komandan batalion selalu menyebutkan bahwa anak buahnya makin lama makin lemah fisik dan mentalnya.

Kelesuan mental pasukan Belanda itu adalah akibat berhasilnya TNI yang gigih, tetap aktif dan sulit ditangkap .... Pada bulan-bulan terakhir pasukan-pasukan gerilya telah terorganisasi dalam komando dan sub-komando setempat, yang sesuai dengan buku pelajaran ilmu perang Jerman disebut "Wehrkreise" dan "sub-Wehrkreise". Jalan-jalan penghubung tentara Belanda selalu menjadi incaran pasukan gerilya, konvoi-konvoi Belanda dihadang berkali-kali, sehingga beberapa jalan penghubung dijuluki "dodenweg"--jalan kematian bagi tentara Belanda. Jalan antara Cirebon dan Ciamis (lihat peta) berbulan-bulan dikuasai pasukan Republik.

Bagian Utara jalan itu, antara Kuningan dan Cikijing, adalah daerah aksi sebuah kompi ALRI yang tiap hari menghadang tentara Belanda, paling sedikit dengan pemasangan ranjau-ranjau. Pada tanggal 28 Desember 1947 pasukan marinir itu dengan kuat menyerang konvoi pasukan zeni Belanda, yang menimbulkan korban empat orang mati dan sepuluh luka-luka di pihak Belanda. Tiga minggu sebelumnya, di bagian jalan itu jatuh korban komandan batalion yang ditempatkan di Tasikmalaya, Letkol Boers tertembak mati. Pernah terjadi konvoi zeni dan artileri Belanda, yang pada tanggal 18 November 1947, berangkat dari Tasikmalaya begitu diganggu, sehingga memerlukan waktu dua hari untuk mencapai Kuningan, yang hanya berjarak 70 km.

Jalan kematian itu memang dikuasai, kecuali oleh pasukan ALRI, juga oleh pasukan-pasukan Hizbullah dan TNI. Di dalam publikasi Belanda "De Politioneele Acties--De Strijd om 'Indië' 1945-1949 (Aksi-aksi Kepolisian--Perjuangan di 'Hindia'), terbitan 1979, banyak kisah sekitar jalan kematian di berbagai tempat lain di Jawa dan Sumatra, baik pada masa aksi militer I dan maupun aksi militer ke-II, yang diuraikan dengan cukup obyektif. Seperti disebut di awal uraian ini, distansi waktu dan penggunaan sumber otentik berupa laporan dan catatan harian menghasilkan sebuah karya yang "mendekati kebenaran" dan tidak berat sebelah ....

Perjuangan bersenjata dan diplomasi memang merupakan dua sisi yang tajam dari ujung tombak perlawanan mempertahankan kemerdekaan; bukan saja hasil dari golongan militer dan politik, tetapi dukungan rakyat setempat pun sangat menentukan keberhasilan perjuangan.***

(Abdurrachman Surjomihardjo)



Sumber: Tidak diketahui, 15 Agustus 1985



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...