Langsung ke konten utama

Mengilmiahkan Legenda Wali Sanga

Oleh: Mindra F

Ratusan tahun silam, tibalah di daratan Cina seorang ulama Islam yang berasal dari tanah Jawa. Ulama itu bermaksud menyebarluaskan agama Islam di sana. Karena kesaktian yang telah diperlihatkannya, banyaklah orang Cina penduduk setempat yang mau masuk Islam. Kaisar Cina yang belum yakin akan kesaktian ulama asing itu, kemudian mengundangnya datang ke istana.

Setelah ulama itu tiba di istana, Sang Kaisar menyuruh putrinya berdiri di hadapan ulama itu. Sebenarnya putri cantik itu masih seorang gadis, akan tetapi ia didandani seperti orang yang sedang hamil. Sang Kaisar bermaksud menguji kesaktian ulama Islam, yang didengarnya lewat intel-intel kekaisaran.

"Apakah putri saya sedang hamil?" tanya Sang Kaisar. Tidak dijelaskan bahasa apa yang digunakan. Atau barangkali lewat kesaktiannya, ulama itu mampu juga berbahasa Cina. Tapi soal itu tidak menjadi masalah. Anggap saja dialognya menggunakan jasa seorang interpreter.

"Ya, putri ini memang sedang hamil," sahut Si Ulama yang sudah tahu kalau dirinya sedang diuji. "Bahkan tidak lama lagi ia akan melahirkan," lanjutnya lagi.

Tentu saja jawaban itu dijadikan bahan tertawaan di kalangan orang-orang Sang Kaisar. Sambil dicemoohkan, Si Ulama diusir dan diancam selekasnya pergi meninggalkan negara Cina. Ulama itu tidak banyak cakap, langsung saja meninggalkan istana. Bahkan terus berlayar kembali menuju Jawa. Sama sekali tidak ada rasa dengki di hatinya.

Akan tetapi apa yang kemudian dialami Sang Kaisar sangat mencengangkan semua orang yang hadir di istana. Ternyata perut Sang Putri, yang tadinya hanya dijejali kain dan bantal itu, kini benar-benar berisi jabang bayi. Kain dan bantalnya hilang lenyap entah ke mana. Sadarlah Sang Kaisar, bahwa itu merupakan "hasil kerja" kesaktian Si Ulama tadi. Bagaimana pula perasaan Sang Putri, yang tidak pernah melakukan apa-apa, apalagi kumpul kebo, tetapi tiba-tiba saja harus menjadi hamil? Konon Sang Putri kemudian terus-menerus menangis. Di dalam hatinya telah tumbuh semacam keyakinan bahwa hamilnya diakibatkan oleh Si Ulama sakti tadi.

Kemudian Kaisar menugaskan salah seorang patihnya, yang bernama Sampotalang, untuk membawa putrinya mencari ulama sakti itu. Dalam pencarian itu, Sampotalang juga membawa banyak harta benda yang akan diberikan sebagai hadiah untuk Si Ulama. Antara lain adalah keramik Cina sebanyak tiga perahu penuh. Konon putri dari Cina inilah yang kemudian menjadi salah seorang istri Si Ulama.

Ulama sakti itu tidak lain adalah Sunan Gunung Jati. Karena itu tidak mengherankan kalau kompleks makam Sunan Gunung Jati di daerah Cirebon, dinding-dinding ruangannya penuh ditempeli keramik-keramik Cina. Sedangkan salah sebuah makam di sebelah makam Sunan Gunung Jati, diyakini masyarakat sebagai kuburnya putri Cina tadi. Dan karena kesaktiannya jugalah, maka banyak orang sekarang yang sering berziarah ke makam ulama sakti itu.

Itu adalah salah satu petikan dari cerita-cerita rakyat tentang tokoh-tokoh Wali Sanga. Dalam ceritra rakyat, tokoh Wali Sanga memang sering kali dikisahkan dengan bumbu berupa ceritra kesaktian para penyebar agama Islam di Jawa itu. Bahkan kemudian yang menonjol justru kisah-kisah bumbu seperti itu. Nampaknya terdapat kecenderungan memasabodohkan aspek kesejahteraan tokoh-tokoh suci itu. Akibatnya tokoh-tokoh itu kini tinggal berupa tokoh legenda belaka.
***
Secara ilmiah, konon cerita rakyat dapat dibagi dalam tiga jenis. Pertama adalah "mite" (Inggeris: myth), kedua "legenda" (legend), dan ketiga "dongeng" (folktale). Pembicaraan tentang mite, legenda, dan dongeng, jika dilakukan secara ilmiah, didaulat sebagai milik "ilmu folklor". Berasal dari kata bahasa Inggeris "folklore" yang berarti "tradisi kolektif".

Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar pernah terjadi. Cuma tokohnya adalah para dewa atau makhluk setengah dewa. Dan peristiwanya dikisahkan terjadi di dunia lain.

Sedangkan legenda adalah ceritra rakyat yang hampir mirip dengan mite. Namun legenda ditokohi oleh manusia. Cuma manusia yang digambarkan sering kali adalah manusia-manusia yang memiliki sifat-sifat luar biasa dan sakti.

Sementara dongeng adalah ceritra rakyat yang tidak dianggap benar-benar pernah terjadi. Dongeng juga tidak terikat oleh tempat maupun waktu. Nampaknya dongeng lebih banyak bersifat fiktif, khayalan semata.

Pengertian tentang mite, legenda, dan dongeng itu diambil dari buku karangan James Danandjaja, Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain (Grafitipers, 1984). Berdasarkan pengertian yang "ilmiah" itu, jelaslah bahwa kisah-kisah rakyat tentang tokoh Wali Sanga termasuk kelompok legenda.

Sebab tokoh-tokoh Wali Sanga itu diyakini oleh hampir seluruh masyarakat Jawa sebagai tokoh-tokoh historis yang pernah hidup di masa dahulu. Banyak tokoh-tokoh Wali Sanga adalah benar-benar manusia yang pernah hidup dan pernah menghirup segarnya udara Jawa ratusan tahun berselang. Bahkan tahun-tahun masa hidupnya sering kali disebutkan secara pasti. Lebih-lebih lagi kesembilan tokoh Wali Sanga itu sampai sekarang masih bisa dijumpai dalam bentuk makam atau petilasannya. Karenanya keberadaan tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa itu tidak perlu disangsikan lagi.
***
Selain secuil kisah tentang Sunan Gunung Jati di atas, masih terdapat banyak kisah lainnya yang menceritrakan kesaktian dan keanehan para tokoh Wali Sanga. Misalnya pernah disebutkan bahwa pada waktu para tokoh Wali Sanga ikut mendirikan Mesjid Agung Demak, konon katanya Sunan Kalijaga terlambat untuk ikut menyumbangkan sebuah soko guru (tiang penyangga utama). Karena tidak sempat untuk mencari sebatang pohon yang kuat dan cukup panjangnya, akhirnya Sunan Kalijaga membuat tiang berupa sokotatal. Yaitu sebuah tiang yang berasal dari sejumlah kepingan-kepingan batang pohon yang diikat tali ijuk menjadi satu. Akan tetapi dalam kenyataannya bentuk tiang seperti itu justru dianggap lebih kuat dan kokoh. Sebab tiang tatal itu bersifat fleksibel terhadap angin kencang maupun gempa bumi.

Selain kisah tentang pendirian tiang utama Mesjid Agung Demak itu, kesaktian Sunan Kalijaga juga diperlihatkan pada waktu menyesuaikan arah hadap mesjid itu. Konon waktu itu Sunan Kalijaga menjadikan dirinya seorang raksasa, yang rentangan tangannya mampu menjangkau mesjid Demak dengan Ka'bah di Arab. Tangan kanan memegang Ka'bah dan tangan kiri memegang mesjid Demak.

Selain kesembilan tokoh Wali Sanga, di kalangan rakyat kebanyakan, terutama masyarakat pesisir utara Jawa, sebenarnya masih banyak lagi legenda-legenda berbumbu seperti di atas. Kebanyakan berkisar dalam diri para wali yang tidak termasuk dalam tokoh Wali Sanga. Bahkan konon jumlah wali-wali yang tidak begitu dikenal itu justru sangat banyak. Akan tetapi nampaknya masih luput dari perhatian para ahli. Sehingga tidak pernah disinggung dalam penelitian yang bersifat "ilmiah".

Dulu ada seorang sarjana berkebangsaan Belanda, D. A. Rinkes, yang pernah meneliti wali-wali yang kurang penting itu, demikian ujar James Danandjaja dalam buku karangannya. Hasil penelitian Rinkes itu kemudian terbit berupa serangkaian artikel berjudul "De Heiligen van Java (Orang-orang Saleh dari Jawa), sekitar tahun 1910-1913. Kisah-kisah yang dikumpulkannya antara lain, "Syekh Siti Jenar di Muka Pengadilan Agama", "Sunan Geseng", "Ki Pandan Arang dari Tembayat", dan "Pangeran Panggung, Anjing-anjingnya, dan Permainan Wayang".

Syekh Siti Jenar menurut kisah itu dibunuh oleh para wali sanga, karena ia dianggap telah melakukan bidah. Yaitu menganut dan menyebarluaskan ajaran dari aliran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam waktu itu. Sedangkan Sunan Geseng yang makamnya terdapat di daerah Grabak, Magelang, dikisahkan semula ia bernama Haji Abdurrahman. Ia berasal dari desa Krendetan (Bagelen, Kedu sekarang). Beliau adalah putra Kyai Kuat dan murid Sunan Kalijaga. Beliau mendapat julukan "geseng" (Jawa: hangus), karena pernah terbakar seluruh tubuhnya, tetapi secara mujizat dapat selamat.

Sementara Ki Pandan Arang kisahnya adalah seorang wali dari desa Tembayat, Klaten. Karena pada waktu hidupnya beliau telah berbuat saleh, maka setelah wafat makamnya menjadi keramat yang banyak dipuja orang. Dan Pangeran Panggung adalah seorang wali, putra Sunan Bonang. Makamnya kini terdapat di dekat alun-alun kota Tegal. Konon beliau dan kedua anjing kesayangannya dihukum mati oleh pengadilan agama setempat. Kesalahannya adalah karena beliau selalu membawa dua anjingnya masuk ke dalam mesjid. Mula-mula berkat kesaktiannya, beliau dan kedua anjingnya tidak dapat terbakar mati. Hanya karena kerelaannya untuk matilah yang membuat api bisa menjilati tubuhnya. Menurut kepercayaan penduduk, dua anjing itu sebenarnya adalah jelmaan nafsunya yang tidak bisa dikendalikannya.
***
Meskipun kisah-kisah di seputar tokoh-tokoh Wali Sanga maupun wali-wali lainnya itu hampir senantiasa dibumbui kisah-kisah fiktif belaka. Namun bagi sementara ahli, minat untuk menyelidiki dongeng-dongeng itu sama sekali tidak pernah menjadi surut. Sebab, seberapa besar pun bagian yang merupakan isapan jempol belaka tu, tentunya masih tersisa secuil kebenaran di dalamnya. Betapapun juga legenda-legenda itu muncul, beredar dan diyakini bukannya tanpa sebab sama sekali.

Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah upaya untuk menyaring kisah-kisah berbumbu itu, sehingga yang tinggal hanyalah fakta sejarahnya saja. Kalau hal ini bisa dilakukan, bukan mustahil bahwa di suatu ketika, sejarah para wali dapat diungkapkan lewat cara-cara yang sepenuhnya "ilmiah". Hanya dengan cara seperti itulah kesimpang-siuran kisah historis di sekitar para wali dapat dijernihkan. Hal terakhir inilah, yang nampaknya paling diharapkan sebagian besar masyarakat Islam di tanah Jawa. Sebab, biar bagaimanapun peranan dan kedudukan para wali itu bagi masyarakat Islam di Jawa cukup penting sampai sekarang. ***

Kreo, 4 Juni 1985.


 
Sumber: Suara Karya, 12 Juni 1985



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan