Langsung ke konten utama

Perjuangan "Antara" di Jaman Kolonial Hindia Belanda

Oleh : Djamal Marsudi.

Di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, pers nasional merupakan senjata yang sangat ampuh dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu bersamaan dengan timbulnya kaum pergerakan, timbullah berbagai suratkabar harian dan majalah. Pada umumnya pers di kala itu bersifat perjuangan.

Berkali-kali suratkabar-suratkabar Indonesia itu "dibredel" pemerintah Hindia Belanda. Wartawan-wartawannya diborgol dan masuk penjara tidak sedikit, tetapi perjuangan pers tetap berjalan. Pada tahun 1937 yang berarti menjelang pecah Perang Dunia II, atas usaha-usaha pemuda wartawan yang dinamis didirikan sebuah kantor berita Nasional bernama "Antara" di Jakarta oleh Pandu Kartawiguna, Mr. Soemanang, Albert Manumpak Sipahutar, Armyn Pane, Adam Malik dan lain-lain lagi.

Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda telah diserbu oleh Nazi Jerman, hanya lima hari saja negeri Belanda bisa dipertahankan. Oleh karena negeri Belanda diduduki Nazi Jerman, maka negeri jajahannya yang bernama Hindia Belanda harus dapat berdiri sendiri, sehingga kekuasaan di Hindia Belanda beralih dari tangan sipil pindah ke tangan militer, sekaligus pemerintah Kolonial Belanda memaklumkan Keadaan Darurat Perang yang mereka namakan Oorlog van Beleg.

Pada bulan Juni 1940 partai-partai politik di Indonesia yang tergabung dalam : Gabungan Politik Indonesia (GAPI), atas prakarsa Mohammad Hoesni Thamrin dan teman-temannya dari tokoh-tokoh Partai Indonesia Raya (Parindra) mengajukan resolusi meminta kepada pemerintah Hindia Belanda mempergunakan hukum tatanegara dalam masa genting untuk melakukan perobahan-perobahan ketatanegaraan, dan diadakan parlemen penuh menggantikan Dewan Rakyat (Volksraad) yang ada. Resolusi ini diajukan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan Kabinet Belanda yang sedang dalam pelarian di London.

Resolusi dijawab Dr. H. J. Levelt atas nama pemerintah Belanda: "Belum waktunya mengadakan suatu rancangan perobahan ketatanegaraan di Indonesia, apalagi atas dasar 'Indonesia Merdeka', dengan alasan karena rakyat Indonesia masih banyak yang buta huruf sehingga belum waktunya mempunyai parlemen sendiri".

Tidak lama kemudian Gubernur Jenderal Mr. A. W. L. Tjarda van Starkenborg Staghouwer dalam sidang Volksraad mengatakan, berhubung dengan adanya situasi politik, maka partai-partai politik dilarang mengadakan sidang, demikian pula mengenai perubahan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, sebaiknya ditunda sampai masa sesudah perang selesai. Tegasnya di dalam keadaan darurat perang, rakyat Indonesia tidak boleh bersuara.

Sehubungan dengan adanya situasi politik dan militer yang semakin genting, maka timbullah gagasan pada pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan: "Milisi Bumiputera". Soal milisi ini sebenarnya sudah menjadi keinginan pergerakan nasional sejak tahun 1915, yaitu pada waktu berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa, yaitu yang disebut Indie Weerbaar yang tidak jadi dilaksanakan. Sementara itu pengalaman politik pada bangsa Indonesia sudah meningkat banyak dan mereka sudah kritis dalam menghadapi rencana mobilisasi anak pribumi yang datang dari fihak pemerintah Hindia Belanda.

Rencana Undang-undang Milisi diajukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda ke Dewan Rakyat (Volksraad) Juni 1940 untuk dipertimbangkan. Dalam rencana keterangannya, pemerintah antara lain berkata: Untuk memenuhi kehendak rakyat asli di Indonesia yang telah lama dilahirkan, yaitu hendak turut mempertahankan tanah tumpah darahnya. Dengan jalan ini, demikian pendapatnya, akan dapatlah dibentuk milisi rakyat Indonesia. Tetapi yang direncanakan pemerintah ini, bukanlah yang diminta oleh kaum nasonalis dari tahun 1915. Hal milisi ini baru akan menjadi soal, apabila rakyat Indonesia terlebih dahulu diberi hak bersuara, yaitu dengan melalui "Indonesia Berparlemen".

Pada waktu masalah milisi dibicarakan dalam sidang Dewan Rakyat (Volksraad), wakil-wakil Parindra tidak turut serta mempertimbangkan dan tidak turut serta dalam pemungutan suara, dengan alasan sebagai protes atas tidak adanya permufakatan terlebih dahulu sebelum anjuran itu dijadikan pokok pembicaraan dalam sidang Volksraad. Walaupun demikian anjuran pemerintah itu diterima juga oleh Volksraad dengan suara: 43 lawan 4 suara.

Dengan adanya pengumuman wajib militer bagi rakyat Indonesia yang diumumkan pemerintah Hindia Belanda, maka suratkabar-suratkabar Belanda membuat berita yang berlebihan dengan mengatakan, bahwa milisi umum itu telah disambut hangat dan gembira oleh pemuda-pemuda Indonesia, demikian pers Belanda memberitakan. Di dalam komentarnya lebih lanjut, pers Belanda antara lain mengatakan : "Pemerintah dan rakyat Belanda memandang penting tentang kegunaan milisi bagi rakyat Indonesia dan Hindia Belanda pada khususnya, apalagi mengingat hubungan yang sudah terjalin selama 350 tahun lamanya antara rakyat Indonesia dan rakyat Belanda, demikian stimulasi pers Belanda dalam mengambil hati masyarakat jajahannya.

"Antara Menentang Keras Milisi"

Sebaliknya pers Indonesia yang dipelopori Kantor Berita "Antara" yang lahir pada tanggal 13 Desember 1937, dalam menanggapi undang-undang wajib milisi, Kantor Berita "Antara" menentang. Kantor Berita "Antara" menentang keras adanya milisi di Indonesia. Oleh karena pada waktu itu pemerintah Belanda sudah ketakutan terhadap bahaya dari Utara, yang dimaksud adalah fasisme militer Jepang, yang menurut pers Belanda dengan sindiran bahaya Kuning. Untuk menentang pers Belanda, Kantor Berita "Antara" dalam tajuknya antara lain mengatakan : "Bagi rakyat Indonesia tidak merasakan perlunya untuk memanggul senjata, bahaya Kuning yang selalu ditakuti oleh Belanda oleh rakyat Indonesia bukan merupakan bahaya, karena bangsa Jepang dan bangsa Indonesia adalah sama-sama bangsa Asia".

Kalau pers Belanda mengatakan, bahwa Undang-undang Milisi di Indonesia disambut hangat dan gembira oleh pemuda-pemuda Indonesia, buletin Kantor Berita "Antara" beritanya berlainan, berita singkatnya demikian: "Seorang pemuda di Kabupaten Tasikmalaya telah jatuh pingsan, setelah dia membaca di suratkabar tentang pengumuman pemerintah Hindia Belanda, wajib militer umum bagi pemuda Indonesia untuk membantu dinas militer Belanda".

Dengan adanya berita yang merugikan pemerintah Hindia Belanda yang sedang dalam keadaan darurat perang, Adam Malik yang menjadi Pimpinan Kantor Berita "Antara", dipanggil Kepala Polisi P. I. D. Belanda di Jakarta, untuk menanyakan asal usul berita dari Tasikmalaya itu. Dalam pemeriksaan tersebut Adam Malik tidak mau memberikan keterangan tentang nama pembantunya yang membikin berita dari Tasikmalaya.

"Untuk saya lebih baik ditembak atau digantung daripada harus melanggar Kode Ethik Jurnalistik", demikian jawaban tegas dari Adam Malik.

Ramalan pers Belanda tentang bahaya Kuning menjadi kenyataan, pada tanggal 8 Desember 1941 siaran Radio Belanda yang bernama NIROM menyiarkan berita tentang pecahnya Perang Pasifik.

Sehubungan dengan timbulnya Perang Pasifik, tokoh-tokoh politik, gerakan-gerakan pemuda dan wartawan-wartawan yang dianggap oposisi dan menentang pemerintah Hindia Belanda ditangkapi oleh Polisi PID dan Militer Belanda. Penangkapan ini dilakukan serentak di seluruh Indonesia, tidak terkecuali penulis yang pada waktu itu sedang mengembara di Kota Ambon. Adapun rekan penulis dari kota Ambon di antaranya Abdul Hamid, Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Mingguan SUISMA (Suara Islam Maluku). Dari kota Ambon penulis dengan rekan-rekan wartawan diangkut dengan Kapal KPM "Ribrek" ke "Interneering Kamp Garut".

Pendiri-pendiri Antara Diinternir

Tokoh-tokoh pemuda dan para wartawan yang ditangkap oleh Polisi PID Belanda di Jakarta di antaranya: Adam Malik (sekarang Wakil Presiden RI), A. M. Sipahutar, Pandu Kartawiguna. Ketiganya pendiri Kantor Berita Antara. Dari kalangan pemuda di antaranya : Chairul Saleh, Soekarni, Latief Hendraningrat, Asrama Hadi (H. R.) yang setelah keluar dari tawanan Belanda lalu menerbitkan Pemandangan Jakarta. Satu-satunya wartawati yang ikut pula ditangkap dan diinternir di Garut S. K. Trimurti.

Penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 153 bis yang berbunyi:

"Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum 300 rupiah".

Istilah-istilah dalam pasal inilah yang dapat menjirat pembicara di rapat atau penulis di suratkabar ialah dengan kata-kata menyindir, samar-samar dan mengganggu keamanan umum.

Mengenai jalannya penangkapan terhadap diri Adam Malik, baiklah penulis mengutip tulisan Asmara Hadi (H. R.) dalam bukunya yang berjudul "Di Belakang Kawat Berduri" yang terbit pada tahun 1942 pada halaman 9, 10, dan 12. Sebelum menceritakan diri Adam Malik, Asmara Hadi menceritakan dirinya sendiri antara lain: 

"Sangkaku saya akan dibawa ke Hopburo (Pen: Kantor Polisi) tetapi tidak, auto berhenti di depan station Gambir dan saya dimasukkan dalam ruang yang sebelum pecahnya perang dipakai sebagai gudang. Saku saya diperiksa dulu sebelum masuk. Kertas dan potlot tidak diperkenankan dibawa ke dalam. Siapa yang beruang, tidak boleh menyimpan lebih dari sepuluh rupiah dalam kantongnya. Setelah badan saya diperiksa dan ternyata tidak ada barang yang terlarang, barulah saya boleh masuk dengan ancaman bahwa kepala saya akan dihujani pelor kalau saya berani mencoba lari. Seakan-akan jiwa saya tidak berharga sepeser butapun.

Dalam gudang itu sudah menunggu beberapa orang yang menjadi mangsa kekuasaan Belanda, di antaranya tuan-tuan Rais dan Dasaat A. Muslim, terkenal dalam dunia perniagaan Indonesia. Makin petang hari makin bertambah jumlah kami, sebab hampir tiap jam pegawai PID datang membawa orang tangkapan. Tidak lama sesudah saya datanglah Saudara Adam Malik. Matanya tetap gembira dan bersinar. Dalam badannya yang kecil dan kadang-kadang kekurangan makanan itu hidup semangat yang kuat. Dari mana kau? tanyaku. Polisi sudah payah mencari kau di mana-mana. Dari rumah, jawabnya sambil ketawa. Setelah saya dengar bahwa PID mencari saya, datanglah saya ke Hopburo dan dari sana terus dibawa ke sini. Bodoh betul pegawai PID itu. Mereka mencari dan menanyakan saya bukan di tempat saya tinggal tetapi di rumah orang lain. Saya datang sendiri ke Hopburo supaya setiap orang yang kenal pada saya jangan ditemui PID.

Bahwa kejadian itu sangat mengharukan hati kami sudahlah pasti. Pada muka beberapa teman juga pada muka saya perasaan hati itu sangat tampak. Tuan Rais menghibur dan memperkuat hati kami dengan nasehat-nasehatnya yang berguna.

Tidak saya sangka bahwa saudagar besar yang biasa menghitung uang beribu-ribu itu pandai juga melayang dalam alam filsafat. Segala peristiwa dalam dunia ini ada gunanya, katanya! Baik yang girang maupun yang sedih. Setiap penderitaan adalah api ujian. Siapa yang tidak hilang imannya, tetap yakin akan pimpinan Ilahi, akan keluar dari ujian itu sebagai orang besar.

Siapa Tahu Antara Jadi Besar

"Siapa tahu", katanya kepada Adam Malik, siapa tahu justru karena percobaan ini tuan nanti akan menjadi orang besar. Kantor Kabar "Antara" yang kini masih kecil, akan menjadi kantor kabar yang bercabang di segala tempat di seluruh dunia ini dan kalau tuan melancong di negeri lain setiap jongos di hotel tempat tuan menginap akan berbisik kepada temannya: Lihatlah itu tuan Adam Malik, direktur "Antara".

Dan kepada tuan Dr. Latip tuan Rais berkata; Kalau tuan tetap giat berusaha dan umur tuan Tuhan panjangkan tuan akan meninggalkan nama yang seharum Pasteur.

Memang benar katanya itu. Setiap orang menjadi besar, setiap pahlawan menjadi besar karena penderitaan dan perjuangan. Setiap penderitaan adalah rakhmat yang bertopeng dan akan memperlihatkan wajahnya yang sebenar-benarnya kalau kita tabah menerimanya."

Demikianlah tulisan asli Asmara Hadi (H. R.) yang disalin oleh penulis dengan ejaan yang disempurnakan.

Dari berbagai pelosok Indonesia, orang-orang yang ditangkap pemerintah Hindia Belanda lalu dikumpulkan di tempat tawanan yang memang sudah disiapkan sebelumnya, yaitu di desa Talun, Garut, Jawa Barat. Di dalam kamp tahanan Garut ini penulis satu kamar dengan Latif Hendraningrat, Samawi (Pimpinan Harian "Kedaulatan Rakyat" Yogya) dan kamarnya berdampingan dengan Ibu S. K. Trimurti yang kala itu sedang mengandung.

Mengenai pengalaman Adam Malik di dalam interneering kamp, dalam hal ini kami tulis kutipan dari buku "Adam Malik" Mengabdi Republik. Jilid I pada halaman 206 dan 207 antara lain beliau menulis:

"Kamp tahanan Belanda di Garut penuh sesak oleh tahanan politik. Kami berdempet-dempet dan bersempit-sempit seperti sapi dalam gerbong kertea api karena besar ruangan tak seimbang dengan jumlah tahanan. Keadaan yang tak memenuhi syarat-syarat kesehatan ini berlangsung selama tiga bulan lebih. Kemudian pada suatu sore tanggal 5 Maret 1942 rombongan kami bersama-sama dengan tahanan-tahanan politik yang lain, dengan memakai kendaraan bis, dipindahkan ke Cilacap. Waktu itu berlaku jam malam. Berjalan pakai bis menempuh jarak jauh antara Garut - Cilacap dengan kecepatan seperti keong, sangat meletihkan dan tak tertahankan. Kami sampai keesokan paginya di Cilacap tanggal 6 Maret 1942, dalam keadaan lesu letih. Setelah menunggu beberapa lamanya di Pelabuhan kami diseberangkan ke pulau tempat tahanan Nusa Kambangan. Akan tetapi Nusa Kambangan hanya sebagai tempat persinggahan sementara bagi kami, karena kami direncanakan akan diangkut kembali ke Cilacap pada tanggal 8 Maret untuk selanjutnya dibawa ke Brisbane, Australia, naik kapal S. S. Tawali.

Pada tanggal 6 Maret 1942 Cilacap sudah dalam keadaan kacau balau dan kebingungan. Pelabuhan Cilacap kelihatan penuh oleh orang-orang Belanda dan Inggeris. Sesudah mengundurkan diri pontang-panting dari kota-kota seperti Betawi, Bandung, Semarang, Surabaya dan Singapura, mereka kelihatan lesu berkumpul berkelompok-kelompok di kade menunggu-nunggu tanda harus naik kapal untuk diangkut ke Australia.

Truk-truk tentara yang kosong bertebaran di mana-mana. Beberapa buah kapal termasuk S. S. Tawali nampak bersauh dan mengisi muatan yang terdiri dari bahan pangan, air, peti-peti dan kendaraan-kendaraan. Suasana mencekam di sekitar keadaan yang menekan, semakin bertambah oleh sikap putus asa dokter-dokter dan bidan-bidan Belanda dan Inggeris yang berjalan mondar-mandir.

Selanjutnya dalam kata penutupnya Adam Malik menulis: Kami tidak menyaksikan Cilacap diserang oleh Jepang. Akan tetapi dari tempat tahanan di Nusa Kambangan kami mendengar raungan kapal terbang Jepang tak henti-hetinya memuntahkan bom dan peluru menyerang kota pelabuhan itu. Kapal S. S. Tawali yang direncanakan untuk mengangkut kami ke Australia tenggelam. Maka kami tak jadi diberangkatkan ke tempat pembuangan di Brisbane.

Jatuhnya pemerintah Hindia Belanda yang secara resminya tercatat pada tanggal 8 Maret 1942, bagi kami berlaku keesokan harinya waktu kami dibebaskan oleh Balatentara Jepang dari Kamp tahanan Nusa Kambangan.

Demikianlah secukil tulisan Adam Malik, dalam pengalamannya setelah ditangkap dan ditawan oleh pemerintah kolonial Belanda.

"Antara" Jadi Yashima

Pada waktu tentara Jepang mulai menduduki Indonesia, Kantor Berita "Antara" sementara waktu diperbolehkan bekerja tetapi dengan nama baru Yashima. Tidak lama kemudian Jepang melebur "Antara" alias Yashima menjadi Bagian Indonesia dari Kantor Berita Domei.

Sesudah mengalami penutupan di jaman Jepang, Antara bangun kembali dan merupakan senjata yang hebat dalam revolusi Indonesia untuk membela dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.

*



Sumber: Korpri, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

Berburu Keberuntungan di Trowulan

T anpa terasa sudah hampir dua pekan hari-hari puasa terlewatkan. Dan sudah hampir dua pekan pula Trowulan dikunjungi banyak tamu. Memang, di setiap bulan Ramadhan, Trowulan--sebuah kecamatan di kabupaten Mojokerto--sekitar 50 km barat laut Surabaya, selalu dikunjungi banyak pendatang. Apa yang bisa dilakukan pengunjung di Trowulan di setiap Ramadhan? Menurut banyak orang yang pernah mengunjungi Trowulan, banyak yang bisa dipelajari dan diperhatikan secara saksama di kota bersejarah itu. Trowulan adalah bekas kota kejayaan Kerajaan Majapahit. Di kota itu hingga kini masih banyak peninggalan bekas kejayaan kerajaan Majapahit, salah satu di antaranya adalah Kolam Segaran. "Selain itu, juga ada situs kepurbakalaan kerajaan Majapahit. Ada Candi Tikus, Candi Brahu, makam Ratu Kencana, makam Putri Campa, dan yang paling banyak dikunjungi pendatang adalah makam Sunan Ngundung," ujar Suhu Ong S Wijaya, paranormal muslim yang tiap Ramadhan menyempatkan berziarah ke makam-makam penyeba...

Perjuangan Pelajar Sekolah Guru

Oleh Maman Sumantri TIDAK lama sesudah tersirat secara luas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, berkobarlah semangat juang para pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat lainnya di seluruh Indonesia. Mereka serempak bangkit berjuang bahu-membahu secara berkelompok dalam badan-badan perjuangan atau kelasykaran, dengan tekad mengisi dan menegakkan proklamasi kemerdekaan. Kelompok badan perjuangan atau kelasykaran yang turut dalam perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan pada awal revolusi kemerdekaan di Kota Bandung dan sekitarnya, di antaranya Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Barisan Merah Putih, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Berani Mati, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Indonesia Maluku, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Lasykar Rakyat, Pasukan Istimewa, (PI), Lasykar Wanita Indonesia (Laswi), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR)....

Museum Sumpah Pemuda yang Bagai Terlupakan

S atu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa merupakan tiga pokok substansial yang dapat mempersatukan keberagaman etnis, bahasa, dan budaya ke dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Mengingat demikian pentingnya peristiwa tersebut bagi upaya pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara nasional setiap tanggal 28 bulan Oktober selalu dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda. Satu hal yang barangkali agak terlupakan oleh kita, ketika memperingati hari bersejarah ini, adalah sebuah museum yang bernama Museum Sumpah Pemuda dan terletak di Jl Kramat Raya No 106 Jakarta Pusat. Di museum inilah, ikrar itu diucapkan. Di gedung ini pulalah, Wage Rudolf Supratman menggesekkan biolanya, melantunkan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya pada 28 Oktober 1928. Segala proses yang menyangkut lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 66 tahun silam, tertata secara apik lewat sajian foto dan patung di museum yang tidak begitu luas ruangannya ini. Sarana Pembinaan Berbeda dengan museum-museum lainny...