Langsung ke konten utama

Perjuangan "Antara" di Jaman Kolonial Hindia Belanda

Oleh : Djamal Marsudi.

Di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, pers nasional merupakan senjata yang sangat ampuh dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu bersamaan dengan timbulnya kaum pergerakan, timbullah berbagai suratkabar harian dan majalah. Pada umumnya pers di kala itu bersifat perjuangan.

Berkali-kali suratkabar-suratkabar Indonesia itu "dibredel" pemerintah Hindia Belanda. Wartawan-wartawannya diborgol dan masuk penjara tidak sedikit, tetapi perjuangan pers tetap berjalan. Pada tahun 1937 yang berarti menjelang pecah Perang Dunia II, atas usaha-usaha pemuda wartawan yang dinamis didirikan sebuah kantor berita Nasional bernama "Antara" di Jakarta oleh Pandu Kartawiguna, Mr. Soemanang, Albert Manumpak Sipahutar, Armyn Pane, Adam Malik dan lain-lain lagi.

Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda telah diserbu oleh Nazi Jerman, hanya lima hari saja negeri Belanda bisa dipertahankan. Oleh karena negeri Belanda diduduki Nazi Jerman, maka negeri jajahannya yang bernama Hindia Belanda harus dapat berdiri sendiri, sehingga kekuasaan di Hindia Belanda beralih dari tangan sipil pindah ke tangan militer, sekaligus pemerintah Kolonial Belanda memaklumkan Keadaan Darurat Perang yang mereka namakan Oorlog van Beleg.

Pada bulan Juni 1940 partai-partai politik di Indonesia yang tergabung dalam : Gabungan Politik Indonesia (GAPI), atas prakarsa Mohammad Hoesni Thamrin dan teman-temannya dari tokoh-tokoh Partai Indonesia Raya (Parindra) mengajukan resolusi meminta kepada pemerintah Hindia Belanda mempergunakan hukum tatanegara dalam masa genting untuk melakukan perobahan-perobahan ketatanegaraan, dan diadakan parlemen penuh menggantikan Dewan Rakyat (Volksraad) yang ada. Resolusi ini diajukan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan Kabinet Belanda yang sedang dalam pelarian di London.

Resolusi dijawab Dr. H. J. Levelt atas nama pemerintah Belanda: "Belum waktunya mengadakan suatu rancangan perobahan ketatanegaraan di Indonesia, apalagi atas dasar 'Indonesia Merdeka', dengan alasan karena rakyat Indonesia masih banyak yang buta huruf sehingga belum waktunya mempunyai parlemen sendiri".

Tidak lama kemudian Gubernur Jenderal Mr. A. W. L. Tjarda van Starkenborg Staghouwer dalam sidang Volksraad mengatakan, berhubung dengan adanya situasi politik, maka partai-partai politik dilarang mengadakan sidang, demikian pula mengenai perubahan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, sebaiknya ditunda sampai masa sesudah perang selesai. Tegasnya di dalam keadaan darurat perang, rakyat Indonesia tidak boleh bersuara.

Sehubungan dengan adanya situasi politik dan militer yang semakin genting, maka timbullah gagasan pada pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan: "Milisi Bumiputera". Soal milisi ini sebenarnya sudah menjadi keinginan pergerakan nasional sejak tahun 1915, yaitu pada waktu berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa, yaitu yang disebut Indie Weerbaar yang tidak jadi dilaksanakan. Sementara itu pengalaman politik pada bangsa Indonesia sudah meningkat banyak dan mereka sudah kritis dalam menghadapi rencana mobilisasi anak pribumi yang datang dari fihak pemerintah Hindia Belanda.

Rencana Undang-undang Milisi diajukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda ke Dewan Rakyat (Volksraad) Juni 1940 untuk dipertimbangkan. Dalam rencana keterangannya, pemerintah antara lain berkata: Untuk memenuhi kehendak rakyat asli di Indonesia yang telah lama dilahirkan, yaitu hendak turut mempertahankan tanah tumpah darahnya. Dengan jalan ini, demikian pendapatnya, akan dapatlah dibentuk milisi rakyat Indonesia. Tetapi yang direncanakan pemerintah ini, bukanlah yang diminta oleh kaum nasonalis dari tahun 1915. Hal milisi ini baru akan menjadi soal, apabila rakyat Indonesia terlebih dahulu diberi hak bersuara, yaitu dengan melalui "Indonesia Berparlemen".

Pada waktu masalah milisi dibicarakan dalam sidang Dewan Rakyat (Volksraad), wakil-wakil Parindra tidak turut serta mempertimbangkan dan tidak turut serta dalam pemungutan suara, dengan alasan sebagai protes atas tidak adanya permufakatan terlebih dahulu sebelum anjuran itu dijadikan pokok pembicaraan dalam sidang Volksraad. Walaupun demikian anjuran pemerintah itu diterima juga oleh Volksraad dengan suara: 43 lawan 4 suara.

Dengan adanya pengumuman wajib militer bagi rakyat Indonesia yang diumumkan pemerintah Hindia Belanda, maka suratkabar-suratkabar Belanda membuat berita yang berlebihan dengan mengatakan, bahwa milisi umum itu telah disambut hangat dan gembira oleh pemuda-pemuda Indonesia, demikian pers Belanda memberitakan. Di dalam komentarnya lebih lanjut, pers Belanda antara lain mengatakan : "Pemerintah dan rakyat Belanda memandang penting tentang kegunaan milisi bagi rakyat Indonesia dan Hindia Belanda pada khususnya, apalagi mengingat hubungan yang sudah terjalin selama 350 tahun lamanya antara rakyat Indonesia dan rakyat Belanda, demikian stimulasi pers Belanda dalam mengambil hati masyarakat jajahannya.

"Antara Menentang Keras Milisi"

Sebaliknya pers Indonesia yang dipelopori Kantor Berita "Antara" yang lahir pada tanggal 13 Desember 1937, dalam menanggapi undang-undang wajib milisi, Kantor Berita "Antara" menentang. Kantor Berita "Antara" menentang keras adanya milisi di Indonesia. Oleh karena pada waktu itu pemerintah Belanda sudah ketakutan terhadap bahaya dari Utara, yang dimaksud adalah fasisme militer Jepang, yang menurut pers Belanda dengan sindiran bahaya Kuning. Untuk menentang pers Belanda, Kantor Berita "Antara" dalam tajuknya antara lain mengatakan : "Bagi rakyat Indonesia tidak merasakan perlunya untuk memanggul senjata, bahaya Kuning yang selalu ditakuti oleh Belanda oleh rakyat Indonesia bukan merupakan bahaya, karena bangsa Jepang dan bangsa Indonesia adalah sama-sama bangsa Asia".

Kalau pers Belanda mengatakan, bahwa Undang-undang Milisi di Indonesia disambut hangat dan gembira oleh pemuda-pemuda Indonesia, buletin Kantor Berita "Antara" beritanya berlainan, berita singkatnya demikian: "Seorang pemuda di Kabupaten Tasikmalaya telah jatuh pingsan, setelah dia membaca di suratkabar tentang pengumuman pemerintah Hindia Belanda, wajib militer umum bagi pemuda Indonesia untuk membantu dinas militer Belanda".

Dengan adanya berita yang merugikan pemerintah Hindia Belanda yang sedang dalam keadaan darurat perang, Adam Malik yang menjadi Pimpinan Kantor Berita "Antara", dipanggil Kepala Polisi P. I. D. Belanda di Jakarta, untuk menanyakan asal usul berita dari Tasikmalaya itu. Dalam pemeriksaan tersebut Adam Malik tidak mau memberikan keterangan tentang nama pembantunya yang membikin berita dari Tasikmalaya.

"Untuk saya lebih baik ditembak atau digantung daripada harus melanggar Kode Ethik Jurnalistik", demikian jawaban tegas dari Adam Malik.

Ramalan pers Belanda tentang bahaya Kuning menjadi kenyataan, pada tanggal 8 Desember 1941 siaran Radio Belanda yang bernama NIROM menyiarkan berita tentang pecahnya Perang Pasifik.

Sehubungan dengan timbulnya Perang Pasifik, tokoh-tokoh politik, gerakan-gerakan pemuda dan wartawan-wartawan yang dianggap oposisi dan menentang pemerintah Hindia Belanda ditangkapi oleh Polisi PID dan Militer Belanda. Penangkapan ini dilakukan serentak di seluruh Indonesia, tidak terkecuali penulis yang pada waktu itu sedang mengembara di Kota Ambon. Adapun rekan penulis dari kota Ambon di antaranya Abdul Hamid, Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Mingguan SUISMA (Suara Islam Maluku). Dari kota Ambon penulis dengan rekan-rekan wartawan diangkut dengan Kapal KPM "Ribrek" ke "Interneering Kamp Garut".

Pendiri-pendiri Antara Diinternir

Tokoh-tokoh pemuda dan para wartawan yang ditangkap oleh Polisi PID Belanda di Jakarta di antaranya: Adam Malik (sekarang Wakil Presiden RI), A. M. Sipahutar, Pandu Kartawiguna. Ketiganya pendiri Kantor Berita Antara. Dari kalangan pemuda di antaranya : Chairul Saleh, Soekarni, Latief Hendraningrat, Asrama Hadi (H. R.) yang setelah keluar dari tawanan Belanda lalu menerbitkan Pemandangan Jakarta. Satu-satunya wartawati yang ikut pula ditangkap dan diinternir di Garut S. K. Trimurti.

Penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 153 bis yang berbunyi:

"Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum 300 rupiah".

Istilah-istilah dalam pasal inilah yang dapat menjirat pembicara di rapat atau penulis di suratkabar ialah dengan kata-kata menyindir, samar-samar dan mengganggu keamanan umum.

Mengenai jalannya penangkapan terhadap diri Adam Malik, baiklah penulis mengutip tulisan Asmara Hadi (H. R.) dalam bukunya yang berjudul "Di Belakang Kawat Berduri" yang terbit pada tahun 1942 pada halaman 9, 10, dan 12. Sebelum menceritakan diri Adam Malik, Asmara Hadi menceritakan dirinya sendiri antara lain: 

"Sangkaku saya akan dibawa ke Hopburo (Pen: Kantor Polisi) tetapi tidak, auto berhenti di depan station Gambir dan saya dimasukkan dalam ruang yang sebelum pecahnya perang dipakai sebagai gudang. Saku saya diperiksa dulu sebelum masuk. Kertas dan potlot tidak diperkenankan dibawa ke dalam. Siapa yang beruang, tidak boleh menyimpan lebih dari sepuluh rupiah dalam kantongnya. Setelah badan saya diperiksa dan ternyata tidak ada barang yang terlarang, barulah saya boleh masuk dengan ancaman bahwa kepala saya akan dihujani pelor kalau saya berani mencoba lari. Seakan-akan jiwa saya tidak berharga sepeser butapun.

Dalam gudang itu sudah menunggu beberapa orang yang menjadi mangsa kekuasaan Belanda, di antaranya tuan-tuan Rais dan Dasaat A. Muslim, terkenal dalam dunia perniagaan Indonesia. Makin petang hari makin bertambah jumlah kami, sebab hampir tiap jam pegawai PID datang membawa orang tangkapan. Tidak lama sesudah saya datanglah Saudara Adam Malik. Matanya tetap gembira dan bersinar. Dalam badannya yang kecil dan kadang-kadang kekurangan makanan itu hidup semangat yang kuat. Dari mana kau? tanyaku. Polisi sudah payah mencari kau di mana-mana. Dari rumah, jawabnya sambil ketawa. Setelah saya dengar bahwa PID mencari saya, datanglah saya ke Hopburo dan dari sana terus dibawa ke sini. Bodoh betul pegawai PID itu. Mereka mencari dan menanyakan saya bukan di tempat saya tinggal tetapi di rumah orang lain. Saya datang sendiri ke Hopburo supaya setiap orang yang kenal pada saya jangan ditemui PID.

Bahwa kejadian itu sangat mengharukan hati kami sudahlah pasti. Pada muka beberapa teman juga pada muka saya perasaan hati itu sangat tampak. Tuan Rais menghibur dan memperkuat hati kami dengan nasehat-nasehatnya yang berguna.

Tidak saya sangka bahwa saudagar besar yang biasa menghitung uang beribu-ribu itu pandai juga melayang dalam alam filsafat. Segala peristiwa dalam dunia ini ada gunanya, katanya! Baik yang girang maupun yang sedih. Setiap penderitaan adalah api ujian. Siapa yang tidak hilang imannya, tetap yakin akan pimpinan Ilahi, akan keluar dari ujian itu sebagai orang besar.

Siapa Tahu Antara Jadi Besar

"Siapa tahu", katanya kepada Adam Malik, siapa tahu justru karena percobaan ini tuan nanti akan menjadi orang besar. Kantor Kabar "Antara" yang kini masih kecil, akan menjadi kantor kabar yang bercabang di segala tempat di seluruh dunia ini dan kalau tuan melancong di negeri lain setiap jongos di hotel tempat tuan menginap akan berbisik kepada temannya: Lihatlah itu tuan Adam Malik, direktur "Antara".

Dan kepada tuan Dr. Latip tuan Rais berkata; Kalau tuan tetap giat berusaha dan umur tuan Tuhan panjangkan tuan akan meninggalkan nama yang seharum Pasteur.

Memang benar katanya itu. Setiap orang menjadi besar, setiap pahlawan menjadi besar karena penderitaan dan perjuangan. Setiap penderitaan adalah rakhmat yang bertopeng dan akan memperlihatkan wajahnya yang sebenar-benarnya kalau kita tabah menerimanya."

Demikianlah tulisan asli Asmara Hadi (H. R.) yang disalin oleh penulis dengan ejaan yang disempurnakan.

Dari berbagai pelosok Indonesia, orang-orang yang ditangkap pemerintah Hindia Belanda lalu dikumpulkan di tempat tawanan yang memang sudah disiapkan sebelumnya, yaitu di desa Talun, Garut, Jawa Barat. Di dalam kamp tahanan Garut ini penulis satu kamar dengan Latif Hendraningrat, Samawi (Pimpinan Harian "Kedaulatan Rakyat" Yogya) dan kamarnya berdampingan dengan Ibu S. K. Trimurti yang kala itu sedang mengandung.

Mengenai pengalaman Adam Malik di dalam interneering kamp, dalam hal ini kami tulis kutipan dari buku "Adam Malik" Mengabdi Republik. Jilid I pada halaman 206 dan 207 antara lain beliau menulis:

"Kamp tahanan Belanda di Garut penuh sesak oleh tahanan politik. Kami berdempet-dempet dan bersempit-sempit seperti sapi dalam gerbong kertea api karena besar ruangan tak seimbang dengan jumlah tahanan. Keadaan yang tak memenuhi syarat-syarat kesehatan ini berlangsung selama tiga bulan lebih. Kemudian pada suatu sore tanggal 5 Maret 1942 rombongan kami bersama-sama dengan tahanan-tahanan politik yang lain, dengan memakai kendaraan bis, dipindahkan ke Cilacap. Waktu itu berlaku jam malam. Berjalan pakai bis menempuh jarak jauh antara Garut - Cilacap dengan kecepatan seperti keong, sangat meletihkan dan tak tertahankan. Kami sampai keesokan paginya di Cilacap tanggal 6 Maret 1942, dalam keadaan lesu letih. Setelah menunggu beberapa lamanya di Pelabuhan kami diseberangkan ke pulau tempat tahanan Nusa Kambangan. Akan tetapi Nusa Kambangan hanya sebagai tempat persinggahan sementara bagi kami, karena kami direncanakan akan diangkut kembali ke Cilacap pada tanggal 8 Maret untuk selanjutnya dibawa ke Brisbane, Australia, naik kapal S. S. Tawali.

Pada tanggal 6 Maret 1942 Cilacap sudah dalam keadaan kacau balau dan kebingungan. Pelabuhan Cilacap kelihatan penuh oleh orang-orang Belanda dan Inggeris. Sesudah mengundurkan diri pontang-panting dari kota-kota seperti Betawi, Bandung, Semarang, Surabaya dan Singapura, mereka kelihatan lesu berkumpul berkelompok-kelompok di kade menunggu-nunggu tanda harus naik kapal untuk diangkut ke Australia.

Truk-truk tentara yang kosong bertebaran di mana-mana. Beberapa buah kapal termasuk S. S. Tawali nampak bersauh dan mengisi muatan yang terdiri dari bahan pangan, air, peti-peti dan kendaraan-kendaraan. Suasana mencekam di sekitar keadaan yang menekan, semakin bertambah oleh sikap putus asa dokter-dokter dan bidan-bidan Belanda dan Inggeris yang berjalan mondar-mandir.

Selanjutnya dalam kata penutupnya Adam Malik menulis: Kami tidak menyaksikan Cilacap diserang oleh Jepang. Akan tetapi dari tempat tahanan di Nusa Kambangan kami mendengar raungan kapal terbang Jepang tak henti-hetinya memuntahkan bom dan peluru menyerang kota pelabuhan itu. Kapal S. S. Tawali yang direncanakan untuk mengangkut kami ke Australia tenggelam. Maka kami tak jadi diberangkatkan ke tempat pembuangan di Brisbane.

Jatuhnya pemerintah Hindia Belanda yang secara resminya tercatat pada tanggal 8 Maret 1942, bagi kami berlaku keesokan harinya waktu kami dibebaskan oleh Balatentara Jepang dari Kamp tahanan Nusa Kambangan.

Demikianlah secukil tulisan Adam Malik, dalam pengalamannya setelah ditangkap dan ditawan oleh pemerintah kolonial Belanda.

"Antara" Jadi Yashima

Pada waktu tentara Jepang mulai menduduki Indonesia, Kantor Berita "Antara" sementara waktu diperbolehkan bekerja tetapi dengan nama baru Yashima. Tidak lama kemudian Jepang melebur "Antara" alias Yashima menjadi Bagian Indonesia dari Kantor Berita Domei.

Sesudah mengalami penutupan di jaman Jepang, Antara bangun kembali dan merupakan senjata yang hebat dalam revolusi Indonesia untuk membela dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.

*



Sumber: Korpri, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Gedung Kebangkitan Nasional Lebih Dikenal Kalangan Pelajar

Ruang "Anatomi" hanyalah sebuah ruangan kecil yang terletak di salah satu sudut gedung. Tapi dibanding dengan ruangan lain yang ada di komplek Gedung Kebangkitan Nasional, ruang "Anatomi" merupakan ruang yang paling bersejarah. Di ruang berukuran 16,7 x 7,8 meter itulah lahir perkumpulan Budi Oetomo. Budi Oetomo yang dilahirkan 20 Mei 1908 oleh para pelajar sekolah kedokteran Stovia adalah organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia yang merintis jalan ke arah pergerakan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Jadi tepat sekali kalau gedung eks-Stovia itu dinamakan Gedung Kebangkitan Nasional (GKN). Di dalam gedung tersebut terdapat Museum Kebangkitan Nasional yang bertugas menyelenggarakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penerbitan, pemberian bimbingan edukatif kultural, perpustakaan, dokumentasi, dan penyajian benda-benda bernilai budaya dan ilmiah yang berhubungan dengan sejarah kebangkitan nasional. Peranan Museum Kebangkitan Nasiona...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...