PERANG berkecamuk di Dayeuhkolot, Kab. Bandung akhir Juni 1946. Pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI) bertempur melawan pasukan gabungan Jepang-Belanda. Ketika itu, kota sudah dikosongkan. Semua penduduk mengungsi ke Manggahang (Baleendah) atau ke Rancakole (Banjaran).
Setelah perang itu usai, Letnan Satu Endang Suryadi--anggota TRI--tak kunjung pulang ke rumah. Berhari-hari, komandan pasukan, Mayor Saleh bersama anak buahnya mencari Endang. Sanak keluarga pun demikian. "Semua tempat ditelusuri, tapi kakak saya tak juga ditemukan. Akhirnya, kami anggap dia sudah meninggal. Makanya, di pengungsian, pada hari ketujuh, kami menggelar tahlilan," tutur Misbah Sudarman (72), adik kandung Endang, ketika ditemui di kediamannya di Kampung Lamajang Desa Citeureup Kec. Dayeuhkolot Kab. Bandung, Sabtu (17/3).
Tak dinyana, dua hari setelah tahlilan digelar, Lettu Endang hadir di pengungsian. Keadaannya tak karuan. Kepala Endang dibalut perban. "Katanya, dia tertembak musuh ketika berperang di muara (Sungai Cisangkuy--red.). Sekarang, daerah itu masuk ke wilayah Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah. Ketika dia datang, kami sempat ragu bercampur bahagia. "Bener kitu ieu teh Kang Endang?" katanya mengenang.
Misbah menuturkan, saat itu, sang kakak mengabarkan berita penting kepada dirinya. Dalam tempo 3-4 hari kemudian, Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan bakal berjibaku. Keduanya akan meledakkan gudang mesiu milik Jepang (bukan milik Belanda, seperti tertulis dalam sejarah--red.). "Benar saja. Kira-kira pukul 10.00 WIB atau 11.00 WIB, saya tidak ingat betul, terjadi ledakan dahsyat sekali. Getarannya terasa sampai Banjaran. Kami sempat menyaksikan debu dan asap beterbangan," ujar Misbah.
Sejak saat itu, Jepang dan Belanda gencar melancarkan serangan jarak jauh, menggunakan senjata kanon. Tempat-tempat pengungsian di Manggahang diserang, penduduk berpindah ke Rancakole. "Ketika Rancakole di-kanon, kami pindah ke Pamupukan (Banjaran--red.), termasuk Kang Endang yang saat itu belum betul-betul sehat. Pamupukan kemudian diserang. Akhirnya, kami pindah ke Garut," ucapnya.
Selama berada di Garut, kondisi kesehatan sang letnan berangsur pulih. Keinginan Lettu Endang untuk bertempur kembali muncul. Dia kembali ke medan tempur.
"Pada tahun 1948, kami betul-betul kehilangan kontak, hingga kini. Kami tak tahu, ....
(Sambungannya tidak ada.)
Sumber: Pikiran Rakyat, 18 Maret 2007
Komentar
Posting Komentar