Langsung ke konten utama

Peradaban Islam Nusantara (Barus)

Budi Agustono

Sejarawan, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara


BARUS merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Sebelum dimekarkan menjadi beberapa kecamatan, wilayah Barus relatif luas. Mula-mula Barus dipecah menjadi dua kecamatan, Sorkam dan Manduamas, kemudian menjadi tiga kecamatan, Andam Dewi, Barus Utara dan Sirondorung. Saat ini Barus hanya menjadi salah satu kecamatan dari 20 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Sebelumnya, Barus adalah kota tua yang namanya melegenda hingga ke mancanegara pada abad ke-7 sampai ke-18.

Barus masa lampau bagian dari Nusantara yang dikenal sebagai kota dagang di Pantai Barat Sumatra. Pada masa itu di pesisir Pantai Barat Sumatra tumbuh kota yang kehidupannya mengandalkan laut. Laut menjadi sumber peradaban. Peradaban itu memproduksi teknologi nautika sebagai kompas dalam lalu lintas perdagangan satu kota ke kota lain dan satu wilayah ke wilayah mancanegara lainnya. Dengan teknologi nautika dan tumbuhnya industri perkapalan, para saudagar Persia, Tiongkok, Tamil, dan lainnya melakukan transaksi perdagangan ke Nusantara, termasuk Barus.

Barus masa lalu menghasilkan komoditas primadona kapur barus dan kemenyan, selain gading, emas, cula badak, dsb. Karena daerah itu menghasilkan komoditas laris di pasar dunia, para saudagar mancanegara mendatangi Barus. Saudagar itu ada yang menetap lama dan membentuk permukiman di Lobu Tua, Barus. Ada permukiman Arab, Persia, India, dan sebagainya. Lobu Tua ialah kota kosmopolit karena banyak pemukim asing bertempat tinggal di kota tersebut. Lokasinya tidak jauh dari pantai Barus, yang menjadi gerbang masuknya para saudagar asing ke kota itu.

Relasi dagang Barus dengan mancanegara telah terjalin lama. Masyarakat lokal tidak hanya menikmati keuntungan ekonomi dari jalur perdagangan, tapi juga berinteraksi dengan komunitas saudagar Timur Tengah, Persia, Arab, Tiongkok, dan India. Kedatangan saudagar asing menghasilkan fertilisasi budaya yang memperkaya budaya lokal. Demikian populernya Barus di masa gemilangnya sehingga namanya selalu disebut berbeda-beda oleh pelancong atau saudagar yang pernah berkunjung ke kota tua itu.

Sebagai kota dagang, Barus memiliki relasi dengan pedalaman. Salah satunya ialah Salak (Tano Pakpak) yang saat ini menjadi ibu kota Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatra Utara. Tano Pakpak menghasilkan kapur barus dan kemenyan. Kedua tanaman itu didapat di hutan belantara yang dikelola orang Pakpak. Jika kedua komoditas itu dipanen, hasilnya dipanggul orang Pakpak ke Barus. Dari sinilah kapur barus dilayarkan ke Timur Tengah sebagai bahan pengawet mayat. Hubungan ekonomi antara Barus dan Pakpak menyebabkan daerah Pakpak menjadi terbuka.

Barus tidak saja menjadi lokus fertilisasi budaya, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Islam. Namun, tidak ada bukti autentik Barus sebagai awal mula penyebaran Islam di Nusantara. Penyebaran Islam di Barus meninggalkan ratusan batu nisan sebagai bukti berkembangnya Islam yang sampai sekarang masih berdiri tegak di beberapa makam di sekitar kota tua itu. Bahkan makam salah satu penyebar Islam yang terletak di Papan Tinggi atau batu nisan yang terdapat di makam Mahligai, atau yang bertebaran di permakaman lainnya, menjadi bukti peninggalan penyebaran Islam di Barus.

Pada abad ke-18, bersamaan dengan intensifikasi kekuasaan Belanda di wilayah itu, perkembangan Islam dan perdagangan cukup berkembang. Pada abad itu Barus menghasilkan karya-karya Islam, termasuk pengaruh tiga ulama kesohor Hamzah Fansuri, Sumatrani, dan Arraniri. Semasa hidup mereka menjadi ulama besar di Kesultanan Aceh, karya-karya itu menyebar luas di wilayah tersebut. Pada masa abad ke-18, orang Batak yang bermigrasi ke Barus karena penyebaran Islam menjadi muslim yang kemudian dikenal sebagai Batak muslim. Pada masa itu Barus masih bertahan sebagai kota dagang. Bahkan hubungan dagang dengan Penang berkembang pesat dan menarik orang-orang Penang bermukim di wilayah tersebut.


Nestapa

Masa lalu Barus berselimut kejayaan. Sejatinya agar kisah kejayaan masa lalu tetap diingat, peninggalan batu nisan (Islam) dijaga dan dirawat. Namun, saat ini kondisi Barus sangat berbeda, menjadi nestapa. Jika berkendara dari Pandan, ibu kota Tapanuli Tengah, menuju Barus, terlihat pembangunan belum mengangkat penduduk kota tua itu dari kemiskinan. Rumah-rumah masih beratap seng, berdinding papan, dan kusam. Masyarakat tertinggal, didera keterbelakangan dan kemiskinan.

Pemerintah setempat kurang memperhatikan kehidupan masyarakatnya. Terabaikannya pembangunan terefleksikan dari tidak masksimalnya pemerintah daerah memperhatikan dan memelihara situs-situs bersejarah. Papan Tinggi adalah makam penyebar Islam yang harum namanya. Lokasinya di atas pegunungan dan peziarah harus menaiki seribu anak tangga. Dari atas ketinggian makam Papan Tinggi, terlihat hamparan pantai Barus yang terkenal itu. Setiap menjelang puasa, Papan Tinggi ramai dikunjungi peziarah.

Namun, di Papan Tinggi, makam penyebar Islam sepanjang 7 meter yang sisi kanan dan kirinya terpancang dua batu nisan bertuliskan aksara Arab Melayu berusia ratusan tahun itu tidak dipelihara dengan baik. Makam hanya beralas tanah berpasir. Kondisi yang sama di makam Mahligai, kompleks permakaman penyebar Islam. Juga di kolam pemandian putri raja Barus, Andam Dewi, yang berusia ratusan tahun di perkampungan. Kolam pemandian yang memiliki nilai bersejarah tinggi itu dibiarkan hancur termakan oleh waktu.

Pantai Barus yang memesona membentang di Pantai Barat Sumatra. Kondisi pantai yang di masa jayanya sebagai gerbang kota dagang menghubungkan ke jalur perdagangan mancanegara itu saat ini menyedihkan. Meski menjadi salah satu andalan wisata bahari, keadaannya menyesakkan hati. Gubuk tempat rekreasi di sepanjang pantai rusak dimakan usia. Belum ada upaya maksimal menghidupkan kembali memori Barus sebagai kota penyebaran Islam dan kota dagang.

Sebaliknya, yang digerakkan pemerintah setempat ialah pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi kelapa sawit. Ekspansi kelapa sawit dicangkokkan ke daerah Barus menghasilkan perebutan tanah rakyat di sekitar berdirinya industri kelapa sawit. Karena disokong kekuasaan lokal, industri kelapa sawit memproduksi konflik pertanahan yang tak berkesudahan. Akibatnya, konflik antara industri kelapa sawit dan rakyat terus melebar dari waktu ke waktu.

Barus kini telah terintegrasi dalam kapitalisme dunia. Barus seolah kehilangan asa membangkitkan kegemilangan masa lalu sebagai modal kultural penebar inspirasi menghidupkan jejak penyebaran Islam dan kota dagang di Sumatra Utara. Sisa peninggalan masa kejayaan Barus sebagai salah satu wilayah penyebaran Islam Nusantara terbenam dalam hiruk pikuknya pembangunan daerah yang kehilangan arah. Inilah nestapa kota tua Barus di Pantai Barat Sumatra.

Pemancangan tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus oleh Presiden Jokowi 25-26 Maret 2017 lalu diharapkan menjadi awal penataan dan kebangkitan kembali roh Barus sebagai wilayah penyebaran Islam Nusatara dan kota dagang di Sumatra Utara di masa mendatang.


Sumber: Media Indonesia, 31 Maret 2017


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan