HINGGA kini, tak dapat dimungkiri, peristiwa peledakan gudang mesiu di Dayeuhkolot 10 Juli 1946 masih menyisakan silang pendapat. Benarkah tindakan itu? Layakkah kemudian Toha dijadikan pahlawan? Lalu, siapakah Toha sebenarnya? Orang manakah dia? Jangan-jangan, Toha itu sebenarnya fiktif belaka. Pertanyaan-pertanyaan itu, hingga kini, sering kali muncul.
Sejarawan Unpad, Ahmad Mansur Suryanegara membenarkan hal tersebut. Sebagian kalangan pejuang, malah menganggap apa yang dilakukan Toha keliru. Karenanya, status pahlawan tak layak disandangkan kepadanya. "Anggapan mereka, waktu itu, Dayeuhkolot kan bukan daerah pendudukan Belanda. Mengapa gudang itu diledakkan? Dilihat dari caranya, dia (Toha, -red.) bukan pahlawan," tuturnya.
Sosok Toha, hingga kini, memang masih misterius. Tak heran kemudian jika banyak yang mempertanyakannya. Antara ada dan tiada. Itu pulalah yang diungkapkan tokoh pejuang, H. Soewarno Darsoprajitno. "Toha, mungkin ada, mungkin juga tidak ada. Soalnya, sampai saat ini, tak ada orang yang tahu pasti soal itu," katanya.
Komandan Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution pun tak tahu. Di dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan (2002), ia mengungkapkan, saat kejadian, dirinya tengah berada di markas, di selatan Banjaran, berbincang dengan sesama pejuang. "... (ketika) kita sedang bicara tentang siasat harus ditingkatkan, terdengar ledakan. Kita lari keluar melihat. Nah, itu ternyata gudang mesiu Belanda yang ada di Dayeuhkolot, meledak. Dari mana terjadi, kita juga tidak tahu. Maklumlah yang berkuasa kan Belanda," ungkapnya.
Hanya sekelumit biografi Toha terungkap. Di dalam buku itu, seorang narasumber bernama Djadjat Suraatmadja berkata, "Mohammad Toha umurnya baru 14 tahun, kalau saya tidak salah. Malah oleh saya sering disuruh memotong kayu bakar. Kira-kira 14 tahun lah umurnya dia itu ... dari Barisan Banteng."
Orang yang ragu akan keberadaan Toha menganggap, peledakan itu nyaris mustahil terjadi, apalagi oleh Toha seorang diri. Alasannya, tentu saja, penjagaan sangat ketat. Akan tetapi, Soewarno menjelaskan, waktu itu, anak berumur 14 tahun sangat mudah memasuki wilayah yang dikuasai Belanda. "Belanda tak akan menyangka Toha pejuang. Apalagi, mungkin, waktu itu, Toha sering bantu-bantu di sana," ucapnya.
Kendati demikian, kata Soewarno, tak menutup kemungkinan, sebenarnya Toha itu fiktif belaka. Pasalnya, dalam riwayat perjuangan, hal itu pernah terjadi. "Di Tarakan, misalnya. Seorang Heiho bernama Amat disebut-sebut sebagai pahlawan. Makanya, muncul lagu berjudul 'Amat Heiho Jantan Indonesia'. Padahal, Amat itu tidak ada. (Pemunculan nama) itu hanya untuk pemicu semangat para pejuang," tuturnya.
**
DI dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan, R. H. Lily Sumantri juga menceritakan kisah yang pernah didengarnya. "Mohammad Toha berasal dari Pasukan Barisan Banteng namanya, ya. Berangkat dari Baleendah. Sebelum itu, Belanda melakukan mortir aja terus ke Baleendah ke selatan. Dia nyerbu ke Batu, ke Galuh, ke Dayeuhkolot. E ... Ramdan ada dari campuran Banteng sama Hizbullah," katanya.
Banyak kisah menyebutkan bahwa Mohammad Toha berasal dari Garut. Ada pula yang menyebutkan bahwa Toha adalah orang Ujungberung. Misbah Sudarman (72), tokoh masyarakat Desa Citeureup Kec. Dayeuhkolot, punya versi berbeda. "Kebetulan, kakak saya, Endang Suryadi--kini hilang tak tahu rimbanya--berkawan akrab dengan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan. Kakak saya bergabung dengan TRI (Tentara Republik Indonesia). Pangkatnya Letnan Satu. Dia pernah bilang bahwa sebenarnya Mohammad Toha itu warga Jalan Banceuy--enggak tahu gang apa--Kota Bandung," tuturnya. (Hazmirullah/"PR") ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 20 Maret 2007
Komentar
Posting Komentar