Oleh H. SOEWARNO DARSOPRAJITNO
JARAH rayah sebenarnya bukan hanya monopoli sekarang saja, tetapi juga pernah terjadi sesudah perang dunia kedua usai.
Sekitar bulan Februari 1942, Kota Yogyakarta sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian keluarga para pejabat Belanda untuk mengungsi ke Australia melalui Pelabuhan Cilacap sedangkan Bala Tentara Kekaisaran Jepang sudah menguasai kawasan pantai utara Pulau Jawa.
Pada peralihan kekuasaan yang masih diselang waktu kurang dari 24 jam itulah Kota Yogyakarta mengalami masa penjarahan pertama kali pada abad XX. Penjarahan umumnya dilakukan di berbagai rumah Belanda yang ditinggalkan penghuninya.
Sementara itu pada bulan September 1945, penjarahan yang terjadi berlangsung di berbagai kantor yang pada waktu itu masih dikuasai Pemerintah Jepang, walaupun sebenarnya kemerdekaan RI sudah diproklamasikan. Penjarahan ini umumnya dilakukan oleh para pemuda dan pelajar SMP atau SMT (Sekolah Menengah Tinggi) setara dengan SMU sekarang, yang selanjutnya menjalar ke berbagai rumah yang dihuni para pejabat Jepang.
Penjarahan ini mencapai puncaknya, setelah para pemuda bersama para mantan anggota tentara Jepang baik Peta (Pembela Tanah Air), dan Heiho yaitu tentara Jepang yang terdiri dari para pemuda Indonesia. Sasaran penjarahan yaitu senjata dan perlengkapan militer lainnya.
Penjarahan sama sekali tidak mengganggu pertokoan milik siapa pun juga dan bukan sembilan bahan pokok (Sembako). Sebab pada waktu itu sembilan bahan pokok memang langka, dan umumnya gudang yang ada di daerah Yogyakarta kosong. Demikian pula bahan pakaian, yang selama penjajahan Jepang memang sudah sulit diperoleh.
Penjarahrayahan rumah para pejabat Belanda
Berbagai rumah para pejabat Belanda yang ditinggalkan, umumnya hanya diserahkan kepada para pembantu rumah tangga yang dikenal sebagai babu (perempuan) dan jongos (laki-laki). Mereka inilah, atau bersama saudaranya, yang menjarahrayah rumah tuannya. Barang yang diambil umumya hanya pakaian, perlengkapan makan, dan atau alat dapur. Mereka umumnya tidak mengambil barang mewah seperti radio atau lainnya, sebab tidak berguna di rumah karena tidak ada aliran listrik, atau tidak tahu cara membunyikannya.
Sebagian besar hasil jarahan dijual kepada tetangganya yang terpandang atau kepada keluarga Cina. Barang yang dijual umumnya berbagai jenis pakaian yang nampak asing, sebab pada waktu itu di kampung belum menjadi mode berpakaian dengan celana pendek yang menurut istilah kampung di Yogyakarta disebut "karto beruk", karena tidak dapat mengucapkan kata aslinya dalam bahasa Belanda "korte broek".
Demikian pula selain barang, bahasa Belanda pun ikut masuk sesuai dengan lidahnya seperti baskom (waskom), serbet (servet), anduk (handoek), setlika (strijken) atau setrika, ember (emmer), dan beberapa lagi lainnya barang kebutuhan rumah tangga.
Penjarahan rumah Belanda oleh para pembantunya yang takut akan kehadiran tentara Jepang ini berlangsung aman dan damai, walaupun berlangsung amat singkat dan dilakukan secara diam-diam.
Pemuda pelajar menjarah perumahan pejabat Jepang
Menjelang akhir perang dunia kedua, rupanya kekuatan tentara Jepang sudah tidak berarti. Karena itu para pemuda pelajar mulai berani menjarah perumahan para pejabat Jepang yang umumnya pada mengungsi ke tangsi tentara Jepang.
Barang jarahan memang tidak seberapa, tetapi merupakan barang yang merangsang untuk diambil sebab merupakan barang "mewah". Anehnya barang tersebut banyak yang bukan buatan Jepang, seperti pulpen (vulpen) merek Parker, baju lengan panjang merek Arrow, daging kornet (corned beef), dan beberapa lagi lainnya.
Sementara itu penjarahan juga ke beberapa kantor yang masih dikuasai para penguasa Jepang dengan sasaran kendaraan mobil, yang langsung ditempeli bendera merah putih dari kertas. Umumnya para pegawai Indonesia diam saja menyaksikan perilaku para pemuda, sekalipun mereka ini tidak nampak beringas.
Demikian pula penguasa Jepang juga tidak mengerahkan tentaranya sebab pada umumnya sudah jatuh mentalnya dan takut akan balas dendam rakyat Indonesia.
Penjarahan ini akhirnya diikuti oleh para pegawai Indonesia yang menuntut penyerahan kegiatan kantor secara damai, dan ternyata para pejabat Jepang dengan rela memenuhi tuntutan para pegawai. Satu demi satu kantor yang masih dikuasai para penguasa Jepang diserahkan kepada bangsa Indonesia dan tinggallah tangsi tentara Jepang yang belum dijamah.
Pada waktu itu mahasiswa belum ikut berperan sebab di Yogyakarta memang belum ada mahasiswa. Apalagi di Yogyakarta pada waktu itu belum ada perguruan tinggi dan istilah mahasiswa belum ada. Perguruan tinggi yang terkenal baru ada di Bandung, yaitu "Kogyo Dai Gakko" (sekarang ITB) dan di Jakarta yaitu "Ika Dai Gakko" (Sekolah Tinggi Kedokteran).
Sekalipun demikian para pemuda yang umumnya dipelopori para pelajar SMT bersama mantan tentara Peta, Heiho, dan dibantu satuan Polisi Istimewa yang kemudian berganti nama "Mobile Brigade" (Brigade Mobil), mulai mempersiapkan diri menjarah beberapa tangsi tentara Jepang untuk mencari senjata.
Penjarahan ini akhirnya dilakukan pula pada malam hari tanggal 7 Oktober 1945. Sekalipun ada tentara Jepang yang mempertahankan diri, persenjataan pun dapat direbut.
Menjarah pesawat terbang
Sekalipun jatuh korban di antara para pemuda, yang umumnya masih berusia muda tetapi tidak menurunkan semangat. Di antara para pemuda yang gugur, ada seorang pelajar SMP yang baru duduk di kelas satu yang gugur ditusuk bayonet tentara Jepang.
Setelah penjarahan senjata yang umumnya para pemuda baru pertama kali memegang senjata api, maka dalam waktu singkat mereka ini dilatih para mantan tentara PETA, Heiho, atau Polisi Istimewa. Mereka ini bebas membawa senjata ke mana pun juga, termasuk kalau pergi ke sekolah walaupun duduk di SMP. Hal ini sengaja dibebaskan sebab di samping belum ada peraturan hukumnya, kalau terjadi sesuatu yang darurat, mereka ini dapat segera dikumpulkan.
Pada waktu itu para pemuda dan pelajar mulai dilatih kemiliteran di berbagai daerah di seputar Kota Yogyakarta sebab masih ada daerah yang belum bebas dari kekuasaan Jepang, yaitu lapangan terbang Meguwa yang sekarang sudah berganti nama Bandara Adisutjipto. Akhirnya lapangan terbang ini pun juga berhasil direbut dengan dipelopori oleh sebanyak 30 orang anggota Polisi Istimewa. Ternyata kekuatan tentara Jepang di lapangan terbang ini pun tidak seberapa, padahal beberapa pesawat militer ada di tempat ini.
Satu pesawat terbang militer di antaranya yaitu pesawat pembom "Mitsubishi" yang digunakan oleh pasukan tempur kebanggaan tentara Jepang yaitu "Tokko Tai (Tokubetsu Kogeki Tai)". Pesawat pembom ini ternyata masih dapat diterbangkan kembali oleh para penerbang Indonesia, di antaranya barangkali penerbang Adi Soetjipto dan Abdurahman Saleh.
Pesawat jarahan yang diterbangkan di udara Yogyakarta dan diperkenalkan dengan nama pembom "Diponegoro" membangkitkan semangat sebab sudah menggunakan merah putih di badan pesawat. Sayang sekali pesawat ini baru dapat terbang sekali, sesudah itu tidak nampak lagi. Mungkin pesawat ini termasuk pesawat yang kehabisan suku cadang.
Sekalipun demikian beberapa pesawat tua lainnya yang bersayap ganda, masih ada beberapa buah dan dapat diterbangkan. Pesawat bersayap ganda ini di dalam sejarahnya pernah ikut membombardir Kota Semarang pada bulan Juli 1947, dan pesawat jarahan ini dengan selamat dapat kembali ke pangkalannya di Yogyakarta.
Kualitas perilaku budaya menurun?
Sekalipun penjarahan merebak ke berbagai kota yang ada pejabat Jepangnya tetapi pembakaran perusakan sama sekali tidak terjadi. Sebab para pemuda menyadari bahwa semuanya akan menjadi milik negara, dan jika dirusak, atau dibakar, maka yang rugi adalah bangsa Indonesia sendiri.
Lalu bagaimana dengan penjarahan yang terjadi sekarang? Apakah ini suatu balas dendam karena pernah menjadi sasaran penjarahan secara "paksa rela" yang dahulu menimpa dirinya?
Sebenarnya penjarahan juga terjadi di mana saja di dunia ini, dengan motif yang berbeda, tetapi prinsipnya sama yaitu untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari yang sudah tertekan. Akan tetapi bagaimanapun juga penjarahan merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, apalagi jika sasaran yang dijarah bukan milik musuh yang menjadi lawan dalam suatu peperangan. Lebih-lebih lagi jika penjarahan tersebut disertai dengan perusakan, pembakaran, dan pelecehan seksual.
Berdasar pengalaman, nampaknya penjarahan, apalagi pelecehan seksual, tidak termasuk dalam aturan main dalam peperangan apa pun, hingga pada masa perang kemerdekaan ada beberapa anggota pasukan gerilya yang melakukan pelecehan seksual, mati konyol dalam suatu pertempuran dan hal ini tidak terjadi satu dua kali, tetapi berkali-kali.
Apakah ini kebetulan atau memang kemurkaan Allah SWT yang langsung menghukum umatnya untuk memperingatkan agar umatnya yang lain tidak berbuat demikian?
Demikian pula terjadinya suatu penjarahan yang sebenarnya juga tidak termasuk aturan peperangan, satu demi satu menerima hukuman Allah SWT.
Bagaimana dengan pelaku penjarahan atau penculikan yang sebenarnya, juga tidak menjadi aturan permainan dalam suatu negara yang juga menghormati hak asasi manusia melalui Pancasila. Begitu pula halnya dengan korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme, yang juga tidak termasuk aturan permainan dalam suatu penyelenggaraan administrasi kenegaraan. Kalau hal ini terjadi, apakah merupakan gejala penurunan kualitas perilaku budaya bangsa?
Dampak memang selalu terjadi dalam suatu kegiatan hidup, tetapi bagaimana mengembangkannya jika dampaknya positif dan bagaimana pula penanggulangannya, jika dampaknya negatif. Nampaknya kegiatan pembangunan yang selama orde baru dilakukan, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) tidak dilakukan dengan baik dan benar. Akibatnya berbagai dampak negatif lambat atau cepat selalu terjadi, terutama dampak negatif yang sifatnya psikologi.
Mudah-mudahan semua penjarahan segera berakhir dan menjadi unsur penyadaran dan kebangkitan bangsa Indonesia untuk berjaya kembali. ***
- H. Soewarno Darsoprajitno, pengamat tata lingkungan dan perilaku budaya manusia.
Sumber: Pikiran Rakyat, 3 Oktober 1998
Komentar
Posting Komentar