Dalam sejarah revolusi 1945 Surabaya, terdapat dua peristiwa penting yang mendahului dan berperanan mematangkan situasi pecahnya revolusi, merebut senjata Jepang. Yaitu peristiwa penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (19-9-1945), Tunjungan, dan peristiwa Rapat Raksasa Tambaksari (RRT). Rapat raksasa tersebut berhasil mengobarkan semangat dan membulatkan tekad rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan serta mendukung secara demonstratif eksistensi pemerintah Republik Indonesia di Surabaya.
Berawal dari Rapat Raksasa Tambaksari (RRT) itulah kemudian terjadi berbagai aksi pemuda, dimulai dengan aksi penyobekan plakat-plakat larangan Jepang (antara lain larangan membawa bambu runcing), digantikan dengan plakat dan corat-coret dinding semboyan perjuangan. Menyusul kemudian aksi pengambilan alih jawatan, kantor-kantor, gudang dan mobil Jepang di jalan raya dengan penempelan plakat "Milik Republik Indonesia". Berbagai aksi itu dalam waktu singkat kemudian berkembang menjadi aksi massa rakyat melucuti senjata kesatuan tentara Jepang yang mencapai klimaksnya pada tanggal 1 - 3 Oktober 1945 dengan berhasil didesaknya pimpinan Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Surabaya untuk menyerahkan seluruh persenjataan dan peralatannya.
Dua Tanggal
Sayang, RRT yang bersejarah itu, di berbagai buku dan sumber belum ada keseragaman mengenai tanggal terjadinya. Buku terbitan Kementerian Penerangan, Republik Indonesia, Propinsi Jawa Timur, th 1951, (hl 91), menyebut RRT terjadi tanggal 11 September 1945. Buku catatan Mayjen Purn. Sungkono, Data-data Peristiwa Revolusi 10 Nopember 1945 di Kota Surabaya (hl 2), di samping menyebut rapat raksasa Pasar Turi tgl 17 September, juga menyebut RRT tgl 11 September 1945 pula.
Di pihak lain satu kelompok tokoh pejuang Surabaya (antara lain Dr Roeslan Abdulgani) yang kini sedang menyusun buku Arek-arek Surabaya dan Hari Pahlawan dan pendapatnya kemudian dikutip Blegoh Soemarto dalam bukunya, Pertempuran 10 Nopember 1945 (hl 127-128), menyebut RRT terjadi tgl 21 September 1945. Mana yang benar, tgl 11 atau 21 September 1945?
13 September
Waktu penulis meneliti dan menyusun buku Pelajar Pejuang TGP 1945-1950, th 1982, (hl 16), telah menemukan adanya kontroversi tgl RRT tersebut. Dalam harian Soeara Asia (media massa zaman Jepang), Surabaya, tgl 10 September 1945, penulis menemukan sebuah pengumuman akan diadakannya rapat raksasa di Tambaksari, Selasa tgl 11 September, pukul 6 sore (waktu Tokyo jam 6 = pukul 4.30 WIB). Dari sumber inilah agaknya buku Kementerian Penerangan dan catatan Mayjen Sungkono itu menyebut RRT terjadi tgl 11 September 1945.
Rencana RRT tersebut ternyata urung; Soeara Asia tgl 11 September 1945 memuat pengumuman Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya, mengumumkan penundaan rapat raksasa itu, tanpa menyebut tanggal penggantinya. Kapan jadinya RRT dilaksanakan, harian itu tak bisa menjawabnya lagi, karena pada tgl 11 September itu pula harian tersebut "mohon diri", alias berhenti terbit. Baru pada tgl 11 Oktober 1945, harian itu terbit lagi dengan jiwa dan nama baru, Soeara Rakjat. Dengan demikian jarak waktu antara tgl 11 September dan 1 Oktober 1945, di saat di Surabaya terjadi pergolakan hebat, di kota itu justru tak ada media massa yang mencatatnya.
Drg Barlan Setiadijaya dalam bukunya, Merdeka atau Mati di Surabaya 1945, terbit th 1985, (hl 110-111), berhasil memecahkan teka-teki itu. Di harian Soeara Merdeka, Bandung tgl 20 September ia menemukan berita terjadinya RRT yang dimuat sehalaman dengan berita rapat raksasa lapangan Ikada Jakarta tgl 19 September 1945. Menurut harian itu RRT terjadi tgl 13 September, jadi mundur dua hari dari rencana semula.
Dua Kali Rapat
Pendapat Barlan dari segi metodologi cukup kuat, karena ia menggunakan sumber tertulis sebagai tumpuan pendapatnya. Blegoh Soemarto yang menggunakan sumber lisan (keterangan para pelaku), meskipun dari segi metodologi tidak sekuat Barlan, namun mempunyai dasar yang patut dipertimbangkan pula. Pengalaman penulis berwawancara dengan sejumlah para tokoh pelaku pada umumnya memang memperkuat pendapat Blegoh tersebut, bahwa RRT terjadi sesudah peristiwa Hotel Yamato, jadi sesudah 19 September 1945. Mereka mengatakan, peristiwa Hotel Yamato itulah justru yang menjadi salah satu sebab suksesnya RRT.
Jika pendapat Blegoh dan Barlan itu masing-masing mempunyai dasar yang cukup kuat, maka bisa disimpulkan kemungkinan RRT memang terjadi dua kali. Kemungkinan ini sejalan dengan keterangan buku berjudul Dokumentasi Pemuda, terbit di Yogya th 1948, (hl 49-50), yang menyebut bahwa RRT terjadi dua kali, 11 dan 20 September 1945. Kedua tanggal itulah yang dikutip Ben Anderson dalam bukunya, Java in a Time of Revolution, Occupation and Resistance 1944-1946, terbit th 1972, (hl 127 dan 129).
Kemungkinan itu diperkuat oleh data yang membedakan kedua RRT tersebut: 1) RRT I diselenggarakan atas inisiatif KNI Surabaya, sedang RRT II diselenggarakan Gabungan Pemuda Kantor, memenuhi seruan Committe van Actie (Pemuda Menteng 31) dari Jakarta yang meminta agar pada tgl 19 September 1945 diselenggarakan rapat raksasa serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan kota besar lainnya, guna menggerakkan rakyat memperkokoh kekuasaan Republik Indonesia. Karena belum siap, pelaksanaan rapat raksasa di Surabaya diundur sehari atau dua hari, 2) RRT I tidak dilanjutkan dengan pawai besar (meskipun semula ada rencana pawai), sedang RRT II dilanjutkan dengan pawai besar keliling kota, 3) RRT I tidak sebesar RRT II yang menurut Dokumentasi Pemuda rapat II itu dihadiri 500.000 peserta, 4) Reaksi penguasa Jepang terhadap RRT II lebih besar; sehari sesudah RRT II, sejumlah pimpinan pemuda diinterogasi dan memperoleh peringatan keras dari Kempeitai (Polisi Militer Jepang). Tetapi peringatan itu tak dihiraukan pemuda. Setelah RRT II justru malah terjadi berbagai aksi pemuda, seperti yang telah diuraikan di awal karangan ini.
Adanya dua peristiwa berdekatan yang 40 tahun kemudian berbaur menjadi satu peristiwa, bisa dipahami, karena daya ingatan manusia semakin lama semakin kabur. Di sinilah riskannya sejarawan menggunakan sumber lisan, karena itu perlu berhati-hati dan melakukan check and recheck bila menggunakan sumber tersebut.
Kasus serupa juga terjadi di Jakarta; di kota ini orang pun hanya ingat pada rapat raksasa Ikada 19 September 1945 dan menganggapnya sebagai satu-satunya rapat raksasa Ikada setelah proklamasi. Padahal mendahului peristiwa itu, pada tgl 31 Agustus 1945, di Ikada itu pula telah terjadi rapat raksasa yang mempunyai nilai penting pula.
Kembali ke Dokumentasi Pemuda, tanggal yang disajikan buku tersebut perlu dikaji. Tanggal 11 September untuk RRT I yang tertera pada buku itu sudah kita kaji, yang kita pilih adalah pendapat Barlan, yaitu tanggal 13 September 1945. Tanggal RRT II berselisih sehari antara tanggal Dokumentasi Pemuda dan tanggal buku Blegoh, yaitu 20 dan 21 September; mana yang benar? Jika kedua buku itu sama-sama menggunakan sumber lisan, kita lebih berat memilih tanggal Dokumentasi Pemuda, 20 September, daripada tanggal pilihan Blegoh 21 September. Akurasi sumber lisan Dokumentasi Pemuda lebih kuat, karena jarak waktu yang memisahkannya jauh lebih pendek (1945-1948) daripada sumber lisan Blegoh yang berjarak 40 tahun lebih. Meskipun demikian pencarian sumber tertulis tetap diperlukan guna mengecek kebenaran tanggal pilihan kita tersebut.
Dari uraian ringkas ini untuk sementara bisa kita simpulkan, bahwa Rapat Raksasa Tambaksari (RRT) terjadi dua kali, tgl 13 dan 20 September 1945; dengan pengertian bahwa RRT II lebih besar dan mempunyai nilai historis lebih penting dari RRT I. (Mochkardi/Dok SK)
Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar