Langsung ke konten utama

Penjajahan dalam Bentuk Baru

Oleh JB Wahyudi

Sebentar lagi, bangsa Indonesia akan memperingati "Hari Kebangkitan Nasional" dan "50 Tahun Indonesia Merdeka". Presiden Soeharto, pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, tanggal 20 Mei hari ini, akan mencanangkan Gerakan Disiplin Nasional di semua bidang. Disiplin Nasional suatu bangsa yang sudah berusia 50 tahun. 

Salah satu disiplin nasional yang akhir-akhir ini merosot drastis adalah disiplin dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ini terbukti dengan banyaknya gedung-gedung pencakar langit dengan nama-nama asing. Nama-nama permukiman baru, yang menggunakan istilah asing. Bahkan, setiap individu merasa lebih bergengsi bila menggunakan kata-kata asing, seperti: OK, noway, let's go, fine, no problem, is the best, dan entah istilah apa lagi. Lebih runyam lagi, mungkin sebagai "protes" penggunaan istilah asing, muncullah ungkapan lokal seperti lu ..., gue, busyeet ..., gile lu ..., ane ame lu.

Ini baru disiplin penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Belum lagi disiplin berlalu lintas, membayar pajak dan iuran pesawat tv, menggunakan anggaran, masuk kerja, hemat energi, bersih dan aman lingkungan, dan entah disiplin apa lagi yang telah banyak dilanggar. 


Masalah

Disadari atau tidak, akhir-akhir ini, telah terjadi perubahan drastis di hampir semua segi kehidupan bermasyarakat. Ada kecenderungan, di masyarakat telah muncul budaya gengsi, konsumerisme, pamer, munafik, sok canggih, sadis, perundingan seksual, penggunaan obat-obat terlarang, dan budaya penyiasatan.

Budaya penyiasatan ini, tiap hari dapat kita saksikan di layar tv. Misalnya saja, dilarang menyajikan spot iklan rokok, tetapi muncul penyiasatan dengan menyajikan perusahaan dan merk rokok. Dilarang menyajikan spot iklan minuman keras, tetapi muncul spot iklan "Tutup Botol Bir". Dilaang menyajikan Siaran Warta Berita, tetapi muncul siaran informasi aktual yang penting dan atau menarik, yang dikemas dengan "judul mata acara" tanpa menyebut-nyebut kata berita. Diimbau untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi penggunaan istilah OK, is the best, fine, dan no problem ... jalan terus!

Ada kecenderungan pula tumbuh di masyarakat, lebih suka mempermasalahkan masalah daripada mempermasalahkan masalah pokok yang seharusnya dicarikan jalan keluar sampai tuntas. Masyarakat lupa bahwa ada pepatah yang berbunyi, "If you are not part of the solution, you are part the problem." (David Packingham) Hal ini terlihat banyaknya seminar yang membahas masalah dampak siaran terhadap masyarakat, prospek tv di masa depan, bahasa siaran, pengaruh spot iklan tv terhadap anak-anak, padahal kita semua tahu UU Penyiaran dan Kode Etik Siaran belum ada. Jadi, ditinjau dari dasar hukum apa diskusi dalam seminar itu? Bukankah ini hanya mempermasalahkan masalah? Hasil seminar dan diskusi panel sudah menumpuk, tetapi pelanggaran berjalan terus, melalui berbagai bentuk penyiasatan.

Bangsa/masyarakat Indonesia tiap hari dibuat "terkejut" dan selalu dibuat "bingung", akibat datangnya "masa depan" yang begitu cepat dan drastis. Rentang waktu antara "masa depan" yang satu dan "masa depan" berikutnya relatif terlalu singkat. Hari kemarin, hari ini, dan hari esok, selalu ditandai dengan perubahan yang mengejutkan dan membingungkan. Akibat yang paling memprihatinkan dari perubahan drastis di semua segi kehidupan ini, adanya kecenderungan ketahanan mental ideologis Pancasila mulai terpengaruh. Bahkan, sudah ada sekelompok orang yang mulai melecehkan Ideologi Pancasila. Ini harus diwaspadai! 

Keberadaan ideologi Pancasila dan UUD 1945 mutlak adanya bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 adalah satu-satunya sarana pemersatu bangsa, dari Sabang hingga Merauke. Janganlah ada yang bermimpi untuk mempersatukan bangsa Indonesia dengan paham lain.


Penjajah Baru

Dalam meniti era 50 tahun kedua, bangsa Indonesia perlu mewaspadai adanya penjajah bentuk baru, yaitu penjajahan ekonomi dan budaya. Penjajah ekonomi berniat mengikat bangsa Indonesia melalui kekuatan ekonomi yang mereka miliki, sedangkan penjajah budaya, berniat mempengaruhi dan menghancurkan ketahanan mental ideologis individu, kelompok, dan bangsa Indonesia. Ini berarti, sasaran dari penjajahan budaya dengan senjata limbah budaya adalah ketahanan mental ideologis Pancasila.

Tidaklah berlebihan bila ada yang berpendapat bahwa adanya perubahan drastis di semua kehidupan bermasyarakat sekarang ini, akibat dari adanya infiltrasi/subversi/penetrasi budaya asing, yang masuk ke rumah-rumah penduduk bersamaan rambahan siaran televisi global, baik yang dipancarkan oleh stasiun tv asing maupun stasiun tv nasional.

Masyarakat, termasuk anak-anak, remaja, dan generasi muda, sejak tahun 90-an, memiliki banyak alternatif pilihan mata acara siaran tv pada pesawat tv yang mereka miliki. Ironisnya, mereka justru merasa senang, lebih canggih/modern, dan lebih fatal lagi, mereka merasa sudah menjadi bagian dari masyarakat informasi. Ini perlu disadarkan!

Semula, masyarakat Indonesia, selama 27 tahun hanya memiliki satu alternatif siaran tv, yaitu siaran TVRI. Siaran TVRI yang syarat dengan nilai-nilai idealisme, sehat, dan "bergizi" ini, dinilai monoton, statis, dan membosankan. Maka dari itu, kehadiran stasiun tv swasta nasional, yang lebih dinamis dan variatif, langsung diminati oleh anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua. Berbagai penelitian lapangan menunjukkan bahwa siaran tv swasta lebih diminati, dibandingkan dengan siaran TVRI. Siaran unggulan TVRI, yaitu Dunia Dalam Berita/DDB dilibas oleh siaran Seputar Indonesia RCTI.

Sayangnya, siaran tv swasta masih didominasi oleh mata acara siaran produk asing. Prime time selalu diisi dengan produk-produk unggulan produksi asing. Budaya balas dendam masuk bersamaan rambahan film kung fu/silat produksi Mandarin.

Disadari atau tidak, melalui film kung fu/silat hasil produksi Mandarin, telah ditanamkan budaya balas dendam pada generasi penerus bangs. Bila hal ini dibiarkan terus, maka sudah dapat diprakirakan bahwa bangsa Indonesia di masa depan adalah bangsa yang penuh semangat balas dendam, yaitu satu nilai yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa (Pancasila).

Budaya yang merambah bangsa Indonesia saat ini adalah budaya Amerika Latin (telenovela), budaya barat, budaya mandarin, budaya Jepang, dan budaya India. Semua ini masuk secara dominan.


Kesamaan Pandang

Menghadapi kiprah penjajahan ekonomi dan budaya/informasi, bangsa Indonesia perlu segera menentukan sikap. Menyamakan sudut pandang, dan bangkit untuk melawannya. Pada waktu menghadapi penjajahan fisik, bangsa Indonesia menyatukan diri melalui wawasan kebangsaan, yaitu wawasan yang tidak dikotak-kotak ke dalam nilai kesukuan, keagamaan, ras dan golongan, tetapi semua menyatu ke dalam satu tekad, yaitu mencapai Indonesia merdeka. Hasilnya sangat gemilang, yaitu Indonesia merdeka, yang pada tanggal 17 Agustus 1995 ini sudah berusia 50 tahun (pesta emas).

Timbul pertanyaan sekarang, siapa lawan bangsa Indonesia dalam meniti era 50 tahun kedua (1995-2045)? Siapa lawan yang harus dihadapi pada era inilah yang perlu dikonsensuskan secara nasional.

Adalah sangat tepat dan bijak, bila dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan 50 Tahun Indonesia Merdeka, diselenggarakan seminar nasional, untuk mencari dan menentukan siapa lawan utama bangsa Indonesia pada era 50 tahun kedua. Bila sudah ditetapkan, maka wawasan kebangsaan, persatuan dan kesatuan, dan ketahanan nasional, akan lebih mudah diarahkan, karena lawan yang dihadapi sudah jelas dan tegas!

Penjajahan ekonomi dan budaya/informasi, dapat dihadapi dengan semangat dan tekad yang sama, melalui langkah terpadu yang dijiwai semangat persatuan dan kesatuan, yang berwawasan kebangsaan. Bangsa Indonesia telah merasakan betapa jahatnya penindasan penjajahan fisik Belanda maupun Jepang. Penjajahan bentuk baru sekarang ini jauh lebih jahat dan lebih berbahaya, karena memiliki sasaran dan maksud selain fisik juga idiil. Bangsa yang dijajah, akan "diikat" secara ekonomi dan budaya.

Penjajah ekonomi dan budaya datang tidak dengan sangkur terhunus dan bedil yang dikokang, atau dengan kumis melintang, tetapi datang dengan cara yang lebih menggiurkan. Mereka datang dengan menawarkan pinjaman, bantuan (fisik), dan hiburan, informasi dan pendidikan (nonfisik). Ibaratnya, penjajah baru datang dengan "senyum", tetapi lama-lama menguasai sikap, pendapat, dan tingkat laku. Di sini diperlukan kewaspadaan kita semua.

Mengingat kebijakan pemerintah dalam hal ekonomi dan komunikasi/informasi, sudah jelas dan tegas, yaitu menuju perdagangan/ekonomi terbuka, dan menerima "kebijakan udara terbuka", maka kebijakan ini harus diimbangi dengan usaha peningkatan ketahanan mental ideologis Pancasila. Cara apa pun untuk menebalkan ketahanan mental ideologis Pancasila harus ditempuh, tidak sekadar hanya penataran P4. Serangan datang melalui tayangan siaran tv yang penuh dengan limbah budaya, maka dari itu cara efektif untuk melawannya hanya dengan melalui siaran tv pula, hanya materi tayangan atau mata acara siarannya harus yang mengandung nilai-nilai Pancasila. Telenovela harus diimbangi dengan sinetron produksi lokal. Silat Mandarin harus diimbangi dengan silat lokal, dan westernisasi harus diimbangi dengan Indonesianisasi. Logis dan wajar! Janganlah rambahan informasi global, termasuk di dalamnya rambahan siaran tv global diremehkan.***

Penulis adalah pengamat bidang pertelevisian.


Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...