Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya sudah lama menjadi catatan sejarah. Namun perang yang penuh dengan pahit dan getir itu tidak akan pernah hapus dari kenangan bangsa Indonesia. Peristiwa 10 November 1945 sering dianggap sebagai peristiwa bersejarah terbesar kedua setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Selasa besok bangsa Indonesia kembali akan memperingati kenangan heroik 47 tahun lalu itu. Di Surabaya sendiri peringatannya dilangsungkan Senin malam ini. Tempatnya di lokasi pusat pertempuran dulu, yakni depan Hotel Oranye atau Hotel Majapahit Jalan Tunjungan.
Berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya, peringatan Hari Pahlawan di Surabaya tahun ini akan memancarkan warna lain. Hal ini terutama dengan bakal hadirnya seorang warga negara Inggris bernama Charles Mallaby. Orang ini bukan warga negara Inggris sembarangan. Dialah anak lelaki almarhum Brigjen AWS Mallaby, Komandan Brigade ke-49 dari Divisi 23 Komando Pasukan Sekutu di Asia Tenggara.
Brigjen Mallaby tewas tanggal 30 Oktober 1945 dalam pertempuran di Jembatan Merah. Namun sampai sejauh ini siapakah pihak yang sudah membunuh jenderal ini masih merupakan kontroversi.
Tentang bakal hadirnya Charles Mallaby dikemukakan Karo Humas Pemda Jatim, Drs Susanto. Namun Atase Militer dan Pertahanan Kedubes Inggris di Jakarta, Kolonel Ian L Ker hari Minggu kemarin mengaku tidak mendapat berita mengenai bakal hadirnya anak lelaki Brigjen Mallaby itu. "Tahun lalu ia memang datang melihat kuburan ayahnya, tapi tahun ini tidak ada berita dia akan datang lagi," katanya.
Charles Mallaby memang tidak ada di antara warga asing di pemakaman Menteng Pulo Jakarta yang melakukan upacara penghormatan terhadap para perwira dan prajurit sekutu yang gugur di Indonesia yang dimakamkan di sini. Yang hadir di sini dalam upacara hari Minggu kemarin adalah Ian L Ker, sejumlah perwakilan negara sahabat di Jakarta yang negaranya dulu bergabung dengan sekutu dan 30 orang warga negara Inggris veteran Perang Dunia II.
Pembunuh Mallaby
Siapakah pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Brigjen Mallaby? Jawaban atas pertanyaan ini sampai kini ternyata masih bersifat kontroversial.
Dr Roeslan Abdulgani, salah seorang pelaku langsung peristiwa 10 November 1945 dalam sebuah bukunya menulis: "Seandainya Jenderal Mallaby meninggal, maka belum dapat dipastikan apakah meninggalnya itu dari tembakan rakyat atau tembakan Gurkha (Pasukan Inggris). Akan tetapi bahwa seandainya beliau meninggal, adalah terjadi di tengah-tengah keributan yang disebabkan oleh tembakan-tembakan yang pertana dilakukan oleh pihak Gurkha. Dalam keributan demikian maka lain-lain anggota Kontak Biro dan Rakyat yang berada di lapangan di muka gedung Internatio mengandung risiko yang sama."
Penjelasan tentang kematian Mallaby itu dikutip Roeslan Abdulgani dari pengumuman Kontak Biro pihak Indonesia yang ditandatangani oleh Tjak Doel Arnowo, kemudian dikawatkan ke seluruh dunia oleh Menlu RI, Soebardjo, antara lain ke New York, London dan Moskow.
Pengumuman itu untuk mengimbangi tuduhan Jenderal Inggris, Cristisson yang menyatakan bahwa matinya Mallaby akibat pembunuhan sewenang-wenang. Koran-koran di London, New York, Washington, Australia, India, dan lain-lain memuat peristiwa tersebut sebagai berita utama. Tapi sayangnya sumber berita mereka bersifat sepihak yakni hanya dari Christisson.
Ian L Ker, atase militer dan pertahanan Kedubes Inggris di Jakarta ketika ditanya Suara Karya kemarin, juga tidak dapat memberikan konfirmasi siapakah yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Mallaby. Menurut Ian L Ker ketika itu suasananya memang kacau balau, sehingga sulit untuk mengetahui pasti siapakah yang membunuh Mallaby. Yang dapat dipastikan pada saat itu hanya satu: Brigjen Mallaby terbunuh.
Mengancam Rakyat
Meskipun fakta pelaku pembunuhan Mallaby tanggal 30 Oktober 1945 di Jembatan Merah masih kabur, namun bagi Sekutu (Inggris), peristiwa itu telah dijadikan dalih untuk mengancam rakyat Surabaya. Jenderal Inggris itu mengultimatum rakyat Surabaya agar menyerah dan menyerahkan senjatanya masing-masing. Jika ultimatum tersebut tidak digubris maka pasukan sekutu akan membumihanguskan Surabaya dengan senjata-senjata mereka dari darat, laut, dan udara.
Namun hingga pukul 06.00 tanggal 10 November, batas waktu terakhir bagi rakyat Surabaya untuk menyerah, rakyat tidak juga tunduk dan menyerahkan senjata mereka, pasukan sekutu pun lalu memuntahkan peluru-peluru panas dan menjatuhkan bom-bom mereka buat menghancurkan rakyat Surabaya. Perang sesungguhnya antara para pejuang RI yang bersenjata seadanya dengan pasukan sekutu yang bersenjata modern pun pecah tanggal 10 November itu.
Menurut catatan Mayor RB Houston dalam karangannya bertajuk "What Happened in Java", rakyat Indonesia hanya dapat diusir dari Surabaya setelah digempur secara dahsyat oleh meriam artileri dan meriam angkatan laut setelah 21 hari pertempuran. Kemudian arsip pihak Inggris yang tersimpan di London mendata, bahwa setelah pertempuran di jalan-jalan tergeletak 1.618 mayat dan di bawah puing-puing ditemukan 4.697 pejuang yang sudah gugur dan luka-luka.
Korban di pihak Inggris pun tergolong banyak. Menurut catatan Roeslan Abdulgani dalam bukunya, Inggris kehilangan 220 perwira dan prajurit yang tewas dalam pertempuran itu. Dengan jatuhnya korban yang cukup banyak itu tidaklah berlebihan jika kubu Inggris menjuluki Kota Surabaya sebagai "inferno" atau neraka.
Sementara itu Ian L Ker menilai pertempuran Surabaya yang melibatkan tentara Inggris sebagai peristiwa yang sangat menyedihkan, baik bagi bangsa Inggris maupun bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, menurut Ian L Ker, dalam peristiwa itu telah jatuh korban yang banyak dari kedua belah pihak. (S-2/W-4)
Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar