Langsung ke konten utama

Malapetaka Hiroshima dan Ancaman Perang Nuklir

Oleh: Yop Pandie

TANGGAL 16 Juli 1945. Dunia masih diliputi perseteruan dan kemelut Perang Dunia Kedua. Sudah jutaan tewas di Eropa, Afrika Utara, Laut Tengah, Samudra Atlantik, Pasifik, Asia Tenggara atau di mana saja orang-orang yang bermusuhan itu bertemu. Sudah ribuan pesawat gugur dari angkasa, sudah ribuan kapal terkubur di dasar laut, sudah ribuan ton mesiu dihabiskan, Nazi Jerman sudah menyerah, tetapi perang belum juga usai. Diperlukan senjata pembinasa yang dahsyat dan bukan sekadar keberanian prajurit serta strategi dan taktik perang konvensional. Hari itu, di padang pasir Alamogordo di New Mexico, Amerika Serikat bagian selatan, sebuah senjata pembinasa musuh dicoba. Ledakan dahsyat membahana di wilayah gurun yang sepi tapi dikawal ketat itu. Robert Oppenheimer, sarjana fisika kenamaan yang berbulan-bulan menangani percobaan membuat bom atom pertama itu puas sekali. Tidak ada lagi yang bisa menandingi bom atom.

Yakin pada keampuhan bom atom sebagai senjata paling dahsyat waktu itu, Presiden AS, Harry S. Truman mengirim ultimatum kepada Jepang supaya menyerah. Tapi bangsa kulit kuning itu, yang pernah mengalahkan bangsa kulit putih, Rusia, ternyata tidak mudah didesak bertekuk lutut. Akhirnya keputusan besar dalam sejarah dunia pun diambil. Bom atom harus digunakan. Dan pada tanggal 6 Agustus 1945, ketika penduduk kota industri Hiroshima di bagian barat Jepang memulai kesibukan mereka hari itu, tepat pukul 8 lewat 15 menit dan 17 detik bom atom yang diberi julukan jinak, "Little Boy" (Bocah Cilik) lepas dari perut bomber B-29, Enola Gay.

Bom atom yang dibuat dari Uranium 235 dan beratnya 4 ton meledak lebih-kurang 50 meter di atas kota Hiroshima. Bola api raksasa memancarkan cahaya kilat dan suhu panas yang sangat tinggi serta-merta membuat kota berpenduduk 400.000 jiwa menjadi neraka yang porak poranda. Mayat-mayat hangus bergelimpangan di mana-mana. Gedung-gedung megah terbakar, hangus dan rontok bagai mainan kardus. Kota Hiroshima yang cantik itu boleh dibilang rata dengan tanah.

Seratus ribu jiwa tewas seketika karena sebuah bom atom dengan nama yang sama sekali tidak menyeramkan itu. (Jumlah korban berbeda-beda menurut beberapa versi.)

Dua ratus ribu menderita luka bakar akibat pancaran sinar kilat. Sekitar 300.000 lagi yang masih sempat melalui masa sekarat beberapa menit, beberapa jam, atau beberapa hari. Tetapi banyak pula yang tewas antara lain karena leukemia, kanker darah yang sangat ditakuti itu, beberapa tahun kemudian. Semuanya karena bom atom, karena cahaya panas yang dipancarkan ledakannya maupun karena radiasi.

Tiga hari setelah Hiroshima, sebuah lagi bom atom dengan julukan yang jenaka, "Fat Man", (Pak Gemuk) yang dibuat dari Plutonium 239 dijatuhkan di atas kota Nagasaki. Bom atom kedua itu meminta korban jiwa 70.000 orang. 

Enam hari setelah senjata dahsyat kedua itu menghancurkan Nagasaki, tanggal 15 Agustus Jepang menyerah. Orang-orang Amerika mengatakan, karena bom atom mereka. Tapi orang-orang Rusia menganggap, yang membuat Jepang akhirnya menyerah adalah pernyataan perang Rusia terhadap Jepang dua hari setelah pemboman Hiroshima. Mana yang benar? Mungkin dua-dua ada benarnya ....

***

Bagaimana sebetulnya malapetaka karena bom atom itu? Orang-orang Amerika bisa panik hanya karena berita tentang reaktor nuklir buatan mereka sendiri bocor. Atau bahkan hanya karena menonton film tentang malapetaka senjata nuklir itu. Tapi orang Jepang lebih bisa bercerita tentang dahsyatnya senjata bom atom itu.

Di Museum Peringatan Hiroshima, mata manusia bisa menyaksikan kedahsyatan senjata pembinasa yang disebut bom atom itu, yang bila dibanding dengan senjata-senjata pembinasa mutakhir, kehebatannya sudah kalah jauh. Di Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima hingga hari ini pun masih terbaring sisa-sisa korban "Little Boy" 39 tahun silam. Banyak di antara mereka hanya menunggu ajal, direnggut leukemia.

Tiap hari ribuan orang Jepang maupun pengunjung dari berbagai negeri datang menjenguk Museum Peringatan Hiroshima. Di situlah setiap orang bisa melihat sendiri berbagai peragaan tentang kedahsyatan bom atom. Manusia bahkan pepohonan yang jauhnya beberapa kilometer dari pusat ledakan hangus sekejap. Panas yang dipancarkan ledakan bom atom yang sampai 5.000 derajat Celcius bahkan mencairkan bebatuan granit beberapa ribu meter dari pusat ledakan. Sedangkan batu saja bisa mencair, apalagi daging dan tulang manusia.

Orang Amerika sendiri, yang menggunakan senjata nuklir itu pertama kali dalam sejarah, tampaknya baru benar-benar tersentak kaget bulan November tahun lalu ketika lebih 100 juta penduduk negara adikuasa (superpower) itu menyaksikan film "The Day After" produksi stasiun televisi, ABC. Film tersebut (yang juga sudah beredar di Indonesia) menggambarkan betapa dahsyatnya senjata nuklir yang dijatuhkan musuh di Kota Kansas. Manusia dan segala macam produk peradabannya dihancurkan oleh senjata nuklir. Yang masih beruntung lolos dari lubang jarum, masih sempat bernapas pun bukannya berarti selamat karena radiasi nuklir masih terus meracuni sisa hidupnya dengan pelbagai penyakit aneh, fisik maupun mental. Itu dalam film, yang dibuat bukan asal buat, asal dramatis, mengerikan, tetapi berdasarkan penelitian tentang akibat suatu serangan senjata nuklir.

Bahaya perang nuklir itu bahkan digambarkan lebih mengerikan lagi oleh astronom Amerika yang kesohor, Carl Sagan. Pada konferensi perlucutan senjata nuklir di Stockholm, Swedia, beberapa pekan lalu, Sagan mengingatkan, bila pecah perang nuklir kehidupan di bumi ini akan berakhir. Ledakan bom-bom nuklir dewasa ini yang kekuatannya ribuan kali bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, akan membuat sinar matahari terhalang, bumi akan gelap. Temperatur bumi turun drastis di bawah nol derajat. Manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang masih beruntung selamat pada saat terjadi ledakan nuklir harus menghadapi akibat ekologis yang lebih mengerikan. Air tidak bisa lagi diminum, makanan pun demikian, bahkan udara yang harus dihirup setiap detik sudah sangat tercemar. Berbagai macam penyakit, termasuk penyakit mental akhirnya juga memusnahkan sisa manusia dari perang nuklir itu. Carl Sagan bukan bermaksud menakut-nakuti manusia, tapi itulah yang dapat dia beberkan setelah bertahun-tahun meneliti kemungkinan akibat dari suatu perang nuklir.

Satu hasil penelitian terbaru dari Inggris yang disiarkan bulan Juli lalu juga membeberkan gambaran yang sama mengerikan seperti yang diungkapkan Carl Sagan. Penelitian yang dilakukan Lembaga Pengkajian Perdamaian Universitas Bradford itu, serangan nuklir berkekuatan 200 megaton (sama dengan 100.000 kali kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima) akan membunuh dua per tiga dari 57 juta penduduk Inggris hanya pada serangan awal. Tetapi sisa yang beruntung selamat, hanya sekitar 15 juta orang itu, sebagian besar pun akan mati kelaparan karena serangan nuklir membawa juga bencana bagi tanah, lingkungan tempat manusia memperoleh kebutuhan makanannya. 

Hasil pengkajian yang dibuat George Crossley, mahasiswa dari bidang studi perdamaian itu mengambil angka 200 megaton-nuklir dengan memperhitungkan penggunaan 10% dari kekuatan senjata nuklir jarak jauh Uni Soviet berdasarkan persepsi Crossley terhadap strategi Soviet (Blok Timur) dalam perang nuklir melawan Blok Barat.

Dengan menggunakan data statistik British Medical Association, Crossley memperkirakan, bila serangan itu dilakukan di musim panas (Juni-Agustus), hanya 15 juta penduduk Inggris masih sempat hidup. Sedangkan bila serangan nuklir itu terjadi bukan dalam musim panas, masih mungkin lebih 40 juta dari 57 juta penduduk Inggris bertahan hidup untuk sementara.

Akibat serangan nuklir satu megaton saja (50 kali bom atom Hiroshima), hampir segala jenis pepohonan di wilayah seluas 88 km persegi akan musnah, rata dengan tanah. Sedangkan panas ledakan dan kebakaran akan menghancurkan panen pertanian dalam radius 210 km dan membunuh segala jenis ternak yang sedang merumput sampai radius 126 km dari pusat ledakan. Bencana dari satu megaton senjata nuklir itu belum berhenti di situ. Dalam beberapa pekan atau bulan kemudian debu radio aktif, menyebabkan kerusakan hebat pada tanah-tanah pertanian seluas 35.000 km persegi.

Gambaran malapetaka yang sama bisa terjadi di Amerika Serikat, Jerman Barat, atau Uni Soviet. Sehingga walaupun para pemimpin politik dan panglima militer sempat berlindung di bunker atau benteng-benteng tahan ledakan nuklir, tetapi ketika serangan usai mereka muncul kembali dari persembunyian hanya akan menyaksikan tanah yang gersang akibat radioaktif, udara, dan air yang juga dicemari radioaktif. Apa yang harus dimakan dan diminum? Mungkin negara-negara maju yang jadi korban serangan nuklir terpaksa minta kiriman makanan dari negara-negara berkembang yang miskin, yang tidak terlibat langsung dalam perang nuklir. Tapi bagaimana bila skala perang nuklir itu demikian luasnya sehingga boleh dibilang hampir seluruh penghuni bumi menderita bencananya? Inilah yang ditakutkan Carl Sagan.

***

DUNIA sebetulnya baru memasuki abad atom tahun 1911 ketika sarjana fisika Inggris, Ernest Rutherford menemukan bahwa setiap atom terdiri dari netron dan proton yang dikelilingi elektron. Sebelumnya, manusia hanya mengenal atom sebagai bagian yang terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi dari suatu unsur. Demikian kecilnya atom itu sehingga 150.000.000 atom bila dijejerkan hanya mencapai panjang 3 cm.

Setelah penemuan Rutherford yang kemudian disusul lagi oleh penelitian Niels Bohr, ahli fisika Denmark, barulah dunia lebih mantap memasuki abad atom (nuklir). Penelitian-penelitian lebih lanjut di Eropa dan Amerika menemukan bahwa elektron yang meninggalkan inti atom merupakan sinar dan unsur yang mengeluarkan sinar itu adalah radioaktif. Disibak lebih lanjut, tenaga yang berlebihan meninggalkan unsur radioaktif merupakan energi. Dan jika banyak tenaga yang berlebihan itu secara serentak dan mendadak lepas maka timbullah ledakan dahsyat. Itulah fenomena yang merupakan kunci tenaga nuklir dan bom atom pembinasa itu.

Hanya dalam waktu tiga dasawarsa semenjak penyingkapan rahasia atom itu, manusia telah berhasil mengembangkan senjata atom yang dahsyat. Tetapi beberapa tahun kemudian ternyata pula bom atom Hiroshima dan Nagasaki sudah bukan lagi senjata terhebat yang pernah dimiliki manusia. Bom atom "Little Boy" diciptakan untuk membinasakan kota berpenduduk ratusan ribu jiwa tetapi sebuah bom hidrogen masa kini mampu membinasakan metropolitan mana pun di muka bumi ini yang berpenduduk 10 juta jiwa. Dan kini diperkirakan, di arsenal-arsenal Amerika Serikat dan Uni Soviet tersimpan 10.000 bom pemusnah seperti itu, yang bila sebagian saja digunakan mungkin manusia musnah dari muka bumi.

Kedua negara adikuasa Amerika Serikat dan Uni Soviet bukannya tidak menyadari ancaman bahaya perang nuklir. Melewati berbagai pembicaraan, ketegangan, kecam-mengecam, dan ancam-mengancam, tanggal 22 Mei 1972 di Mokswa, Presiden AS, Nixon dan pemimpin Soviet, Brezhnev, menandatangani Persetujuan Pembatasan Senjata-senjata Strategis, SALT I yang antara lain memberikan batas waktu lima tahun 1977, produksi 2.358 ICBM (Intercontinental Ballistic Missile) bagi Uni Soviet dan 1.710 bagi Amerika Serikat. Perbedaan angka produksi ICBM ini karena AS sudah memiliki rudal nuklir dengan sistem MIRV (Multiple Independently Targetable Reentry Vehicle) sedangkan Soviet belum.

Tapi SALT I hanya menghasilkan pembatasan rudal nuklir jarak jauh. Sementara itu AS dan Soviet sama-sama terus saja mengembangkan senjata-senjata strategis baru. Soviet mengembangkan rudal nuklir SS-16, SS-17, SS-18, SS-19, dan SS-20 dengan sistem MIRV pesawat pembom jarak jauh Backfire dengan jangkauan terbang 5.600 km. Sedangkan Amerika Serikat meningkatkan kemampuan rudal-rudal antarbenua jenis MX dan mengembangkan rudal Cruise.

Tujuh tahun kemudian, juga setelah melalui pembicaraan-pembicaraan, kecam-mengecam dan saling memata-matai, 18 Juni 1979 di Istana Hofburg, Wina, Austria. Presiden Carter dan Brezhnev menandatangani SALT II. Berdasarkan persetujuan untuk menghindari bencana perang nuklir itu, kedua negara adikuasa, masing-masing dibatasi hanya boleh memiliki 2.500 peluncuran missil, kapal selam, dan pesawat pembom yang dapat membawa bom nuklir. Jumlah ini dikurangi menjadi 2.250 pada tahun 1981. Kemudian AS memiliki 464 ICBM dengan sistem MIRV sedangkan Soviet 820. AS akan menambah SLBM (Sea Launched Ballistic Missile) dengan sistem MIRV menjadi 736 sedangkan Uni Soviet menjadi 352. Pembom berat AS dengan ALCM (Air Launched Cruise Missile) menjadi 150 sedangkan Uni Soviet tetap kosong. ICBM non-MIRV milik AS tetap 504 sedangkan Uni Soviet akan tinggal 369. Kemudian Uni Soviet akan tetap memiliki SLBM non-MIRV sebanyak 624 sedangkan Amerika Serikat tidak. Dan nanti Amerika Serikat masih tetap memiliki 225 pembom berat non-ALCM sementara Uni Soviet 90 pesawat. Jadi jumlah persenjataan strategis masing-masing pada tahun 1985 nanti adalah Amerika Serikat 2064 dan Uni Soviet 2246.

Tapi sementara itu kedua negara malah akan menambah koleksi kepala nuklir mereka. Milik AS dari 9.200 menjadi 12.000 sedangkan Uni Soviet dari cuma 5.000 kepala nuklir menjadi 10.000.

"Bencana nuklir masih menggantung di atas kita," kata Presiden Carter setelah menandatangani persetujuan SALT II dan kemudian bertempel-tempelan pipi mesra dengan Brezhnev. Pemimpin Soviet itu sebelumnya dalam pidato menyambut penandatanganan itu mengatakan: "Kita sedang berusaha membela hak paling suci setiap manusia, yakni hak hidup!" Tapi ternyata SALT II yang di Amerika Serikat dinilai merugikan Amerika Serikat tidak pernah diratifikasi Senat AS.

Perlombaan persenjataan jalan terus. Pegelaran rudal nuklir SS-20 Soviet yang diarahkan ke Eropa Barat, membuat AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO, merasa perlu meningkatkan kemampuan pertahanan di Eropa. Penempatan 572 rudal nuklir jenis Pershing-2 dan Cruise di Eropa malah membuat Soviet menarik diri dari perundingan pengawasan senjata nuklir di Jenewa tahun lalu dan merasa perlu melakukan perimbangan kekuatan dengan memperbanyak rudal-rudal baru SS-20 dan SS-22 dengan sasaran Eropa Barat dan AS. Presiden Chernenko bahkan kemudian mengatakan, tidak perlu ada perundingan pembatasan senjata nuklir dengan Amerika selagi negara-negara NATO terus menggelarkan rudal-rudal AS, walau Presiden Reagan bersedia menghentikan bahkan membatalkan pemasangan rudal-rudal AS di Eropa Barat.

Jalan menuju perundingan pengawasan senjata nuklir kedua negara adikuasa, seperti pada masa-masa yang lalu, kini pun tetap penuh liku-liku dengan saling kecam, saling ancam. Beberapa pekan lalu Menteri Pertahanan Uni Soviet, Dmitri Ustinov mengirim ancaman baru, dengan mengatakan bahwa Soviet telah meningkatkan jumlah kapal selamnya yang dipersenjatai rudal-rudal nuklir di lepas pantai Amerika Serikat. Uni Soviet akan selalu meningkatkan jumlah peluru kendalinya setiap kali rudal-rudal baru Pershing-2 dan Cruise digelarkan di Eropa Barat. Ustinov juga mengingatkan, rudal-rudal nuklir yang disiapkan di lepas pantai AS dapat menghancurkan kota-kota dan sasaran-sasaran militer di Amerika Serikat dalam waktu 8 atau 10 menit, waktu yang sama dengan yang dibutuhkan Pershing-2 di Eropa Barat mencapai sasaran di Uni Soviet. Bahkan dengan tegas, Ustinov mengingatkan, bila terjadi serangan nuklir terhadap Mokswa, Uni Soviet tidak hanya menyerang sumber serangan itu tetapi juga sumber perintah serangan itu yakni Washington.

Hampir bersamaan dengan datangnya ancaman dari Soviet, dari AS juga muncul berita keberhasilan besar uji coba penghancuran rudal dengan menggunakan rudal yang akan terus dikembangkan dengan senjata laser yang berpangkalan di angkasa luar. Untuk menghadapi senjata satelit di angkasa luar yang juga diperkirakan akan dimiliki Soviet dalam dua dasawarsa ini, AS juga akan mengembangkan senjata antisatelit, yang merupakan pengembangan sistem pertahanan "Star Wars". Memang tampak seperti cerita fiksi "Star Wars" tapi bukan sesuatu yang mustahil untuk beberapa dasawarsa mendatang. Bayangkan, senjata-senjata pembunuh yang dahsyat itu bukan cuma berpangkalan di bumi tetapi mengapung jauh di angkasa luar dengan sasaran tetap manusia di muka bumi.

Sistem pertahanan "Star Wars" memang masih dalam pengembangan. Tapi yang jelas, sebelum sampai pada tahap itu saja, senjata-senjata nuklir kedua negara adikuasa sudah dalam jumlah yang mampu memusnahkan bumi dan segala isinya. Menurut Departemen Pertahanan AS, Uni Soviet kini memiliki persediaan kepala nuklir sampai sebanyak 41.000, sedangkan AS sendiri diperkirakan memiliki antara 25.000 sampai 26.000 buah. Soviet membantah dengan balik menuduh AS memalsukan angka-angka untuk tujuan agresif. Memang sulit memastikan angka-angka kekuatan seperti itu, apalagi dialog soal senjata nuklir antara kedua negara lagi mandek, membiarkan bencana nuklir tetap menggantung di atas kepala manusia.

***

SATU hari di bulan Agustus hampir sepuluh tahun silam, di sebuah restoran mungil tidak jauh dari Taman Perdamaian, Hiroshima, saya terlibat obrolan santai dengan kenalan pemuda Jepang dan pelaut Afrika. Topiknya malapetakan Hiroshima 1945 dan ancaman perang nuklir. Si Afrika mengaku tidak punya gagasan apa-apa untuk mencegah suatu malapetaka Hiroshima baru yang bisa terjadi atas Mokswa atau Washington atau Bonn. Tapi, yang jelas, katanya, sebagai pelaut yang sering beringas, anehnya dia bisa merasakan sesuatu yang mendamaikan hatinya di Hiroshima (setelah mengunjungi Taman Perdamaian dan menyaksikan peragaan di Museum Peringatan Hiroshima).

Dari mulut saya waktu itu terlontar gagasan gila. Bagaimana kalau orang-orang yang antiperang nuklir membentuk pasukan teroris membunuh para ahli senjata nuklir dan memusnahkan rumus-rumus fisika nuklir, dan segala macam teori yang membimbing manusia ke arah itu. Singkatnya, jadikan manusia kembali bodoh dalam hal nuklir. Kedua kenalan tertawa keras mengagetkan tamu-tamu yang lain.

Kenalan yang Jepang penduduk Hiroshima, lahir beberapa tahun setelah malapetaka Hiroshima tidak punya gagasan baru. Dia hanya berharap, dari Hiroshima manusia selalu diingatkan agar tidak mengulang tragedi yang sama. Lebih banyak orang datang melihat Hiroshima mungkin lebih baik. Sekaligus untuk pariwisata Hiroshima, katanya, lalu terbahak.

Di akhir acara makan, saya janjikan kepada kedua kenalan, setelah pulang ke tanah air saya akan buat tulisan dan buku tentang malapetaka Hiroshima. 

Sebuah buku kecil saya dengan judul "Hikayat Bom Atom" menggunakan nama samaran YP Sangguana sudah terbit dan dibeli Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengisi perpustakaan sekolah-sekolah. Artikel-artikel tentang Hiroshima sudah beberapa kali saya buat, dan tanggal 6 Agustus, hari pemboman Hiroshima selalu saya kenang khusus. Tulisan ini hanyalah cara saya tidak melewatkan hari malapetaka itu.

Mudah-mudahan, banyak orang lain, terutama para pemimpin dunia, juga tidak lupa bahwa pada tanggal 6 Agustus 1945 terjadi pembunuhan terbesar manusia dengan satu senjata tunggal, bom-atom, sejak manusia belajar membunuh dari Kain, anak Adam dan Hawa, yang membunuh adiknya sendiri Habel, hanya karena iri hati pasal hewan kurban. Semoga. ***



Sumber: Suara Karya, 6 Agustus 1984



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan