Langsung ke konten utama

AH Nasution Ternyata Bercita-cita Jadi Guru

Ketika terjadi peristiwa G-30S/PKI 1965, para tokoh PKI yakin bahwa Jenderal TNI Abdul Haris Nasution sudah berhasil "dibereskan" bersama sejumlah jenderal lainnya yang dibantai di kebon karet Lubang Buaya, Jakarta Timur. Namun, para prajurit anak buah Kolonel Abdul Latif yang ditugaskan untuk menjemput Jenderal Nasution di kediamannya Jalan Teuku Umar Jakarta Pusat, tidak begitu mengenal wajah Nasution dengan pakaian preman. Oleh karena itu, ketika mereka berhasil menyergap Kapten Inf Pier Tendean yang wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution, langsung saja dia diseret ke atas truk dan dibawa ke Lobang Buaya.

Sementara itu Jenderal Nasution yang mengetahui upaya penculikan tersebut, dengan cepat menyelinap ke samping rumah dan melompati tembok sebelah setinggi sekitar dua meter. Karena gelap (waktu subuh), ketika melompati tembok tersebut dia jatuh di atas bunga sehingga kaki kanannya keseleo dan pincang sampai akhir hayatnya.

Menelusuri kisah hidup Jendela Besar TNI AH Nasution, yang meninggal dunia Rabu pagi kemarin di RS Gatot Subroto Jakarta, memang penuh dengan lika-liku. AH Nasution yang lahir 3 Desember 1918 di Desa Pungkut, Kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan - Sumatera Utara, semula bercita-cita ingin menjadi guru. Itulah sebabnya, setelah menyelesaikan pendidikan di Hollandsche Inlandsche School (HIS) Kotanopan (1932) dan Raja Hoofden School (Sekolah Pamong Praja) di Bukit Tinggi serta Hollandsche Inlandsche Weekschool (1935), dia meneruskan Sekolah Guru Menengah di Bandung dan Algemene Middelbaare School B (AMS) di Jakarta (1938). 

Namun pekerjaan guru itu hanya dilakoni selama dua tahun (1938-1940) di Bengkulu dan Palembang. Ia merasa kurang sreg menjadi guru dan beralih profesi menjadi pegawai kotapraja di Bandung. Pekerjaan ini pun hanya dijalani beberapa bulan saja, karena ketika ada pendaftaran mengikuti pendidikan militer "Corps Opleiding Reserve Offisien" (CORO) KNIL atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung (1940-1943), Nasution langsung tertarik. Sejak saat itulah Nasution mulai meniti karier di dunia militer.

Selesai mengikuti pendidikan militer, dia dilantik dengan pangkat Pembantu Letnan Calon Perwira dan ditempatkan di Batalyon 3 Surabaya yang berkedudukan di Kebalen. Ketika pecah Perang Dunia II, Batalyon 3 mendapat tugas untuk mempertahankan pelabuhan Tanjung Priok.

Pencetus Dwi Fungsi

Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda tahun 1942, AH Nasution kembali ke Bandung. Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Nasution aktif dalam kepemimpinan pemuda dan menjadi penasehat Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung. Sesudah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada Oktober 1945, Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Komandemen TKR I/Jawa Barat dengan pangkat Kolonel. Pada tahun yang sama, dia mendapat kepercayaan untuk menggantikan Aruji Kartawinata sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan, yang kemudian menjadi Divisi I/Siliwangi dengan Pangkat Mayor Jenderal sampai tahun 1948.

Rangkaian aksi unjuk rasa oleh para pemuda ternyata tidak hanya terjadi pada era reformasi belakangan ini saja, tetapi sudah ada sejak awal-awal tahun kemerdekaan. Pada tanggal 17 Oktober 1952, di Jakarta terjadi peristiwa demonstrasi massa yang menuntut pembubaran parlemen (DPR). Peristiwa ini merupakan puncak perbedaan pendapat antara Angkatan Darat dan DPR, karena DPR dianggap terlalu jauh mencampuri masalah intern Angkatan Darat, sehingga menimbulkan protes keras dari Angkatan Darat.

Akibat dari peristiwa tersebut, AH Nasution bersama beberapa Perwira lainnya dibebaskan dari jabatannya. Selama non aktif itulah Nasution yang tidak bisa diam aktif menulis buku dan mendirikan partai politik yang diberi nama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI). Anggotanya sebagian besar adalah para perwira yang non aktif korban peristwa 17 Oktober 1952.

Setelah dilakukan rekonsiliasi antarperwira yang pro dan kontra terhadap peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution kembali dicalonkan untuk menjadi KSAD. Dan pada 7 Nopember 1955, dia diangkat menjadi KSAD dengan pangkat Mayor Jenderal. Saat pengangkatan jabatan itu diumumkan, kebetulan negara dalam keadaan bahaya melalui Undang-undang Keadaan Bahaya (UUKB) bulan Juli 1957.

Di samping menjabat KSAD, Nasution juga diangkat menjadi Ketua Gabungan Kepala-kepala Staf Angkatan Perang (GKS). Kemudian, da memangku jabatan sebagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu), yang membawahi Penguasa Perang Daerah (Peperda). Ia juga menjabat sebagai anggota ex-officio Dewan Nasional dan anggota Panitia Tujuh dalam rangka penyelesaian kemelut di daerah.

Ketika dilakukan reorganisasi dalam tubuh Angkatan Darat pada 1958, Nasution diangkat menjadi Menteri Keamanan Nasional/KSAD dengan pangkat Letnan Jenderal sampai tercetusnya dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 dan lahirnya Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin Nasution diangkat menjadi Menteri Koordinator (Menko) Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata dengan pangkat Jenderal penuh (bintang empat). Puncak karier Nasution adalah ketika dia dipilih menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada awal pemerintahan Orde Baru.

Selama ini, AH Nasution dikenal sebagai pencetus Dwi Fungsi ABRI/TNI dengan titik berat selain tugas pokoknya sebagai alat keamanan, juga dapat melaksanakan kegiatan sosial membantu kepentingan masyarakat sipil. Antara lain, melaksanakan kegiatan bakti sosial, melaksanakan kegiatan di bidang pembangunan dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI itu telah dibelokkan ke bidang politik dan pemerintahan. Akibatnya, ABRI bukan saja sebagai alat keamanan, tetapi juga sebagai pelaku politik dan alat penguasa.

Jenderal Besar AH Nasution adalah putra dari H Abdul Halum Nasution dan Hj Siti Sahara Lubis. Ia menikah dengan RA Johanan Sunarti Gondokusumo dan dikaruniai dua orang putri masing-masing Hendrianti Sahara Nasution dan Ade Irma Suryani Nasution. Ade Irma menjadi korban keganasan peristiwa G-30S/PKI. Sedangkan Hendrianti dikaruniai beberapa putra-putri sebagai cucu AH Nasution.

Kini, peraih penghargaan tanda jasa 20 Bintang/Satya Lencana dari dalam negeri dan 10 Bintang Jasa dari mancanegara itu telah berpulang kepada-Nya. Selamat jalan Jenderal ....

(M Senoatmodjo)



Sumber: Tidak diketahui, (circa) 7 September 2000



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan