Langsung ke konten utama

Aksi Corat-coret Sesudah Proklamasi 17-8-1945

Oleh H. SOEWARNO DARSOPRAJITNO

RUPANYA corat-coret di sembarang tempat yang dapat menarik perhatian umum, sudah menjadi salah satu kegemaran sebagian anak yang beranjak dewasa.

Corat-coret memang sudah ada sejak zaman prasejarah, dan sekarang pun masih banyak ditemukan di mana saja, termasuk di tugu yang menjadi tanda tempat bertemunya kembali Nabi Adam AS dan Siti Hawa di Jabal Rahmah, Arafah.

Memang banyak corat-coret yang sifatnya vandalistik karena merusak keindahan tataan alam, atau bangunan yang sebenarnya bermanfaat untuk kepentingan umum. Akan tetapi, corat-coret yang pernah dilakukan oleh para remaja usia belasan tahun yang masih duduk di bangku sekolah SLTP atau SMU, sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, merupakan corat-coret yang bersejarah.

Corat-coret yang dilakukan tanpa direkayasa, ternyata dapat membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan untuk menggalang kekuatan agar negara Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta tetap berdiri tegak.

Corat-coret tersebut umumnya ditulis dengan cat berwarna merah dan putih dengan bahasa Inggris, di berbagai tempat yang diduga dilalui oleh para wartawan mancanegara yang waktu itu sudah mulai menjelajahi berbagai daerah yang dikuasai para pejuang kemerdekaan, khususnya di Kota Yogyakarta.

Selain corat-coret, berbagai selebaran juga banyak dicetak dan disebarluaskan ke seluruh pelosok yang sudah dapat dijangkau. Selebaran ini umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia, atau bahasa daerah setempat.

Di daerah Yogyakarta dan sekitarnya, selebaran yang sifatnya untuk membangkitkan semangat perjuangan juga disebarkan dengan kapal terbang yang mungkin dikemudikan oleh Adi Soetjipto, Husein Sastranegara, atau penerbang lainnya.

Suasana daerah republik

Berita Proklamasi Kemerdekaan RI di berbagai kota, umumnya diperoleh melalui siaran radio, surat kabar, atau dari mulut ke mulut. Bagi para remaja atau anggota masyarakat, arti kemerdekaan yaitu tidak dijajah oleh Belanda atau Jepang. Sekali pun sudah merdeka beberapa hari, tetapi masyarakat atau surat kabar belum berani menggunakan kata "Jepang" sebagai sebutan pengganti kata "Nippon" yang merupakan sebutan resmi selama pendudukan Bala Tentara Kekaisaran Jepang.

Tetapi sejak penampilan anggota Bala Tentara Kekaisaran Jepang yang mendapat tugas menjaga keamanan di Kota Yogyakarta nampak sayu dan tidak bersemangat, maka para pemuda yang umumnya dipelopori oleh para pelajar SMT Negeri dan SMT Swasta (SMT: Sekolah Menengah Tinggi, setingkat SMU), mulai bergerak.

Mereka ini mulai menurunkan berbagai papan nama yang berbau Jepang, dan menggantinya dengan selebaran bertuliskan "Milik RI" (Milik Republik Indonesia) yang ditempelkan di pintu masuk gedung.

Gerakan ini terus berlanjut dengan menempeli berbagai kendaraan Jepang dengan bendera kertas merah-putih, atau langsung memberi tanda merah putih dengan cat. Umumnya kendaraan yang sudah ditandai semacam ini langsung dibawa untuk kepentingan perjuangan. Gerakan semacam ini ternyata tidak dipedulikan oleh penguasa Jepang.

Berdasar kenyataan ini, keberanian para pemuda yang umumnya terdiri dari pemuda pelajar yang masih duduk di bangku SMP dan SMT, mulai berani mencuri senjata baik di perumahan yang didiami oleh para pengusaha Jepang atau di ksatrian.

Menyusutnya semangat tentara Jepang yang sudah kalah perang ini dimanfaatkan para pemuda yang umumnya sudah mendapat "gemblengen keprajuritan" oleh pengusaha Jepang selama beberapa tahun sebelumnya.

Puncak dari gerakan yang sudah memperoleh informasi bahwa jumlah tentara Jepang di Kota Yogyakarta. Perlawanan dari tentara Jepang juga ada, tetapi dapat dengan cepat diatasi, hingga akhirnya ksatrian dapat dikuasai sepenuhnya, termasuk berbagai senjata yang ada di dalamnya.

Serbuan ini selanjutnya diteruskan ke ksatrian tentara Jepang lainnya di sekitar Kota Yogyakarta, termasuk lapangan udara Meguwo (Adi Soecipto), yang ada di sebelah timur kota.

Membangkitkan semangat

Sesudah tentara Jepang dilucuti dan ditawan, pemakaian lencana merah-putih oleh setiap anggota masyarakat semakin semarak. Semua orang mengenakan lencana di dada sebelah kiri yang dibuat dari kain yang berukuran 2 x 3 cm, dan setiap berjumpa dengan rombongan pemuda selalu dikumandangkan pekik "merdeka" sebagai salam perjuangan. Demikian pula dalam surat menyurat yang bersifat kedinasan, juga didahului dengan salam "Merdeka".

Salam "Merdeka" ini selanjutnya berkembang menjadi slogan perjuangan yang dicorat-coretkan di berbagai tempat yang dapat merangsang perhatian umum antara lain "Sekali Merdeka Tetap Merdeka", "Merdeka atau Mati", dan beberapa lagi lainnya yang tidak sempat menjadi semboyan yang abadi dan bersejarah.

Sementara itu, beberapa corat-coret yang menjadi perhatian para wartawan mancanegara, yaitu yang ditulis dalam bahasa Inggris. Kalimatnya pendek, mudah dimengerti, dan sebagian di antaranya ditulis dengan huruf yang artistik. Warna yang dipakai sebagian besar merah dan putih, dan ditulis secara mencolok hingga dapat dilihat dengan jelas dari jauh. Kalimat yang pendek ini juga dimaksudkan agar bagi para wartawan mancanegara yang kebetulan lewat dengan kendaraan dapat cepat membacanya dengan tuntas.

Beberapa corat-coret yang menggunakan bahasa Inggris, antara lain yaitu "Down with Nica" (Hancurlah Nica), "Away with Nica" (Enyahlah Nica), dan beberapa lagi lainnya. Ada juga yang menyitir ucapan Presiden Monru dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Amerika dari kekuasaan Inggris yang sudah diubah, yaitu bukannya "America for Americans" tetapi menjadi "Indonesia for Indonesians" (Indonesia untuk orang-orang Indonesia), dan sebagainya lagi.

Semua corat-coret yang berjiwa perjuangan kemerdekaan ini merupakan ungkapan hati nurani rakyat Indonesia yang ingin tetap merdeka dan bebas dari segala macam bentuk penjajahan sosial, ekonomi, dan budaya.

Berdasar ungkapan yang lahir pada awal mula masa kemerdekaan ini, sudahkah kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud? Padahal sampai tahun 1997 ini, usia RI sudah memasuki tahun yang ke-52.

Kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya memang merupakan hak asasi setiap manusia di mana saja mereka ini bermukim dan bermasyarakat. Akan tetapi hal ini tidak begitu mudah diwujudkan, seandainya hanya pemerintah saja yang harus bekerja untuk mewujudkannya. Peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya, tetap ikut menjadi tumpuannya. Pengertian ini cukup mewarnai perjuangan kemerdekaan, agar harkat hidup bangsa Indonesia yang sudah terjajah sekian ratus tahun segera bebas merdeka.

Perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan secara sosial, ekonomi, dan budaya ini memang masih perlu diselesaikan melalui pembangunan. Sebab kalau tidak, jangankan tanah air yang diperjuangkan agar segera bebas dari penjajahan, maka para pejuangnya sendiri pun sampai sekarang belum bebas dari beban sosial, ekonomi, dan budaya.

Mereka ini jangankan kapling sebidang tanah untuk tempat tinggalnya di hari tua, air untuk minum sehari-hari pun masih harus membeli. Apakah mereka ini masih harus corat-coret untuk memperoleh tanah dan air yang pernah diperjuangkannya?

Menyerbu Kota Jakarta

Corat-coret yang dilakukan oleh para pemuda pelajar dari SMP dan SMT yang umumnya masih bercelana pendek, tidak terbatas di dinding pagar atau gedung, tetapi juga di dinding gerbong kereta api agar dapat menembus masuk ke jantung Kota Jakarta, sebagai kiriman ungkapan semangat perjuangan kepada tentara Sekutu termasuk NICA.

Para pemuda pelajar yang melakukan corat-coret ini biasanya berhenti dan beristirahat di Cikampek, sambil menunggu kereta api yang kembali ke Yogyakarta. Mereka ini melakukan corat-coret pada saat kereta api berhenti di berbagai stasiun yang disinggahi, dan naik kembali jika kereta api mulai bergerak.

Serangan corat-coret yang masuk menyerbu Kota Jakarta ini juga berhasil menyemangati penduduk Jakarta agar tetap berjiwa republik yang biasa disebut kaum republikein. Kaum republikein inilah yang juga ikut menjadi "supporter" para anggota delegasi Indonesia yang ada di Jakarta, termasuk para wartawan yang menerbitkan suratkabar bersuarakan republik.

Di antara corat-coret di badan kereta api tersebut, memang ada yang bernada menyerang pengaruh NICA, dan tidak kurang membuat para penguasa NICA yang "menguasai" Kota Jakarta menjadi geram. Sebab dari nada corat-coret yang masuk ke Kota Jakarta, berbagai gerakan perjuangan tidak pernah padam baik melalui perjuangan bersenjata, diplomasi, jurnalistik, maupun perjuangan lainnya.

Perjuangan yang tetap bergema di Kota Jakarta ini, amat disayangkan tidak atau belum diungkap untuk kepentingan ilmu pengetahuan sejarah dan perjuangan bangsa, bagi umumnya para remaja masa kini yang masih senang adu kekuatan melalui perkelahian massal antarkelompok pelajar.

Mereka ini tentu tidak lebih muda daripada pendahulunya para remaja yang ikut berjuang melalui corat-coret yang sempat ikut menyerbu Kota Jakarta pada tahun 1945-1946.

Sebagai hasil serbuan corat-coret para pemuda pelajar 1945-1946 yang seusia dengan para pemuda pelajar yang gemar tawuran seperti sekarang ini, sebagian besar warga Kota Jakarta sampai kembalinya Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta ke Kota Jakarta pada tahun 1951, tetap berjiwa republik. Suatu perjuangan besar para pemuda pelajar yang berusia belasan tahun, tetapi pada saat ini sudah tidak dikenal.

Sisa corat-coret pada badan kereta api ini pun mungkin sudah tidak ada bekasnya, walaupun Museum Kereta Api ada di Ambarawa dan di Taman Mini Indonesia Indah, di Jakarta. Padahal pada waktu itu, kereta api yang menjadi sarana untuk mengirim pesan perjuangan dari Yogyakarta ke Jakarta cukup banyak, tetapi mungkin sebagai akibat ketidakpeduliannya pada sejarah maka data dan informasi sejarah perjuangan para remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMT sudah tidak nampak.

Sayang sekali andil perjuangan para remaja tanah air Indonesia yang ikut berjuang menegakkan dan mempertahankan Republik Indonesia melalui ungkapan yang ditulis dalam bentuk corat-coret yang artistik tidak ada bekasnya untuk tempat bercermin pemuda pelajar yang ingin ikut berjuang untuk mengisi kemerdekaan RI sekarang ini.

Sekali pun tata laksana perjuangan menegakkan dan mempertahankan RI lain sekali dengan perjuangan mengisi kemerdekaan, tetapi semangat perjuangannya masih dapat diwujudkan melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada hakikatnya tidak berbeda. 

Pada usianya yang sudah memasuki usianya yang ke-52 tahun, perjuangan untuk menegakkan Republik Indonesia masih tetap diperlukan.***

- H. Soewarno Darsoprajitno, mantan pelajar SMP Negeri I Yogyakarta 1945-1951, ahli geologi dan pernah menjadi penanggung jawab Museum Geologi Bandung.



Sumber: Pikiran Rakyat, 19 Agustus 1997



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...