Langsung ke konten utama

28 Oktober 1928: Revolusi Kaum Muda

Oleh Patmono SK


Kelahiran Boedi Oetomo 20 Mei 1908 sebagai awal kebangkitan nasionalisme itu diawali dengan gagasan Dr Wahidin Soediro Hoesodo. Bersama-sama Soetomo (yang kemudian dikenal dengan sebutan Dr. Soetomo), dia mendirikan organisasi pemuda Boedi Oetomo sebagai reaksi atas situasi tanah air. Tetapi tampaknya organisasi itu berkembang menjadi organisasi orang tua. Jiwa dan semangat kaum muda yang melandasi kehadiran organisasi itu di tengah-tengah masyarakat luntur karena masuknya ambtenar-ambtenar dari golongan bangsawan di dalam kepengurusan organisasi itu.

Perkembangan organisasi yang sedemikian itu mendorong kaum muda dan cendekiawan menyingkir dari kepengurusan. Unsur-unsur radikal yang bercorak politis tersisih dan di bawah kepemimpinan kaum bangsawan, Boedi Oetomo tumbuh sebagai organisasi yang filsafati. Slogan keperjuangannya pun berubah dari "perjuangan untuk mempertahankan penghidupan" menjadi "kemajuan yang serasi".

Kondisi organisasi yang terlalu banyak dipengaruhi oleh golongan bangsawan yang telah mapan telah menghilangkan sifat proto-nasionalistis organisasi itu. Tetapi dengan sikapnya yang moderat dan yang tidak berpolitik membawa organisasi tersebut berkembang pesat karena mendapat pengakuan dan kedudukan sebagai badan hukum dari Pemerintah Belanda.

Orientasi organisasi yang semula digagaskan untuk mempertahankan penghidupan yang secara politis mempunyai sasaran kemerdekaan manusia dari segala bentuk penjajahan dan keterkungkungan, beralih menjadi orientasi pendidikan. Majalah yang diterbitkannya pun bernama "Goeroe Desa".

Sebagai reaksi terhadap kelambanan gerak organisasi yang diharapkan mampu tampil sebagai organisasi perjuangan tetapi gagal itu, Dr Cipto Mangunkusumo dan kawan-kawannya mendirikan organisasi politik yang bernama "Indische Partij" dengan ciri khas gerakannya yang radikal. Walaupun usia organisasi itu tidak terlalu lama, ia sempat membuat repot pemerintah Belanda. Sementara itu kaum muda yang tidak puas tehadap kelambanan organisasi Boedi Oetomo juga mendirikan organisasi kaum muda yang disebut Tri Koro Dharmo. Organisasi yang dilahirkan 7 Maret 1915 itu benar-benar tampil sebagai organisasi kaum muda. Tetapi keterbatasan jangkauan keanggotaan menimbulkan berbagai permasalahan dan untuk menghindarkan perpecahan karena ketidaksenangan kaum muda dari Madura dan Sunda terhadap sifat Jawa-sentrisnya, organisasi itu dijadikan Jong Java dalam Kongres tahun 1918.

Tetapi agaknya kelangsungan cita-cita politik kaum muda juga tidak dapat berkembang bebas karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda. Perbedaan pendapat untuk memasukkan unsur politik di dalam sifat organisasi menjadi hangat. Haji Agus Salim yang merasa tidak puas terhadap organisasi itu, karena usulnya untuk memasukkan unsur agama di dalam mencapai cita-cita organisasi ditolak, mendirikan Jong Islamiten Bond. Sementara itu pemuda Islam yang lain mendirikan Pemuda Muslimin Indonesia.

Pertumbuhan organisasi-organisasi pemuda di berbagai daerah seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes dll pada awalnya dimaksudkan untuk memajukan daerahnya masing-masing. Seperti halnya Jong Java bercita-cita untuk membangun Jawa Raya, demikian pula Jong Ambon dan Jong Celebes. Yang paling unik adalah pertumbuhan Jong Batak Bond. Kalau pemuda-pemuda Minahasa semula mendirikan Jong Minahasa dan melebur organisasi itu ke dalam Jong Celebes karena cita-cita membangun Celebes Raya, dan Tri Koro Dharmo melebur dalam diri Jong Java bersama-sama pemuda Pasundan karena bercita-cita membangun Jawa Raya, pemuda-pemuda Batak justru memisahkan diri ketika Jong Sumatranen Bond telah mulai berkembang. Pemuda-pemuda Batak mendirikan Jong Batak Bond justru sebagai titik balik kehidupan pemuda di tanah Batak. Di dalam Jong Sumatranen Bond, yang lahir 9 Desember 1917 di Jakarta, pemuda-pemuda Batak tidak banyak yang berperanan, karena kesadaran organisasinya yang memang kurang menonjol dibandingkan dengan pemuda dari Sumatera Barat. Itulah sebabnya dengan harapan untuk menumbuhkan kesadaran organisasi, pimpinan Jong Sumatranen Bond justru menyetujui berdirinya Jong Batak Bond. 


Persatuan Pemuda 

Kendati di berbagai daerah telah tumbuh kesadaran pemuda untuk berorganisasi dan mempunyai idealisme untuk membangun diri, cita-cita mempersatukan pemuda dari berbagai daerah itu tidak terlalu gampang dicapai. Kongres I Pemuda tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta menghasilkan satu Komite Kongres untuk membentuk Jong Indonesia. Dalam kongres tersebut, PPPI (Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia) mengusulkan satu badan perhimpunan pemuda yang menggabungkan seluruh perkumpulan pemuda, tetapi karena rasa kedaerahan masih kuat, usul itu ditolak. Namun badan permanen untuk keperluan persatuan pemuda Indonesia disetujui dalam konperensi 15 Agustus 1926, kecuali oleh Jong Islamiten Bond. Anggaran Dasar perhimpunan pemuda yang bernama Jong Indonesia disahkan 31 Agustus 1926 tetapi usaha mempersatukan pemuda tak juga berhasil.

Kongres II pemuda Indonesia dilangsungkan 27-28 Oktober 1928 tidak juga menghasilkan wadah gabungan pemuda Indonesia, tetapi secara substansiil kongres itu melahirkan persatuan tekad dalam wujud Soempah Pemoeda. Atas dasar pengakuan atas satu tanah air dan satu bangsa dan tekad untuk menggunakan satu bahasa itulah persatuan pemuda dicapai setapak lebih maju. Keputusan untuk memfungsikan (melakukan gabungan) pemuda Indonesia dicapai tanggal 28 Desembr 1928 dalam Kongres di Yogyakarta dan tanggal 31 Desember 1930 ditetapkanlah berdirinya Indonesia Moeda dalam konperensi di Solo.

Namun organisasi itu masih juga tidak bersifat politis. Bahkan anggotanya dilarang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan politik, walaupun asasnya adalah kebangsaan dan tujuannya mencapai Indonesia Raya.

Sebagai organisasi pemuda, walaupun tidak berpolitik, pemerintah Belanda tetap mencurigainya dan melarang murid-murid sekolah menjadi anggotanya. Tekanan yang demikian itu membuat banyak pemuda keluar dari organisasi. Tekanan itu menimbulkan reaksi yang keras di kalangan pemuda. Tetapi larangan pemerintah segera keluar ketika tumbuh organisasi pemuda yang berorientasi pada politik, seperti Soeloeh Indonesia, Pemoeda Indonesia yang bertujuan Indonesia Merdeka.

Tekanan pemerintah Belanda terhadap gerakan-gerakan pemuda itu tidak saja dilakukan di dalam negeri tetapi juga di negeri Belanda sendiri. Perhimpunan Indonesia, yang berpusat di negeri Belanda dan selalu mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, mendapat tekanan yang berat sehingga Mohammad Hatta dan kawan-kawannya ditangkap dan diajukan ke pengadilan Belanda.


Revolusi Kaum Muda

Munculnya berbagai gerakan pemuda yang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia di sekitar tahun 26-an itu dicatat oleh Ir. Soekarno sebagai satu revolusi. Dalam sebuah pidatonya di tahun 1962, Soekarno yang waktu itu masih menjabat sebagai Presiden, berkata, "Tahun 25-an kaum muda berkata, tidak! Ini harus dibalikkan sama sekali fikiran ini. Bukan untuk kemajuan, untuk kesejahteraan, kita harus merdeka, dus kita lebih dahulu mempandaikan kita punya diri, mencerdaskan kita punya diri, artinya bukan untuk kemerdekaan kita harus cerdas lebih dahulu, tetapi kita jungkir balikkan, supaya pikiran evolusioner menjadi satu fikiran revolusioner ...."

Pidato tersebut mengungkapkan adanya tekad kaum muda untuk tidak bertindak secara bertahap dalam mencapai kemerdekaan, tetapi secara revolusioner. Artinya, pikiran untuk mencerdaskan bangsa lebih dahulu baru dengan kecerdasan itu mencapai kemerdekaan, dianggap sebagai pikiran yang keliru. Dengan demikian menurut pikiran revolusioner kaum muda itu, kemerdekaan harus dicapai lebih dahulu baru kecerdasan, kesejahteraan, dan sebagainya diraih.

Terlepas dari mana yang lebih dahulu, kemerdekaan itu telah berhasil dicapai tanggal 17 Agustus 1945. Dengan kemerdekaan itu bangsa Indonesia berjalan sampai ke tahapan pembangunan sekarang ini. Cita-cita proklamasi dicanangkan sebagai arah perjalanan bangsa dan bukan saja kaum tua yang harus memahami cita-cita tersebut, tetapi juga kaum muda.

Perkembangan kehidupan organisasi kaum muda di sekitar Sumpah Pemuda itu menjadi pelajaran bagi kita sekarang bahwa usaha mempersatukan organisasi kaum muda itu akan membawa hasil manakala sasaran yang akan dicapai jelas. Di tahun 1928-an itu, usaha mempersatukan organisasi kaum muda mempunyai sasaran yang jelas yaitu untuk menciptakan Indonesia Raya. Sasaran itu kini telah tercapai dan kita mempunyai sasaran yang lebih besar lagi, yaitu menuju cita-cita proklamasi Indonesia, masyarakat adil makmur dan lestari berdasarkan Pancasila. 

Kalau kaum muda sepakat untuk itu, tentunya tidak terlalu sulit mempersatukan kaum muda. Kalaupun kesepakatan itu telah dicapai secara formal, tetapi kaum muda dan organisasinya hanya diarahkan sebagai satu kekuatan yang dimaksudkan untuk mendukung kepentingan yang lebih kecil dari tujuan berbangsa, bernegara, dan bekemerdekaan itu, niscaya usaha mempersatukan organisasi kaum muda itu hanya akan bersifat semu.


* Penulis adalah Sekjen DPP GAMKI.


Sumber: Suara Karya, 28 Oktober 1987


Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan